Perang Sriwijaya dan Kerajaan Melayu Abad ke-7 Masehi: Latar Belakang, Penaklukan, dan Dampaknya

Sejarah perang antara Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Melayu (Jambi) pada abad ke-7. Tulisan ini akan mencakup konteks politik dan ekonomi, jalannya penaklukan, bukti arkeologis seperti prasasti Kedukan Bukit dan Kota Kapur, serta dampak jangka panjang dari penaklukan terhadap dominasi Sriwijaya di Sumatra.

Latar Belakang Politik dan Ekonomi Sriwijaya dan Melayu

Pada pertengahan abad ke-7 Masehi, wilayah Sumatra dan sekitarnya dihuni oleh beberapa kerajaan maritim yang makmur. Dua di antaranya adalah Kedatuan Sriwijaya yang berpusat di sekitar muara Sungai Musi (Palembang) dan Kerajaan Melayu yang berpusat di wilayah Jambi (tepi Sungai Batanghari). Kedua kerajaan ini memiliki latar belakang politik dan ekonomi yang berbeda namun saling berkaitan. Sriwijaya pada masa itu tengah tumbuh sebagai kekuatan baru di Sumatra bagian selatan, sementara Melayu merupakan kerajaan lebih tua di tepian Selat Malaka yang sudah dikenal dalam catatan Tiongkok dan memiliki sumber daya berlimpah.

Kerajaan Sriwijaya bermula sebagai kedatuan (kerajaan) di tepian Sungai Musi pada abad ke-7. Kerajaan ini berkarakter maritim-buddis, mengandalkan jaringan pelabuhan dan pelayaran di sekitar Selat Malaka. Secara geografis Palembang (pusat Sriwijaya) memiliki lokasi strategis: dekat jalur pelayaran internasional dan muara sungai yang menghubungkan pedalaman Sumatra. Kawasan hulu Musi menyediakan komoditas lokal seperti kayu, damar, dan hasil hutan lainnya. Namun, satu komoditas penting tidak dimiliki Sriwijaya: emas. Pertambangan emas utama berada di pedalaman Minangkabau dan dialirkan melalui Sungai Batanghari yang dikuasai Kerajaan Melayu. Secara politik, pada masa pendiriannya Sriwijaya tampaknya merupakan entitas yang agresif memperluas pengaruh. Buktinya, prasasti-prasasti abad ke-7 yang ditemukan di Sumatra (misalnya Kedukan Bukit dan Talang Tuwo) menunjukkan aktivitas Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pemimpin Sriwijaya, yang melakukan ekspedisi militer dan pendirian wanua (pemukiman baru) pada tahun 682-684 M. Sriwijaya memiliki aspirasi sebagai penguasa mandala maritim: artinya ia berupaya mengendalikan jaringan pelabuhan dan kerajaan-kerajaan tetangga untuk mengamankan dominasinya di kawasan.

Sementara itu, Kerajaan Melayu (juga disebut Melayu atau Malayu dalam sumber sejarah) berpusat di wilayah Jambi, Sumatra tengah. Sejak awal abad ke-7, Melayu telah dikenal sebagai kerajaan kaya yang makmur. Catatan pendeta Tiongkok I-tsing (Yijing) menyebut Melayu sebagai salah satu pelabuhan penting di jalur pelayaran antara India dan Tiongkok. Secara ekonomi, Melayu diuntungkan oleh letaknya yang lebih dekat ke Selat Malaka dibanding Sriwijaya. Pelabuhan di Melayu menjadi tempat singgah kapal-kapal niaga dari India sebelum melanjutkan perjalanan ke Tiongkok. Dalam catatan I-tsing, kapal dari India biasanya berlayar ke pelabuhan Kedah (di Semenanjung Malaya) atau Melayu (Jambi) terlebih dahulu. Di pelabuhan Melayu, para pedagang menunggu angin musim yang tepat (sekitar pertengahan musim panas) sebelum melanjutkan pelayaran ke utara menuju Kanton, Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa Melayu memegang peranan kunci dalam perdagangan regional pada masa itu, bahkan lebih disinggahi daripada Sriwijaya sendiri (yang disebut I-tsing dengan nama Fo-shih). Kekayaan utama Melayu antara lain adalah hasil emas dari hulu Batanghari, sehingga wilayah ini menarik secara ekonomi. Secara politik, Kerajaan Melayu tampaknya merupakan kerajaan mandiri namun tidak ekspansionis. Pertahanannya terbatas pada batas-batas alamiah sungai dan hutan. Menurut analisis sejarawan, benteng Melayu kala itu kemungkinan hanya berupa pagar kayu dan tanggul tanah yang setiap tahun mudah rusak diterpa angin muson. Jadi meski kaya, dari segi militer Melayu tidak sekuat Sriwijaya yang mulai berkembang.

Kedua kerajaan ini bertetangga di Sumatra dan pada awalnya mungkin bersaing secara damai dalam perdagangan. Namun, situasi berubah ketika Sriwijaya tumbuh semakin kuat dan memandang Melayu sebagai pesaing utama yang harus ditundukkan. Sriwijaya memiliki ambisi untuk memonopoli jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara barat, sehingga eksistensi Melayu yang merdeka dianggap menghambat tujuan tersebut. Selain itu, penguasaan atas Melayu akan memberikan Sriwijaya akses langsung ke sumber emas dan pelabuhan strategis di Jambi. Latar belakang inilah yang menjadi pemicu konflik antara Sriwijaya dan Melayu di abad ke-7.

