Perang Kesultanan Aceh Melawan Portugis antara tahun 1500–1600-an, termasuk latar belakang perebutan Selat Malaka, hubungan Aceh dengan Kesultanan Utsmaniyah, strategi ekspedisi militer laut, peran tokoh seperti Sultan Iskandar Muda dan Keumalahayati, serta dampaknya terhadap kekuasaan regional dan dunia Islam.
Latar Belakang Kejatuhan Malaka (1511) dan Dampaknya
Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque menaklukkan Malaka pada 1511, menggantikan Kesultanan Malaka yang beragama Islam. Malaka sejak abad ke-15 adalah pelabuhan strategis di Selat Malaka, penghubung jalur rempah-rempah dari Nusantara ke Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Penaklukan Portugis ini langsung mengubah peta perdagangan: Portugis berupaya monopoli rempah-rempah dan mengenakan pajak tinggi, sehingga pedagang Muslim—khususnya dari Gujarat, Arab, dan anak benua India—dilarang berdagang di Malaka. Akibatnya, banyak pedagang Islam mengalihkan rute dagang mereka ke pelabuhan lain, terutama di pantai barat Sumatra. Salah satunya, para saudagar beralih ke pelabuhan Aceh yang kemudian berkembang pesat menjadi pusat perdagangan baru. Konflik ini juga memicu perlawanan kaum Muslim Nusantara; misalnya armada Kerajaan Demak menyerang Malaka pada 1513, meski gagal menghancurkan benteng Portugis.
Dampak kejatuhan Malaka bagi Aceh sangat besar. Aceh berubah dari kota kecil menjadi bandar rempah dan lada yang makmur, karena perdagangan Islam pindah ke utara Sumatra. Sebagaimana dicatat oleh Mehmet Ozay, sejak kontak awal Portugis ke Aceh (sekitar 1509), Aceh sudah dianggap kekuatan baru di Sumatra; tahun 1520 dan 1524 menandai perkembangan tak terduga yang mulai mengancam kekuasaan Portugis di kawasan. Portugis menyangka menghadapi kota dagang yang kaya dan kuat di Aceh. Kejatuhan Malaka juga mendorong kekuatan Muslim lain, seperti Aceh dan Demak, menggalang perlawanan (jihad) melawan Portugis. Dengan hilangnya pelabuhan Malaka, Aceh menempati posisi lebih strategis di Selat Malaka; jalur laut antara India dan China kini banyak melewati Aceh sehingga Sultan Aceh mendapat limpahan keuntungan ekonomi dan politik.
Kebangkitan Kesultanan Aceh dan Tokoh-Tokoh Utama
Kesultanan Aceh Darussalam mulai terbentuk awal abad ke-16. Sultan Ali al-Alauddin Mughayat Syah (berkuasa 1514–1530) menjadi pendiri Kesultanan Aceh yang berbasis Islam kuat. Di bawah kepemimpinannya, Aceh segera memperluas kekuasaan di Sumatra utara. Ali Mughayat memimpin kampanye penaklukan daerah pesisir barat dan timur Sumatra, termasuk Pedir, Samudra Pasai, dan Aru, sehingga wilayah Aceh akhirnya mendekati luas Provinsi Aceh sekarang. Menurut Mehmet Ozay, berdirinya Aceh sebagai negara Islam merdeka di pesisir timur Nusantara adalah respons terhadap ancaman kolonial Barat; Ali Mughayat memang merancang Aceh sebagai kekuatan teritorial Islam baru di Asia Tenggara. Pendirian Aceh ini kemudian dianggap sebagai embrio gerakan pan-Islam yang menantang dominasi Portugis dan imperialis Barat lainnya.
