Sejarah ekspansi Kerajaan Kadiri ke Sumatra sekitar abad ke-12, yang melibatkan konflik dengan Sriwijaya atau Dharmasraya. Tulisan ini akan mencakup latar belakang politik Kadiri, keruntuhan Sriwijaya, kemungkinan intervensi militer atau diplomasi ke wilayah Sumatra, serta sumber-sumber yang relevan seperti prasasti dan catatan asing.
Latar Belakang Politik dan Ekonomi Nusantara Abad ke-11–12
Pada pergantian abad ke-11, peta politik Nusantara mengalami perubahan besar. Kerajaan Sriwijaya, pusat maritim Buddhis berpusat di Palembang, Sumatra, mulai mengalami kemunduran. Dominasi Sriwijaya atas perdagangan jalur Selat Malaka telah berlangsung sejak abad ke-7, namun memasuki abad ke-11 kekuatannya merosot tajam akibat serangan luar dan masalah internal. Peristiwa penting terjadi tahun 1025, ketika Rajendra Chola I dari Kerajaan Chola (India) melancarkan ekspedisi militer ke wilayah Sriwijaya. Tentara Chola menyerbu Palembang, ibu kota Sriwijaya, menawan rajanya beserta harta kekayaannya, serta menyerang pelabuhan-pelabuhan taklukan Sriwijaya. Serangan Chola ini melemahkan hegemoni Sriwijaya di Asia Tenggara dan memicu bangkitnya kerajaan-kerajaan lokal di Sumatra yang sebelumnya berada di bawah bayang-bayang Sriwijaya.
Di Jawa, pada masa yang sama, Kerajaan Medang (Mataram) menghadapi akhir tragis. Raja terakhir Medang, Dharmawangsa Teguh, dikenal agresif terhadap Sriwijaya – bahkan beberapa sumber menyebut ia pernah menyerang wilayah Sriwijaya di Semenanjung Malaya sekitar tahun 990 M. Tindakan ini memancing permusuhan: Sriwijaya diduga mendalangi serangan balasan. Tahun 1016, sekutu Sriwijaya bernama Haji Wurawari meluluhlantakkan istana Medang saat Dharmawangsa sedang mengadakan pesta pernikahan, menyebabkan runtuhnya kerajaan Medang. Seorang pangeran muda bernama Airlangga berhasil lolos dan kemudian memulihkan tatanan di Jawa dengan mendirikan Kerajaan Kahuripan (1019 M). Konflik Medang–Sriwijaya ini menandai ketegangan Jawa–Sumatra yang berlanjut di kemudian hari.
Setelah masa Airlangga, wilayah Jawa dibagi dua (Panjalu/Kadiri dan Janggala) demi mencegah perang saudara. Meskipun begitu, pembagian ini menimbulkan dualisme kekuasaan di Jawa Timur selama beberapa dekade. Sementara itu di Sumatra, kekosongan kekuasaan sepeninggal Sriwijaya dimanfaatkan oleh entitas baru. Kerajaan Malayu (Melayu) di hulu Sungai Batanghari muncul sebagai kekuatan regional. Bahkan para sejarawan modern menduga bahwa pusat kekuatan Sriwijaya bergeser dari Palembang ke wilayah Jambi (Dharmasraya) pasca serangan Chola. Menurut catatan Tiongkok, utusan Sanfoqi (nama Tionghoa untuk Sriwijaya) terakhir kali datang ke Tiongkok tahun 1178. Lalu pada laporan tahun 1225 oleh Zhao Ruguo (Chau Ju-kua), disebutkan bahwa Palembang saat itu hanya kerajaan bawahan dari Sanfoqi. Ini mengindikasikan bahwa antara 1178 dan 1225, kekuasaan Sriwijaya di Palembang telah dikalahkan oleh Kerajaan Malayu di Jambi. Dengan kata lain, menjelang akhir abad ke-12, pusat kekuatan Sumatra beralih ke Dharmasraya (Melayu Jambi), sedangkan Sriwijaya Palembang tereduksi menjadi kekuatan lokal.
Secara ekonomi, perubahan politik ini berdampak besar. Sriwijaya sebelumnya makmur berkat posisinya menguasai perdagangan maritim (rempah-rempah, kapur barus, emas, sutra) antara India-Tiongkok. Julukan Sumatra sebagai “Pulau Emas” (Suvarnadvipa) terkait hasil bumi seperti emas dari pedalaman Jambi dan komoditas berharga lainnya. Namun pasca tahun 1025, jaringan perdagangan internasional mulai bergeser. Kelemahan Sriwijaya memberi peluang bagi Jawa untuk terlibat lebih aktif dalam perdagangan laut. Kerajaan-kerajaan di Jawa, khususnya Kadiri (Kediri), mulai membangun pelabuhan di pesisir utara Jawa dan menjalin kontak langsung dengan pedagang asing. Hal ini mengurangi ketergantungan pedagang pada pelabuhan Sriwijaya. Kenyataannya, pada paruh kedua abad ke-12, kekayaan Kerajaan Kadiri menonjol dalam percaturan regional. Kronik Tiongkok Ling-wai-tai-ta karya Zhou Qufei (1178 M) mencatat bahwa di antara negeri-negeri terkaya di dunia, Jawa (Kerajaan Panjalu/Kadiri) menempati peringkat kedua setelah Kekhalifahan Arab, mengungguli Sumatra (Sriwijaya). Artinya, Kadiri muncul sebagai pusat ekonomi baru yang menyaingi – bahkan melampaui – Sriwijaya pada masa itu.
Sementara Sriwijaya merosot, Kerajaan Kadiri di Jawa Timur justru memasuki masa keemasannya. Dinasti Isyana (penerus Airlangga) memerintah Kadiri dengan ibu kota di Daha (Kediri). Salah satu raja terbesar Kadiri, Jayabaya, naik takhta sekitar tahun 1135 M. Di bawah Jayabaya, Kadiri berhasil memadamkan dualisme Jawa dengan menaklukkan kerajaan saingan, Janggala. Prasasti Hantang (Ngantang) dari masa Jayabaya bahkan mengabadikan semboyan “Panjalu Jayati” (Panjalu menang) untuk menegaskan kemenangan Kadiri. Penyatuan Jawa di bawah Kadiri memberikan stabilitas politik dan memungkinkan ekspansi pengaruh keluar Jawa. Dengan latar belakang inilah, konflik dan interaksi antara Kadiri dan kerajaan-kerajaan Sumatra (sisa Sriwijaya maupun Malayu Dharmasraya) terjadi pada abad ke-12.