Motivasi Ekspansi Sriwijaya terhadap Melayu

Sejak awal berdirinya, penguasa Sriwijaya menyadari bahwa kunci supremasi di kawasan Nusantara barat adalah menguasai pelabuhan-pelabuhan strategis di kedua sisi selat utama, yakni Selat Malaka dan Selat Sunda. Kedua selat tersebut merupakan “pintu gerbang” perdagangan antara Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan. Setiap kapal niaga yang berlayar dari India ke Tiongkok hampir pasti melewati salah satu dari dua selat ini. Kapal biasanya akan bersauh di pelabuhan-pelabuhan sekitar selat untuk menunggu perubahan angin musim dan menurunkan kargo. Dengan demikian, siapa pun yang mengendalikan pelabuhan-pelabuhan penting di sekitar Selat Malaka dan Sunda dapat memungut pajak dan upeti dari perdagangan transit, serta menjadi pemain utama dalam perdagangan internasional (termasuk perdagangan tribut dengan Dinasti Tiongkok).

Pendeta I-tsing mencatat secara eksplisit pentingnya Kedah dan Melayu sebagai titik transit pelayaran India-Tiongkok pada abad ke-7. Menurutnya, rute pelayaran utama dari India ke Tiongkok “kebanyakan dilakukan melalui pelabuhan Kedah dan Melayu”, sedangkan pelabuhan Fo-shih (Sriwijaya) tidak dilalui secara langsung. Implikasinya, sebelum ekspansi Sriwijaya, pedagang lebih memilih singgah di Kedah (di pantai barat Semenanjung Malaya) dan di Melayu (Jambi) ketimbang di Palembang. Hal ini menjadi motivasi kuat bagi Sriwijaya untuk mengambil alih kedua pusat dagang tersebut agar arus komersial beralih ke bawah kontrolnya. Aktivitas dagang Melayu yang ramai dianggap “mengganggu” ambisi politik Sriwijaya, karena selama Melayu berdiri sendiri, Sriwijaya tidak dapat memonopoli perdagangan di Selat Malaka sepenuhnya.

Selain faktor perdagangan, motivasi ekonomi berupa penguasaan sumber daya alam (terutama emas) juga mendorong ekspansi Sriwijaya. Daerah Batanghari hulu (wilayah Kerajaan Melayu) terkenal menghasilkan emas dalam jumlah besar. Sriwijaya yang berpusat di Palembang tidak memiliki akses langsung ke emas tersebut karena aliran emas Minangkabau mengikuti Sungai Batanghari yang bermuara di Jambi. Dengan menaklukkan Melayu, Sriwijaya berharap mendapatkan suplai emas yang berlimpah, yang akan memperkaya kerajaan dan meningkatkan kesejahteraan serta prestise penguasanya. Emas adalah komoditas bernilai tinggi dalam perdagangan internasional waktu itu, dan kepemilikannya akan memperkuat posisi Sriwijaya sebagai kerajaan besar.

Dari sisi politik dan militer, penaklukan Melayu juga bernilai strategis. Melayu adalah kerajaan tetangga yang potensial menjadi pesaing atau ancaman bila dibiarkan kuat. Mengintegrasikan Melayu ke dalam Sriwijaya berarti menghilangkan sebuah entitas politik yang kaya dan bisa menarik dukungan luar (misalnya dari Tiongkok). Setelah menaklukkan Melayu, Sriwijaya akan menjadi satu-satunya kekuatan dominan di Sumatra tengah dan selatan, sehingga dapat lebih leluasa menundukkan daerah lain tanpa khawatir diserang dari belakang. Ambisi Dapunta Hyang Sri Jayanasa, raja Sriwijaya, tampaknya memang membangun hegemoni wilayah barat Nusantara melalui kombinasi diplomasi dan kekuatan militer (mandala Sriwijaya).

Motivasi ideologis atau religius juga mungkin berperan, meski tersirat. Sriwijaya beridentitas Buddhis dan menjadi pusat pembelajaran Buddha, sebagaimana dicatat I-tsing bahwa di Sriwijaya terdapat ratusan hingga seribu biksu belajar dan menerjemahkan sutra. Menguasai lebih banyak wilayah (termasuk Melayu) dapat diartikan sebagai menyebarkan pengaruh budaya-Buddhis Sriwijaya lebih luas. Namun, faktor ini sekunder dibanding dorongan ekonomi-politik. Intinya, ekspansi Sriwijaya terhadap Melayu didorong oleh kombinasi motif ekonomi (monopoli dagang dan emas), politik (hegemon regional), dan geografis (kendali selat strategis). Penguasa Sriwijaya memahami bahwa tanpa menaklukkan Melayu, sulit bagi mereka mencapai kejayaan (vijaya) yang diidamkan – sesuai makna nama “Sriwijaya” yaitu “kemuliaan kemenangan yang gilang-gemilang”.