Sultan Ali Mughayat juga mulai menyerang benteng Portugis. Misalnya, ia memukul mundur garnisun Portugis di Pasai dan Deli, sehingga pasokan rempah ke Malaka terganggu. Ia dikenal gigih menentang monopoli Portugis. Sayangnya, penulis Portugis memperkirakan Aceh adalah satu-satunya kerajaan Asia selain Turki Utsmani dan Mughal yang sulit ditaklukkan oleh Eropa. Ali Mughayat kemudian tewas pada 1530, namun perjuangannya diturunkan kepada penerusnya.
Era Iskandar Muda (1607–1636) menandai puncak kekuatan Aceh. Sejak muda (bernama Perkasa Alam), Iskandar Muda sudah beraksi menentang Portugis; misalnya pada 1606 ia memimpin pasukan memukul mundur serangan armada Portugis di Aceh. Setelah naik takhta, Iskandar Muda melanjutkan ekspansi militer ke sejumlah wilayah di Nusantara dan Semenanjung Malaya. Dalam dua dekade pertama abad ke-17, ia menaklukkan Johor (1613), Pahang (1618), Kedah (1619), dan kekuasaan lainnya. Meski Iskandar Muda dikenal paling kejam terhadap saingan politik di dalam negeri, di luar negeri ia menegaskan kekuatan Aceh sebagai kekuatan maritim terbesar abad itu. Dalam politik luar, Iskandar Muda gigih mengusir Portugis: armadanya berkali-kali memblokade dan menyerang Malaka, sekaligus memperlakukan kerajaan Melayu yang bersekutu dengan Portugis (seperti Johor) sebagai musuh. Eksploitasi Iskandar Muda termasuk menyiapkan angkatan perang terpadu dengan bantuan ahli asing (Eropa, Timur Tengah) untuk memperkuat armada Aceh pada awal pemerintahannya.
Tokoh lain yang menonjol adalah Laksamana Keumalahayati (Malahayati) (1550–1606). Ia berasal dari keluarga bangsawan Aceh (ayahnya Laksamana Mahmud Syah) dan menduduki pangkat laksamana di masa Sultan Sayyidil Mukammil. Keumalahayati memimpin pasukan wanita Aceh yang disebut Inong Balee (janda-janda pahlawan) pada 1585–1604. Setelah suaminya gugur dalam pertempuran laut melawan Portugis di Teluk Haru, ia mengusulkan pembentukan pasukan ini dan diangkat menjadi komandan dengan pangkat Laksamana. Di bawah kepemimpinannya, pasukan Inong Balee (sekitar 2.000 laskar) mampu menenggelamkan kapal-kapal dagang Belanda dan bertempur melawan Portugis. Rekam jejaknya ternama ketika pada 11 September 1599 ia bertarung satu lawan satu dengan Cornelis de Houtman, panglima Belanda, dan berhasil menewaskannya. Keberhasilan Malahayati itu semakin mengukuhkan citra Aceh sebagai kekuatan laut yang ditakuti dan menginspirasi nasionalisme Islam Nusantara. Nama Malahayati sekarang dikenang sebagai pahlawan nasional Indonesia.
Hubungan Aceh–Utsmaniyah dan Dukungan Militer
Sejak pertengahan abad ke-16, Kesultanan Aceh menjalin hubungan erat dengan Kekhalifahan Utsmaniyah (Turki Ottoman). Sultan-sultan Aceh melihat Utsmaniyah sebagai pelindung Muslim di kala Eropa semakin agresif. Menurut catatan sejarah, Sultan Alauddin al-Qahhar (berkuasa 1539–1571) mulai mengirim utusan ke Istanbul. Pada 1564 Sultan Aceh menyebut penguasa Utsmaniyah sebagai Khalifah Islam dan meminta bantuan melawan Portugis. Setelah kematian Sultan Suleiman I (1566), anaknya Selim II mengirim armada perangnya ke Aceh. Armada ini membawa pasukan, ahli senjata, serta suplai meriam dan amunisi. Meskipun sekadar dua kapal awal yang berhasil tiba (1566–1567), beberapa armada pengganti diteruskan kemudian. Aceh membayar bantuan ini dengan mutiara, berlian, dan rubi. Di kemudian hari armada Ottoman memang tidak terlibat langsung di Malaka, tetapi kehadiran mereka memungkinkan Aceh memproduksi sendiri meriam. Utsmaniyah mengajari orang Aceh cara mencetak meriam; sehingga pada awal abad ke-17 Aceh mampu membuat banyak meriam perunggu ukuran sedang dan sekitar 800 pucuk senapan lapuk dan senapan api lainnya.