Kemunculan Dharmasraya dan Sisa-Sisa Sriwijaya di Sumatra
Sebelum membahas ekspansi Kadiri, penting memahami situasi Sumatra sekitar abad ke-12. Serangan Chola 1025 melemahkan Sriwijaya secara kritis: raja ditawan, Palembang hancur. Sejumlah kerajaan bawahan Sriwijaya memanfaatkan situasi untuk mandiri. Kerajaan Melayu (Malayu), yang terletak di hulu Sungai Batanghari (diperkirakan berpusat di Dharmasraya, kini Jambi), muncul sebagai calon pengganti hegemoni Sriwijaya. Bahkan ada pandangan bahwa Sriwijaya sebenarnya “reborn” sebagai Malayu – dengan kata lain, Malayu melanjutkan sisa kejayaan Sriwijaya di lokasi baru. Indikasinya, sumber Tiongkok tahun 1082 menyebut Sanfoqi mungkin telah berpindah ke Jambi. Tidak ada utusan “Sanfoqi/Sriwijaya” ke Tiongkok antara 1028–1077 M, menandakan kekosongan yang sejalan dengan kemungkinan keruntuhan Sriwijaya sekitar 1025 M. Utusan baru muncul 1088 dan 1178, yang kemungkinan mewakili Malayu-Dharmasraya tetapi masih disebut Sanfoqi oleh Tiongkok.
Di Sumatra bagian selatan, Palembang tetap eksis namun jelas kehilangan pamor. Kerajaan Sriwijaya di Palembang tampaknya terpecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil atau menjadi bawahan kekuatan baru. Bukti kronik Chau Ju-kua (1225) sangat penting: ia menyebut Palembang sebagai vasal dari Sanfoqi (Sriwijaya). Para ahli menginterpretasikan catatan ini sebagai konfirmasi bahwa raja Malayu di Jambi telah menundukkan Palembang di awal abad ke-13. Dalam kata lain, Sriwijaya “lama” berubah menjadi kerajaan kecil di Palembang, sedangkan kepemimpinan politik Sumatra diambil alih dinasti Mauli di Dharmasraya (Melayu Jambi).
Catatan asing dan temuan arkeologis mendukung skenario di atas. Prasasti Grahi (Chaiya, Semenanjung Melayu) bertarikh 1183 M memberikan petunjuk menarik mengenai Dharmasraya. Prasasti berbahasa Khmer kuno itu mengisahkan seorang penguasa bergelar Srimat Trailokyaraja Maulibhusanavarmadeva – identifikasi ini merujuk pada Maharaja Mauli dari Dharmasraya – yang memerintahkan pembuatan arca Buddha di Grahi (Ligor). Uniknya, pembuat arca tersebut adalah seorang seniman Jawa bernama Mraten Śrī Nāṇā. Kolaborasi ini menunjukkan hubungan erat antara kerajaan Dharmasraya di Sumatra dengan seniman atau tenaga ahli dari Jawa pada abad ke-12. Keberadaan seniman Jawa di proyek kerajaan Sumatra dapat diartikan sebagai interaksi budaya sekaligus indikasi pengaruh Kadiri di wilayah yang dulunya berada dalam lingkup Sriwijaya.
Selain itu, jejak arkeologis di Kompleks Candi Muaro Jambi – situs ibu kota Melayu Dharmasraya – mengonfirmasi kemakmuran dan dominasi Melayu pada periode ini. Situs Muaro Jambi (di tepi Batanghari) mencakup reruntuhan candi dan infrastruktur kota kuno seluas 12 km², yang diperkirakan aktif sejak abad ke-7 hingga ke-13 M. Para arkeolog menyimpulkan bahwa pada abad ke-12–13, Melayu-Dharmasraya menjadi kekuatan ekonomi dominan di Sumatra berkat kontrolnya atas jalur sungai penghasil emas dan komoditas ekspor. Kota Melayu mencapai puncak kejayaan hingga akhirnya mengalami serbuan dari Jawa (Singhasari) pada tahun 1278 – tetapi jauh sebelum itu, kedigdayaan ekonominya sudah menyaingi Sriwijaya lama.
Dengan konteks tersebut, sisa-sisa Sriwijaya di Sumatra abad ke-12 sebenarnya terpecah dua: Sriwijaya Palembang yang memudar, dan Melayu Dharmasraya yang tengah naik daun. Keduanya tidak terlepas dari perhatian Kerajaan Kadiri di Jawa, yang pada masa Jayabaya berada di puncak kekuatannya. Berikutnya akan diuraikan bagaimana Kadiri di bawah Jayabaya berinteraksi dengan entitas-entitas Sumatra ini – baik melalui ekspansi militer, tekanan ekonomi, maupun diplomasi – serta motivasi di balik tindakan tersebut.
Kadiri di Bawah Jayabaya: Ambisi dan Kejayaan
Sri Jayabhaya (Jayabaya) memerintah Kadiri sekitar tahun 1135–1159 M dan dikenang sebagai raja terbesar Kadiri. Di masa inilah Kadiri mencapai puncak kejayaan politik, ekonomi, dan kulturalnya. Jayabaya berhasil menyatukan kembali Jawa Timur yang sebelumnya terbelah, dengan menaklukkan Kerajaan Janggala pada awal pemerintahannya (sekitar 1140-an M). Prestasi ini mengakhiri dualisme kekuasaan warisan Airlangga dan memastikan Kadiri menjadi satu-satunya otoritas di Jawa Timur. Stabilitas internal ini menjadi landasan bagi Jayabaya untuk memakmurkan kerajaan dan melirik ekspansi ke luar Jawa.
