Perang Kerajaan Majapahit Dan Kerajaan Palembang (1350M)

Perang Majapahit melawan Palembang sekitar tahun 1350-an, yang merupakan bagian dari ekspedisi militer Majapahit ke bekas wilayah Sriwijaya di Sumatra.

Latar Belakang Ekspansi Majapahit ke Sumatra

Pada pertengahan abad ke-14, Kerajaan Majapahit di Jawa mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk (1350–1389) dengan Mahapatih Gajah Mada sebagai panglima sekaligus arsitek ekspansi politiknya. Sejak awal masa kekuasaan ini, Majapahit meneruskan kebijakan politik mandala – menguasai daerah-daerah tetangga agar menjadi pagar (penyangga) yang melindungi pusat kerajaan. Gajah Mada bahkan bersumpah Palapa (1336 Saka/1334 M) untuk tidak “amukti palapa” (menikmati kemantapan istirahat) sebelum seluruh Nusantara takluk kepada Majapahit. Dalam teks Pararaton tercatat sumpah tersebut mencakup wilayah-wilayah utama yang harus ditaklukkan, antara lain Bali, Sunda, Tumasik, dan Palembang di Sumatra Selatan. Dengan demikian, penaklukan Palembang—bekas pusat Sriwijaya yang kini berada di bawah pengaruh kesultanan Melayu (Dharmasraya)–masuk sebagai sasaran strategis kebijakan Majapahit.

Sebelum ekspedisi Majapahit, Sumatra bagian selatan memang sudah sempat dikuasai Sriwijaya (abad ke-7–13). Setelah Sriwijaya melemah, muncul negara Melayu baru dengan pusat kekuasaan di Dharmasraya (kini Jambi) dan Pagaruyung (Minangkabau). Pada akhir abad ke-13, Raja Kertanegara Singasari pernah mengirim Ekspedisi Pamalayu (1275–1290) yang bertujuan menghadapi ancaman Mongol sekaligus mempererat pengaruh ke Sumatra. Hasilnya, keturunan Sriwijaya diangkat sebagai raja bawahan di Sumatra (contoh: Akarendrawarman) dan seterusnya rumpun Melayu-Jawa terjalin lewat pernikahan politika. Kebijakan ini diwariskan oleh Majapahit. Pada tahun 1347, seturut prasasti Kuburajo (Kapalo Bukit Gombak I) dari Pagaruyung, Adityawarman diangkat sebagai penguasa bawahan Majapahit di Melayu (Sumatra). Ia memindahkan ibu kota Melayu ke Pagaruyung (yang ia sebut Malayapura) namun tetap mengabdi pada Majapahit. Arca Amoghapasa (1347 M) di Jambi mencatat Adityawarman sebagai “Maharajadiraja” yang membawahi Dharmasraya dan Palembang. Artinya, sejak pertengahan abad ke-14, Majapahit melalui Adityawarman telah menegaskan pengaruhnya di Sumatra, menjadikan kerajaan-kerajaan Melayu di sana sebagai daerah bawahan.

Negarakertagama (1365), kakawin puji-pujian masa Hayam Wuruk, memuat daftar lengkap wilayah kekuasaan Majapahit. Dalam pupuh ke-13 tercatat bahwa Sumatra (“Melayu”) dibawah kekuasaan Majapahit, meliputi Jambi, Palembang, Toba, Dharmasraya, dan wilayah-wilayah lainnya hingga Lampung. Ini menegaskan secara resmi bahwa Palembang dianggap “negeri bawahan” Majapahit pada masa itu. Secara keseluruhan, kekuasaan politik Majapahit di Nusantara pada abad ke-14 sangat luas, mulai dari pesisir barat Sumatra hingga Maluku di timur. Dalam konteks ini, Palembang—yang letaknya strategis di Muara Sungai Musi—menjadi sasaran penting untuk menguasai jalur perdagangan rempah dan pengaruh di Sumatra Selatan.

Kondisi Palembang dan Sumatra Selatan sebelum Ekspedisi

Menjelang ekspedisi Majapahit, Palembang merupakan pusat kekuasaan di daerah Sumatra Selatan. Sejumlah sumber (termasuk catatan Dinasti Ming) menyebut Palembang masih dipimpin “raja” lokal yang berkedudukan di Muara Musi. Misalnya, catatan Tiongkok Dinasti Ming mengidentifikasi tiga raja di pulau Sumatra pada pertengahan abad ke-14: Adityawarman (menguasai Melayu/Jambi), seorang “Maharaja Palembang”, dan “Maharaja Dharmasraya”. Nama raja Palembang ini ditranskripsikan sebagai Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang). Artinya, sebelum konfrontasi dengan Majapahit, Palembang masih memiliki istana kerajaan sendiri, meskipun pengaruh agama Hindu-Buddha mulai meluas.