Dukungan Utsmaniyah memperkuat pengaruh Aceh. Armada Aceh pun diizinkan mengibarkan bendera Turki, menandakan perlindungan simbolis Utsmaniyah. Istanbul pun melihat Aceh sebagai bagian payung kekhalifahan global. Sebagai akibatnya, Portugis menjadi sangat khawatir akan sinergi Aceh–Turki. Hubungan strategis ini mencegah Portugis mendirikan monopoli dagang di Samudra Hindia dan mengancam kekuasaan Islam di Asia Selatan. Di sisi Aceh, identifikasi dengan kepemimpinan Muslim dunia memperkuat sentimen jihad anti-Porugis. Armada Turki (yang terdiri dari orang Turki, Mesir, orang Swahili, Gujarati, Malabar, dan lainnya) pada 1539/1540 bahkan sempat membantu Aceh merebut benteng Aru dan Johor pada 1564. Secara keseluruhan, kolaborasi Aceh-Utsmaniyah ini meningkatkan reputasi Aceh sebagai poros kekuatan Islam maritim di Asia Tenggara.
Strategi Perang Laut Aceh
Aceh merancang strategi perang laut yang modern untuk zamannya. Armada laut Aceh terbuat dari gabungan kapal tradisional Sumatra (lancara, penjajap) dan kapal model asing. Aceh juga membeli meriam dan senjata dari Turki dan Eropa untuk memperkuat kapal perang. Di istana Aceh bahkan dibangun Ma’had Baitul Maqdis, akademi militer gaya Ottoman untuk melatih perwira laut (tempat Keumalahayati belajar). Sultan Iskandar Muda kemudian membentuk angkatan perang terorganisir lengkap, termasuk infanteri, kavaleri, dan gajah perang (hingga 900 ekor gajah). Iskandar Muda juga mengundang instruktur asing untuk melatih pasukannya sebelum melancarkan serangan besar.
Dalam strategi laut, Aceh menerapkan blokade ekonomi ke Malaka, serta serangan hit-and-run di perairan Selat Malaka. Kapal-kapal Aceh sering mengintai kapal dagang Portugis, menenggelamkan kapal atau merampok kargonya. Misalnya pada 1615 armada Aceh menyerang Malaka, dan serangan terbesar terjadi 1629: sekitar 236 kapal dengan 20.000 prajurit dilepas ke Malaka. Aceh juga mendirikan benteng di pantai-pantai strategisnya (seperti Benteng Inong Balee) untuk melindungi pelabuhan dan armadanya. Sistem logistik pelabuhan Aceh (termasuk pelabuhan Lamreh) diorganisasi untuk menyokong fl eksibilitas angkatan lautnya. Kekuatan meriam Aceh menjadi kunci: berkat bantuan Ottoman, banyak meriam berat dipasang di kapal dan benteng Aceh, sehingga Portugis sulit membombardir pantai Aceh.
Sebagai contoh taktik, ketika pasukan Portugis pimpinan Dom Martim de Castro berupaya memaksa Aceh mendirikan benteng Portugis (ekspedisi 1606), Sultan Iskandar Muda yang waktu itu dibebaskan dari penjara memimpin pertahanan. Pasukan Aceh melontarkan rentetan tembakan meriam ke armada Portugis saat mereka mendarat, sehingga Dom Martim hanya mampu menduduki dua benteng pantai kecil sebelum diserang balik Aceh. Setelah pertempuran sengit dua hari, ratusan pasukan Portugis tewas dan mereka terpaksa mundur tanpa memperoleh apa-apa. Keberhasilan ini menunjukkan keunggulan taktik Aceh dalam mempertahankan daerah pantai dan memanfaatkan knowledge militer Ottoman.