Proses Penaklukan Kerajaan Melayu oleh Sriwijaya

Penaklukan Kerajaan Melayu oleh Sriwijaya terjadi sekitar dekade 680-an Masehi. Sumber-sumber primer mengenai peristiwa ini agak terbatas, namun sejumlah prasasti Sriwijaya dan catatan asing memberikan gambaran tentang jalannya ekspedisi militer tersebut. Pemimpin ekspansi ini adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa, raja Sriwijaya pertama yang namanya tercatat dalam prasasti. Menurut Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang, Dapunta Hyang melakukan suatu siddhayatra (perjalanan suci atau ekspedisi) dengan membawa pasukan besar pada tahun 682 M. Prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan berangka tahun 604 Saka (682 M), merekam detail perjalanan sang raja.

Gambar: Prasasti Kedukan Bukit (Palembang, 682 M) – prasasti beraksara Pallawa dalam bahasa Melayu Kuno yang mencatat ekspedisi militer Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Prasasti ini ditemukan di tepi Sungai Tatang, Palembang, dan merupakan bukti tertua penaklukan Sriwijaya di abad ke-7.

Berdasarkan terjemahan isi Prasasti Kedukan Bukit, pada 23 April 682 M (11 Waisaka 604 Saka) Dapunta Hyang berangkat dari Minānga (tempat yang masih diperdebatkan lokasinya) dengan menumpang perahu, membawa pasukan besar lebih dari 20.000 prajurit. Ekspedisi ini menempuh perjalanan darat dan laut (orang laut dan orang darat ikut serta). Setelah sekitar satu bulan, pada 19 Mei 682 rombongan mencapai suatu tempat (dalam prasasti disebut “Muka Upang”), dan pada 16 Juni 682 mereka mendirikan wanua (pemukiman) baru setelah memperoleh vijaya (kemenangan). Prasasti ini menyatakan bahwa sang raja pulang dengan membawa kemenangan, kekuasaan, dan kekayaan bagi Sriwijaya. Para sejarawan umumnya menafsirkan “kemenangan” tersebut merujuk pada keberhasilan Sriwijaya menaklukkan Kerajaan Melayu. Artinya, dalam rentang April hingga Juni 682 itulah terjadi serangan Sriwijaya ke arah utara (Jambi) yang berujung pada jatuhnya ibu kota Melayu.

Kompasiana dan sumber lainnya menguraikan bahwa penyerbuan terjadi pada tahun 682 M, ketika Jayanasa memimpin pasukannya menyerang pusat Kerajaan Melayu dan berhasil menguasai ibukotanya. Ibu kota Melayu kemungkinan terletak di sekitar Muara Jambi (kompleks percandian Muaro Jambi) atau kota Jambi modern di tepian Batanghari, meskipun beberapa teori lain menyebut daerah lain. Pasukan Sriwijaya yang besar dan terlatih membuat pertahanan Melayu yang sederhana runtuh dengan cepat. Seperti diuraikan sebelumnya, benteng Melayu hanya berupa pagar kayu yang tidak terlalu kokoh. Setiap tahun pagar itu kerap rusak diterjang badai muson, sehingga saat diserang mendadak oleh pasukan Sriwijaya, pertahanan tersebut gagal melindungi kerajaan. Diperkirakan tidak sampai berbulan-bulan, kota utama Melayu jatuh ke tangan Sriwijaya. Para pemimpin lokal kemungkinan menyerah atau ditaklukkan, sementara sebagian penduduk diintegrasikan.

Setelah kemenangan militer diperoleh, Sri Jayanasa menempatkan wilayah Melayu di bawah kendali Sriwijaya. Penaklukan ini menjadikan Melayu sebagai kerajaan bawahan (vasal) Sriwijaya. Menurut catatan, sumber daya Kerajaan Melayu — baik kekayaan alam maupun sumber daya manusia — kemudian dimanfaatkan untuk menopang ekspansi maritim Sriwijaya selanjutnya. Dengan kata lain, Melayu dijadikan semacam provinsi atau kadatuan bawahan yang tetap dikelola oleh pejabat setempat tetapi di bawah pengawasan Sriwijaya. Adat dan budaya setempat (yang juga telah dipengaruhi agama Buddha) mungkin tetap dihormati, namun raja atau penguasa Melayu harus mengakui supremasi Maharaja Sriwijaya. Selama berabad-abad sesudahnya, Melayu disebut-sebut tetap menjadi “permata di mahkota” para Maharaja Sriwijaya – ungkapan yang menandakan betapa penting dan berharganya wilayah Jambi tersebut bagi kekaisaran Sriwijaya.

Adapun kronologi detailnya, beberapa peneliti berbeda pendapat tentang tahun pasti penaklukan Melayu. Prasasti Kedukan Bukit berangka 682 M, namun penafsiran tradisional menyebut tahun 683 M sebagai waktu penundukan final. Catatan I-tsing kemudian mengonfirmasi bahwa pada tahun 689 M Melayu sudah menjadi bagian Sriwijaya. Kemungkinan besar, penaklukan dimulai 682 M dan konsolidasi kekuasaan rampung sekitar 683-685 M. Sumber Tiongkok Dinasti Tang sendiri mendadak berhenti menyebut “Mo-lo-yu” (Melayu) sebagai entitas terpisah setelah periode ini, melainkan berganti menyebut “San-fo-qi” (Sriwijaya) sebagai penguasa wilayah Sumatra bagian selatan hingga tengah. Ini mengindikasikan bahwa setelah 682-685 M, Kerajaan Melayu praktis lebur ke dalam Sriwijaya.