Secara sosial, penduduk Palembang (yang sering disebut orang Ulu) diperkirakan mayoritas masih memeluk animisme atau bentuk awal kepercayaan Hindu-Buddha. Adanya penemuan arca-arca Siwa, Wisnu, dan Brahma di wilayah Palembang Timur mengindikasikan Hindu tetap hadir. Menurut Balai Arkeologi Palembang, tiga arca perunggu tersebut berasal dari era Majapahit, ditandai oleh mahkota dan hiasan kepala khas seni Majapahit. Selain itu, di kompleks makam Keramat Syahzabillah (Komplek Gedung Suro) di Palembang terdapat bangunan berteras bertingkat dengan ornamen roset dan salib—ciri khas arsitektur Majapahit. Artifak dan arsitektur ini menunjukkan adanya kontak budaya Jawa; entah dibawa oleh utusan Majapahit seperti pendeta Hindu ataupun komunitas keturunan Jawa di Palembang. Meski begitu, pengaruh budaya Majapahit di Palembang relatif sedikit, sehingga Palembang tetap berstatus semi-otonom hingga abad ke-14.

Tokoh-Tokoh Kunci

Di pihak Majapahit, yang paling menonjol adalah Raja Hayam Wuruk sebagai penguasa tertinggi, dibantu Mahapatih Gajah Mada selaku komandan ekspedisi. Gajah Mada sudah sejak menjabat Patih Amangkubhumi (1336 Saka/1334 M) bertekad menundukkan seluruh Nusantara melalui Sumpah Palapa. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Gajah Mada bahkan didampingi tokoh-tokoh penting lain seperti Adityawarman. Adityawarman – keturunan Wangsa Mauli (Sumatra) sekaligus pangeran Majapahit – dipercaya memimpin misi ke Melayu. Dalam beberapa sumber (kidung dan babad) Adityawarman diidentifikasi dengan tokoh bernama Arya Damar, yang disebut-sebut sebagai adipati Palembang yang terlibat dalam penaklukan Bali oleh Gajah Mada (1343 M). Ini menunjukkan Adityawarman memiliki kedudukan menonjol dalam lingkar dalam Majapahit dan kemungkinan menguasai wilayah Sumatra tengah-selatan sebagai bawahan Majapahit.

Tokoh Palembang yang memimpin pertahanan adalah seorang maharaja lokal. Beberapa versi cerita menyebut namanya Maharaja Bagus Kuning, dibantu seorang mahapatih (Lawang Kencana). Bukti sejarah langsung tentang figur ini sangat terbatas. Namun catatan Tiongkok dan cerita lokal Palembang menunjukkan bahwa Palembang dipimpin oleh keluarga bangsawan tetap, yang mempersiapkan benteng dan pertahanan kota di tepi Musi. Raja Palembang juga disebut sering bergelar “Sultan” dalam sumber-sumber Islam sesudahnya, tetapi pada abad ke-14 pengaruh Islam di sini masih belum dominan. Tokoh kuncinya adalah raja itu sendiri beserta pejabat istana dan suku bangsa Melayu Ulu setempat.

Kronologi Ekspedisi ke Palembang

Rangkaian penyerangan Majapahit terhadap Palembang tak tercatat detail dalam satu sumber tersendiri, sehingga harus disusun berdasarkan beberapa bukti. Berikut adalah kronologi kira-kira:

  • Sebelum 1347. Majapahit bersiap lewat penempatan Adityawarman sebagai wakil di Sumatra. Menjelang 1343 M, Gajah Mada bersama Adityawarman melaksanakan operasi militer di Bali (menurut Babad Tabanan). Aktivitas ini menunjukkan kesiapan armada laut Majapahit dan jala-jala informasi ke Nusantara. Pada 1347, prasasti Kuburajo mencatat terbentuknya Malayapura (Pagaruyung) di bawah Adityawarman, sehingga wilayah Melayu (termasuk Dharmasraya) dianggap aman untuk waktu tersebut.
  • Pertengahan 1340-an. Pada masa ini, kemungkinan Gajah Mada mengirim armada ke Sumatra. Beberapa penelitian modern menyebutkan bahwa Majapahit menggunakan kombinasi diplomasi dan tekanan militer. Misalnya, menurut riwayat tradisional, Adityawarman mengirim surat kepada Maharaja Palembang yang meminta kerjasama: jika Palembang mau bergabung di bawah Majapahit, istana dan tahta raja tidak akan diganggu, bahkan akan dibantu mempertahankan diri dari musuh lain. Namun jika menolak, pasukan Majapahit siap menduduki kota Palembang. Surat itu akhirnya direspon dengan penolakan: raja Palembang menegaskan kerajaan mereka tidak pernah dijajah siapa pun.
  • Penyerangan Militer. Setelah diplomasi gagal, armada Majapahit konon melancarkan serangan. Prasasti dan hikayat asing tidak menyebut tanggal persis, namun catatan Dinasti Ming (Tiongkok) mengindikasikan serangan besar terjadi tahun 1377 M. Dalam kronik tersebut disebut “tentara Majapahit menyerang Palembang” pada tahun itu. Apabila catatan ini akurat, maka penyerangan terjadi di akhir masa pemerintahan Hayam Wuruk (setelah wafatnya Gajah Mada), kemungkinan dipimpin oleh laksamana Majapahit penerusnya. Namun, karena Nagarakertagama (1365) sudah menganggap Palembang sebagai bawahan, sebagian sarjana menduga penyerangan intensif sebenarnya sudah dilakukan lebih awal, dan barulah tahun 1377 dilaporkan secara resmi.

    Menurut satu interpretasi arkeologis, kapal-kapal Majapahit dikabarkan memasuki muara Sungai Musi dan menempatkan pasukan komando di belakang istana Palembang secara rahasia. Pasukan pemanah Majapahit mengepung dari luar sementara pasukan darat masuk lewat jalur sungai kecil yang tidak terjaga. Melihat bahaya itu, akhirnya Raja Palembang menyerah menghindari kerusakan lebih besar. Dalam situasi ini Palembang “tunduk kepada Majapahit, bergabung di bawah kekuasaan Majapahit tanpa peperangan besar”.

  • Penyerahan Palembang. Setelah pengepungan, raja Palembang menerima syarat Majapahit. Palembang resmi menjadi negara bawahan: tidak dicaplok secara langsung, tapi diwajibkan mengirim upeti setiap tahun ke Majapahit. Laporan Majapahit berikutnya menyebut “Kerajaan Palembang selalu mengirimkan upeti tahunan ke Majapahit” sejak penaklukan itu. Adityawarman bahkan dikatakan menetap beberapa tahun di Palembang untuk menata pemerintahan majapahit dengan mencatat penduduk dan sistem pajak setempat.

Hasil dan Dampak Penaklukan

Penaklukan atau penguasaan Palembang oleh Majapahit membawa beberapa konsekuensi:

  • Dominasi Majapahit di Sumatra. Dengan Palembang berada di bawah kekuasaan Majapahit, wilayah Melayu (Suwarnadwipa) secara de facto seluruhnya terintegrasi ke dalam mandala Majapahit. Negarakertagama menegaskan hal ini dengan menyebut kembali Palembang bersama Jambi, Dharmasraya, dan wilayah-wilayah lain sebagai negara bawahan di pulau Melayu. Majapahit kini menguasai pintu masuk Selat Malaka bagian selatan, memperkokoh kontrol atas jalur rempah dan perdagangan antar-benua. Kekuasaan politik Majapahit di pulau Sumatra menjangkau provinsi-provinisi seluas Rentang rumpun Melayu dan Lampung di ujung selatan.
  • Integrasi Administratif. Dalam tata pemerintahan Majapahit, Palembang kemungkinan ditata sebagai wilayah bawah pengawasan puub (bupati) yang ditunjuk oleh Majapahit atau Adityawarman. Penduduknya dimasukkan dalam daftar desa-sima (sukuh pajak) yang pengeluarannya disetorkan ke kerajaan induk. Misalnya, disebutkan bahwa utusan Palembang membawa upeti tahunan ke Majapahit secara teratur. Walaupun begitu, Palembang tetap diberikan otonomi internal yang relatif luas: raja dan para bangsawannya tidak dibongkar tahta tetapi diikat sumpah setia, sehingga tata pemerintahan lokal sebagian besar diteruskan dengan mekanisme tradisional.
  • Pengaruh Budaya dan Agama. Setelah penaklukan, elemen kebudayaan Jawa mulai memasuki Palembang. Selain arsitektur candi bertingkat Majapahit yang muncul di beberapa situs—seperti bentuk teras berundak pada makam kesultanan Palembang yang menyerupai candi Majapahit—terdapat pula ornamen hias roset dan salib, hiasan khas majapahit, pada bangunan-bangunan Palembang. Sebagaimana ditemui, ketiga arca Hindu (Siva, Wisnu, Brahma) di Palembang Timur dibuat dengan gaya seni Majapahit. Keberadaan arca-arca dan candi ini menunjukkan tersebarnya unsur seni dan keagamaan Hindu-Buddha Jawa di Palembang; mungkin dibawa oleh pendeta dan perantau Majapahit yang mengawal pendudukan. Namun, pengaruh ini bersifat terbatas karena masyarakat Palembang masih mempertahankan adat dan kepercayaan lama mereka.
  • Dampak Ekonomi. Dengan Palembang menjadi penguasaannya, Majapahit mengamankan sumber daya Sumatra Selatan. Rempah-rempah (lada, cengkeh) dan hasil hutan (emas, karet, gaharu) dari pedalaman Sumatra serta jalur dagang ke Selat Malaka dapat dipadukan ke dalam ekonomi mandala Majapahit. Pelabuhan Palembang yang strategis menyediakan titik transit komoditas ke Jawa. Atas dasar itu Majapahit meletakkan penguasa yang loyal di sana, sementara para pedagang Jawa mendapat jaminan keamanan di wilayah Sumatra Selatan. Sebagai ganti biaya penguasaan, Majapahit menerima upeti dari Palembang berupa barang dagangan dan pajak tahunan.
  • Stabilitas Politik di Nusantara. Dengan menaklukkan Palembang, Majapahit berhasil menyelesaikan salah satu agenda sumpah Palapa. Hal ini melengkapi penundukan kerajaan-kerajaan lain di luar Jawa (seperti Malaka, Pasai, dan Kalimantan) yang konon sudah dilakukan. Dominasi Majapahit atas Pelabuhan Sungai Musi juga memperbesar reputasi Majapahit sebagai “raja agung seluruh Nusantara”. Dalam jangka pendek, hilangnya kemerdekaan Palembang mengurangi kekuatan pesaing di Selat Malaka. Namun dalam catatan Dinasti Ming, dominasi Majapahit di Sumatra tidak permanen; pada akhir abad ke-14 Majapahit mulai goyah, sementara muncul Kesultanan Palembang Darussalam yang baru (abad ke-16) dengan klaim leluhur Majapahit.

Integrasi Budaya dan Administratif

Setelah penaklukan, Majapahit berusaha mengintegrasikan Palembang ke dalam tata budaya dan administrasi kerajaannya. Sistem pemerintahan majapahit berbentuk mandala: daerah-daerah bawahan dipimpin oleh raja lokal atau adipati yang mengaku setia kepada Hayam Wuruk. Di Palembang, Adityawarman (atau penerusnya) kemungkinan menjadi semacam gubernur atau patih raja. Tanda-tanda integrasi terlihat dari penggunaan Bahasa Jawa Kuno dalam prasasti-prasasti daerah Melayu pada masa tersebut. Misalnya, prasasti-pasasti yang ditemukan di Sumatra bagian tengah termasuk kitab Undang-Undang Tanjung Tanah (Kerinci) ditulis aksara Jawa dan menggabungkan kosakata Melayu dan Jawa. Selain itu, kitab Negarakertagama sendiri menyebut penduduk Palembang sebagai penadah upeti (sima) Majapahit.

Dalam bidang budaya, pengaruh Majapahit tercermin dalam penyebaran agama Hindu-Buddha versi Jawa. Adityawarman sendiri dikenal sebagai penganut Buddha Tantrayana; ia membangun candi dan arca di sumatra barat dan Jambi. Di Palembang dijumpai keberadaan pendeta Hindu Majapahit (wipra) yang mempersunting adat setempat. Nama-nama lokal pun ada yang disandarkan pada gelar Majapahit—misalnya di naskah salin-catatan Palembang disebut gelar-gelar bergaya Jawa. Sebagai contoh, Asal Usul Kesultanan Palembang yang ditulis sesudahnya menyebut sebutan pendiri Palembang Darussalam sebagai keturunan seorang pangeran Jawa. Semua ini menunjukkan bahwa Majapahit menerapkan pola integrasi budaya: memadukan unsur lokal dengan institusi-institusi Jawa guna memperkokoh kekuasaan.

