Perang Kesultanan Palembang Melawan VOC Belanda(1659–1811)

Perang Kesultanan Palembang Melawan VOC Belanda(1659–1811), Latar belakang monopoli perdagangan, konflik militer, Melibatkan Sultan Mahmud Badaruddin I dan II, hingga peran Inggris serta dampak jangka panjang terhadap struktur kekuasaan dan sosial-ekonomi Palembang.

Latar Belakang Konflik VOC Belanda Dengan Kesultanan Palembang

Kota Palembang pada abad ke-17 digambarkan dalam ukiran periodik “The City of Palembang with its three forts”. Palembang Darussalam adalah kerajaan Islam kaya rempah, dengan lada sebagai primadona perdagangan. VOC berupaya memonopoli perdagangan lada dan timah di wilayah Sumatra Selatan. Misalnya, sejak perjanjian 1642 Kesultanan Palembang terikat kontrak pengiriman lada ke VOC, namun raja-raja Palembang sering menjual lada ke pedagang Tionghoa atau Inggris tanpa persetujuan Kompeni. VOC bahkan menuntut hak menentukan suksesi sultan dan memungut pajak rakyat Palembang. Keberhasilan Palembang menjual lada kepada pihak lain (termasuk pasar gelap ke Makau) membuat pasokan ke VOC menurun drastis; misalnya pada 1791 kontrak hanya 2.000 pikul padahal ekspor ke Makau mencapai 20.000 pikul per tahun. Monopoli VOC dan intervensi Belanda inilah yang menjadi akar konflik panjang. Selain itu, munculnya tambang timah di Pulau Bangka pada abad ke-18 menambah ketertarikan bangsa Eropa. Belanda dan Inggris saling berebut pengaruh atas Palembang karena Bangka kaya timah. Situasi inilah yang memicu konfrontasi berulang antara Kesultanan Palembang dan VOC dalam periode 1659–1811.

Penyerbuan VOC ke Kuto Gawang (1659)

Pada 16 November 1659 Kompeni melancarkan ekspedisi laut besar-besaran ke Palembang. Armada VOC pimpinan Laksamana Joan van der Laen menyerang pusat pemerintahan Palembang di Kuto Gawang. Keraton di tepi Sungai Musi itu dibakar habis oleh pasukan Belanda. Pasukan Palembang yang dipimpin Sultan masih berlindung di dalam keraton, kemudian mundur ke arah hulu, menuju daerah Indralaya dan ujung ulu Sungai Musi (sekitar Uluan). Sultan yang saat itu adalah Abdurrahman (bersaudara dengan Pangeran Sido Ing Rajek) menumpang berlindung di Indralaya. Dari sana, Pangeran Ario Kesumo Abdurrohim (dikenal sebagai Kyai Mas Hindi) ditunjuk memimpin gerilya melawan pendudukan VOC.

VOC mencoba menurunkan pasokan pangan ke kota, namun pasukan gerilya Palembang justru memblokir Sungai Musi hilir, memutus jalan logistik kapal Kompeni. Pertempuran sengit terjadi sepanjang akhir 1659. Menurut sumber kontemporer, armada VOC kehabisan amunisi dan persediaan makanan akibat sandungan dan serangan mendadak dari pihak Palembang. Akhirnya, pada 23 November 1659 armada Belanda mundur kembali ke Batavia. Citra “Benteng Palembang terbakar” masa itu juga diabadikan dalam lukisan Belanda 《Peta La Ville de Palimbang》 yang menunjukkan asap membubung di atas benteng.

Perlawanan Sultan Abdurrahman dan Kesultanan Palembang (1666-1706)

Setelah VOC mundur, Kyai Mas Hindi (Ario Kesumo Abdurrohim) dengan dukungan Pangeran Sido Ing Rajek mengambil alih kekuasaan. Pada tahun 1666 ia memproklamasikan berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam dan dinobatkan sebagai Sultan Abdurrahman (gelar lengkap: Susuhunan Abdurrahman). Sultan Abdurrahman kemudian memindahkan pusat istana ke Beringin Janggut (hulu Kuto Gawang), mendirikan istana baru di dekat Masjid Lama Palembang. Era kepemimpinan Abdurrahman (1666–1706) ditandai dengan upaya menata ulang pemerintahan pascaperang. Ia mengkonsolidasikan wilayah hilir Musi dan hilir Sungai Babat, tetap menjaga kemerdekaan dagang Palembang terhadap VOC. Konflik klasik dengan Belanda mereda sesaat; namun pengaruh VOC atas perdagangan lada dan timah tetap menjadi masalah laten sampai abad berikutnya.

Sultan Mahmud Badaruddin I dan Strategi Pertahanan Abad XVIII

Pada awal abad ke-18, Kesultanan Palembang dipimpin Sultan Mahmud Badaruddin I (1724–1757). Ia mewarisi tantangan konflik yang diwariskan pendahulunya. VOC terus menekan Palembang agar memenuhi kontrak lada dan tin (tin dari Bangka) serta menuntut pajak rakyat. Sultan Badaruddin I berhasil menjaga kedaulatan wilayahnya dengan diplomasi dan kekuatan lokal. Misalnya, ia meneguhkan penguasaan Palembang atas Bangka dan Belitung yang kaya timah. Pada 1731 Badaruddin I, dengan bantuan pasukan VOC, menumpas pemberontakan suku Bugis di Bangka yang mengganggu tambang timah. Setelah itu, ia mendatangkan penambang Tionghoa Muslim ke Bangka untuk mengelola tambang timah. Keberhasilan ini membuat populasi Tionghoa di Bangka meningkat pesat dan mendukung ekonomi Palembang. Sultan Badaruddin I juga memperluas pengaruh ke dataran Ogan, Komering, Musi Rawas, dan Lampung. Meskipun secara formal ia “bekerja sama” dengan VOC dalam pemberontakan tersebut, Sultan Badaruddin I tetap menjaga agar Kerajaan Palembang tidak sepenuhnya tunduk pada monopoli Belanda. Ia membangun hubungan baik dengan bangsawan dan ulama lokal, menjaga keseimbangan antara kepentingan kesultanan dan tuntutan Kompeni.

Pada akhir abad ke-18, pertahanan fisik Palembang diperkuat. Sultan Muhammad Bahauddin (putra Badaruddin I, memerintah 1776–1803) membangun benteng baru bernama Kuto Besak, yang selesai pada tahun 1797. Benteng Kuto Besak ini berbentuk persegi panjang (panjang 288,75 m, lebar 183,75 m) dengan dinding tebal hampir 2 meter dan tinggi hampir 10 meter. Ketiga gerbang utama Kuto Besak membuka ke Sungai Musi, serta terdapat beberapa bastion di tiap sudut dinding. Benteng ini menggantikan Kraton Kuto Lamo lama dan menjadi pusat pertahanan baru Kesultanan Palembang. Strategi pertahanan Palembang abad ke-18 bertumpu pada lokasi terlindung berbenteng ini, yang masih kokoh hingga kini. Benteng Kuto Besak di tepi Sungai Musi ini menjadi benteng pertahanan utama Kesultanan Palembang akhir abad ke-18. (Sumber: koleksi Wikimedia Commons)

Konflik Akhir Abad ke-18: Perdagangan Bebas dan Ketegangan Baru

Memasuki akhir abad ke-18, VOC mulai melemah dan persaingan Eropa di kawasan juga memanas. Bongkar pasang kekuasaan membawa momen baru. Dengan bubarnya VOC pada 1799, Sultan Mahmud Badaruddin II (putra Muhammad Bahauddin, memerintah 1803–1821) sempat menikmati peluang berdagang bebas. Palembang tetap mengirim lada dalam jumlah besar ke pasar non-Eropa seperti Makau, China; misalnya tercatat Palembang mengekspor ≈20.000 pikul lada dan 27.000 pikul timah ke Tiongkok melalui jalur “pasar gelap”, jauh melebihi yang dikirim ke Belanda. Namun, Belanda sebagai kekuatan kolonial baru tetap berupaya memulihkan monopoli. VOC (atau pemerintah kolonial Belanda setelah VOC bubar) terus menekan agar Palembang kembali tunduk pada kontrak dagang eksklusif. Keadaan ekonomi Palembang yang sempat makmur berkat perdagangan bebas ini menjadi pertikaian baru menjelang abad ke-19.

Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II dan Ketegangan Inggris-Belanda (1804–1811)

Sultan Mahmud Badaruddin II (memerintah 1804–1821; naik takhta saat usia muda) menjadi simbol perlawanan akhir Kesultanan Palembang terhadap intervensi Eropa. Menjelang awal abad ke-19, Inggris dan Belanda kembali bersaing pengaruh di Hindia. Thomas Stamford Raffles, sebelum melakukan pendudukan Inggris di Jawa, mendekati penguasa-penguasa lokal untuk melawan Belanda. Pada 3 Mei 1811 Raffles mengirim surat beserta senjata kepada Sultan Palembang, mengajak memutus hubungan dengan Belanda dan beralih ke Inggris. Sultan Badaruddin II awalnya menyatakan Palembang tidak ingin terlibat konflik Inggris-Belanda. Namun ketegangan memuncak pada 14 September 1811, dikenal sebagai Peristiwa Sungai Aur. Sekelompok bangsawan Palembang (diduga didalangi Belanda maupun ketegangan internal) menyerang loji (kantor dagang) VOC di Sungai Aur. Loji tersebut dibumihanguskan; banyak Belanda tewas. Belanda langsung menuduh Raffles bertanggung jawab, sedangkan Inggris (Raffles) menuding Sultan Badaruddin II. Kejadian Sungai Aur menjadi dalih Inggris campur tangan penuh. Raffles menekan Sultan agar menyerahkan Pulau Bangka sebagai kompensasi, namun Sultan Badaruddin tegas menolak.

Ekspedisi Inggris ke Palembang dan Kejatuhan Panglima Palembang (1811–1812)

Sebagai tanggapan, Inggris mengirim ekspedisi militer ke Palembang. Komandan perang Inggris, Kolonel Robert R. Gillespie, tiba di muara Sungai Musi pada April 1812. Pasukan Palembang dipimpin Pangeran Adipati (Husin) —adik Sultan Mahmud II— yang membawahi sejumlah benteng kecil di hulu. Pada 24 April 1812, Benteng Pulau Borang (benteng terbesar milik Palembang di hilir Musi) jatuh ke tangan pasukan Gillespie. Dengan jatuhnya benteng ini, pertahanan Palembang hancur. Inggris segera menggulingkan Sultan Mahmud II dengan memaksa pengunduran dirinya; atas desakan Raffles, adiknya (Pangeran Adipati) yang bernama Ahmad Najamuddin diangkat menjadi sultan boneka Inggris. Pada 14 Mei 1812 pun ditandatangani perjanjian baru yang mengukuhkan kekuasaan Inggris atas Palembang. Akibat kejadian tersebut, Sultan Mahmud Badaruddin II dan pengikutnya melarikan diri ke pedalaman —ke wilayah Ulu Rawas— untuk melanjutkan perlawanan.

Pendudukan Inggris dan Kembalinya Belanda (1812–1816)

Beberapa tahun berikutnya Palembang secara de facto dikuasai Inggris (bersama dominasi mereka atas Jawa tahun 1811–1816). Pemerintah kolonial Inggris menjadikan Palembang sebagai “kerajaan protektorat” di bawah pengaturan seorang residen Inggris. Namun perjanjian London 1814 yang ditandatangani Inggris–Belanda memaksa Inggris menyerahkan kembali Palembang kepada Belanda. Sejak 1816, kekuasaan atas Palembang kembali berada di tangan kolonial Belanda. Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Herman W. Muntinghe sebagai komisaris residensi baru di Palembang. Muntinghe langsung memulai penguasaan yang ketat, menjajah pedalaman Kesultanan Palembang dan mengambil alih kontrol tambang timah serta ladang lada Bangka dan Musi. Kebijakan ini memicu ketegangan baru karena menandai berakhirnya otonomi Palembang; kesultanan praktis kehilangan kebebasan lagi.

Perang Menteng (12 Juni 1819) dan Runtuhnya Kesultanan Palembang

Menolak tunduk total, Sultan Mahmud Badaruddin II kembali mengambil langkah konfrontatif. Pada 12 Juni 1819, terjadi Perang Menteng, yaitu serangan militer Palembang di wilayah Menteng (dekat Muara Sungai Kampar) melawan pasukan Belanda di bawah komisaris Muntinghe. Perang ini bertujuan mengusir lagi Belanda dari wilayah Palembang, terutama karena Muntinghe membuka kolonisasi luas. Pasukan Palembang menyerang pos-pos Belanda, namun benteng-benteng modern Belanda –ditambah kekuatan artileri Inggris yang tersisa– membuat Palembang kewalahan. Perang Menteng berakhir dengan kekalahan Palembang. Sultan Mahmud II terdesak dan menanggung konsekuensi berat: kesultanan Palembang kehilangan kemerdekaannya secara de facto. Mulai saat itu pemerintahan kolonial Belanda sepenuhnya menggantikan fungsi keraton sebagai penguasa resmi, meski nama “Kesultanan Palembang Darussalam” masih digunakan sampai 1823.

Dampak Jangka Panjang Konflik terhadap Palembang

Dampak konflik panjang ini sangat besar bagi struktur politik dan sosial Palembang. Sistem monarki Kesultanan Palembang dihapuskan dan digantikan sistem administrasi kolonial. Belanda mendirikan Residen Palembang, membagi wilayah bekas kesultanan menjadi beberapa distrik yang dipimpin oleh pejabat residen Belanda. Bekas keraton di Palembang (Kuto Tengkuruk dan kemudian Kuto Besak) diubah fungsi menjadi markas komisaris kolonial. Pada kenyataannya, keraton Palembang menjadi pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda (kantor komisaris) setelah perang 1821.

Kelas bangsawan Palembang juga kehilangan peran sosial-politiknya. Pemerintah kolonial mengambil alih hak-hak istimewa aristokrasi. Belanda memberikan pensiun kepada sisa bangsawan sebagai “ganti rugi”, namun dengan tujuan halus melemahkan pengaruh mereka. Jeroen Piters mencatat bahwa Belanda sengaja “memecah kekuatan priyayi” (bangsawan) Palembang: hak istimewa mereka dicabut, dan masyarakat feodal perlahan-lahan dirombak. Ketika Sultan terakhir menyerahkan kedaulatannya, banyak bangsawan diasingkan atau kehilangan tanahnya; pengaruh mereka di kota Palembang pun perlahan memudar. Intinya, elit tradisional Palembang tersingkir dari struktur kekuasaan baru.

Perubahan juga terjadi dalam bidang perdagangan. Selama konflik, kesultanan sempat memanfaatkan pasar bebas—misalnya menjual lada dan timah ke pasar Tiongkok–Makau dalam jumlah besar. Namun setelah Palembang jatuh, Belanda kembali memonopoli komoditas utama. Perdagangan lada-timah diarahakan lewat lelang kontrol pemerintah kolonial. Ekspor bebas ke pedagang asing diakhiri. Dengan penghapusan kesultanan, sistem pajak dan tarif kolonial menggantikan sistem tradisional.

Secara sosial-politik lebih luas, konflik ini menjadikan Palembang bukan lagi kekuatan independen. Wilayahnya kini sepenuhnya berada di bawah Hindia Belanda, dan penduduk Palembang harus menyesuaikan diri dengan rezim baru. Banyak pengungsi dan masyarakat sipil yang semula berpihak pada kesultanan ikut terdesak, tersebar ke daerah pedalaman. Warisan budaya politik Palembang sejak masa kejayaan Sriwijaya pun tergeser. Secara keseluruhan, peperangan panjang ini menandai akhir era merdeka Palembang; setelahnya Kesultanan Palembang tidak pernah kembali menjadi kekuatan politik utama di Sumatra.

Berikut adalah Daftar Referensi dari tulisan Sejarah Lengkap Perang Palembang vs VOC (1659–1811):


📚 DAFTAR REFERENSI

🔸 Buku & Tesis Akademik

  1. Hanafiah, Djoehana. (1996). Kuto Besak. Palembang
  2. Piters, Jeroen. (1993). Kaum Tuo–Kaum Mudo: Perubahan Religius di Palembang (1821–1942). Leiden: KITLV Press.
  3. Ravico. (2013). Konflik Elit Politik di Kesultanan Palembang Darussalam Tahun 1803–1821. Tesis Magister. IAIN Raden Fatah, Palembang.
  4. Iriani, Putri. (2020). Perlawanan Masyarakat Palembang terhadap Inggris (1811–1812). Skripsi. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
  5. Ricklefs, M.C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press.
  6. Schrieke, B. (1957). Indonesian Sociological Studies. The Hague: W. van Hoeve.

🔸 Jurnal Ilmiah

  1. Triacitra, Rima Agri, et al. (2021). “Pasang Surut Perdagangan pada Masa Kesultanan Palembang Tahun 1804–1821.” TAMADDUN: Jurnal Pengembangan Ilmu dan Kebudayaan, Vol. 20(1).

🔸 Sumber Daring & Media Populer

  1. Mongabay Indonesia. “Timah dan Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II.” Diakses 12 Oktober 2024.
  2. Kompas.com. “Sultan Mahmud Badaruddin II: Perjuangan dan Perang.” Diakses 23 Juni 2021.
  3. Kompas.com. “Perang Menteng: Latar Belakang, Kronologi, dan Dampak.” Diakses 12 Juni 2022.
  4. Kompas.com. “Perlawanan Rakyat Palembang terhadap Inggris.” Diakses 4 Desember 2022.

🔸 Arsip dan Sumber Tambahan

  1. Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Koleksi Arsip Palembang, 1659–1821.
  2. Perpustakaan Nasional RI. Babad Palembang, transkripsi naskah lama.
  3. Leiden University Digital Library – Dutch East Indies VOC Reports on Palembang (1659–1811), dalam bahasa Belanda.

About administrator