Sejarah konflik antara Janggala dan Panjalu (Kadiri) sejak pembagian Kahuripan oleh Airlangga sekitar tahun 1045 M hingga kemenangan Kadiri di bawah Raja Jayabaya pada awal abad ke-12. Tulisan ini akan mencakup latar belakang politik, tokoh-tokoh penting, strategi militer, dan dampaknya terhadap sejarah Jawa Timur.
Latar Belakang Pembagian Kerajaan Kahuripan (1042–1045 M)
Pada awal abad ke-11, Raja Airlangga memerintah Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur sebagai penerus Wangsa Isyana. Menjelang akhir masa kekuasaannya, Airlangga dihadapkan pada krisis suksesi. Putri mahkota yang ia tunjuk, Sanggramawijaya Tunggadewi (dikenal sebagai Dewi Kilisuci), menolak takhta dan memilih hidup sebagai pertapa. Dengan mundurnya pewaris utama, dua putra Airlangga dari selir – Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan – muncul sebagai calon pengganti, sehingga dikhawatirkan akan terjadi perebutan kekuasaan berdarah.
Untuk mencegah perang saudara, Airlangga mengambil langkah politis luar biasa: ia memutuskan membagi kerajaan menjadi dua pada sekitar tahun 1042–1045 M. Menurut kronik Jawa dan prasasti, Airlangga meminta bantuan seorang brahmana sakti bernama Mpu Bharada untuk menentukan tapal batas pembagian. Legenda menyebut Mpu Bharada terbang di angkasa sambil menuangkan air dari kendi tanah liat; tetesan air itu jatuh membelah bumi dari Gunung Kelud ke arah selatan, menjadi batas alam dua kerajaan baru. Wilayah barat disebut Kerajaan Panjalu (atau Kadiri), beribu kota di Daha (kini Kediri), diperintah oleh Sri Samarawijaya; sedangkan wilayah timur menjadi Kerajaan Janggala (atau Kahuripan), berpusat di kota lama Kahuripan (sekitar Sidoarjo), dipimpin oleh Mapanji Garasakan. Konon, garis batas ini memanfaatkan bentang alam seperti aliran Sungai Brantas dan pegunungan di Jawa Timur. Pembagian kerajaan oleh Airlangga ini juga tercatat dalam sumber-sumber kuno seperti Negarakretagama, Serat Calon Arang, prasasti Mahasukha, dan Prasasti Pamwatan, menandai berakhirnya Kerajaan Kahuripan pada 1042/1045 M.
Airlangga berharap dengan memecah Kahuripan, kedua putranya mendapatkan bagian kekuasaan masing-masing sehingga perdamaian terjaga. Namun, niat mulia ini ternyata gagal mencegah konflik. Sumber sejarah menegaskan bahwa tak lama setelah Airlangga turun takhta (dan wafat sekitar 1049 M), permusuhan terbuka justru pecah antara Panjalu dan Janggala. Sejarawan R. Moh. Ali mencatat: “Tidak lama sesudah Airlangga meninggal dunia, terjadilah pertempuran antara dua negara ini: Daha dan Jenggala”. Dengan demikian, pembagian Airlangga sebenarnya menjadi awal dari rangkaian perang saudara berkepanjangan yang akan mewarnai sejarah Jawa Timur selama beberapa dasawarsa berikutnya.
Kerajaan Janggala dan Panjalu: Dua Pewaris Kahuripan
Kerajaan Janggala dan Kerajaan Panjalu (Kadiri) lahir dari pembelahan Kahuripan tersebut. Keduanya merupakan kerajaan Hindu-Buddha yang masih satu rumpun, meneruskan dinasti Isyana. Meskipun bersaudara, mereka segera berkembang sebagai entitas politik terpisah dengan ambisi yang saling bertubrukan.
- Kerajaan Janggala (disebut pula “Jenggala”) mencakup bagian timur laut bekas Kahuripan. Ibu kotanya di Kahuripan (dekat Sidoarjo sekarang), dan pelabuhan utamanya adalah Hujung Galuh di muara Brantas (kawasan Surabaya). Wilayah Janggala meliputi delta Sungai Brantas, daerah pesisir utara Jawa Timur seperti Surabaya, Rembang, Pasuruan, serta daerah pedalaman sekitar Malang. Posisi geografis ini strategis: Janggala menguasai jalur perdagangan maritim dan sungai, menjadikannya pewaris infrastruktur niaga Kahuripan. Mapanji Garasakan sebagai raja pertamanya segera memanfaatkan keunggulan ini. Di awal berdirinya, Janggala mengalami pertumbuhan pesat di bidang ekonomi dan pemerintahan berkat kepiawaian Garasakan bernegosiasi dan mengelola negara. Ia aktif menjalin diplomasi dengan wilayah-wilayah lain dan memastikan pelabuhan Janggala menjadi pusat dagang penting. Secara kultural, Janggala mewarisi ibu kota lama Airlangga dan simbol-simbol kerajaannya. Prasasti-prasasti Janggala yang ditemukan – seperti Prasasti Turun Hyang II (1044), Prasasti Kambang Putih (1050), dan Prasasti Garaman (1053) – umumnya berbahasa Jawa Kuno dan bersegel Garudamukha, lambang garuda milik Airlangga. Penggunaan cap kerajaan Airlangga ini menunjukkan Garasakan berusaha meneguhkan legitimasinya sebagai penerus sah tahta ayahnya. Raja-raja Janggala ingin diakui sebagai ahli waris wangsa Isyana, sehingga tetap memakai regalia lama Kahuripan.