Di bawah Jayabaya, wilayah Kadiri diklaim meluas meliputi seluruh Jawa dan beberapa pulau di Nusantara. Sumber-sumber tradisional menyebut pulau Bali, dan mungkin sebagian Kalimantan, berada di bawah pengaruh Kadiri. Walaupun bukti detail tentang penaklukan pulau-pulau tersebut minim, prasasti dan naskah menyiratkan Kadiri memang memiliki wibawa regional. Contohnya, Prasasti Jaring (dari masa Raja Sri Gandra, penerus Jayabaya) menyebut adanya jabatan Senapati Sarwwajala (lit. “panglima semua laut” atau laksamana). Ini menunjukkan Kadiri memiliki armada maritim yang kuat dan pejabat tinggi khusus untuk urusan kelautan. Penggunaan gelar laksamana pada abad ke-12 menandakan kesadaran kerajaan Jawa akan pentingnya kekuatan laut, sesuatu yang sebelumnya merupakan keunggulan Sriwijaya. Para sejarawan menafsirkan bahwa di era Jayabaya dan penerusnya, Kadiri mulai bertransformasi dari kerajaan agraris daratan menjadi kekuatan maritim-pesisir. Hal ini tentu berkaitan dengan kebutuhan mengamankan jalur perdagangan laut dan mengimbangi Sriwijaya.
Selain aspek militer, Jayabaya dikenal memajukan ekonomi dan kebudayaan Kadiri. Hasil bumi dari pedalaman Jawa (beras, hasil hutan seperti kayu cendana, rempah lokal, logam mulia dari perut bumi Jawa Timur) diperdagangkan melalui pelabuhan pesisir seperti Hujung Galuh (Surabaya) atau Tuban. Kadiri aktif menjalin hubungan dagang dengan pedagang asing, terutama dari India dan Tiongkok. Koin-koin Cina abad ke-12 ditemukan di sekitar delta Brantas, mengindikasikan adanya arus perdagangan langsung dengan Tiongkok di era Kadiri. Jayabaya juga konon mengirim utusan ke Tiongkok, meski catatan spesifiknya tidak banyak tersisa. Namun berita Tiongkok oleh Zhou Qufei (1178) yang menobatkan Jawa sebagai negeri kedua terkaya di dunia waktu itu secara implisit merupakan hasil dari politik ekonomi Jayabaya yang berhasil menarik kekayaan perdagangan ke Jawa.
Kemasyhuran Jayabaya juga dikaitkan dengan keadilan dan ramalan (ramalan Jayabaya termasyhur di kemudian hari), tetapi dalam konteks ekspansi, reputasinya sebagai Raja Penakluk lebih relevan. Kronik-kronik Jawa dan cerita Panji (yang berkembang di kemudian hari) melukiskan era Jayabaya sebagai era damai dan makmur di dalam negeri, namun juga era penaklukan keluar. Walaupun detail ekspansi luar Jawa tidak dijabarkan eksplisit dalam prasasti Jayabaya, dapat disimpulkan bahwa setelah menaklukkan Janggala, ambisi Jayabaya beralih menjangkau dominasi dagang di Nusantara – termasuk menantang sisa pengaruh Sriwijaya di Sumatra.
Motivasi Ekspansi Kadiri ke Sumatra
Ada beberapa motivasi kunci mengapa Kadiri (khususnya di masa Jayabaya) tertarik memperluas pengaruh ke Sumatra pada abad ke-12:
- Kontrol Jalur Perdagangan dan Kekayaan: Sumatra (khususnya Sriwijaya dan Dharmasraya) menguasai sumber daya berharga seperti emas, kapur barus, dan hasil hutan, serta menjadi perlintasan wajib perdagangan India–Tiongkok. Kadiri yang makmur agraris melihat peluang menambah kemakmuran lewat perdagangan maritim. Dengan melemahnya Sriwijaya, Kadiri berambisi menguasai jalur dagang selatan (melalui Selat Jawa dan Laut Cina Selatan) agar tak bergantung pada perantara Sumatra. Jika Kadiri bisa menarik kapal-kapal asing langsung ke Jawa, pajak dan upeti dagang akan mengalir ke kas Kadiri, bukan lagi ke Palembang. Bukti kronik Tiongkok menyebut Jawa melampaui Sumatra dalam hal kekayaan pada 1178 M mengindikasikan keberhasilan strategi ini: Kadiri berhasil merebut peran ekonomi yang dulu dipegang Sriwijaya.
- Keamanan dan Balas Dendam Historis: Sriwijaya pernah menjadi ancaman bagi Jawa (terutama peranannya dalam kehancuran Medang 1016). Penguasa Kadiri tentu mengingat sejarah pahit itu. Dengan tumbuhnya kekuatan Kadiri, mengikis sisa pengaruh Sriwijaya dapat dianggap sebagai langkah preventif agar Sumatra tidak lagi mengancam Jawa. Ini semacam balancing power di mana Kadiri memastikan tidak ada kekuatan maritim lain yang mendominasi di seberang Selat. Mungkin tak terucap langsung, namun sentimen rivalitas Jawa-Sumatra telah berakar sejak abad ke-10 (prasasti Anjukladang 937 bahkan menyebut tentara “Melayu” sebagai musuh yang dikalahkan Jawa). Jayabaya dan penerusnya kemungkinan termotivasi membalas dominasi lama Sriwijaya dengan cara menyingkirkan supremasinya di Sumatra.
- Ambisi Politik dan Status: Raja Jayabaya, seperti raja-raja kuno lain, mengadopsi konsep chakravartin (raja universal) atau dalam kepercayaan Jawa disebut Ratu Adil yang akan membawa kemakmuran luas. Ambisi ekspansi dapat juga didorong keinginan memperluas mandala kekuasaan Kadiri. Pada masa itu, kekuasaan dinilai juga dari seberapa jauh pengaruh seorang raja. Bila Jayabaya mampu menundukkan wilayah di Sumatra – meski hanya secara hegemoni simbolis – prestise Kadiri akan meningkat. Inilah motivasi ideologis: mewujudkan superioritas Jawa di antara kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Kelak konsep ini mencapai puncaknya di era Majapahit, tetapi cikal bakalnya sudah tampak di era Kadiri.
- Peluang Kosong Kekuasaan: Motivasi ekspansi tak lepas dari peluang. Abad ke-12 memberi momentum emas: Sriwijaya telah melemah, Dharmasraya masih tumbuh dan mungkin mencari kawan. Kadiri dapat tampil mengisi kekosongan. Alih-alih membiarkan kekuatan luar (misal dari Siam atau India) masuk, Kadiri kemungkinan merasa berhak “mengambil alih” sisa-sisa mandala Sriwijaya demi menjaga keseimbangan kekuasaan di Nusantara. Dalam pandangan geopolitik tradisional, wilayah yang tak kuat harus diisi kekuatan baru agar stabil. Kadiri pun termotivasi mengekspansi Sumatra sebelum pihak lain melakukannya.