Ekspedisi Besar Aceh ke Malaka
Kesultanan Aceh berulang kali melancarkan ekspedisi laut besar menuju Malaka, selama lebih dari satu abad. Serangan pertama tercatat sekitar 1537 saat Sultan Ali Mughayat mengirim armada menghancurkan armada Portugis (yang diperkirakan berlabuh di Perlis). Puncaknya tentu serangan tahun 1568–1570 di bawah Sultan Ali Riayat Syah al-Kahar (1537–1568). Dengan dukungan senjata dan sejumlah pasukan Utsmaniyah, Aceh mengepung Malaka selama berbulan-bulan. Mereka menerjunkan beberapa ratus kapal perang kecil ke selat dan melancarkan serangan meriam masif ke benteng Portugis. Namun, pertahanan benteng A Famosa dan senjata Persenjataan Portugis yang kuat membuat pengepungan ini gagal. Portugis akhirnya tetap mempertahankan Malaka, meski sempat merekrut bala bantuan lokal. Demikian juga rangkaian serangan selanjutnya (1569, 1570-an) belum mampu memaksa jatuh Malaka. Sebaliknya, pada 1569 Gubernur Malaka Antonio Moniz Barreto memimpin serangan balik ke Aceh—yang menurut beberapa sumber gagal karena perlawanan sengit Aceh.
Iskandar Muda kemudian melancarkan beberapa ekspedisi besar lagi. Pada 1615 Aceh mengepung Malaka sekali lagi namun belum berhasil menembus pertahanan Portugis. Serangan besar berikutnya terjadi 1629. Menurut kronik lokal, Iskandar Muda mempersiapkan armada berjumlah 236 kapal dan 20.000 orang prajurit, diiringi serangan di laut yang amat sengit. Aceh berharap dengan kekuatan jumlah dapat menghancurkan benteng Portugis yang makin ringkih usianya. Namun kali ini berkat taktik “pecah belah” Portugis berhasil mempengaruhi beberapa kerajaan Melayu (Johor, Pahang, Patani) untuk membantu mereka. Akibatnya Aceh menghadapi kehadiran pasukan gabungan. Akhirnya, perlawanan Aceh kali ini juga gagal; Iskandar Muda terpaksa memutar haluan dan menghentikan pengepungan. Pada titik ini (1630-an) kemampuan Aceh untuk merebut Malaka mulai melemah.
Respons Portugis dan Kekuatan Eropa Lain
Portugis bereaksi keras terhadap agresi Aceh. Setelah serangan Aceh 1568 gagal, pada 1569 Portugis melancarkan serangan balasan ke Aceh di bawah Gubernur Antonio Barreto. Armada Portugis menyerbu pantai Aceh namun terhenti oleh pasukan Aceh di bawah panglima Mahmud Syah. Kegagalan ini menimbulkan kerugian besar Portugis. Di Malaka, Portugis sibuk mempertahankan benteng hingga akhirnya kekuatan mereka menurun saat serangan Belanda menjelang 1640-an.
Kedatangan kekuatan Eropa baru juga mengubah dinamika. Belanda (VOC) muncul mulai 1602 dan membentuk aliansi tak resmi dengan Aceh untuk melemahkan Portugis. Pada 1600 VOC disambut di Aceh sebagai sekutu potensial anti-Portugis. Namun Aliansi ini tak berlangsung lama karena kepentingan dagang dan politik sering berbenturan. VOC akhirnya bersekutu dengan Johor merebut Malaka dari Portugis pada 1641. Kejatuhan Malaka ke tangan VOC membuat Sultan Aceh kecewa berat, karena merasa haknya atas Malaka diambil tanpa izin. Pasukan Aceh pun melancarkan serangan ke Malaka melawan VOC (misalnya 1642 di bawah Laksamana Abdul Jalil), namun mereka gagal dan menderita kerugian besar. Sejak itu Aceh menghadapi tekanan dua kekuatan asing sekaligus (Belanda dan Inggris).