Selama proses penaklukan, Sriwijaya tampaknya tidak menghadapi intervensi eksternal berarti. Di Jawa, pada kurun waktu serupa, kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat justru mengalami kemunduran (prasasti terakhir Tarumanagara berangka 666 M) dan kemungkinan diserang pula oleh kekuatan Sriwijaya tak lama setelah Melayu jatuh. Hal ini didukung Prasasti Kota Kapur (686 M) yang menyebut ekspedisi untuk menghukum “bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya“. Maka dapat dibayangkan bahwa dalam kurun satu dekade (680-an M), Sriwijaya di bawah Jayanasa bergerak cepat: menaklukkan Melayu, memperluas pengaruh ke Bangka-Belitung dan Lampung, lalu menyasar pula semenanjung Malaya (Kedah) serta kemungkinan menyerbu Tarumanagara di Jawa. Penaklukan Melayu menjadi langkah awal yang krusial dalam rantai ekspansi ini.

Sebagai rangkuman proses penaklukan: Sriwijaya melancarkan serangan mendadak dengan armada perahu dan ribuan prajurit melalui jalur sungai dan laut, menghancurkan pertahanan Kerajaan Melayu, lalu menempatkan wilayah itu di bawah kekuasaan Palembang. Keberhasilan ini dicapai berkat keunggulan militer dan strategi Sriwijaya, serta kelemahan pertahanan lawan. Efeknya segera terasa: Kerajaan Melayu tumbang dan Sriwijaya muncul sebagai penguasa tunggal di Sumatra bagian selatan-tengah pada akhir abad ke-7.

Bukti Historis dan Arkeologis Penaklukan

Pengetahuan kita tentang perang dan penaklukan Sriwijaya atas Melayu didasarkan pada bukti historis tertulis dan temuan arkeologis. Beberapa sumber kunci meliputi prasasti kuno peninggalan Sriwijaya, catatan perjalanan peziarah Tiongkok (I-tsing), serta kronik-kronik asing. Berikut adalah bukti-bukti penting yang menerangi peristiwa abad ke-7 tersebut:

  • Prasasti Kedukan Bukit (682 M) – Prasasti ini telah dibahas sebelumnya sebagai sumber primer proses penaklukan. Ditemukan di Bukit Kedukan (Palembang), prasasti berukuran kecil (42 x 32 cm) ini ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. Isinya mencatat siddhayatra Dapunta Hyang dengan 20.000 tentara, perjalanan suci yang berujung pada kemenangan gemilang dan pendirian wanua baru. Interpretasi para ahli (Coedes, Slamet Muljana, dkk) menyimpulkan bahwa kemenangan tersebut adalah penaklukan Kerajaan Melayu. Kedukan Bukit merupakan prasasti berangka tahun tertua yang menyebut nama Sriwijaya (dalam teks tertulis “çriwijaya”), sehingga menjadi bukti langsung bahwa Sriwijaya eksis dan menundukkan kekuatan lain di tahun 682. Prasasti ini juga menandai kemunculan bahasa Melayu Kuno tertulis pertama kali yang diketahui. Bagi sejarah Nusantara, Kedukan Bukit sangat penting karena mengawali dokumentasi ekspansi awal Sriwijaya.
  • Prasasti Kota Kapur (686 M) – Prasasti ini ditemukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, bertarikh 608 Saka atau 686 M. Kota Kapur terletak di sisi barat Pulau Bangka, menghadap ke Selat Bangka yang strategis. Prasasti Kota Kapur dipahat pada tugu batu andesit setinggi 177 cm. Isinya ditulis dalam bahasa Melayu Kuno dan memuat kutukan kepada siapa saja di wilayah kekuasaan Sriwijaya yang berani memberontak atau tidak setia kepada datu Sriwijaya. Secara eksplisit prasasti ini menyebut, “pada saat kutukan ini diucapkan, pasukan Sriwijaya berangkat untuk menyerang bhūmi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa pada 686 M, Sriwijaya telah cukup kuat hingga melancarkan ekspedisi militer ke luar Sumatra (yakni ke “Bumi Jawa” yang kerap ditafsirkan sebagai Kerajaan Tarumanagara atau wilayah Jawa lainnya yang membangkang). Makna penting prasasti Kota Kapur adalah: (1) Sriwijaya pada 686 M sudah menguasai Sumatra bagian selatan (Palembang), Bangka, Belitung hingga Lampung, yang berarti penaklukan Melayu (Sumatra tengah) sudah terjadi sebelumnya; (2) Ekspansi dilanjutkan ke luar Sumatra (Jawa Barat) demi menghukum pihak yang menolak tunduk. Jadi Kota Kapur memberikan konteks pasca-penaklukan Melayu, di mana Sriwijaya memperkokoh kekuasaannya dengan menundukkan daerah-daerah lain dan mengancam hukuman keras bagi pemberontak. Prasasti ini juga mengukuhkan nama “Sriwijaya” dan nama raja (Sri Jayanasa) sebagai aktor ekspedisi militer.
  • Prasasti Telaga Batu (abad ke-7) – Ditemukan tahun 1935 di daerah Sabokingking, Palembang, prasasti ini unik karena bentuk fisiknya: sebuah batu andesit besar (tinggi 118 cm, lebar 148 cm) dengan pahatan tujuh kepala ular kobra di bagian atas dan cerat (corong) di bagian bawah. Fungsi cerat ini diyakini untuk menuangkan air dalam upacara sumpah setia – air akan dialirkan melewati tulisan kutukan lalu diminum sebagai sumpah oleh yang disumpah. Prasasti Telaga Batu ditulis dalam 28 baris aksara Pallawa berbahasa Melayu Kuno, tanpa angka tahun (namun paleografinya mirip prasasti 686 M). Isinya sangat mendetail memuat kutukan terhadap siapa pun di kadatuan Sriwijaya yang berbuat jahat atau tidak taat kepada datu/raja. Disebutkan berbagai pejabat dan orang, mulai dari putra mahkota (rajaputra), hakim (dandanayaka), panglima laut (puhāvam), tukang, hingga tukang cuci istana dan hamba raja – semuanya diwajibkan setia. Jika mereka berkhianat atau melakukan kejahatan (termasuk sihir jahat, racun, dll), mereka akan terkena kutukan mengerikan: mati beserta seluruh keluarga. Sebaliknya, jika setia, mereka akan diberkahi kemakmuran dan kedamaian. Pesan prasasti ini sungguh tegas sebagai alat politik: mencegah pemberontakan internal dengan ancaman supernatural. Para ahli (J.G. de Casparis) menilai orang-orang yang disebut dalam prasasti Telaga Batu adalah unsur-unsur masyarakat yang dianggap potensial memberontak, sehingga perlu diikat sumpah. Hal ini masuk akal mengingat Sriwijaya baru saja memperluas wilayahnya (menaklukkan Melayu dan daerah lain), sehingga banyak kepala daerah/bawahan baru yang perlu ditanamkan loyalitasnya. Prasasti Telaga Batu secara historis menunjukkan bagaimana Sriwijaya mengonsolidasi kekuasaan pasca-penaklukan: yaitu dengan memaksa elit lokal bersumpah setia di bawah ancaman kutukan. Inilah salah satu bukti bahwa penaklukan Sriwijaya bukan sekadar menghancurkan musuh, tetapi juga mengintegrasikan wilayah taklukan melalui politik sumpah.

Gambar: Prasasti Telaga Batu (Palembang, abad ke-7) – prasasti sumpah setia beraksara Pallawa dengan hiasan 7 kepala naga di atasnya. Prasasti ini berisi kutukan bagi pejabat dan rakyat yang tidak setia pada Kedatuan Sriwijaya, mencerminkan usaha Sriwijaya mengikat loyalitas wilayah taklukan pasca-penaklukan.

  • Catatan I-Tsing (I-tsing/Yijing) – I-Tsing adalah biksu Buddha dari Tiongkok yang melakukan perjalanan ke India melalui jalur maritim Nusantara. Ia meninggalkan catatan berharga tentang keadaan Sriwijaya dan Melayu pada abad ke-7. Dalam perjalanannya ke India, I-Tsing singgah di Sriwijaya tahun 671 selama 6 bulan, kemudian juga singgah di Melayu selama sekitar 2 bulan. Setelah belajar 10 tahun di India (Nalanda), ia kembali dan menetap di Sriwijaya antara 685-689 M untuk menerjemahkan naskah suci ke bahasa Tionghoa. Catatan I-Tsing yang terkenal berjudul Nanhai Jigui Neifa Zhuan (“Catatan Praktik Buddhis yang Dibawa Pulang dari Laut Selatan”) memberikan kesaksian langsung tentang perubahan politik di Sumatra. Ia menulis bahwa Kerajaan Melayu yang ia kunjungi dalam perjalanan pertamanya (671) pada saat kepulangannya (sekitar 689) “telah menjadi bagian dari Sriwijaya”. Pernyataan I-Tsing ini sangat penting: itu merupakan konfirmasi dari sisi eksternal (Tiongkok) bahwa terjadi penaklukan Sriwijaya atas Melayu sebelum tahun 689. Selain itu, I-Tsing memuji Sriwijaya (disebutnya Shilifoshi) sebagai pusat pembelajaran Buddha di Asia Tenggara. Ia melaporkan di Sriwijaya terdapat ratusan hingga seribu pendeta belajar dhamma, dan para musafir dari Tiongkok dianjurkan tinggal di Sriwijaya 1-2 tahun untuk mempelajari tata cara sebelum melanjutkan ke India. Keberadaan ratusan biksu di Palembang mengindikasikan stabilitas dan kemakmuran Sriwijaya pasca penaklukan. I-Tsing juga mencatat bahwa Sriwijaya menguasai beberapa kerajaan bawahannya, termasuk di Semenanjung Malaya (Kedah) yang pada 689 sudah tunduk pada Sriwijaya. Jadi, catatan I-Tsing bukan saja mengabarkan integrasi Melayu, tapi juga menggambarkan skala kekuasaan Sriwijaya yang meliputi Sumatra dan sekitarnya di akhir abad ke-7.
  • Sumber Sejarah Lain – Selain prasasti dan catatan I-Tsing, bukti tidak langsung penaklukan Sriwijaya dapat dilihat dari berkurangnya utusan Melayu ke Tiongkok setelah 670-an. Sebelum itu, Tiongkok menerima utusan dari Mo-lo-yu (Melayu). Namun setelah Sriwijaya berjaya, utusan ke Tiongkok umumnya atas nama Shih-li-fo-shih (Sriwijaya). Misalnya, tahun 702 dan 716 tercatat utusan Sriwijaya ke istana Tiongkok, menunjukkan Sriwijaya mewakili wilayah yang dulunya mungkin termasuk Melayu. Juga terdapat petunjuk arkeologis seperti temuan arca Buddha bergaya seni Melayu-Sriwijaya di wilayah Jambi, yang menandakan peleburan budaya pasca-penaklukan. Prasasti lain seperti Prasasti Karang Berahi ditemukan di Jambi (lebih ke pedalaman, dekat Merangin) juga berbahasa Melayu Kuno dan diduga berkaitan dengan masa Sriwijaya awal. Prasasti ini memuat doa dan kutukan, mirip dengan prasasti Kota Kapur, sehingga menguatkan bukti bahwa Jambi (Melayu) masuk dalam jaringan kekuasaan Sriwijaya abad ke-7. Semua bukti ini, jika dirangkai, memberikan kepastian bahwa Sriwijaya menaklukkan dan menguasai Kerajaan Melayu pada sekitar tahun 682–685 M, menandai penyatuan Sumatra selatan dan tengah di bawah satu imperium.

Dampak Penaklukan: Konsolidasi Sriwijaya dan Pengaruh terhadap Jalur Perdagangan

Konsolidasi Kekuasaan Sriwijaya di Sumatra

Penaklukan Melayu membawa dampak besar bagi kedatuan Sriwijaya. Yang paling nyata adalah terkonsolidasinya kekuasaan Sriwijaya di wilayah Sumatra. Sebelum penaklukan, Sriwijaya “hanya” berpusat di Palembang dan sekitarnya; sesudahnya, wilayah intinya meluas mencakup daerah Jambi dan kemungkinan sampai ke perbatasan Minangkabau. Dengan menguasai bekas Kerajaan Melayu, Sriwijaya mendapatkan banyak keuntungan internal:

  • Kekayaan dan Sumber Daya: Wilayah Melayu menyumbang sumber daya alam yang signifikan bagi Sriwijaya, terutama emas dari hulu Batanghari. Emas ini memperkaya perbendaharaan Sriwijaya dan dapat digunakan untuk perdagangan internasional maupun untuk memperkuat militer. Selain itu, hasil bumi lain (misal kapur barus, kemenyan, rempah pedalaman) yang sebelumnya diekspor melalui Jambi kini dapat dikuasai Sriwijaya. Tenaga kerja dan penduduk Melayu pun kini berada di bawah Sriwijaya – sebagian mungkin dijadikan prajurit atau tenaga ahli (misalnya pengrajin perahu, mengingat Melayu pasti punya pelaut ulung). Sumber daya manusia Melayu yang terampil digunakan untuk mendukung penaklukan-penaklukan maritim berikutnya oleh Sri Jayanasa.
  • Stabilitas Politik Internal: Dengan hilangnya Kerajaan Melayu sebagai entitas mandiri, tidak ada lagi kekuatan saingan di Sumatra yang sepadan. Sriwijaya menjadi semacam “kerajaan payung” di Sumatra, di mana kerajaan-kerajaan lebih kecil lainnya (kalau ada) kemungkinan akan mengakui supremasi Sriwijaya tanpa perlawanan berarti. Konsolidasi ini tampak dari langkah Sriwijaya memancangkan prasasti-prasasti sumpah setia (seperti Telaga Batu dan prasasti kutukan lain) di berbagai lokasi. Para datu lokal, pejabat, hingga pemimpin suku ditegaskan kedudukannya sebagai bawahan yang harus setia. Tidak lama setelah 682-686 M, jaringan administrasi Sriwijaya pastilah sudah terbentuk: mungkin ada wakil raja (datu) yang ditempatkan di Jambi, dan administrasi Palembang diperluas. Prasasti Talang Tuwo (684 M) misalnya, meski berisi doa pendirian taman oleh Sri Jayanasa, mencerminkan aktivitas internal membangun fasilitas bagi rakyat – sesuatu yang lebih mudah dilakukan setelah wilayahnya aman dari ancaman luar. Intinya, penaklukan Melayu memberi Sriwijaya ruang untuk bernafas dan menata kerajaan tanpa gangguan pesaing regional.
  • Prestise dan Legitimasi: Kemenangan atas Melayu yang makmur turut mengangkat pamor Maharaja Sriwijaya. Dalam konteks kerajaan kuno, menaklukkan negeri kaya sering dianggap sebagai tanda keabsahan dan keunggulan. Gelar Sriwijaya sendiri berarti “kejayaan gemilang”, dan penundukan Melayu menjadi bukti nyata kejayaan itu. Kemungkinan besar setelah menaklukkan Melayu, Sri Jayanasa mengadopsi gelar-gelar kebesaran baru. Boleh jadi ia menganggap dirinya chakravartin (raja di atas segala raja) di wilayah Barat Nusantara. Hal ini tercermin dari keberanian Sriwijaya menuntut kesetiaan hingga ke negeri seberang (Jawa), seperti tertulis di prasasti Kota Kapur. Legitimasi Sriwijaya di mata luar juga meningkat: ketika utusan Sriwijaya datang ke Tiongkok setelah 682 M, kekaisaran Tang akan melihat Sriwijaya sebagai wakil seluruh Sumatra (karena Melayu sudah menyatu). Benar saja, sumber Tiongkok pasca-690-an cenderung menggunakan satu nama “Sanfoqi/Sriwijaya” untuk merujuk beberapa daerah di Sumatra dan Malaya yang dulunya terpisah. Dari sudut pandang internal, penyerapan Melayu mungkin diikuti percampuran elit: bisa jadi keluarga penguasa Melayu dikawinkan dengan keluarga Sriwijaya untuk mengokohkan aliansi, atau diberi jabatan lokal di bawah Sriwijaya. Apapun caranya, Sriwijaya berhasil menjadikan penaklukan Melayu sebagai fondasi konsolidasi imperium barunya.
  • Ekspansi Lanjutan: Setelah Sumatra bagian selatan-tengah aman, Sriwijaya segera melakukan ekspansi lanjutan. Kedah di Semenanjung Malaya ditaklukkan tak lama kemudian (beberapa sumber menyatakan Kedah ditaklukkan di akhir abad ke-7). Ekspedisi ke Jawa (mungkin Tarumanagara/Kalingga) pun dilakukan sekitar 686 M. Pada tahun 8 abad berikutnya, wilayah kekuasaan Sriwijaya semakin luas mencakup Selat Malaka, pesisir Kalimantan, hingga Ligor di Tanah Thai. Semua keberhasilan militer ini berpijak pada modal awal berupa penaklukan Kerajaan Melayu. Sebelum menundukkan Melayu, tak ada catatan Sriwijaya mengalahkan kerajaan lain. Tetapi sesudahnya, rentetan penaklukan berlangsung, menandai kebangkitan Sriwijaya sebagai kekuatan maritim terbesar pertama di Nusantara. Dengan kata lain, jatuhnya Melayu adalah titik balik yang mengubah Sriwijaya dari kerajaan lokal menjadi kekaisaran regional.

Pengaruh Terhadap Jalur Perdagangan Maritim di Selat Malaka

Salah satu dampak terpenting dari penaklukan Melayu adalah beralihnya kendali jalur perdagangan maritim Selat Malaka ke tangan Sriwijaya. Sebelum itu, Selat Malaka merupakan wilayah multikontrol: Melayu menguasai jalur Sumatra bagian tengah, kerajaan-kerajaan di Semenanjung (seperti Kedah) menguasai jalur pantai seberang, dan kapal dagang bebas memilih singgah di mana. Setelah Sriwijaya menguasai Melayu (Jambi) dan tak lama kemudian Kedah, praktis Sriwijaya memonopoli kedua sisi Selat Malaka. Dampak spesifiknya terhadap perdagangan adalah sebagai berikut:

  • Monopoli dan Regulasi Perdagangan: Dengan menguasai pelabuhan penting di Jambi dan Semenanjung Malaya, Sriwijaya dapat menerapkan strategi “pendulum” perdagangan. Kapal-kapal dari India yang tadinya bisa memilih antara singgah di Kedah atau Melayu, kini kemanapun mereka berlabuh (apakah di pantai barat Malaya atau pantai timur Sumatra) mereka tetap masuk wilayah Sriwijaya. Sriwijaya bisa menetapkan bea transit, pajak barang, atau sistem upeti. Kemungkinan Sriwijaya menerapkan peraturan wajib singgah: kapal dagang diarahkan untuk singgah di pelabuhan Sriwijaya (misal Palembang, Jambi, atau Kedah) daripada berlayar langsung. Strategi semacam ini disebut oleh sejarawan sebagai politik hegemoni maritim – Sriwijaya berusaha membuat semua aktivitas dagang lewat jalur yang dikuasainya. Jika ada pelabuhan pesaing mencoba berkembang (misal di pesisir lain), Sriwijaya tak segan menindaknya secara militer. Contohnya, catatan sejarah Champa menyebut rangkaian serangan armada laut Jawa (diduga armada Sriwijaya di bawah Wangsa Sailendra) ke pelabuhan-pelabuhan Champa dan Kamboja, demi mencegah mereka menarik perdagangan dari jalur Nusantara. Ini menunjukkan dampak lanjutan penaklukan Melayu: Sriwijaya menjadi agresif menjaga monopoli jalur niaga.
  • Keamanan dan Fasilitas Pelabuhan: Di sisi positif, dominasi Sriwijaya atas Selat Malaka dapat meningkatkan keamanan pelayaran. Bajak laut atau perompak mungkin berkurang karena Sriwijaya menjaga perairan untuk melindungi kepentingannya. Bahkan ada catatan dari abad ke-7-8 bahwa Sriwijaya memelihara angkatan laut, walaupun terutama untuk logistik, guna mengamankan jalur perairan. Sriwijaya juga dikenal menyediakan fasilitas bagi para pedagang dan peziarah. I-tsing memuji Sriwijaya sebagai tempat ideal belajar bahasa Sansekerta dan hukum Buddha sebelum ke India, artinya kota pelabuhan Sriwijaya (Palembang) saat itu kosmopolitan dan ramah pendatang. Hal ini kemungkinan sama di Jambi dan Kedah setelah berada di bawah Sriwijaya – para pedagang yang singgah mendapat kemudahan seperti pasar, tempat tinggal sementara, dan jaminan perlindungan. Selat Malaka di bawah satu kekuasaan membuat pelayaran lebih terkoordinasi, tidak terpecah oleh kebijakan berbeda-beda dari banyak kerajaan. Dampaknya, arus barang mewah (rempah, sutra, kapur barus, gading, dsb) meningkat pesat melalui Sumatra antara abad ke-7 hingga 10. Kekayaan Sriwijaya bertumpuk dari transit perdagangan ini, menjadikannya salah satu imperium maritim terkaya di masanya.