Dengan motivasi-motivasi tersebut, ekspansi Kadiri ke Sumatra bukanlah sekadar petualangan militer, melainkan langkah strategis multi-aspek: ekonomi, keamanan, prestise, dan memanfaatkan vacuum of power. Selanjutnya, bagaimana cara Kadiri melakukan ekspansi ini?
Strategi Ekspansi: Militer, Maritim, dan Diplomasi
Kadiri di abad ke-12 menggunakan kombinasi strategi militer dan diplomasi untuk memperluas pengaruhnya di Sumatra:
- Kekuatan Maritim dan Militer: Seperti disinggung, Kadiri membangun angkatan laut yang tangguh. Adanya panglima angkatan laut (Senapati Sarwwajala) menunjukkan Kadiri siap mengerahkan kapal perang. Armada ini dapat berpatroli di Laut Jawa dan Selat Malaka. Walaupun tidak tercatat secara rinci ekspedisi militer Kadiri ke Sumatra pada masa Jayabaya, bukan mustahil Kadiri mengirim ekspedisi-ekspedisi maritim skala terbatas. Mungkin bukan penaklukan besar, tetapi cukup untuk unjuk kekuatan di perairan Sumatra. Misalnya, Kadiri bisa saja menyerang atau mengancam pelabuhan-pelabuhan bawahan Sriwijaya yang masih setia ke Palembang. Bahkan, kronik non-Jawa menyiratkan adanya “perang dengan Jawa” yang dialami Sriwijaya menjelang kemundurannya. Sumber facts & details menyebut Sriwijaya mengalami perang dengan Jawa pada masa kemundurannya sampai meminta bantuan ke Tiongkok. Ini memberi petunjuk bahwa konflik militer langsung antara armada Kadiri dan Sriwijaya mungkin pernah terjadi di pertengahan akhir abad ke-12. Bentrokan bisa berupa blokade perdagangan atau serbuan terhadap koloni/pangkalan Sriwijaya di Selat Malaka.
- Aliansi dan Hubungan Diplomatik: Kadiri kemungkinan menempuh jalur diplomasi dengan kerajaan Sumatra yang bersedia bekerjasama. Terutama Kerajaan Malayu Dharmasraya yang juga bermusuhan dengan Sriwijaya Palembang. Bisa dibayangkan Kadiri menjalin hubungan baik dengan Dharmasraya berbasis kepentingan bersama: mengikis dominasi Palembang. Hubungan ini bisa dalam bentuk pertukaran hadiah, perkawinan politik, atau kerjasama dagang. Bukti tidak langsung adalah Prasasti Grahi 1183 M tadi, yang melibatkan seniman Jawa bekerja untuk raja Dharmasraya. Hal ini mengindikasikan hubungan harmonis – setidaknya tidak bermusuhan – antara Dharmasraya dan Kadiri. Barangkali Kadiri mengakui kedaulatan raja Dharmasraya di Sumatra, dan sebagai imbalannya Dharmasraya membuka akses perdagangan bagi pedagang Jawa di pantai timur Sumatra. Diplomasi pernikahan juga dimungkinkan, meski tidak tercatat eksplisit. Pola umum kerajaan kuno, misalnya, menikahkan putri dengan penguasa asing untuk aliansi. Boleh jadi keluarga kerajaan Kadiri dan Dharmasraya terjalin ikatan di era ini (hipotesis ini diperkuat fakta bahwa nanti di abad ke-13, Raja Kertanegara Singhasari menikah dengan putri Malayu).
- Hegemoni Ekonomi dan Budaya: Strategi ekspansi tidak selalu berarti penaklukan militer. Kadiri bisa “menaklukkan” Sumatra secara ekonomi. Caranya: membuka pelabuhan-pelabuhan di Jawa dengan insentif tinggi (pajak rendah, keamanan terjamin) sehingga para pedagang mancanegara lebih memilih singgah di Jawa ketimbang Sumatra. Ini akan melemahkan ekonomi Sriwijaya karena kehilangan pendapatan bea. Fakta sejarah menunjukkan pada abad ke-12 memang Jawa tampil sebagai pusat perdagangan baru, terbukti dari catatan Tiongkok tentang kekayaannya. Kadiri juga dapat menguasai komoditas kunci – misal, membina relasi langsung dengan daerah penghasil lada di Lampung atau rempah di Maluku, sehingga kapal Sriwijaya kehilangan monopoli. Selain itu, penyebaran budaya Jawa ke Sumatra bisa menjadi senjata halus. Kesenian, sastra, dan agama dari Jawa yang disebarkan akan meningkatkan pengaruh. Misalnya, kisah-kisah wayang atau Kakawin dari Jawa mungkin dikenal di istana Dharmasraya. Ketika pengaruh budaya Jawa merasuk, hegemoninya kian kuat tanpa perlu angkat senjata.
- Tributary dan Vasalisasi: Meskipun tidak tercatat jelas, mungkin ada kerajaan-kerajaan kecil di Sumatra bagian selatan-tengah yang beralih kesetiaan ke Kadiri. Dalam sistem mandala, jika pusat lama (Sriwijaya) melemah, vasal-vasalnya bisa mencari patron baru. Kadiri berpeluang mengambil alih peran patron bagi misalnya kerajaan di Lampung atau Bangka-Belitung. Dengan menjadikan mereka taklukan/sekutu Kadiri, Jayabaya memperluas pengaruh tanpa harus menguasai langsung wilayah seberang lautan. Bukti deskripsi dari Britannica menyebut di akhir abad ke-12, Melayu Jambi menjadi vassal (bawahan) Jawa. Ini mungkin merujuk pada kondisi pasca ekspedisi Singhasari (1275) secara definitif, namun ada kemungkinan cikal bakal vasalisasi telah dimulai sejak era Kadiri. Paling tidak secara de facto, kerajaan Sumatra mengakui supremasi Jawa demi keamanan dan kelangsungan dagang.