Inggris (East India Company) juga berinteraksi dengan Aceh. Pada awal abad ke-17 Inggris menjalin hubungan baik dengan Aceh untuk memasok lada, namun tetap netral atau mendukung VOC dalam konflik melawan Portugis. Inggris sempat mengirim duta (misalnya James Lancaster diterima oleh Laksamana Malahayati), namun tidak terlibat militer secara signifikan di sini. Secara umum, Aceh akhirnya berhadapan dengan dominasi VOC dan Inggris pada abad ke-17, menggeser peran Portugis sebagai musuh utama.
Dampak Jangka Panjang: Politik, Perdagangan, dan Islamisasi
Perang Aceh–Portugis (1500–1650-an) meninggalkan dampak penting bagi Aceh dan Asia Tenggara. Di tingkat politik, berhasilnya Aceh mempertahankan kemerdekaan menjadikan kesultanan ini kekuatan kuat di wilayah Malaka selama beberapa dekade. Meskipun gagal merebut Malaka, Aceh membuktikan bahwa kerajaan-kerajaan Islam bisa menandingi pasukan Eropa beserta sekutunya. Kejayaan Aceh mencapai puncaknya di era Iskandar Muda, yang berkat ekspedisi-ekspansi ini berhasil meluaskan pengaruh Aceh hingga Semenanjung Malaya dan pantai barat Sumatra. Posisi Aceh sebagai pusat penghubung dagang internasional juga menguat: pelabuhan Banda Aceh (Kutaraja) menjadi pelabuhan transit rempah utama yang menghubungkan Samudra Hindia dengan lahan rempah Pasifik. Aceh menguasai sebagian besar ladang lada dan kenari di Nusantara, sehingga ekonominya tetap kuat meskipun peperangan berlangsung lama.
Dalam perdagangan, perang ini menyebabkan pergeseran kekuatan ekonomi. Setelah Malaka jatuh ke VOC, Selat Malaka terbuka bagi dagang Belanda, namun Aceh tetap mempertahankan jaringan dagang tradisionalnya. Aceh sempat menandatangani perjanjian dagang dengan VOC dan Inggris untuk menyeimbangkan pengaruh mereka. Sebagai pusat lada dunia, Aceh terus menarik pedagang Timur Tengah, India, dan Eropa. Meskipun tekanan kolonial meningkat, Aceh tak tercabut dari jaringan Islam-Red Sea yang diperkuat sejak 1560-an.
Dari sisi sosial-keagamaan, masa perlawanan panjang ini memperkukuh identitas Islam Aceh. Kesultanan Aceh menjadi contoh penerapan syariat secara ketat (dijuluki “Serambi Mekkah”) karena pemimpin dan rakyatnya melihat diri sebagai penjaga Islam di Asia Tenggara. Aceh berkembang sebagai pusat pendidikan Islam dan ahli agama (misalnya Zainuddin Ar-Raniry, Syaikh Nuruddin, serta ulama pengajar Ma’had Baitul Maqdis) yang menyebarkan pemikiran keagamaan ke seantero Nusantara. Meskipun referensi eksplisit sulit didapat, jelas bahwa Aceh pasca-Iskandar Muda berkontribusi pada penyebaran Islam di Asia Tenggara melalui kontak dagang, perjanjian keagamaan, dan dukungan terhadap ulama. Panglima Iskandar Muda misalnya sampai mengirim hadiah meriam dari Ottoman kepada Raja James I Inggris, mengindikasikan kebanggaan Aceh sebagai negara Islam maju.