  • Penguasaan Dua Jalur Utama (Malaka dan Sunda): Penundukan Melayu membuka jalan bagi Sriwijaya untuk memperluas kontrol ke Selat Sunda (jalur antara Sumatra dan Jawa). Dalam beberapa tahun setelah 682, Sriwijaya diperkirakan memperluas pengaruh ke selatan Lampung dan Jawa bagian barat. Prasasti Kota Kapur (686 M) secara jelas menggambarkan niat Sriwijaya menguasai jalur Sunda dengan menaklukkan Tarumanagara di Jawa Barat. Dengan demikian, Sriwijaya akhirnya menguasai dua jalur perdagangan utama Asia Tenggara Barat: Selat Malaka dan Selat Sunda. Ini berarti kapal dari India ke Tiongkok, baik yang memilih rute lewat Malaka (Sumatra-Malaya) atau yang memilih memutar lewat Sunda (Jawa), keduanya melewati wilayah Sriwijaya. Hasilnya, Sriwijaya dapat memungut keuntungan dari semua rute. Hal ini menjadikan Sriwijaya semacam “penjaga gerbang” perdagangan maritim Timur-Barat selama beberapa abad berikutnya. Pengaruhnya meluas hingga Teluk Siam dan Laut Jawa bagian barat, memastikan tak ada pesaing yang bisa mengambil alih peran Sriwijaya.
  • Penguatan Jaringan Maritim Internasional: Di level yang lebih luas, dominasi Sriwijaya atas jalur Malaka membawa Nusantara ke panggung perdagangan dunia. Sriwijaya aktif berhubungan diplomatik dengan Dinasti Tang dan kemudian Song di Tiongkok (mengirim utusan, upeti, dan menerima pengakuan kekaisaran). Juga terjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di India (dinasti Pala, Cholamandala), bahkan mengirim surat kepada Khalifah Umayyah di Damaskus sekitar tahun 718 M. Jalur Malaka yang aman di bawah Sriwijaya memungkinkan munculnya jalur Sutra Maritim alternatif, di mana kapal-kapal Arab, Persia, India, Tiongkok berlayar rutin dan menjadikan kota-kota pelabuhan Sriwijaya sebagai hub (pusat pertukaran). Kota Palembang, Jambi, dan Kedah berkembang pesat sebagai kota kosmopolitan yang dikunjungi berbagai bangsa. Penemuan arkeologis – seperti fragmen tembikar Tiongkok, manik-manik Persia, dan patung perunggu Buddha bergaya India di situs Sriwijaya – mendukung hal ini. Semuanya berawal dari keberanian Sriwijaya menguasai Melayu sehingga mendapat pijakan kuat mengontrol arus niaga.

Sebagai kesimpulan dampak, penaklukan Sriwijaya atas Melayu di abad ke-7 mengonsolidasikan Sumatra di bawah satu kerajaan besar, menciptakan stabilitas regional, dan mempermulus jalur perdagangan penting. Sriwijaya menjelma menjadi kekaisaran maritim pertama di Asia Tenggara yang mampu menguasai dan mengatur perlintasan perdagangan India-Tiongkok. Dengan kontrol atas Selat Malaka, Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya dari abad ke-7 hingga ke-10 M, berkat aliran kekayaan dan pengaruh yang terus mengalir. Penaklukan Melayu menjadi landasan bagi semua itu – sebuah episode sejarah yang mengubah peta kekuasaan Nusantara dan mempengaruhi arus perdagangan internasional di Selat Malaka selama berabad-abad.

Referensi:

  1. Coedes, George. “Sriwijaya: sejarah sebuah Imperium Maritim Asia Tenggara.” Terjemahan (1918).
  2. I-Tsing (Yijing). “A Record of Buddhist Practices Sent Home from the Southern Sea,” ca. 692 M.
  3. Prasasti Kedukan Bukit (Palembang, 682 M) – Teks dalam bahasa Melayu Kuno tentang ekspedisi militer Sriwijaya.
  4. Prasasti Kota Kapur (Bangka, 686 M) – Berisi kutukan dan informasi ekspedisi ke Jawa karena pembangkangan terhadap Sriwijaya.
  5. Prasasti Telaga Batu (Palembang, abad ke-7) – Prasasti kutukan untuk konsolidasi kekuasaan pasca-penaklukan.
  6. Kompasiana – Z. Elqonita. “Penaklukkan-penaklukkan atas Kerajaan Melayu,” 2015.
  7. Wikipedia (Bahasa Indonesia). “Sriwijaya,” “Prasasti Kota Kapur,” “Prasasti Telaga Batu.”.
  8. Wikipedia (English). “Srivijaya.” (accessed 2025).
  9. Szczepanski, Kallie. “The Srivijaya Empire,” ThoughtCo, 2025.

About administrator