Ekonomi Palembang juga disesuaikan. Bandar lama Palembang (di hulu Sungai Musi) mungkin menjadi pusat pos perdagangan Majapahit di Sumatra, dengan pengawas Jawa mengumpulkan pajak ekspor-impor. Data arkeologi menunjukkan pengiriman keramik dan logam dari Majapahit ditemukan di situs Palembang abad ke-14. Selain itu, sistem pembebasan desa (desa sima) Majapahit diterapkan di daerah rawan perompakan, dengan Palembang menjadi salah satu lokasi desa sima yang menyerahkan hasil panen dan tambang ke kas kerajaan Jawa.

Singkatnya, konflik Majapahit–Palembang pada 1350-an dan sesudahnya merupakan puncak ekspansi Majapahit di arah barat laut. Meskipun disebut “perang” atau penaklukan, prosesnya lebih banyak melibatkan perpaduan kekuatan diplomasi, tekanan militer, dan penggabungan institusi lokal. Berkat strategi tersebut, Majapahit berhasil mendominasi kembali bekas wilayah Sriwijaya. Negarakertagama (1365) melaporkan Palembang beserta Melayu (Sumatra) di bawah kekuasaan Majapahit. Prasasti-prasasti Majapahit maupun sumber-sumber Cina juga mendukung kisah ini; misalnya catatan Dinasti Ming tentang “penyerangan Palembang” (1377 M) dan prasasti Kuburajo (1347) yang menegaskan penguasaan Majapahit di Sumatra.

Pengaruh Majapahit terasa dalam aspek politik (pendudukan adipati Majapahit), ekonomi (kawasan dagang dikuasai Jawa), dan budaya (pendirian candi-candi bergaya Jawa, hadirnya arca-arca Hindu Majapahit di Palembang). Integrasi administratif Majapahit di Sumatra memperkuat dominasi Jawa atas perdagangan rempah serta memperlebar pemahaman Nusantara sebagai satu kesatuan politik-militer. Setelah penaklukan, Palembang menjadi bagian dari mandala Majapahit hingga akhir abad ke-14 dan berkontribusi pada kemakmuran Majapahit lewat upeti serta ekspansi budaya.


📚 DAFTAR REFERENSI

🔸 Sumber Primer dan Naskah Kuno

  1. Negarakretagama – Mpu Prapanca, 1365 M. Edisi transliterasi dan terjemahan oleh Slamet Muljana, Balai Pustaka.
  2. Prasasti Kuburajo – 1347 M. Ditemukan di Kapalo Bukit Gombak, Sumatra Barat. Mencatat Adityawarman sebagai penguasa Malayapura di bawah pengaruh Majapahit.
  3. Prasasti Amoghapasa – Sekitar 1286 M. Mengandung informasi awal hubungan Singhasari–Sumatra.
  4. Catatan Dinasti Ming (Ming Shi) – Laporan ekspedisi dan utusan asing ke Tiongkok, termasuk laporan serangan Majapahit ke Palembang tahun 1377.
  5. Pararaton (Kitab Raja-Raja) – Naskah sejarah Jawa memuat informasi tentang Sumpah Palapa dan tokoh Gajah Mada.

🔸 Buku dan Karya Ilmiah

  1. Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2005.
  2. Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
  3. Pigeaud, T.G.Th. Java in the 14th Century. The Hague: Martinus Nijhoff, 1960.
  4. Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna. Jakarta: Djambatan, 1974.
  5. Christie, Jan Wisseman. “Negarakretagama and the Reinscription of the Majapahit Cosmopolis.” In Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 26, No. 1, 1995.

🔸 Artikel Akademik & Arkeologi

  1. Suryanegara, Ahmad Mansur. “Adityawarman dan Majapahit.” Jurnal Ilmu Sejarah Indonesia, Vol. 4, No. 1, 2013.
  2. Balai Arkeologi Sumatra Selatan. “Temuan Arca Perunggu Gaya Majapahit di Palembang.” Laporan Arkeologi Tahunan, 2020.
  3. Sofwan Noerwidi, “Prasasti Kuburajo: Penegasan Majapahit di Pagaruyung”, Jurnal Epigrafika Nusantara, 2017.

🔸 Sumber Tradisional dan Daerah

  1. Babad Palembang, Manuskrip tradisional Melayu.
  2. Babad Arya Damar, versi lisan dan teks, Sumatra Selatan–Bali.

🔸 Ensiklopedia dan Sumber Daring

  1. Wikipedia Bahasa Indonesia:
  2. Kompas.com. “Jejak Pengaruh Majapahit di Palembang dan Arsitektur Gedung Suro.” Diakses 2025.
  3. Historia.id. “Ketika Majapahit Menyerang Palembang: Sumber dan Spekulasi.” 2020.

About administrator