Sejarah Perang Majapahit melawan Blambangan pada abad ke-14. Latar belakang konflik, tokoh-tokoh penting dari kedua pihak, strategi militer yang digunakan, proses penaklukan, serta dampaknya terhadap wilayah Blambangan dan Majapahit secara umum.
Latar Belakang Hubungan Majapahit – Blambangan
Pada masa Majapahit, wilayah timur Jawa termasuk Blambangan awalnya diorganisasi sebagai jajahan Majapahit. R. Wijaya (1293–1309) bahkan menghadiahi wilayah timur (Lumajang dan sekitarnya) kepada Patih Arya Wiraraja. Secara geografis Blambangan meliputi daerah dari Lumajang sampai Panarukan, dengan pelabuhan Panarukan sebagai pusat penting perdagangan rempah-rempah. Pengaruh kebudayaan Hindu cukup kuat di sana – terkenal sebagai “kerajaan Hindu terakhir di Jawa” – terlihat dari situs-situs candi bercorak Hindu yang masih ada hingga kini . Secara politik, Majapahit berupaya memantapkan kekuasaannya ke seluruh Nusantara dengan kebijakan upeti dan ekspedisi militer. Blambangan sebagai daerah ujung timur yang otonom kadang memberontak (terutama melawan penunjukan penguasa baru di wilayah itu).
Berbagai candi dan pura peninggalan Kerajaan Blambangan menggambarkan pengaruh kuat kebudayaan Hindu Jawa di ujung timur Pulau Jawa. Blambangan dikenal sebagai kerajaan Hindu Jawa terakhir, dan situs-situs seperti candi bercorak Hindu di daerah Banyuwangi hingga Lumajang menjadi bukti warisan tersebut. Di samping aspek budaya, Blambangan menempati posisi strategis – dikelilingi laut dan berhadapan langsung dengan Bali – sehingga sempat menjadi pusat pelabuhan dagang dan kawasan militer penting (misalnya pelabuhan Panarukan).
Tokoh-Tokoh Utama
Dalam konflik Majapahit–Blambangan abad ke-14, tokoh penting dari pihak Majapahit antara lain Gajah Mada (mahardhika/mahapatih Majapahit 1334–1364) yang bertanggung jawab memperluas kekuasaan Majapahit ke timur melalui sumpah palapa, serta para raja Majapahit seperti Jayanagara (1309–1328) dan Hayam Wuruk (1350–1389) yang memerintahkan ekspedisi-ekspedisi militer. Dari pihak Blambangan, tokoh awal yang tercatat adalah Arya Wiraraja, yang sejak 1294 memerintah daerah Lumajang–Blambangan sebagai adipati pertama. Setelah Arya Wiraraja, jabatan adipati Blambangan diwarisi kepada putranya Arya Nambi (memerintah 1301–1331). Nambi juga tercatat sebagai Mahapatih (patih pertama Amamangkubhumi) di Majapahit, tetapi kemudian memimpin perlawanan di Lamajang. Dalam legenda Jawa kemudian muncul figur Menak Jingga (Minak Jingga) sebagai “raja Blambangan” yang memberontak dan menentang Majapahit – karakter ini diasosiasikan dengan konflik antara Majapahit dan Blambangan dalam kisah Damarwulan. Setelah wafatnya Nambi, Barangkali muncul pula adipati baru di Blambangan (seperti Bhre Wirabhumi, yang kelak dikenal pada masa perebutan tahta Majapahit awal abad ke-15).
Jalannya Perang dan Strategi Militer
Konflik bersenjata besar pertama antara Majapahit dan Blambangan terjadi pada masa pemerintahan Raja Jayanagara (1309–1328). Dipicu oleh rumor pemberontakan, Raja Jayanagara memerintahkan Patih Gajah Mada bersama pejabat istana lain untuk menyerang pusat kekuatan Nambi di Lamajang (Blambangan). Pararaton mencatat bahwa Jayanagara mengutus Patih Halayudha atau menurut Nagarakretagama Jayanagara sendiri memimpin pasukan menyerbu Lamajang untuk menghancurkan pemberontakan tersebut. Pasukan Majapahit mengepung dan menyerbu benteng pertahanan Nambi di desa Gending dan Pejarakan. Kedua benteng ini akhirnya berhasil dihancurkan oleh pasukan Majapahit. Dalam pertempuran itu Nambi beserta segenap pengikutnya gugur di dalam benteng terakhirnya. Strategi utama Majapahit adalah penekanan cepat terhadap pusat perlawanan dengan kekuatan militer unggul, dipadukan dengan penghancuran benteng pertahanan Blambangan. Taktik pengepungan dan serangan langsung ini menunjukkan kemampuan Majapahit memusatkan pasukan terlatih ke wilayah yang terpencil.
Kronologi Penaklukan Blambangan oleh Majapahit
- 1295–1309: Setelah berdirinya Majapahit (1293), Raden Wijaya mengalokasikan wilayah timur (dikenal sebagai Kedaton Wetan) kepada Arya Wiraraja sebagai hadiah atas jasanya. Pada zaman itu Blambangan tercatat sebagai kumpulan desa-desa (watek) yang dianugerahi status perdikan.
- 1301–1331: Arya Wiraraja memerintah Blambangan sampai tahun 1301, kemudian digantikan putranya Arya Nambi (1301–1331). Nambi awalnya setia kepada Majapahit, tetapi pada 1316 ia dikatakan memberontak. Teks Pararaton dan Nagarakretagama memberi catatan terperinci bahwa pada tahun Saka 1238 (1316 M) pasukan Majapahit menyerbu Blambangan dan berhasil menewaskan Nambi beserta keluarganya. Peristiwa ini menandai akhirdari pemerintahan Nambi.
- 1331: Menurut Babad Raja Blambangan, Nambi terbunuh dalam intrik politik pada 1331, meninggalkan kekosongan pimpinan di Blambangan. Selama periode kekosongan ini, Majapahit menguasai kembali penuh wilayah Lamajang–Blambangan.
- 1352: Saat Hayam Wuruk berkuasa (1350–1389), status wilayah itu dinaikkan menjadi Kadipaten resmi Majapahit. Babad Jawa (Babad Dalem) mencatat bahwa pada tahun 1352 Raja Majapahit mengangkat Sri Bhima Chili Kapakisan sebagai adipati pertama Kadipaten Blambangan (Balumbungan). Waktu yang sama, Negarakretagama (1365) menyebut wilayah ini sebagai Kadipaten Balumbungan, menegaskan integrasinya ke Majapahit.
Reaksi Lokal dan Dampak Integrasi
Penumpasan pemberontakan Nambi tidak berjalan mulus. Berita jatuhnya Lamajang memicu pergolakan di kota-kota pelabuhan pesisir timur Jawa (Lamajang Tigang Juru), seperti Sadeng dan Keta, yang juga memberontak melawan penguasa Majapahit. Namun Majapahit segera memadamkan kerusuhan tersebut dengan pasukan tambahan. Setelah itu, integrasi wilayah Blambangan ke dalam Majapahit berlangsung lebih tenang. Daerah itu berfungsi sebagai bagian timur kerajaan, memberikan upeti dan dukungan militer kepada istana pusat. Keberadaan Kadipaten Blambangan di bawah Majapahit diperkuat oleh sebutan dalam prasasti dan kakawin Majapahit, serta catatan kronik (seperti Babad Blambangan) yang merekam transisi kekuasaan ini. Secara administratif dan ekonomi, Blambangan kini menjadi daerah bawahan Majapahit dengan penguasa (adipati) yang ditunjuk raja Majapahit, sehingga wilayah timur Jawa sepenuhnya berada di bawah kendali Majapahit.
Blambangan Sebagai Wilayah Timur Terakhir dan Perannya Setelah Integrasi
Dengan jatuhnya Blambangan di tangan Majapahit (paska 1316), seluruh wilayah Jawa Timur secara de facto berada di bawah kekuasaan Majapahit. Setelah keruntuhan Majapahit pada akhir abad ke-15, Blambangan menjadi satu-satunya kerajaan Hindu yang masih bertahan di Jawa. Pada awal abad ke-16, Blambangan justru menjadi medan persaingan politik: kerajaan-kerajaan Islam baru di Jawa (Demak, Pajang, Mataram) dari barat, dan kerajaan-kerajaan Hindu Bali (Gelgel, Mengwi) dari timur sama-sama menaruh kepentingan di sana. Bahkan Tomé Pires (1512) melaporkan Blambangan sebagai kerajaan Jawa paling kuat di timur Surabaya, dengan pelabuhan Panarukan sebagai pusat kegiatan politik dan perdagangan. Posisi Blambangan sebagai “benteng timur” Majapahit menjadikannya wilayah penyangga budaya Hindu Jawa; Balinese beranggapan Blambangan perlu dipertahankan sebagai penahan pengaruh Islam dari barat. Dengan demikian, penaklukan Blambangan menandai penyatuan wilayah timur Nusantara ke dalam Majapahit, dan pascanya Blambangan memainkan peranan penting sebagai penghubung politik-budaya antara Jawa dan Bali di era pasca-Majapahit.
📚 DAFTAR REFERENSI
🔸 Sumber Primer dan Naskah Kuno
- Pararaton (Kitab Raja-Raja) – Naskah sejarah Jawa yang mencatat pemberontakan Arya Nambi dan ekspedisi Majapahit di Lamajang (Blambangan).
- Negarakretagama – Mpu Prapanca (1365 M). Menyebutkan wilayah Balumbungan (Blambangan) sebagai bagian Majapahit.
- Babad Raja Blambangan – Lontar sejarah lokal yang mengisahkan tokoh Arya Wiraraja, Nambi, serta transisi kekuasaan Blambangan ke Majapahit.
- Babad Dalem – Menyebut hubungan dinasti Kepakisan dan wilayah Blambangan di masa pasca-Majapahit.
🔸 Buku & Karya Akademik
- Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2005.
- Pigeaud, Theodore G.Th. Java in the 14th Century. The Hague: Martinus Nijhoff, 1960.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
- Zoetmulder, P. J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan, 1974.
🔸 Penelitian dan Artikel Ilmiah
- Aji Ramawidi. “Jejak Pemerintahan Blambangan dalam Struktur Kekuasaan Majapahit.” Jurnal Sejarah Nusantara, Vol. 5, No. 1, 2021.
- Herwanto, Djoko. “Lamajang Tigang Juru dan Wilayah Timur Majapahit.” Jurnal Arkeologi, 2018.
- Wirawan, I Nyoman. “Blambangan dan Dinamika Perbatasan Jawa–Bali.” Jurnal Humaniora UGM, 2013.
🔸 Sumber Eropa Klasik
- Pires, Tomé. Suma Oriental. 1512. Diterjemahkan oleh Armando Cortesão, London: Hakluyt Society, 1944.
🔸 Situs & Ensiklopedia Online
- Wikipedia Bahasa Indonesia:
- Historia.id – “Blambangan: Benteng Terakhir Hindu Jawa”, 2020.
- Kompas.com – “Blambangan dan Ekspansi Majapahit ke Ujung Timur Jawa”, 2021.