Kesemua strategi di atas bukanlah opsi yang saling eksklusif – besar kemungkinan Kadiri menerapkan gabungan semuanya sesuai kebutuhan. Jika jalan diplomasi terbuka (seperti dengan Dharmasraya), maka Kadiri memanfaatkannya. Terhadap sisa Sriwijaya yang keras kepala (Palembang), mungkin tekanan militer dan ekonomi diberlakukan. Yang jelas, tidak ada catatan Kadiri menduduki Sumatra secara permanen (tidak ada gubernur Jawa di Sumatra di abad ke-12), sehingga ekspansi di sini lebih tepat dipahami sebagai ekspansi pengaruh atau hegemoni ketimbang penjajahan teritorial.
Interaksi Kadiri dengan Kerajaan-Kerajaan di Sumatra
Pada masa Jayabaya dan sepeninggalnya (hingga awal abad ke-13), interaksi Kadiri dengan kerajaan-kerajaan di Sumatra berlangsung dalam beberapa bentuk:
1. Kadiri dan Sriwijaya Palembang: Interaksi ini bercorak rivalitas. Sriwijaya Palembang yang tersisa berusaha mempertahankan sisa wibawanya, sedangkan Kadiri berusaha merebutnya. Sumber Tiongkok mencatat bahwa raja Sriwijaya mengirim utusan ke Tiongkok meminta bantuan melawan serangan Jawa. Ini menunjukkan adanya konflik langsung – kemungkinan serangan armada Kadiri ke wilayah Sriwijaya atau sabotase terhadap kepentingannya. Kita dapat membayangkan bahwa kapal-kapal Kadiri mungkin menantang Sriwijaya di Selat Malaka, merebut kapal dagang yang hendak ke Palembang, atau bahkan menyerang kota pelabuhan Sriwijaya (misal Palembang atau Kedah). Sriwijaya, terdesak, mencoba mencari perlindungan diplomatik dari Kaisar Tiongkok namun tampaknya tidak efektif. Akibat tekanan ini, pengaruh Sriwijaya di Sumatra selatan dan tengah surut drastis. Jika sebelumnya Sriwijaya mengklaim kedaulatan sampai Selat Sunda, kini klaim itu hampa. Pada awal abad ke-13, catatan Chau Ju-kua menyebut memang Sriwijaya masih “negara terkaya ketiga” setelah Arab dan Jawa, namun pada saat yang sama ia melaporkan Sriwijaya telah kehilangan beberapa koloni yang memerdekakan diri. Hal ini termasuk koloni di Semenanjung Malaya dan mungkin Sumatra bagian utara. Lepasnya koloni-koloni Sriwijaya ini tak lepas dari bayang-bayang pengaruh Jawa – entah terinspirasi kekuatan baru Kadiri atau dibantu secara langsung. Intinya, interaksi Kadiri–Sriwijaya di abad ke-12 berujung pada pudarnya pamor Sriwijaya dan akhir supremasi Palembang setelah berkuasa berabad-abad.
2. Kadiri dan Dharmasraya (Melayu Jambi): Interaksi ini cenderung bersahabat dan kooperatif. Dharmasraya yang dipimpin Dinasti Mauli kemungkinan menyadari bahwa bertikai dengan Kadiri tidak menguntungkan. Sebaliknya, dengan bersahabat, Dharmasraya dapat memukul Palembang sekaligus tetap makmur. Maka, terjalinlah semacam hubungan simbiosis: Kadiri mendapatkan akses dagang ke Sumatra (emas dan hasil hutan dari Jambi) tanpa perlawanan, sedangkan Dharmasraya mendapatkan dukungan dan mungkin perlindungan dari Kadiri. Prasasti Grahi 1183 yang telah dibahas adalah bukti konkret hubungan erat – seniman Jawa dipekerjakan oleh Raja Dharmasraya. Ini menandakan kepercayaan politik, sebab biasanya pengerjaan arca suci akan diberikan kepada pihak yang dapat dipercaya. Selain itu, bukan mustahil Kadiri menyalurkan pengaruh kebudayaan ke istana Dharmasraya. Sastra Jawa seperti Kakawin mungkin dikenal di Sumatra saat itu, mengingat belakangan (abad ke-14) Adityawarman, seorang bangsawan Jawa, menjadi raja Malayu dan menulis prasasti di Dharmasraya. Interaksi positif ini dapat disimpulkan bahwa Kadiri menganggap Dharmasraya sekutu, bukan musuh. Bahkan, ada kemungkinan Kadiri mengakui Dharmasraya sebagai penerus sah Sriwijaya dan menjalin persahabatan setara. Sejarawan mengungkap, pada akhirnya Dharmasraya memang menjadi bawahan Jawa (Singhasari/Majapahit) di akhir abad ke-13, namun benih ketundukan itu mungkin sudah muncul sejak mereka beraliansi dengan Kadiri. Dengan kata lain, Dharmasraya perlahan masuk dalam lingkup pengaruh (mandala) Jawa secara sukarela.
3. Kadiri dan Politi Lokal Lain: Selain dua kekuatan utama di atas, Sumatra abad ke-12 juga memiliki entitas lain: misalnya Lamuri di Aceh, atau kerajaan-kerajaan kecil di Minangkabau dan Palembang pedalaman. Bukti langsung interaksi Kadiri dengan mereka minim. Namun, dampak tidak langsungnya jelas – ketika Kadiri menguasai laut, kerajaan pesisir Sumatra kecil tak punya pilihan selain ikut dalam tatanan baru. Mungkin mereka beralih berhubungan dagang dengan Jawa lebih sering daripada dengan Palembang. Ada catatan bahwa di awal abad ke-13, Kerajaan Sunda (Barat Jawa) berdagang merdeka dan lada Sunda menjadi komoditas unggulan. Ini menandakan wilayah luar Jawa lain juga mengambil peran setelah Sriwijaya mundur. Walau Sunda bukan di Sumatra, paralelnya adalah wilayah pesisir Sumatra pun memanfaatkan ketiadaan Sriwijaya untuk bergerak sendiri. Kadiri mungkin tak menjalin hubungan langsung dengan setiap negeri kecil, tetapi kehadiran hegemoni Kadiri menciptakan tatanan baru di mana tidak ada lagi satu kerajaan Sumatra yang menguasai semuanya seperti dulu Sriwijaya, melainkan beberapa negeri di Sumatra berhubungan sejajar dengan Jawa.
Secara keseluruhan, interaksi Kadiri dengan Sumatra di abad ke-12 bermuara pada perubahan orientasi politik Sumatra: dari terpusat di Palembang menjadi terpecah antara kekuatan lokal (Dharmasraya) dan pengaruh Jawa. Sriwijaya yang dahulu menaungi Jawa, kini posisinya terbalik – Sriwijaya/Melayu cenderung berada di bawah bayang-bayang Kadiri. Hal ini merupakan pergeseran historis penting bagi Nusantara.
Dampak Ekspansi Kadiri terhadap Peta Kekuasaan di Sumatra
Dampak ekspansi dan konflik Kadiri abad ke-12 terhadap Sumatra bagian tengah dan selatan sangat signifikan, antara lain:
- Berakhirnya Hegemoni Sriwijaya: Rangkaian peristiwa abad ke-12 menutup babak panjang kejayaan Sriwijaya. Jika pada abad ke-10 Sriwijaya merajai Sumatra dan sekitarnya, maka pada akhir abad ke-12 Sriwijaya tinggal bayang-bayang. Encyclopaedia Britannica mencatat bahwa di penghujung abad ke-12, Sriwijaya telah susut menjadi kerajaan kecil, dan peran dominannya di Sumatra digantikan oleh Malayu di Jambi yang menjadi vasal Jawa. Secara de facto, Sriwijaya Palembang tak lagi berkuasa atas Sumatra Tengah/Selatan; kekuasaannya terbatasi mungkin hanya sekitar Palembang dan sekitarnya. Ini merupakan perubahan geopolitik besar: pulau Sumatra tak lagi dipersatukan oleh satu imperium maritim.
- Kebangkitan Kerajaan Dharmasraya (Melayu): Kosongnya dominasi Palembang memungkinkan Malayu Dharmasraya bersinar. Ekspansi pengaruh Kadiri ironisnya ikut membantu kebesaran Dharmasraya, karena dengan tertekannya Palembang, Dharmasraya bebas memperluas pengaruhnya ke hilir. Dharmasraya mengontrol rute perdagangan sungai emas dan komoditas, sehingga menjadi kaya dan kuat. Candi-candi dan kota di Muaro Jambi berkembang pesat. Malayu menjadi penerus peradaban Sumatra, tentu dengan corak baru namun sebagian mewarisi tradisi Sriwijaya. Nantinya Dharmasraya menjadi target ekspedisi Singhasari di tahun 1275 (Ekspedisi Pamalayu), tapi itu babak selanjutnya. Intinya, dampak abad ke-12 memastikan pusat kekuatan Sumatra bergeser ke wilayah pedalaman Jambi.
- Dominasi Ekonomi Jawa atas Sumatra: Sejak akhir abad ke-12, dapat dikatakan Jawa (Kadiri) mengungguli Sumatra dalam kekayaan dan pengaruh ekonomi. Catatan Tiongkok Zhou Qufei (1178) dan Chau Ju-kua (1225) menegaskan posisi Jawa yang sangat kuat dalam perdagangan. Sumatra (Sriwijaya) yang tadinya pusat niaga internasional, mulai dipandang nomor dua setelah Jawa. Arus perdagangan beralih sehingga banyak kekayaan Nusantara mengalir ke Jawa. Hal ini mempersiapkan jalan bagi era selanjutnya (Singhasari/Majapahit) di mana Jawa menjadi pusat imperium kepulauan. Namun fondasinya sudah diletakkan di masa Kadiri-Jayabaya: yakni kontrol jalur laut dan jaringan niaga berpindah tangan. Sumatra bagian selatan dan tengah yang dahulu jantung Sriwijaya harus rela menjadi pemasok komoditas bagi pasar yang dikendalikan Jawa. Dampak ini bersifat jangka panjang, tercermin hingga masa kolonial bahwa Jawa kerap dianggap pusat dan Sumatra sebagai hinterland – akar historisnya salah satunya di sini.
- Perubahan Aliansi dan Tatanan Kekuasaan Lokal: Dengan perubahan besar, kerajaan-kerajaan kecil Sumatra harus menata ulang aliansi mereka. Ada yang bertahan independen, ada yang merapat ke Malayu, atau langsung berhubungan dengan Jawa. Misal, Kerajaan Palembang sendiri setelah lepas hegemoni, sempat menjadi negeri bawahan (vasal) Malayu atau bahkan Mongol (sempat ada ekspedisi Mongol 1293 menghukum Palembang). Palembang juga kelak ditundukkan Majapahit tahun 1377. Semua ini tak lepas dari titik balik abad ke-12: sekali hegemon Sriwijaya runtuh, Sumatra tak pernah lagi bersatu di bawah satu kerajaan lokal hingga berabad-abad kemudian. Dampaknya, Majapahit bisa menaklukkan Sumatra bagian selatan dan tengah relatif mudah di abad ke-14 karena terfragmentasi. Jadi ekspansi Kadiri membuka pintu dominasi Jawa lebih lanjut.
- Pembauran Budaya Jawa-Sumatra: Sebagai efek samping, interaksi erat Kadiri dengan Sumatra memicu pertukaran budaya. Bahasa Jawa Kuno dan aksara Jawa mungkin digunakan di Sumatra (terbukti di prasasti Grahi digunakan aksara Sumatra namun dengan kata-kata Jawa pula). Seni arsitektur Jawa memberi pengaruh pada bangunan di Muaro Jambi (meskipun candi di sana bergaya Sumatra, ada kemiripan konsep dengan Jawa, seperti tata letak percandian yang luas). Sebaliknya, Jawa juga mengadopsi beberapa elemen Sumatra – misal, komoditas dan kosa kata Melayu masuk ke Jawa. Hubungan harmonis Jayabaya-Dharmasraya menyiapkan akulturasi yang puncaknya terlihat pada masa Majapahit ketika Adityawarman (keturunan Jawa-Sumatra) memerintah di Sumatra. Secara umum, dampak ekspansi Kadiri menciptakan koneksi Jawa-Sumatra lebih kuat daripada sebelumnya, meskipun dalam bingkai Jawa sebagai pusat.
Bukti-Bukti Sejarah dan Pandangan Sejarawan Modern
Seluruh paparan di atas didukung oleh berbagai bukti sejarah yang berhasil diidentifikasi, serta analisis para sejarawan:
- Prasasti dan Inskripsi:
- Prasasti Hantang/Ngantang (sekitar 1135 M) yang berbunyi “Panjalu Jayati” menandai awal kejayaan Jayabaya dan memberi konteks suasana ekspansif Kadiri.
- Prasasti Jaring (1170-an M) menunjukkan organisasi militer Kadiri yang maju dengan adanya laksamana, mengindikasikan kesiapan ekspedisi maritim.
- Prasasti Talan (1136 M) mencatat anugerah Jayabaya dan penyebutan cap garuda, menghubungkan Jayabaya dengan pendahulunya Airlangga – ini lebih internal, namun memperlihatkan legitimasi Jayabaya sebagai pewaris sah tradisi raja besar (memberi kepercayaan diri untuk ekspansi).
- Prasasti Anjukladang (937 M) meski jauh lebih awal, jadi bukti tertulis pertama bahwa Jawa pernah berkonflik dengan “Melayu (Sriwijaya)”, menegaskan konteks rivalitas historis Jawa-Sumatra.
- Prasasti Grahi (1183 M) menjadi bukti kunci hubungan Dharmasraya-Jawa, menyebut Maharaja Trailokyaraja Maulibhusana dari Dharmasraya memerintahkan patung Buddha oleh seniman Jawa – bukti kolaborasi politik-budaya.
- Prasasti Padang Roco (1286 M) dan Amoghapasa (1347 M) – meski di luar periode, menegaskan kontinuitas Dharmasraya sebagai penerus Sriwijaya dan hubungannya dengan Jawa (dalam hal ini Singhasari/Majapahit), konsisten dengan arah sejarah yang dibentuk abad ke-12.
- Catatan Asing (Cina dan India):
- Kronik Ling-wai-dai-da (1178) oleh Zhou Qufei menyatakan urutan negeri terkaya: 1) Arab (Khalifah Abbasiyah), 2) Jawa (Kadiri di bawah Jayabaya), 3) Sumatra (Sriwijaya). Ini sumber primer yang menunjukkan posisi ekonomi Kadiri melampaui Sriwijaya – implikasi ekspansi ekonomi berhasil.
- Laporan Zhu Fan Zhi (1225) oleh Chau Ju-kua mencatat Sanfoqi (Sriwijaya) telah berubah situasi: Palembang menjadi vasal Malayu. Juga disebut bahwa beberapa bekas daerah taklukan Sriwijaya di Semenanjung dan Jawa Barat melepaskan diri. Ini semua menggarisbawahi efek dominasi Jawa dan kemunduran Sriwijaya pasca abad ke-12.
- Song Shi (Sejarah Dinasti Song) merekam utusan Sanfoqi terakhir 1178, mengindikasikan setelah itu Malayu mengambil alih (karena utusan selanjutnya di abad 13 mewakili Malayu). Song Shi juga memuat catatan serangan Jawa ke Sriwijaya sekitar 992 M (ekspedisi Dharmawangsa) dan pembalasan 1016, meski singkat, namun memberi konteks.
- Sumber India: Inskripsi Tanjore (Thanjavur) dari Kerajaan Chola (1030 M) menyebut penaklukan Sriwijaya dan Malayur. Di sana “Malaiyur” disebut berperenggan gunung kuat, yang merujuk Malayu di Sumatra. Ini mendukung bahwa Malayu telah eksis di awal abad ke-11 dan kemudian tampil menggantikan Palembang.
- Catatan Arab dan Eropa juga ada implikasi: traveler Arab/Persia abad 12–13 memandang Sumatra bukan lagi satu imperium melainkan berbagai negeri (contoh Marco Polo 1290-an singgah di Sumatra menyebut beberapa kerajaan terpisah, bukan satu Sriwijaya lagi).
- Pandangan Sejarawan Modern:
Para ahli sejarah sepakat bahwa abad ke-12 merupakan titik transisi kekuasaan dari Sumatra ke Jawa. Sejarawan O.W. Wolters dalam The Fall of Srivijaya in Malay History menjelaskan kemerosotan Sriwijaya ditandai keretakan hubungan pusat-daerah dan bangkitnya kekuatan regional seperti Malayu, seiring tekanan dari Jawa dan serangan asing. Wolters menekankan Sriwijaya tidak jatuh mendadak, melainkan mundur perlahan seiring faktor tersebut. Sementara itu, sejarawan seperti George Coedès menulis bahwa setelah serangan Chola, Sriwijaya berangsur hilang peran, digantikan kerajaan berbasis agraris seperti Kadiri (yang turut mengembangkan armada niaga). Coedès juga mengaitkan kemunculan Majapahit nantinya sebagai kelanjutan logis dari pengambilalihan peran Sriwijaya oleh Jawa. Encyclopaedia Britannica (2025) menegaskan hal serupa: pada akhir abad ke-12, dominasi di Sumatra beralih ke Malayu Jambi di bawah pengaruh Jawa, diikuti hegemoni Majapahit kemudian hari.Sejarawan Indonesia, seperti Prof. Slamet Muljana, dalam karyanya tentang Sriwijaya juga menyebut bahwa “Kemunduran Sriwijaya disebabkan pukulan Rajendra Chola serta persaingan dengan Jawa, membuat Sriwijaya kehilangan pamor dan Malayu muncul mengambil alih”. Ia melihat ekspedisi Pamalayu Singhasari 1275 hanya mungkin berhasil karena proses pelemahan Sriwijaya sudah berlangsung lama sejak era Kadiri. Demikian pula sejarawan Dr. Boechari berpendapat bahwa ramalan Jayabaya tentang “Ratu Adil” dan kejayaan Jawa bisa jadi refleksi kepercayaan diri orang Jawa pasca tumbangnya dominasi Sriwijaya – semacam justifikasi spiritual bahwa era kekuasaan Jawa telah tiba.Secara keseluruhan, historiografi modern mengakui peran ekspansi Kadiri (Jawa) dalam mengakhiri era Sriwijaya dan mengubah lanskap kekuasaan Nusantara. Meskipun tidak selalu diekspresikan sebagai “penaklukan” langsung, melainkan melalui dominasi ekonomi-maritim, dampaknya setara dengan penaklukan: pergeseran pusat kekuasaan dari Sumatra ke Jawa. Sejarawan melihat abad ke-12 sebagai masa transisi penting sebelum kemunculan kekaisaran Majapahit. Kadiri di bawah Jayabaya membuka jalan itu dengan melemahkan pilar lama (Sriwijaya) dan mendorong pusat baru (Jawa).
Sejarah konflik dan ekspansi Kerajaan Kadiri ke Sumatra pada abad ke-12 merupakan kisah tentang perubahan hegemoni regional. Didahului keruntuhan Sriwijaya akibat serangan Chola dan perpecahan internal, Jawa (Kadiri) di bawah Raja Jayabaya tampil sebagai kekuatan baru yang menantang dominasi lama. Melalui kekuatan militer maritim, manuver dagang, dan aliansi strategis (terutama dengan Malayu Dharmasraya), Kadiri berhasil mengikis pengaruh Sriwijaya di Sumatra. Dampaknya, peta politik Sumatra berubah total: Sriwijaya Palembang kehilangan supremasi, digantikan kerajaan Malayu di Jambi yang berada dalam lingkup pengaruh Jawa. Jalur perdagangan pun beralih, menjadikan Jawa pusat kemakmuran baru di Asia Tenggara. Seluruh proses ini didokumentasikan melalui prasasti lokal dan catatan asing, yang ketika dirangkai memberi gambaran jelas bahwa abad ke-12 adalah masa peralihan dari “Zaman Sriwijaya” menuju “Zaman Jawa”.
Ekspansi Kadiri bukan ekspansi teritorial langsung, melainkan lebih sebagai ekspansi kekuasaan dan pengaruh. Jayabaya tidak perlu menaklukkan Sumatra secara fisik untuk memastikan dominasi Kadiri – cukup dengan menguasai laut dan mengendalikan ekonomi, ia sudah “menaklukkan” Sumatra. Kondisi ini kemudian diwarisi Kerajaan Singhasari dan Majapahit, yang dengan mudah memperluas kekuasaan ke Sumatra karena pondasi hegemoninya telah diletakkan Kadiri. Bukti sejarah seperti kronik Tiongkok Chau Ju-kua menegaskan di akhir 12th century, Malayu Jambi mengambil alih peran Sriwijaya dan menjadi vasal Jawa, menandai berakhirnya era Sriwijaya.
Dengan demikian, narasi sejarah abad ke-12 ini menunjukkan dinamika interaksi Jawa–Sumatra yang kompleks tetapi menentukan: konflik militer, persaingan dagang, diplomasi budaya, semua berkelindan. Dari persaingan itu, Kadiri di era Jayabaya muncul sebagai pemenang tak langsung – tanpa mahkota Sumatra di tangan sekalipun, pengaruhnya mengubah keseimbangan kekuasaan. Sumatra bagian tengah dan selatan memasuki babak baru di bawah bayang-bayang Jawa, sementara nama besar Sriwijaya berangsur surut digantikan pamor baru Kadiri. Kisah ini menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Nusantara, menandai estafet supremasi dari satu kerajaan maritim besar ke kerajaan besar lainnya, dengan Jayabaya sebagai salah satu aktor utamanya.
🕮 Referensi Sejarah & Prasasti
- Prasasti Anjukladang (c. 937 M) – mencatat adanya konflik antara Jawa dan Melayu (Sriwijaya) pada abad ke-10, menandai rivalitas awal Jawa–Sumatra (en.wikipedia.org, en.wikipedia.org)
- Prasasti Hantang (Ngantang, 1135 M) – menyebut semboyan “Panjalu Jayati”, menandai kemenangan Kadiri atas Janggala oleh Jayabhaya (en.wikipedia.org)
- Prasasti Jaring (~1181 M) – menyebut jabatan Senapati Sarwwajala (laksamana laut), mengindikasikan kesiapan angkatan laut Kadiri (reformasiindonesia.com)
- Prasasti Grahi (Chaiya, 1183 M) – menyebut Maharaja Trailokyaraja Maulibhusana dari Dharmasraya memerintahkan seorang seniman Jawa (Mraten Śrī Nāṇā) membuat arca Buddha, bukti interaksi budaya-politik Sumatra–Jawa (en.wikipedia.org)
📜 Sumber Asing (Cina, India)
- Ling‑wai‑tai‑ta (Zhou Qufei, 1178 M) – menyatakan Jawa (Kadiri) sebagai negeri terkaya kedua setelah Arab, mengungguli Sumatra (Sriwijaya) (en.wikipedia.org)
- Zhu Fan Zhi (Chau Ju‑kua, 1225 M) – menyebut Palembang sebagai vasal Sanfoqi (Sriwijaya) dan menandakan dominasi Malayu/Dharmasraya bosan di bawah hegemoni Jawa (en.wikipedia.org)
- Inskripsi Tanjore (Kerajaan Chola, awal 11 M) – mencatat penyerangan Sriwijaya dan keberadaan Melayu sebagai entitas awal yang kemudian menggantikan dominasi Sriwijaya (slideshare.net)
📚 Sejarawan dan Penelitian Modern
- O. W. Wolters dalam The Fall of Srivijaya in Malay History – menegaskan kemuduran Sriwijaya dan kebangkitan Malayu sebagai akibat tekanan internal dan intervensi Jawa
- George Coedès – membahas runtuhnya Sriwijaya dan munculnya kerajaan agraris seperti Kadiri yang kemudian menjadi pengganti daya hegemoni lama (id.wikipedia.org)
- Slamet Muljana – dalam Sriwijaya, menilai konflik Jawa–Sriwijaya dan ekspansi Kadiri merupakan fase penting pergantian kekuatan ke Jawa (en.wikipedia.org)
🧩 Entri Ensiklopedia & Umum
- Wikipedia Bahasa Indonesia – Kerajaan Kadiri & Sriwijaya – memberikan garis waktu, informasi tokoh seperti Jayabhaya, dan ringkasan dinamika politik Nusantara abad ke-11–12
- Wikipedia – Kerajaan Dharmasraya dan Dinasti Mauli – menjelaskan silsilah raja Mauli dan keterlibatan dalam Grahi 1183 serta perkembangan Malayu sebagai penerus Sriwijaya (en.wikipedia.org)