- Kerajaan Panjalu (lebih dikenal sebagai Kerajaan Kadiri/Kediri) menguasai bagian barat daya wilayah Kahuripan. Wilayahnya meliputi daerah sekitar Kediri sekarang, termasuk sebagian Madiun dan dataran tinggi barat Sungai Brantas. Pusat pemerintahannya berada di kota Daha (disebut juga Dahanapura, “kota api”), sebuah kota kuno di tepi Sungai Brantas yang sebelumnya telah didirikan Airlangga sekitar tahun 1032. Dengan dipindahkannya ibu kota ke Daha menjelang akhir pemerintahan Airlangga, Panjalu mewarisi kota kerajaan yang sudah mapan. Raja pertama Panjalu adalah Sri Samarawijaya, putra Airlangga. Berdasarkan Prasasti Pucangan (1041), Samarawijaya pernah menjabat Rakryan Mahamantri – jabatan tinggi setara putra mahkota – pada masa Airlangga. Gelar lengkapnya saat menjadi raja adalah Sri Samarawijaya Dharmasuparnawahana Teguh Uttunggadewa. Meskipun tampak sebagai penerus alami, masa pemerintahan Samarawijaya di Panjalu justru kurang terdokumentasi. Tidak ditemukan satupun prasasti yang berangka tahun masa kekuasaannya, sehingga periode ini disebut “masa kegelapan” dalam sejarah Kediri. Kisah Samarawijaya hanya diketahui dari naskah dan silsilah, yang menyebut ia naik takhta bertepatan dengan turunnya Airlangga menjadi pertapa pada 1042. Bagaimana akhir kekuasaannya pun tidak pasti; ia mungkin wafat atau lengser di tengah pergolakan, karena setelah itu Panjalu seolah “menghilang” dari catatan selama beberapa dekade. Sebagian spekulasi dari sejarawan modern bahkan mengaitkan nama Samarawijaya dengan tokoh di Jawa Barat (Prasasti Cibadak/Jayabupati 1030 M), menduga ia mungkin meninggalkan Jawa Timur untuk memerintah di Galuh demi menghindari konflik berkepanjangan dengan Garasakan. Namun teori ini belum terkonfirmasi, dan yang jelas setelah era awal, kekuatan Panjalu baru tampak lagi dalam sumber sejarah pada awal abad ke-12.
Samarawijaya dan Mapanji Garasakan sebagai pendiri dua kerajaan kembar ini merupakan tokoh sentral. Keduanya putra Airlangga yang berseteru secara politik meski masih saudara. Samarawijaya, kemungkinan lebih tua atau setidaknya pernah disiapkan sebagai pewaris, barangkali merasa berhak atas seluruh takhta Kahuripan. Di lain pihak, Garasakan sebagai putra dari ibu lain (mungkin selir) juga menuntut bagian warisan kekuasaan. Rivalitas personal ini segera berubah menjadi permusuhan terbuka antara kerajaan yang mereka pimpin.
Perang Saudara Janggala–Panjalu (1045–1130-an M)
Pembagian Kahuripan yang dimaksudkan untuk mencegah konflik justru melahirkan perang saudara berkepanjangan. Sejak awal 1040-an, Janggala dan Panjalu terlibat serangkaian peperangan yang silih berganti menang-kalah, sebelum akhirnya Panjalu keluar sebagai pemenang sekitar tahun 1130-an M.
Pecahnya Perang dan Babak Pertama (1044–1053 M)
Tidak lama setelah Airlangga lengser (1042) dan wafat (1049), bentrokan militer pertama antara Janggala dan Panjalu terjadi. Pada tahun 1044 M, Raja Garasakan dari Janggala mengeluarkan Prasasti Turun Hyang II yang mencatat peristiwa perang saudara tersebut. Isi prasasti ini berupa piagam anugerah untuk penduduk Desa Turun Hyang atas jasa mereka membantu Raja Mapanji Garasakan “dalam peperangan pada waktu raja memisahkan diri dari Haji (Raja) Panjalu”. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa Garasakan harus berperang demi memisahkan kekuasaannya dari Panjalu, seolah Panjalu pada awalnya mencoba mengklaim wilayah Janggala. Dengan kata lain, meski kerajaan sudah dibagi, mungkin terjadi sengketa batas atau klaim takhta penuh oleh salah satu pihak sehingga perang tak terhindarkan. Prasasti Turun Hyang ini menegaskan tahun 1044 sebagai titik mula perang saudara Janggala-Panjalu secara eksplisit.
Peperangan antara dua saudara ini berlangsung sengit dan berkepanjangan. Sumber-sumber epigrafi Janggala mengindikasikan perang berlangsung secara maraton sepanjang dekade berikutnya. Prasasti Malenga (1052) menyebut perang kembali berkobar pada tahun itu, sementara Prasasti Garaman (1053) yang dikeluarkan Raja Garasakan juga masih bercerita tentang peperangan. Dalam Prasasti Garaman, Garasakan memberikan anugerah tanah sima kepada Desa Garaman (Watak Airthani) karena penduduknya berjasa memberi laporan kedatangan musuh, yakni Raja Panjalu. Ini menunjukkan bahwa Janggala mengandalkan intelijen rakyat setempat untuk mendeteksi serangan Panjalu, dan strategi “hadiah” dipakai untuk memastikan loyalitas penduduk. Di sisi lain, meski lebih sedikit meninggalkan bukti tertulis, pihak Panjalu juga mengakui terjadinya perang saudara itu. Prasasti Mataji (1051) dari Panjalu, ditemukan di daerah Nganjuk, menceritakan Raja Panjalu menghadiahkan sima (tanah perdikan) kepada Desa Mataji yang membantu raja menumpas musuh-musuhnya. Fakta ini memperkuat kabar bahwa pertempuran besar memang berlangsung sekitar 1040–1050-an dan melibatkan partisipasi aktif dari rakyat kedua belah pihak. Kedua kerajaan saling mengerahkan pasukan dan sekutu lokal untuk memenangkan takhta Airlangga yang utuh.
Hasil dari babak pertama perang ini tidak sepenuhnya menentukan, tetapi sumber Janggala cenderung mengklaim keunggulan. Beberapa prasasti Janggala menyebut bahwa Janggala keluar sebagai pemenang dalam dua kali perang melawan Panjalu pada periode tersebut. Hal ini sesuai dengan catatan bahwa tidak terdengar berita tentang Panjalu selama paruh kedua abad ke-11 – menandakan Panjalu mungkin terdesak kala itu. Kemenangan awal Janggala juga didukung bukti bahwa raja-rajanya (Mapanji Garasakan dan penerusnya) terus bertahta hingga setidaknya tahun 1050-an, sementara nama Raja Samarawijaya dari Panjalu menghilang tanpa catatan jelas. Menurut beberapa ahli, Kerajaan Janggala mencapai puncak kekuasaannya pada masa Raja Garasakan dan berhasil menundukkan perlawanan Panjalu dalam beberapa pertempuran kunci.
Dinamika Kekuasaan di Akhir Abad ke-11
Pasca tahun 1050-an, intensitas perang tampaknya menurun, atau setidaknya tidak terdokumentasi dengan baik. Sumber tradisi bahkan menyebut bahwa Kerajaan Janggala runtuh pada 1059 M dan Panjalu muncul sebagai satu-satunya dinasti penerus Airlangga yang tersisa. Pernyataan ini mungkin merujuk pada fakta bahwa raja terakhir Janggala yang diketahui namanya, Samarotsaha (pengganti Alanjung Ahyes), berkuasa sekitar 1059 M. Setelah itu tidak ada lagi prasasti atau raja Janggala yang terdokumentasi. Bisa jadi, sekitar tahun 1059 terjadi titik balik: Panjalu berhasil menaklukkan Kahuripan/Janggala atau setidaknya mengakhiri garis raja-rajanya. Dengan demikian untuk sementara Panjalu unggul, menguasai kembali sebagian besar warisan Airlangga.
Meski begitu, periode ini masih diliputi banyak kekosongan historiografi. Kurangnya berita tentang Panjalu maupun Janggala setelah 1059 membuat para sejarawan menduga adanya status quo atau perdamaian sementara. Kemungkinan besar, setelah pertumpahan darah satu dekade, kedua pihak lelah berkonflik dan memilih konsolidasi internal. Panjalu bisa jadi menguasai Kahuripan, namun bukan tidak mungkin wilayah Janggala tetap bergolak atau dikelola oleh pejabat lokal tanpa raja sendiri. Sementara itu, Panjalu di bawah trah Samarawijaya pun tidak meninggalkan catatan apapun. Inilah masa gelap dalam sejarah Kediri: pemerintahan Samarawijaya dan penerus langsungnya nyaris tak terlacak. Baru menjelang awal abad ke-12, sinar kejayaan Panjalu muncul kembali.
Bukti kebangkitan Panjalu tampak dari kemunculan Prasasti Sirah Keting (1104 M) yang dikeluarkan oleh Sri Jayawarsa. Jayawarsa disebut sebagai raja Panjalu (Kediri) pada tahun itu, memulai lagi rangkaian silsilah raja-raja Kediri yang terdokumentasi. Tidak dijelaskan apakah Jayawarsa adalah keturunan Samarawijaya atau mungkin figur baru, namun yang jelas pada tahun 1100-an awal Panjalu telah stabil kembali sebagai kerajaan yang berdiri sendiri. Prasasti Sirah Keting 1104 menampilkan Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu sebagai raja bijaksana yang peduli kesejahteraan rakyat, bahkan mengesahkan desa Marjaya sebagai sima (desa perdikan) demi kemakmuran rakyatnya. Kehadiran raja yang berwibawa dan dicintai rakyat ini menandakan Panjalu telah pulih dari era konflik sebelumnya dan mulai memperkuat dalam negeri.
Setelah Jayawarsa, berlanjut Raja Bameswara (terkadang ditulis “Kameswara” dalam beberapa sumber) yang memerintah sekitar pertengahan abad ke-12. Prasasti Pikatan (1117 M) dan prasasti lain dari masa Bameswara banyak ditemukan, terutama di wilayah Tulungagung dan Kertosono, berisi catatan keagamaan dan pemerintahan. Ini menggambarkan kondisi kerajaan yang cukup tertib dan makmur di bawah Bameswara, dengan perhatian pada pembangunan spiritual dan infrastruktur. Pada masa ini pula, pusat kekuatan Jawa Timur jelas berada di tangan Panjalu/Kadiri, sementara nama Janggala nyaris tak terdengar lagi sebagai entitas terpisah.
Penyatuan Kembali oleh Kediri (1120–1137 M)
Walau konflik mereda pasca 1050-an, bara persaingan Janggala–Panjalu belum sepenuhnya padam. Di awal 1100-an, tampaknya masih ada sisa-sisa klaim dari pihak keturunan Janggala atau setidaknya identitas Janggala yang terpisah. Penyatuan formal kedua wilayah baru benar-benar terwujud dalam rentang 1120-1130-an melalui kombinasi strategi pernikahan politik dan kemenangan militer yang dicapai oleh raja-raja Kediri.
Langkah rekonsiliasi dimulai oleh Sri Kameswara (kemungkinan nama lain dari Bameswara, atau putra penerusnya) yang bertakhta sekitar 1116–1135 M. Menurut catatan tradisi, Raja Kameswara menikahi seorang putri dari Kerajaan Janggala bernama Dewi Kirana. Dewi Kirana dikenal pula sebagai putri Candra Kirana dalam kisah Panji, yang diyakini adalah putri mahkota Janggala. Pernikahan ini merupakan siasat diplomatik untuk menggabungkan dua keluarga kerajaan yang sebelumnya berseteru. Dengan perkawinan politik tersebut, Janggala seolah disatukan kembali secara damai ke dalam Kediri tanpa peperangan. Banyak versi legenda Panji mengisahkan cinta Raden Panji (Inu Kertapati) dari Janggala dengan Dewi Sekartaji (Candra Kirana) dari Kadiri, yang berakhir dengan bersatunya dua kerajaan. Kisah ini merefleksikan realitas politik bahwa aliansi pernikahan Kameswara-Kirana menjadi kunci menyudahi dualisme kekuasaan di Jawa Timur pada masa itu.
Namun, selain jalur pernikahan, ada pula bukti bahwa tindakan militer tegas diambil untuk memastikan tidak ada lagi perlawanan dari pihak Janggala. Puncak penyatuan terjadi pada masa putra (atau penerus) Kameswara, yaitu Sri Jayabaya, salah satu raja terbesar Kediri. Jayabaya mulai berkuasa sekitar tahun 1135 M. Di awal pemerintahannya, ia menghadapi sisa pertentangan dengan kubu Janggala yang mungkin masih ada. Jayabaya lalu melancarkan operasi penaklukan final. Prasasti Hantang (1135), yang juga dikenal sebagai Prasasti Ngantang, mengabadikan jargon “Panjalu Jayati” yang berarti “Panjalu menang”. Ungkapan ini menandai kemenangan Panjalu atas musuhnya, dan dianggap merujuk langsung pada kemenangan Kediri (Panjalu) atas Janggala yang terakhir. Selain Hantang, Jayabaya mengeluarkan Prasasti Talan (1136) dan Prasasti Jepun (1144) yang meneguhkan kekuasaannya atas wilayah Jawa Timur secara utuh. Menurut catatan sejarah, pada masa pemerintahan Jayabaya inilah Kerajaan Janggala resmi takluk dan dilebur kembali ke dalam Kerajaan Kadiri. R. Moh. Ali menulis bahwa setelah kekalahan itu, “Jenggala kalah dan untuk seterusnya ditempatkan di situ seorang bupati atau Tumenggung”. Artinya, wilayah bekas Janggala tidak lagi memiliki raja sendiri, melainkan diadministrasikan oleh pejabat (semacam gubernur) yang ditunjuk Kediri. Inilah penyelesaian definitif dari konflik pewaris Airlangga: Jayabaya berhasil menyatukan kembali Janggala dan Panjalu di bawah satu mahkota.
Dengan bersatunya dua kerajaan pecahan Kahuripan, Kerajaan Kediri (Kadiri) bertransformasi menjadi kerajaan tunggal yang kuat di Jawa Timur. Ibu kota kerajaan tetap di Kediri (dahulu Daha), dan nama “Panjalu” atau “Kadiri” kian menggantikan penyebutan terpisah. Para sejarawan menganggap tahun 1130-an sebagai tonggak kemenangan Kediri atas Janggala, meskipun prosesnya bertahap melalui diplomasi (perkawinan) dan perang. Periode panjang sekitar 60–90 tahun perang saudara ini berakhir dengan tampilnya Kediri sebagai penerus tunggal dinasti Airlangga. Menurut perkiraan, konflik Janggala–Panjalu berlangsung kurang lebih 60 tahun intensif (1045–1105) dan berlarut-larut hingga ~1135 sebelum benar-benar usai.
Penutup dramatik dari perang saudara ini diabadikan dalam karya sastra agung Kakawin Bharatayuddha. Kakawin (syair Jawa Kuno) ini digubah pada tahun 1157 M oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh atas perintah Raja Jayabaya. Isinya merupakan alegori perang Pandawa vs Kurawa dari Mahabharata yang disesuaikan dengan konteks lokal – jelas dimaksudkan melambangkan pertikaian Panjalu vs Janggala. Dalam penutup kakawin tersebut, kemenangan Pandawa dirayakan, sebagaimana kemenangan Panjalu (Kediri) atas Janggala dirayakan sebagai kemenangan dharma (kebenaran) atas adharma. Mpu Sedah dan Panuluh menyiratkan bahwa perang saudara antara keluarga raja-raja Jawa itu akhirnya membawa kemashuran karena melahirkan kerajaan besar yang bersatu. Seperti disampaikan Moh. Ali: “Perang antara Jenggala dan Panjalu akhirnya menimbulkan kerajaan besar, yakni Kerajaan Kediri”. Bharatayuddha menjadi monumen sastra atas luka sejarah perang saudara sekaligus epos legitimasi bagi dinasti Kediri yang menang.
Peran Raja Jayabaya dalam Penyatuan Jawa Timur
Dalam narasi perang Janggala–Panjalu, sosok Sri Jayabaya (bergelar lengkap Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa) memegang peranan kunci. Ia naik takhta Kadiri sekitar tahun 1135 M, setelah Raja Bameswara/Kameswara. Jayabaya dikenang sebagai raja besar yang menuntaskan visi Airlangga mempersatukan Jawa.
Pada masa pemerintahan Jayabaya Kerajaan Kediri mencapai puncak kejayaannya. Setelah berhasil menaklukkan Janggala dan menyatukan seluruh takhta warisan Airlangga, Jayabaya memfokuskan diri untuk menata kemakmuran kerajaan yang utuh. Banyak prasasti peninggalannya menunjukkan kebijakan pro-rakyat dan pembangunan infrastruktur. Prasasti Hantang (1135) misalnya, selain memproklamirkan Panjalu Jayati, juga menegaskan jaminan keamanan bagi rakyat di wilayah yang baru disatukan. Jayabaya digambarkan sebagai raja yang “sangat mencintai semua rakyatnya dan berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka”.
Stabilitas politik pasca perang memberi ruang bagi pertumbuhan ekonomi pesat. Pertanian subur dan perdagangan maju di era Jayabaya. Sistem irigasi Brantas terus diperbaiki, tanggul-tanggul dijaga, dan jalan-jalan diperkeras. Rakyat panen berlimpah; Kediri dikenal sebagai penghasil beras, kapas, hingga lada utama di Jawa. Perekonomian yang kuat ini bahkan tercatat oleh sejarawan Tiongkok. Kitab Ling-wai-tai-ta (1178) karya Zhou Qufei menyebut Panjalu (Kediri) sebagai salah satu negeri terkaya di dunia, sejajar dengan kekayaan Dinasti Abbasiyah di Timur Tengah, di luar Tiongkok sendiri. Wilayah kekuasaan Panjalu pada masa itu dilaporkan meliputi hampir seluruh Jawa (dari Pacitan, Medang, Malang, Dieng, Hujung Galuh/Surabaya) bahkan hingga luar Jawa seperti “Jenggi” (Papua), Sumba, Bali, Kalimantan Barat (Tanjungpura), Maluku, dan lain-lain. Meskipun catatan Tiongkok ini mungkin berlebih-lebihan dalam cakupan, ia mengindikasikan pengaruh Kediri meluas ke seantero Nusantara di bawah dinasti Jayabaya dan penerusnya.
Jayabaya juga memperkuat armada maritim Kediri. Menurut kronik lokal, Kediri pada masa Jayabaya memiliki angkatan laut yang tangguh, yang mampu mengawal perdagangan laut dan ekspansi pengaruh sampai ke pulau-pulau seberang. Konon, bahkan negeri jauh seperti Ternate di Maluku menjadi kerajaan bawahan Kediri di era ini. Ekspedisi maritim dan hubungan luar negeri yang baik menjadikan Kediri pemain utama di Asia Tenggara, menggantikan dominasi Sriwijaya yang surut.
Selain sebagai pemimpin jaya, Jayabaya melegenda karena sifat visionernya. Ia dikisahkan sebagai raja adil bijaksana dan dianggap titisan Dewa Wisnu dalam babad Tanah Jawi. Ramalan Jayabaya (Jangka Jayabaya), yang berisi prediksi tentang masa depan Jawa, sangat masyhur hingga saat ini. Ramalan tersebut dipercaya mengandung nubuat tentang penjajahan asing hingga kemerdekaan Indonesia, dan banyak “terbukti” di kemudian hari, menambah aura keramat Jayabaya di mata generasi penerus.
Secara garis besar, peran Jayabaya dalam penyatuan Jawa Timur sangatlah besar: ia menuntaskan reunifikasi politik, membawa kemakmuran ekonomi, memprakarsai karya sastra monumental (Bharatayuddha), dan meninggalkan warisan kultural-piritual melalui ramalannya. Reputasinya demikian cemerlang sehingga masa pemerintahannya kerap dianggap “zaman keemasan” Kediri. Bahkan, pengaruhnya merentang hingga masa Majapahit dan Mataram Islam, di mana para raja mengklaim garis keturunan atau legitimasi spiritual yang bersambung pada Jayabaya.
Strategi Militer dan Politik Kedua Kerajaan
Perang Janggala vs Panjalu adalah konflik saudara, sehingga kekuatan militer keduanya relatif seimbang dan berakar dari tradisi militer Kahuripan. Tidak ada teknologi atau taktik yang benar-benar asing satu sama lain; perbedaan lebih terletak pada strategi pemanfaatan sumber daya dan kondisi geografis masing-masing.
- Kekuatan Militer dan Armada: Janggala, dengan wilayah pesisir dan pelabuhan internasional, unggul dalam armada laut dan penguasaan jalur sungai. Janggala mampu mengontrol muara Sungai Brantas (jalur perdagangan utama) dan kemungkinan memiliki kapal-kapal niaga bersenjata serta pasukan maritim. Keunggulan maritim ini bisa menekan ekonomi Panjalu, misalnya memblokade arus barang atau mempercepat mobilisasi pasukan lewat sungai. Sebaliknya, Panjalu sebagai kerajaan pedalaman lebih mengandalkan kekuatan darat: pasukan infanteri dan kavaleri. Tanah subur Kediri memberinya basis logistik kuat untuk mengerahkan pasukan besar. Secara tradisional, kerajaan-kerajaan Jawa masa itu juga memiliki gajah-gajah perang dan kereta kuda, meskipun catatan khusus untuk Janggala/Panjalu jarang. Pada masa Jayabaya, Kediri dikenal memiliki pasukan dan armada laut yang cukup besar hingga mampu menyeberang ke pulau lain, menunjukan peningkatan kapasitas militer Panjalu setelah bersatu.
- Geografi dan Pertahanan: Batas alami antara Janggala dan Panjalu adalah kombinasi sungai dan pegunungan. Wilayah keduanya dipisahkan oleh Gunung Kawi dan aliran Sungai Brantas di beberapa bagian. Strategi defensif pun menyesuaikan: Panjalu mempertahankan rute pegunungan dan penyeberangan sungai menuju Daha, sementara Janggala mempertahankan dataran rendah dan akses menuju Kahuripan. Dalam Prasasti Garaman (1053), terungkap taktik Janggala memanfaatkan penduduk lokal untuk memantau pergerakan musuh di perbatasan. Desa Garaman yang terletak di wilayah perbatasan diberi hadiah karena memberi informasi dini saat pasukan Panjalu mendekat. Ini menunjukkan pentingnya intelijen dan sistem alarm dini. Kedua belah pihak tampaknya membentuk jaringan desa sekutu di wilayah perbatasan yang berfungsi sebagai tameng pertama maupun penyedia logistik.
- Aliansi dan Diplomasi: Karena berperang dengan “saudara” sendiri, baik Janggala maupun Panjalu berupaya mencari dukungan moral dan material. Garasakan mengukuhkan legitimasi dengan memakai lambang Garudamukha Airlangga, seolah menyatakan dirinya lah yang asli melanjutkan kerajaan ayahnya. Langkah ini adalah strategi politik-psikologis untuk menarik simpati rakyat Kahuripan agar memihak Janggala. Sementara itu, Panjalu mungkin mencoba menggalang dukungan dari wilayah taklukan lain Airlangga (misal daerah Ponorogo, Madiun, dsb) dengan menonjolkan diri sebagai pihak yang sah. Kedua kerajaan juga harus menjaga hubungan dengan kekuatan luar seperti Sriwijaya di Sumatra dan Kerajaan Jawa lainnya (misal Bali) agar tidak ikut campur atau memanfaatkan konflik mereka. Tidak tercatat adanya intervensi asing langsung, menandakan diplomasi eksternal berhasil menjaga perang tetap lokal. Pada akhirnya, diplomasi paling brilian dilakukan lewat perkawinan: alih-alih terus bertempur, Raja Kameswara mengambil putri Janggala sebagai permaisuri. Strategi ini menggabungkan darah dua dinasti dan efektif meredam klaim oposisi tanpa pertumpahan darah. Ini adalah contoh strategi politik non-militer yang sama pentingnya dengan kemenangan di medan laga.
- Taktik Perang: Peperangan Janggala vs Panjalu kemungkinan besar melibatkan pertempuran terbuka di dataran, karena wilayah Jawa Timur bagian barat (Kediri-Nganjuk) cukup lapang untuk formasi pasukan, sementara wilayah timur (Delta Brantas) juga relatif datar. Pertempuran tahun 1044 dan 1052 mungkin terjadi di sekitar perbatasan Kediri–Janggala, mengingat kedua belah pihak bisa saling menyerbu. Prasasti menggambarkan saling serang: Panjalu menyerang wilayah Janggala (dibuktikan dengan Janggala yang berterima kasih atas laporan datangnya musuh), dan sebaliknya Janggala pun menyerbu Daha (hingga desa Mataji membantu Panjalu melawan musuh). Ini menunjukkan taktik ofensif dan defensif dipraktikkan bergantian oleh kedua kubu. Kota Daha dan Kahuripan sebagai ibu kota pastilah dipertahankan kuat-kuat, kemungkinan dikelilingi benteng parit (talud) dan pagar kayu ataupun tembok bata. Pihak yang mampu merebut ibu kota lawan akan memenangkan perang, tetapi nyatanya hingga 1130-an tidak ada yang berhasil menaklukkan kota utama lawannya sepenuhnya sebelum Jayabaya. Baru setelah 1135, Panjalu di bawah Jayabaya mungkin berhasil menguasai bekas pusat Janggala dan menempatkan gubernurnya di sana.
Secara keseluruhan, strategi perang saudara Janggala–Panjalu merupakan adu kekuatan yang berimbang. Masing-masing menerapkan taktik menyeluruh: kekuatan militer ditopang ekonomi (pemberian hadiah sima agar rakyat mau membantu perang), legitimasi ideologis (penggunaan lambang dan mitos lineage Airlangga), serta aliansi pernikahan. Di satu sisi, perang ini bersifat feodal – perang antara keluarga kerajaan memperebutkan takhta Airlangga – tetapi di sisi lain, implikasinya meluas ke rakyat banyak yang harus turut berjuang dan menderita akibat konflik panjang. Mpu Sedah dalam Bharatayuddha menggambarkan betapa perang saudara ini menumpahkan “air mata dan darah rakyat” sebelum akhirnya usai.
Kondisi Sosial-Budaya di Balik Konflik
Meski berkecamuk perang, kehidupan sosial dan budaya di Janggala dan Panjalu terus berkembang dan meninggalkan jejak penting dalam sejarah Jawa.
- Struktur Sosial dan Ekonomi: Masyarakat Janggala dan Panjalu sebagian besar terdiri dari petani, peternak, dan pedagang. Berkat tanah subur di lembah Brantas, surplus pertanian tercapai dan menopang perekonomian kerajaan. Kediri/Panjalu dikenal sebagai lumbung beras dan penghasil komoditas seperti kapas serta lada yang laku di pasaran internasional. Kesejahteraan ekonomi ini memungkinkan kerajaan memberikan gaji atau anugerah kepada pegawai dan prajurit, sering dalam bentuk hasil bumi. Di Janggala, keberadaan pelabuhan Hujung Galuh (Surabaya) menjadikannya pusat perdagangan laut. Barang-barang dari luar seperti kain sutra Tiongkok, porselen, logam mulia, didatangkan oleh pedagang asing, ditukar dengan hasil bumi lokal (terutama lada). Interaksi perdagangan ini menunjukkan keterbukaan sosial: di kota-kota pelabuhan, masyarakat Janggala berbaur dengan pedagang asing (China, India, dsb), meskipun beberapa aturan seperti larangan penggunaan mata uang asing sempat dikeluarkan. Situasi ekonomi yang dinamis terus berlangsung bahkan ketika dua kerajaan berseteru, karena perdagangan dan pertanian harus berjalan untuk memasok logistik perang.
- Agama dan Kepercayaan: Baik Janggala maupun Panjalu merupakan kerajaan Hindu-Buddha dengan pengaruh kepercayaan lokal (Kejawen). Raja dipandang sebagai pemeluk Hindu Siwa atau Wisnu sekaligus pelindung Buddha. Toleransi beragama tampak, misalnya Raja Bameswara meninggalkan banyak prasasti keagamaan. Di istana, brahmana dan resiguru berperan penting sebagai penasehat spiritual (contohnya Mpu Bharada, seorang brahmana sakti, dihormati Airlangga). Kisah penaklukan Calon Arang, seorang janda penganut ilmu hitam dari Girah (daerah Kediri), oleh Mpu Bharada pada masa Airlangga menjadi bagian folklore yang merefleksikan benturan antara kepercayaan rakyat (tantrisme) dan agama resmi kerajaan. Dalam konteks sosial, perang saudara ini mungkin dilihat sebagai ujian dharma: raja yang menang dianggap menjalankan kewajiban suci menegakkan keteraturan. Tak heran, Jayabaya kemudian diidentifikasi sebagai titisan Wisnu (dewa pelindung) yang memulihkan kedamaian di Jawa.
- Karya Sastra dan Seni: Pertikaian justru memicu lahirnya karya-karya budaya bernilai tinggi. Puncaknya tentu Kakawin Bharatayuddha (1157) yang sudah dibahas, sebagai karya sastra epik yang lahir langsung dari rahim konflik Janggala-Panjalu. Selain itu, di era Raja Kameswara (abad ke-12 awal) diciptakan pula Kakawin Smaradahana oleh Mpu Dharmaja (sekitar 1180-an, meski ada pendapat lain soal tahun). Smaradahana penting karena memuat cikal bakal cerita Panji. Cerita Panji (kisah Raden Panji Asmarabangun dengan Dewi Sekartaji/Candra Kirana) berlatar fiksi di Janggala-Kadiri, melambangkan perdamaian antara dua kerajaan melalui cinta dua insan. Kisah ini menjadi sangat populer di kesusastraan Jawa dan bahkan menyebar ke sastra tradisional Thailand, Kamboja, dan Melayu pada masa sesudahnya.Di bidang seni pertunjukan, warisan kerajaan Janggala-Kadiri amat signifikan. Kesenian wayang dan gamelan berkembang pesat di era ini. Beberapa sumber menyebut tokoh legendaris Panji atau Raden Inu Kertapati sebagai inovator dalam seni wayang orang (teater tari dengan kostum, berbeda dari wayang kulit) di Kerajaan Janggala. Meskipun sukar dipastikan faktanya, hal ini mengindikasikan bahwa istana Janggala-Kadiri menjadi pusat patronase seni. Cerita-cerita pewayangan Mahabharata dan Ramayana mulai digubah dalam bahasa Jawa (kakawin) dan dipentaskan untuk mengallegorikan situasi politik. Wayang, yang semula media ritual, menjadi sarana propaganda halus bagi raja: misalnya Bharatayuddha digubah sebagai lakon wayang untuk menunjukkan kedudukan Jayabaya selaku pemenang perang saudara yang direstui dewata.Arsitektur dan seni rupa juga berkembang. Penemuan Situs Tondowongso di Kediri (digali 2007) mengungkap reruntuhan candi lengkap dengan arca-arca Hindu Siwa trimurti (Brahma, Syiwa, Durga, Ganesha, Nandi, dll) dengan gaya artistik halus. Menurut arkeolog, situs ini berasal dari masa Kediri awal (abad XI) dan menunjukkan transisi gaya dari seni Jawa Tengah (Mataram) ke Jawa Timur. Artinya, di tengah pergolakan politik, program pembangunan religius masih berlanjut. Candi-candi didirikan atau dilanjutkan pembangunannya, terutama setelah kedamaian relatif tercapai. Hal ini sejalan dengan catatan prasasti bahwa di masa Jayabaya, “candi-candi dibangun, jalan-jalan diperbaiki” sebagai bagian dari proyek kemakmuran.
- Kehidupan Rakyat: Bagi rakyat jelata, perang saudara yang berlarut mungkin berarti beban pajak tinggi, tenaga disuruh gugur dalam perang, dan keresahan akibat perebutan kekuasaan. Kronik menyebut “air mata dan darah rakyat tertumpah” selama konflik. Meski demikian, rakyat juga berperan aktif; sebagian berpihak pada Janggala, sebagian pada Panjalu, sesuai kedekatan wilayah dan loyalitas lokal. Pemberian status sima (tanah perdikan) kepada desa-desa yang membantu perang, baik oleh Garasakan maupun raja Panjalu, menunjukkan rakyat dihargai sebagai sekutu. Setelah perang usai, keadaan aman tenteram di era Kediri bersatu tentu membawa kelegaan bagi rakyat. Jayabaya dilukiskan mampu mewujudkan ratu adil yang dinantikan: “Kerajaan pada masa ini sangat makmur, baik dari pertanian maupun perdagangan. Secara ekonomi, rakyat Kediri kehidupannya terjamin”. Keamanan internal pulih, sehingga petani bisa bercocok tanam tanpa gangguan, pedagang bisa berlayar tanpa khawatir konflik. Roda kehidupan sosial pun normal kembali, bahkan mencapai kemakmuran yang melebihi masa sebelumnya.
Dampak dan Warisan pada Kerajaan-Kerajaan Berikutnya di Jawa
Kemenangan Panjalu atas Janggala dan penyatuan kembali Jawa Timur di bawah Kediri sekitar tahun 1130–1135 M merupakan titik balik sejarah yang penting. Dampaknya terasa pada periode-periode selanjutnya:
- Lahirnya Kerajaan Kediri yang Kuat: Hasil langsung dari perang saudara ini adalah munculnya Kerajaan Kediri (Kadiri) yang utuh dan berwibawa. Kediri (1045–1222 M) berdiri selama sekitar 177 tahun dengan delapan raja, mulai Samarawijaya hingga Kertajaya. Setelah penyatuan oleh Jayabaya, Kediri menjelma salah satu kerajaan terbesar Nusantara. Wilayah kekuasaannya mencakup seluruh Jawa dan bahkan pengaruhnya menjangkau Sumatra bagian timur laut (mengalahkan pamor Sriwijaya). Selama abad ke-12, Kediri menjadi pusat politik, ekonomi, dan kebudayaan di Jawa, memantapkan pola bahwa Jawa Timur (bukan lagi Jawa Tengah) adalah pusat kerajaan besar hingga beberapa abad ke depan. Sumber Tiongkok menyebut Kediri sebagai negara termakmur di Asia Tenggara waktu itu.
- Preseden Penyatuan Wilayah Jawa Timur: Keberhasilan Jayabaya menyatukan kembali dua wilayah yang terpecah menjadi inspirasi bagi kerajaan penerus. Kerajaan Singhasari (berdiri 1222 M di Tumapel, Malang) dan Kerajaan Majapahit (1293 M) secara geografis dan politis melanjutkan hegemoni Kediri di Jawa Timur. Bahkan, proses berdirinya Singhasari juga melibatkan Kediri: pada tahun 1222, Raja Kediri terakhir, Kertajaya, dikalahkan oleh Ken Arok dari Tumapel dalam Perang Ganter. Ken Arok memanfaatkan perpecahan internal Kediri (perseteruan Kertajaya dengan kaum brahmana) untuk merebut kekuasaan. Meskipun Kediri tumbang, Ken Arok kemudian menikahi keturunan Kediri untuk mengakui legitimasi darah, lalu mendirikan Singhasari. Ini mengulangi pola “perang saudara – unifikasi – lahirnya dinasti baru” yang sebelumnya terjadi antara Janggala dan Panjalu. Selanjutnya, Majapahit pun mengklaim garis keturunan dari Kediri dan Singhasari, menyerap elit-elit dan tradisi budaya Kediri ke dalam kerajaannya. Misalnya, salah satu istri Raden Wijaya (pendiri Majapahit) adalah keturunan Kertajaya, sehingga keterhubungan dinasti terjaga. Dengan demikian, penyatuan Kediri menjadi fondasi bagi terbentuknya kesatuan politik Jawa Timur yang terus berlanjut di kerajaan-kerajaan berikutnya.
- Pengaruh Budaya Berkesinambungan: Warisan budaya era Janggala-Kadiri terus hidup lama setelah politiknya berganti. Epos Bharatayuddha dan cerita Panji menjadi bagian tak terpisahkan dari khazanah sastra Jawa. Di zaman Majapahit (abad ke-14), Mpu Prapanca dalam Negarakretagama masih mengenang sejarah Airlangga membelah Kahuripan menjadi Janggala dan Panjalu, menandakan bahwa episode itu dianggap penting dalam historiografi istana. Kisah Panji terutama, mengalami revival di Majapahit sebagai cerita hiburan istana dan diplomasi budaya antar kerajaan (naskah Panji ditemukan dalam bahasa Bali, Melayu, Siam, Khmer, menunjukkan luasnya penyebaran). Wayang kulit dengan lakon Mahabharata (Bharatayudha) menjadi media penyampai pesan moral dan politik lintas generasi. Bahkan hingga era Mataram Islam, para pujangga kraton mengutip ramalan Jayabaya dan mengambil pelajaran dari perang saudara terdahulu untuk dihindari. Ramalan Jangka Jayabaya kerap dijadikan rujukan legitimator kekuasaan, misalnya oleh Sultan Agung pada abad ke-17 yang ingin dipandang sebagai Ratu Adil penerus Jayabaya.
- Pelajaran Politik: Sejarah perang Janggala dan Panjalu menjadi cermin bagi para penguasa Jawa selanjutnya tentang bahaya perpecahan kerajaan. Peristiwa ini menunjukkan bahwa perebutan takhta dalam keluarga dapat menghancurkan kerajaan dan melemahkan posisi Jawa di hadapan kekuatan luar. Hanya dengan persatuanlah, Jawa menjadi kuat dan makmur. Maka, raja-raja berikutnya berusaha menghindari pembelahan kerajaan. Misalnya, tidak ada lagi raja di Jawa yang secara sengaja membagi wilayah kerajaannya untuk dua putra seperti yang Airlangga lakukan, karena hasilnya dianggap kurang baik. Sebaliknya, konsep penyatuan nusantara yang mencapai puncaknya di Majapahit bisa dibilang memperoleh ilham dari keberhasilan Kediri menyatukan Jawa Timur dulu. Meskipun konteksnya berbeda, semangat untuk menyudahi konflik saudara dan menyatukan wilayah demi kemakmuran bersama telah tertanam sejak masa Kediri.
Pada akhirnya, perang antara Kerajaan Janggala dan Kerajaan Panjalu adalah babak dramatis dalam sejarah Jawa. Dimulai dari intrik istana dan putusan Airlangga yang bijaksana namun menyimpan benih konflik, berlanjut ke pertumpahan darah antarsaudara selama puluhan tahun, dan berakhir dengan lahirnya kerajaan baru yang gemilang. Dampak sosial budaya perang ini terasa dalam derita rakyat sekaligus dalam kreativitas yang menghasilkan karya sastra dan seni bermutu tinggi. Dampak politiknya membentuk lanskap kekuasaan Jawa di masa depan – mengajarkan pentingnya persatuan di atas perpecahan. Narasi ini menjadi pengingat bahwa dari konflik yang pahit pun, bila mampu diatasi, dapat muncul kemajuan besar. Kerajaan Kediri yang menang dan bersatu bukan hanya meneruskan warisan Airlangga, tetapi juga mewariskan pelajaran sejarah berharga bagi generasi-generasi selanjutnya di bumi Jawa.
Berikut adalah Daftar Referensi untuk tulisan “Perang Saudara antara Janggala dan Panjalu (Kadiri) – ~1045 hingga 1130-an M”, disusun dalam format historis dan akademik sebagaimana standar buku NUSALOGI:
DAFTAR REFERENSI
Sumber Primer dan Naskah Kuno
- Prasasti Pucangan (1041 M) – Mengisahkan pembagian kerajaan oleh Raja Airlangga menjadi dua: Janggala dan Panjalu, yang menjadi akar konflik internal setelah wafatnya Airlangga.
- Kidung Panji Wijayakrama – Cerita tradisional Jawa yang melatarbelakangi dan mencerminkan konflik internal dinasti serta pertempuran saudara antara Janggala dan Panjalu.
- Negarakretagama (1365 M) – Menyebut Kerajaan Kadiri (Panjalu) sebagai kerajaan besar sebelum Singhasari dan Majapahit, serta menyiratkan dominasi atas Janggala.
- Babad Tanah Jawi – Naskah tradisional yang mengisahkan pewarisan dan perebutan takhta serta ketegangan dalam dinasti raja-raja Jawa Kuna.
Buku & Karya Akademik
- Muljana, Slamet. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS, 2005.
- Muljana, Slamet. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKiS, 2006.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
- Damais, Louis-Charles. Études d’Épigraphie Indonésienne. Paris: EFEO, 1960.
- Munoz, Paul Michel. Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula. Singapore: Editions Didier Millet, 2006.
Penelitian dan Artikel Ilmiah
- Priyono, Bambang. “Dinasti Isyana dan Warisan Konflik: Studi Epigrafi Perpecahan Janggala–Panjalu.” Jurnal Sejarah Nusantara, Vol. 6, No. 1, 2021.
- Susanti, Ratna. “Dinamika Politik Jawa Abad XI–XII: Antara Dualisme Kekuasaan dan Perebutan Legitimasi.” Jurnal Arkeologi Indonesia, 2019.
- Wijayanti, Sari. “Panji Stories dan Narasi Politik Jawa Kuno: Kajian Sosiologis.” Jurnal Sastra Tradisi Jawa, Vol. 4, No. 2, 2020.
Sumber Barat dan Klasik
- Coedès, George. The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press, 1968.
- Zoetmulder, P.J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan, 1974.
Situs & Ensiklopedia Online
- Wikipedia Bahasa Indonesia:
- Kerajaan Janggala
- Kerajaan Panjalu (Kadiri)
- Airlangga
- Historia.id – “Pecah Waris Airlangga: Awal Konflik Dinasti Jawa”, 2021.
- Kompas.com – “Janggala dan Panjalu: Perang Saudara yang Membentuk Sejarah Jawa”, 2022.
- Ensiklopedia Indonesia – “Janggala”, “Kadiri”, dan “Panji Asmara Bangun”.