Perang Paregreg (Perang Saudara Majapahit 1404M–1406M)

Perang Paregreg (1404–1406), perang saudara dalam Majapahit antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi. latar belakang dinasti pasca wafatnya Hayam Wuruk, jalannya perang, keterlibatan pihak asing seperti Tiongkok, serta dampaknya terhadap stabilitas politik dan kemunduran Majapahit.

Perang Paregreg (1404–1406)

Perang Paregreg adalah perang saudara besar yang terjadi di akhir masa Majapahit. Konflik ini meletus antara kerabat-kerabat kerajaan—yakni antara penguasa Kedhaton Kulon (keraton barat) dipimpin Raja Wikramawardhana dan Kedhaton Wetan (keraton timur) di bawah Bhre Wirabhumi. Perang berlangsung sekitar tahun 1404 hingga 1406 dan berakibat fatal bagi kejayaan Majapahit. Sepanjang perang ini kemenangan terus berganti-ganti antara kedua belah pihak, hingga pihak barat akhirnya menang pada 1406. Akibatnya Majapahit terlemahkan: sumber-sumber mencatat perang Paregreg “meruntuhkan sendi-sendi Majapahit” sebagai kekuatan nusantara.

Latar Belakang Politik Setelah Hayam Wuruk

Konflik Paregreg berakar dari masalah suksesi setelah wafatnya Raja Hayam Wuruk tahun 1389. Di masa Hayam Wuruk, Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Ia tidak hanya menaklukkan pulau-pulau sekitarnya, tapi juga mewariskan pengaruh besar, termasuk melalui kakak dan iparnya. Namun ketika Hayam Wuruk tiada, muncul ketidakjelasan tentang siapa yang berhak menggantikannya. Menurut Pararaton, putri mahkota Kusumawardhani (putri tunggal Hayam Wuruk dan permaisuri Gayatri) bersama suaminya Wikramawardhana naik tahta memerintah bersamaan sebagai raja dan ratu. Wikramawardhana sendiri adalah keponakan sekaligus menantu Hayam Wuruk (suami Kusumawardhani), menandai rajanya dari garis keturunan Rajasa.

Di lain pihak, Hayam Wuruk juga memiliki putra dari selir, yaitu Bhre Wirabhumi. Meskipun Wirabhumi bukan putra mahkota resmi, ia menganggap dirinya juga berhak atas takhta Majapahit karena darah raja. Di masa itu, gelar Bhre (setara adipati) diberikan pada para anggota dinasti yang memerintah wilayah tertentu. Bhre Wirabhumi memang diangkat menjadi penguasa wilayah timur, yaitu Blambangan (secara administratif masih bagian Majapahit). Kondisi inilah yang menimbulkan ketegangan. Oleh karena keduanya adalah keturunan langsung (putri dan putra Hayam Wuruk), persaingan ini menjadi konfrontasi keluarga yang rumit.

Situasi politik makin rumit karena pembagian wilayah Majapahit sejak berdiri. Sejak masa pendiri Raden Wijaya (abad 13), kerajaan ini memang dibagi dua: wilayah Jawa timur dibagi antara yang disebut istana barat (pusat di ibu kota Trowulan) dan istana timur (pusat di Lumajang/Blambangan). Awalnya pembagian itu dibuat sebagai penghargaan kepada pendukung (misalnya kepada Arya Wiraraja), namun kemudian kedua bagian ini pernah disatukan kembali di bawah pemerintahan penerusnya, Kanjuruhan Jayanegara. Pada masa Hayam Wuruk, Majapahit bersatu penuh.

Akan tetapi menjelang akhir pemerintahan Hayam Wuruk pembagian lama terulang kembali. Sekitar 1376 Pararaton melaporkan munculnya “kerajaan baru” di timur sebagai lawan kekuasaan pusat Majapahit. Catatan Dinasti Ming tahun 1377 mencatat dua kerajaan di Jawa: satu dipimpin “Wu-lao-po-wu” (Hayam Wuruk) dan satu lagi “Wu-lao-wang-chieh” yang dipahami sebagai Arya Wengker alias Wijayarajasa (suami Rajadewi, saudara Hayam Wuruk). Ringkasnya, meski sebagian besar rentang Majapahit Jawa Timur memerintah di Trowulan, terdapat semacam kabupaten otonom di timur laut (Blambangan dan sekitarnya).

Setelah Hayam Wuruk meninggal, keretakan politik yang sudah terpendam selama berbulan-bulan meletus menjadi konflik terbuka. Masalah perebutan tahta memicu permusuhan antara pihak Wikramawardhana (istana barat) dengan pihak Wirabhumi (istana timur). Dalam konteks ini, faktor keluarga dan gelar keturunan menjadi sarat sengketa. Misalnya, Pararaton menyebut terjadi perselisihan mengenai gelar Bhre Lasem (pemimpin wilayah Lasem) yang memicu ketegangan sejak 1400-an. Persekongkolan dan penunjukan gelar-gelar daerah ini kerap bersinggungan dengan garis keturunan Hayam Wuruk. Singkatnya, perpaduan warisan darah dan pembagian wilayah geografis akhirnya membuat Majapahit terbagi dua menjelang perang Paregreg.

Istana Barat vs Istana Timur: Kedhaton Kulon dan Kedhaton Wetan

Secara formal, kubu yang berperang adalah Kedhaton Kulon (kerajaan barat) dan Kedhaton Wetan (kerajaan timur) Majapahit.

  • Kedhaton Kulon (Majapahit Barat): Dikepalai oleh Raja Wikramawardhana. Ia adalah menantu sekaligus keponakan Hayam Wuruk (suami Kusumawardhani). Setelah wafatnya Kusumawardhani (tahun 1400 menurut beberapa versi), Wikramawardhana memerintah sendiri sebagai raja Majapahit. Raja Wikramawardhana pada masa Paregreg menempatkan Pangeran (putranya) Bhre Tumapel sebagai senapati/panglima utama. Nama pribadi Wikramawardhana tercatat dalam Pararaton sebagai Raden Gagak Sali; ibunya adalah Dyah Nertaja (adik Hayam Wuruk) dan ayahnya Raden Sumana (Bhre Paguhan). Setelah konflik Paregreg usai, garis kerajaan barat ini berlanjut sampai Suhita (putri Wikramawardhana) naik tahta.
  • Kedhaton Wetan (Majapahit Timur): Dipimpin oleh Bhre Wirabhumi, putra haram Hayam Wuruk dari selir (disebut “anak selir” dalam sumber). Wirabhumi diangkat menjadi adipati Blambangan dan berkuasa di wilayah timur laut Jawa. Ia menjalin ikatan dinasti: menurut Pararaton, Wirabhumi bahkan diadopsi oleh Wagelan Sri Rajadewi (bini Wijayarajasa), dan kemudian menikahi seorang putri Kanjuruhan Lasem. Keturunan Wirabhumi (Bhre Daha) kelak menjadi nyonya Raja Wikramawardhana dan melahirkan Permaisuri Suhita. Pada masa Paregreg, Wirabhumi berkuasa mengendalikan pertahanan di Blambangan-Lumajang dan kerap mendapat dukungan regional, tetapi ia tidak diakui sebagai raja sah Majapahit.

Tokoh kunci lainnya adalah Raden Gajah (gelar Bhre Narapati), seorang mahapatih istana barat. Ia dikenal sebagai panglima yang akhirnya membunuh Bhre Wirabhumi. Kapal-kapal Cheng Ho pun akhirnya terlibat melalui nama orang China seperti Ma Huan, dan pembantunya Fei Xin, yang mencatat peristiwa dalam Yingya Shenglan. Dalam literatur Jawa berikutnya (Serat Kanda, Damarwulan), kisah perang Paregreg bahkan diungkap dengan tokoh fiktif seperti Ratu Kencanawungu dan Damarwulan, tetapi itu bersifat pewayangan belaka.

Kronologi dan Jalannya Perang Paregreg

Perang Paregreg berlangsung selama kurang lebih dua tahun. Menurut catatan Pararaton, ketegangan antara kedua raja mulai tampak sejak sekitar tahun 1401, ketika Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana bertengkar dan “tidak saling menyapa”. Namun perang terbuka baru meletus sekitar 1404. Dalam sumber Nusantara disebut perang saudara antara Majapahit Barat (istana barat) melawan Blambangan Timur (istana timur) pada tahun itu.

Berikut adalah rangkaian pertempuran penting menurut sumber-sumber sejarah:

  • Tahun 1404 – Pecah perang saudara. Baik sumber tradisional Pararaton maupun karya sejarah modern sepakat bahwa pada tahun 1404 konflik bersenjata terjadi. Pada awal perang ini, tidak ada informasi rinci tentang pertempuran pertama, tetapi dikisahkan serangan demi serangan terjadi di wilayah Jawa Timur. Pasukan Wikramawardhana (barat) dan pasukan Wirabhumi (timur) saling bentrok dalam beberapa babad dan prasasti mundur. Menurut interpretasi linguistik Pararaton, istilah “Paregreg” sendiri berarti perang yang terjadi bertahap secara perlahan, menggambarkan bahwa peperangan berlangsung berjenjang.
  • Pergeseran Kemenangan – Dalam konflik tersebut, tidak ada pihak yang dengan cepat mengunci kemenangan. Kedua kubu meraih kemenangan secara silih berganti. Demikian dijelaskan beberapa sumber lokal: “Kemenangannya silih berganti, kadang istana barat yang unggul, lalu giliran istana timur”. Artinya, dalam beberapa tahun perang tersebut, beberapa pertempuran dimenangkan pihak timur, kemudian berikutnya pihak barat memperoleh keunggulan, begitu seterusnya.
  • Peran Bhre Tumapel – Seiring berjalannya perang, panglima utama kubu barat adalah Pangeran Bhre Tumapel (putra Wikramawardhana). Ia memimpin pasukan Majapahit Barat menyerang wilayah timur. Strategi serangan umumnya adalah menyerbu pusat pemerintahan musuh. Menurut catatan, pada tahun 1406 Bhre Tumapel memimpin serangan besar-besaran ke ibu kota Kerajaan Timur. Pasukan Majapahit Barat mendobrak pertahanan timur hingga terjadi pengepungan.
  • Serangan Akhir (1406) – Keputusan militer terbesar diambil pada 1406. Pasukan barat melancarkan ofensif terintegrasi ke jantung wilayah timur. Menurut catatan Pararaton dan prasasti, tahun itu pasukan Majapahit Barat “menyerbu pusat kerajaan timur” di Blambangan. Dalam pertempuran ini, Bhre Wirabhumi mengalami kekalahan telak. Ia dan pengikutnya terdesak keluar kota. Wirabhumi sempat melarikan diri lewat laut dengan perahu malam-malam, tetapi dikejar dan akhirnya dibunuh di pesisir oleh Raden Gajah (Bhre Narapati) dari pihak barat. Kepala Wirabhumi lalu dibawa ke istana barat sebagai tanda kemenangan. Dengan tewasnya pemimpin Timur, pertahanan Kubuh Istana Timur runtuh.

Sepanjang perang tersebut tidak disebutkan secara eksplisit penggunaan senjata baru atau taktik khusus lain selain formasi pasukan regular dan pengepungan benteng. Kemenangannya banyak ditentukan oleh kapasitas dukungan lokal dan strategi pengerahan pasukan. Sumber menyebut dua kubu memfokuskan pertempuran di wilayah timur Jawa dan pesisirnya; misalnya musuh lain seperti Kendari atau pasukan Bali tidak banyak disebut terlibat. Perlu dicatat pula bahwa selama konflik, China menyebut perang ini, menandakan minatnya, tetapi bukan dalam bentuk militer yang membelakan Bhre Wirabhumi (bahkan sebaliknya, utusan Tiongkok di timur terkena serangan pasukan barat). Pada akhirnya kekalahan Wirabhumi dan jatuhnya Blambangan di tahun 1406 memastikan kemenangan permanen Majapahit Barat.

Campur Tangan Tiongkok

Perang Paregreg bertepatan dengan periode ekspedisi Laksamana Cheng Ho (Zheng He) dari Dinasti Ming ke Samudra Hindia (mulai 1405). China saat itu menunjukkan minat diplomatik dan militer di Asia Tenggara. Dalam konteks Paregreg, ada beberapa interaksi penting dengan armada China:

  • Pada masa 1405, rombongan Cheng Ho mengunjungi kawasan Jawa. Menurut catatan Cina, utusan Tiongkok ikut “bertamu” ke Majapahit saat perang berlangsung. Khususnya, sekitar akhir perang, utusan Dinasti Ming sedang berada di Istana Timur (Blambangan) ketika pasukan Majapahit Barat menyerang. Karena tidak menyangka terjadi perang saudara, sekitar 170 orang Tionghoa (bagian ekspedisi Cheng Ho) menjadi korban jiwa dalam pertempuran tersebut. Ini merupakan satu-satunya kejadian ketika pasukan Cheng Ho jatuh korban.
  • Insiden itu membuat Kaisar Yongle marah besar. Menurut Yingya Shenglan (catatan Cheng Ho oleh Ma Huan), Wikramawardhana lantas diharuskan membayar tebusan emas besar (60.000 tahil logam mulia) sebagai denda kepada pengadilan Ming. Hanya 10.000 tahil yang sempat terbayar hingga 1408, sebelum Kaisar Yongle akhirnya mengampuni sisanya. Peristiwa ini juga terekam dalam sumber Tiongkok Ming Shilu dan karya Ma Huan, yang mencatat kekacauan perang saudara Majapahit.
  • Sekalipun ada kontak semacam “intervensi”, pihak Dinasti Ming sebenarnya tidak memilih-pihak secara terang-terangan. Tidak ada bukti mereka mendukung Bhre Wirabhumi; justru, baik utusan militer maupun diplomatik mereka terjebak konflik tanpa memihak. Setelah pasca-insiden, armada Cheng Ho beralih melaut menuju daerah barat Jawa (Semarang). Dalam perspektif Majapahit, keterlibatan China ini justru semakin membebani sumber daya kerajaan (utang emas) dan memperlihatkan lemahnya otoritas pusat menghadapi kekuatan asing.

Sebagai catatan, catatan Ming menyinggung “dua kerajaan di Jawa” sejak era Hayam Wuruk (Wu-lao-po-wu vs Wu-lao-wang-chieh), namun itu lebih mengacu pada pembagian lama (Arya Wiraraja dll). Pada masa Paregreg sendiri, China lebih bersikap reaktif daripada proaktif mendukung salah satu pihak. Intinya, “campur tangan Tiongkok” menambah dimensi konflik Paregreg menjadi insiden berdampak internasional, meski tidak secara militer membuka front baru melawan Majapahit.

Dampak Perang dan Kemunduran Majapahit

Perang Paregreg adalah bencana besar bagi Majapahit yang pada akhirnya melemahkan struktur politik, ekonomi, dan militer kerajaan. Dampak utamanya antara lain:

  • Pelemahan otoritas pusat: Setelah perang berakhir dengan kemenangan Wikramawardhana, Majapahit bersatu kembali secara resmi. Namun, kekuasaan raja Majapahit tidak lagi sekuat sebelumnya. Banyak wilayah luar Jawa lepas kendali. Misalnya, sumber menyebut Kerajaan Majapahit kehilangan pengaruh atas daerah-daerah di luar Jawa (seperti Kalimantan, Palembang, Melayu, Brunei, Malaka). Wilayah-wilayah perdagangan yang dulu dikuasai Majapahit semakin lepas, seperti Palembang dan daerah semenanjung Melayu yang tumbuh sebagai pelabuhan bebas. Dengan demikian struktur mandala kekuasaan Majapahit terobek, membuka kesempatan kekuatan Islam seperti Samudra Pasai dan Malaka tumbuh.
  • Keruntuhan ekonomi: Perang saudara menguras keuangan negara. Pajak dan bea ekspor-impor terhambat oleh konflik, perdagangan laut terganggu. Sumber [17] menegaskan bahwa sendi-sendi perekonomian Majapahit “mengalami kemunduran” akibat perang Paregreg. Cadangan negara terkuras untuk membiayai pasukan. Ditambah, pembayaran denda emas ke Dinasti Ming makin memperparah krisis keuangan. Dalam dekade berikutnya, Majapahit kesulitan membiayai armada maupun membendung pemisahan perdagangan ke kekuatan lain (seperti Malaka).
  • Kemunduran politik dan ideologi: Perang saudara ini juga mengguncang stabilitas politik internal Majapahit. Nilai-nilai kebinekaan dan kesatuan yang sebelumnya dicanangkan (misalnya semboyan Bhinneka Tunggal Ika) mengalami “hilangnya makna” akibat perselisihan darah. Di bidang politik, Pasca-Paregreg birokrasi kerajaan menegaskan kekuasaan raja sebagai hasil garis keturunan langsung (monarki absolut), seakan memperbaiki legitimasi kekuasaannya dari hak waris yang sah. Namun realitanya, perebutan kekuasaan sesama keluarga menginspirasi perebutan lainnya. Secara internal, pergolakan ini menurunkan legitimasi keraton di mata rakyat. Secara eksternal, negara tetangga (seperti Demak kelak) melihat Majapahit rentan.
  • Kerugian militer dan wilayah: Selain kekuasaan menurun, pertahanan Majapahit melemah. Beberapa mantan vasal pun lepas kendali karena tidak ada kekuatan pusat yang tegas. Kajian [17] menunjukkan pasca-Paregreg Majapahit “kehilangan wilayah kekuasaannya” di banyak tempat seperti Kalimantan, Palembang, Melayu, Brunei, Malaka. Ini mencerminkan Majapahit turun sebagai penguasa maritim menjadi kerajaan yang sebatas Jawa. Sementara itu, persaingan elite internal menyebabkan aset militer seperti armada laut terpecah atau tidak difungsikan maksimal. Meski diperoleh kembali kedua bagian (barat-timur) setelah perang, kepercayaan diri angkatan bersenjata Majapahit tidak pernah pulih sepenuhnya.

Secara keseluruhan, banyak sejarawan sepakat bahwa Paregreg menandai awal kemunduran Majapahit yang berlanjut ke abad-abad berikutnya. Meskipun Majapahit bertahan puluhan tahun lagi setelah 1406, otoritas pusatnya terus melemah hingga akhirnya benar-benar runtuh dalam setengah abad berikutnya saat Islamisasi dan munculnya Demak. Perang Paregreg menjadi momen kritis: kerajaan yang dulu terkuat di Nusantara memasuki dekade panjang krisis internal, yang memudahkan kekuatan baru (seperti Demak) mengambil alih pengaruh. Seperti disimpulkan beberapa sumber modern: “Perang Paregreg berlangsung dua tahun dan diyakini menjadi salah satu penyebab hancurnya Kerajaan Majapahit”; perang saudara ini “meruntuhkan sendi-sendi Majapahit sebagai hegemoni di Nusantara”.

Dengan kata lain, Paregreg mengikis daya Majapahit secara total—di aspek politik, ideologi, ekonomi, dan militer. Pusaran konflik saudara menghabiskan sumberdaya, memisah-belah budaya kerajaan, dan mengalihkan perhatian raja dari urusan luar negeri menjadi semata mempertahankan kekuasaan internal. Hasilnya adalah keruntuhan berangsur: kekuasaan Majapahit tidak lagi mencakup nusantara luas, ekonomi menurun, sedangkan sentralisasi politik makin dipertanyakan. Perang saudara ini kerap dianggap titik awal kemerosotan Majapahit, setelah sebelumnya berabad-abad bertahan sebagai kekuatan besar Hindhu-Budha di Indonesia.


📚 DAFTAR REFERENSI

🔸 Sumber Primer dan Naskah Kuno

  1. Pararaton – Kitab Raja-Raja, naskah sejarah berbahasa Jawa Kuno yang mencatat silsilah, peristiwa politik, dan Perang Paregreg.
  2. Nagarakretagama – Mpu Prapanca, 1365 M. Memberi latar belakang struktur kerajaan dan garis keturunan Hayam Wuruk.
  3. Ming Shi (明史) – Sejarah resmi Dinasti Ming, menyebut dua kerajaan di Jawa dan insiden perang saudara.
  4. Yingya Shenglan (瀛涯胜览) – Catatan Ma Huan, penerjemah armada Cheng Ho, mencatat dampak Perang Paregreg terhadap utusan Tiongkok.

🔸 Buku dan Karya Ilmiah

  1. Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2005.
  2. Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia Since c.1200. Stanford University Press, 2008.
  3. Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
  4. Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan, 1974.

🔸 Artikel Ilmiah dan Jurnal Sejarah

  1. Pigeaud, Th.G.Th. “Java in the 14th Century: A Study in Cultural History.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 1960.
  2. Pradjoko, Edhi. “Perang Paregreg dan Dampaknya Terhadap Kemunduran Majapahit.” Jurnal Sejarah Nusantara, 2021.
  3. Wirawan, I Nyoman. “Runtuhnya Struktur Kekuasaan Kerajaan Majapahit Akibat Perang Saudara.” Jurnal Humaniora, 2019.

🔸 Ensiklopedia dan Sumber Daring

  1. Wikipedia Bahasa Indonesia:
  2. Historia.id – “Perang Paregreg dan Awal Runtuhnya Majapahit”, 2020.
  3. Kompas.com – “Wikramawardhana, Bhre Wirabhumi, dan Tragedi Perang Paregreg”, 2022.

About administrator