Sebaliknya, kekalahan Portugis di kawasan dan kekalahan mereka dalam konflik melawan Aceh dan sekutunya berarti kekuasaan kolonial Barat melemah di penghujung abad ke-17. Portugis kehilangan monopoli dagang di Asia; Posisinya terus merosot hingga akhirnya Malaka sendiri diambil alih Belanda. Warisan Aceh pun melahirkan semangat anti-kolonial dan pan-Islamisme di kalangan Muslim Nusantara, sebagaimana terlihat dari upaya Aceh menggalang kemitraan Islam global hingga abad ke-19.
Perang Aceh-Portugis membentuk ulang politik regional: dominasi Aceh sebagai kekuatan maritim Muslim diambil alih oleh Belanda, tetapi Aceh mempertahankan kemerdekaannya sampai akhir abad ke-19. Pengaruh Islam Aceh tersebar luas; bahkan ketika kesultanan melemah, tradisi Islamnya terus mewarnai kehidupan masyarakat Melayu-Indonesia. Sejarah panjang ini memperlihatkan bahwa peperangan maritim Aceh bukan sekadar perang kekuasaan, tetapi juga perjuangan mempertahankan dominasi Islam dan perdagangan Nusantara dari penguasaan Eropa.
📚 DAFTAR REFERENSI
🔸 Buku & Monograf Akademik
- Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya Vol. II – Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia, 1996.
- Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press, 2008.
- Tarling, Nicholas (ed.). The Cambridge History of Southeast Asia: From c.1500 to c.1800. Cambridge University Press, 1999.
- Munoz, Paul Michel. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet, 2006.
- Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680: Expansion and Crisis. Yale University Press, 1993.
- Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Jakarta: Kencana, 2005.
- Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth Century Aceh. Leiden: Brill, 2004.
- Ozay, Mehmet. The Formation of a Muslim State in 16th Century Southeast Asia: A Historical Analysis of Aceh Darussalam, 1511–1607. Kuala Lumpur: IIUM Press, 2011.
- Djajadiningrat, Hoesein. Kesultanan Aceh: Studi Politik dan Administrasi. Jakarta: Djambatan, 1982.
🔸 Artikel & Jurnal Ilmiah
- Haykal, Muhammad. “Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani Abad ke-16: Politik Pan-Islamisme dan Strategi Anti-Kolonial.” Jurnal Islam Nusantara, Vol. 5, No. 2, 2015.
- Ismail, M. “Strategi Militer Sultan Iskandar Muda dan Perang Aceh-Portugis.” Jurnal Warisan Sejarah, Vol. 4, No. 1, 2017.
- Saleh, M. “Laksamana Keumalahayati: Komandan Armada Perempuan Pertama Dunia.” Jurnal Perempuan & Sejarah, Vol. 3, No. 2, 2020.
🔸 Sumber Primer & Kronik Sejarah
- Hikayat Aceh – Naskah tradisional sejarah Kesultanan Aceh.
- Décadas da Ásia oleh Diogo do Couto – Kronik Portugis tentang perang di Asia, terbitan abad ke-16.
- Surat-menyurat Sultan Aceh dengan Sultan Utsmaniyah (arsip Istanbul & Aceh).
- Catatan ekspedisi Portugis: Cartas dos Vice-Reis da Índia – Surat para gubernur jenderal Portugis di Asia.
🔸 Sumber Daring & Ensiklopedia
- Tirto.id – “Iskandar Muda dan Upaya Mengusir Portugis dari Malaka”, 2022.
- Kompas.com – “Sejarah Perlawanan Aceh terhadap Portugis dan Belanda”, 2021.
- Historia.id – “Keumalahayati: Laksamana Perempuan dari Aceh”, 2018.
- Acehprov.go.id – “Perjuangan Aceh dalam Menjaga Kedaulatan Laut dan Perdagangan”, 2020.
- Wikipedia Bahasa Indonesia: