Perang Suksesi Aceh (1585–1607) : Perang antar keluarga istana, dipengaruhi campur tangan asing

Perang Suksesi Aceh (1585–1607), yang merupakan konflik internal keluarga istana Kesultanan Aceh dan dipengaruhi oleh campur tangan asing. latar belakang politik pasca Sultan Ali Riayat Syah I, perebutan kekuasaan antar pangeran Aceh, peran Kesultanan Utsmaniyah dan Portugis, serta dampaknya terhadap kemunduran dan restrukturisasi kekuatan Aceh di awal abad ke-17.

Kesultanan Aceh Darussalam di utara Sumatra merupakan kekuatan penting di Asia Tenggara akhir abad ke-16, menguasai Selat Malaka dan menjadi pusat perdagangan rempah-rempah. Setelah wafatnya Sultan Ali Riayat Syah I (Husain) tahun 1579, Aceh mengalami kekacauan politik. Dalam kurun empat bulan pascawafatnya muncul tiga sultan silih berganti, hingga Sultan Zainul Abidin dibunuh dan tampuk kekuasaan kosong. Karena tidak ada pewaris dewasa garis keturunan Ali Mughayat Syah, para elite istana mengangkat Pangeran Mansur Syah – keturunan Sultan Perak dan garis sultan Melaka – sebagai Sultan Alauddin Mansur Syah pada Oktober 1579. Masa pemerintahan Mansur Syah (1579–1585) berfokus pada memantapkan Islam dan memperkuat militer. Ia mengundang ulama dari berbagai kawasan Islam dan menganjurkan para kepala kesukuan Aceh mengenakan jambiya dan sorban ala Arab.

Strategi Militer Awal

Di bawah Mansur Syah, Aceh kembali agresif di Semenanjung Malaya. Tahun 1582 ia melancarkan ekspedisi besar melawan Johor. Armada Aceh sempat menyerang pangkalan Portugis di Malaka, namun serangan tersebut gagal. Sementara itu pasukan Aceh berhasil menjarah Johor. Kemenangan ini menandai konflik tiga penjuru antara Aceh, Johor, dan Portugis di Selat Malaka. Hubungan Aceh–Portugis sendiri bersifat bermusuhan, namun masa Mansur Syah justru mengakhiri permusuhan besar yang sudah berlangsung puluhan tahun. Menurut sumber Eropa, kematian Sultan Mansur Syah pada 1585/1586 sekaligus mengakhiri sekitar 65 tahun perang Aceh–Portugis.

Pembunuhan Sultan Mansur Syah

Sultan Alauddin Mansur Syah mangkat secara misterius pada 1585 atau 1586. Kronik Portugis Diogo do Couto menulis bahwa pembunuhnya adalah seorang jenderal mantan budak bernama Mora Ratissa, sedangkan catatan Perancis menyebut pembunuhnya seorang nelayan yang kemudian naik takhta sebagai Sultan Sayyid al-Mukammal. Yang pasti, Sultan Mansur meninggalkan seorang cucu balita, Raja Asyem (putra dari putrinya dan Sultan Johor Ali Jalla). Namun karena keturunan Mansur yang lain sudah habis, takhta kesultanan jatuh ke tangan pangeran luar Aceh. Para pembesar mengangkat Raja Buyung, seorang pangeran dari Indrapura (Sumatra Barat), menjadi Sultan Ali Riayat Syah II (Sultan Buyung) untuk menggantikan Mansur Syah.

Sultan Ali Riayat Syah II (Sultan Buyung, 1586–1589)

Sultan Buyung Ali Riayat Syah II memerintah singkat antara 1586–1589. Pilihan terhadap Buyung didorong oleh tidak adanya kandidat Aceh dewasa yang layak. Pada masa pemerintahannya Aceh menempuh kebijakan damai terhadap Portugis. Misalnya, Aceh mengirim utusan ke Malaka dan menyepakati perundingan damai, sehingga permusuhan Aceh–Portugis ditangguhkan sementara. Sementara itu hubungan Aceh–Johor menjadi renggang. Setelah Johor mendapat kekalahan telak melawan Aceh, Sultan Buyung menginisiasi perjanjian damai dengan Johor pada 1587 yang mengatur lalu lintas maritim di Selat Malaka. Perdamaian ini relatif bertahan hingga 1606.

Namun Sultan Buyung terlibat konflik internal yang mengancam tahta. Diperkirakan pada akhir 1589 ia dibunuh oleh sekelompok bangsawan Aceh yang mendambakan pengganti. Tragisnya, Sultan Buyung menjadi penguasa keempat berturut-turut di Aceh yang dibunuh. Kematian Buyung pun menandai puncak krisis suksesi selama 10 tahun di Aceh. Setelah pembunuhan Sultan Buyung, tahta kesultanan diduduki oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil, yang mengklaim garis keturunan raja Aceh lama.

Sultan Sayyid al-Mukammil (1589–1604) dan Perang Johor

Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil naik takhta pada 1589. Ia dikenal awalnya sebagai panglima yang melindungi anak cucu Sultan Mansur. Dalam riwayat disebutkan Sayyid al-Mukammil awalnya menjadi wali Raja Asyem (cucu Mansur Syah) yang masih di bawah umur. Namun untuk mengamankan kekuasaan, ia akhirnya membunuh sang cucu dan menempatkan dirinya di atas singgasana Aceh. Peristiwa pembunuhan ini memicu kemarahan Kerajaan Johor: Raja Asyem adalah anak Sultan Johor (menantu Mansur Syah), sehingga Johor melihat pembunuhan itu sebagai provokasi. Kejadian ini sempat menimbulkan konflik militer antara Aceh dan Johor pada akhir 1580-an.

Pada masa Sayyid al-Mukammil, kerajaan Aceh relatif lebih stabil. Menurut catatan kronik, ia melanjutkan hubungan diplomatik dengan negara Islam lainnya (misalnya Pahang dan Brunei) serta mengawasi tata kelola kerajaan. Tidak banyak catatan perang terbuka selama pemerintahannya, meski diplomasi maritim dengan tetangga Barat terus diperhatikan. Menurut penelitian modern, Aceh juga terus dibekali meriam dan senjata oleh aliansi dengan Kekaisaran Utsmaniyah di Turki, yang sejak pertengahan abad ke-16 mendukung Aceh melawan Portugis. Dukungan Ottoman berupa teknologi kanon dan pengadaan senjata bahkan berlangsung hingga sekitar tahun 1585, meski pada masa Sayyid al-Mukammil peran langsung Utsmaniyah tidak terlalu banyak tercatat.

Pada tahun 1604, Sultan Sayyid al-Mukammil digulingkan oleh putranya sendiri. Sang putra mahkota yang dikenal sebagai “Sultan Muda” (Ali Riayat Syah III) memimpin kudeta melawan ayahnya. Sumber menyebutkan Sultan Sayyid al-Mukammil diturunkan dari tahta oleh putranya pada April 1604. Peristiwa ini menandai babak baru perebutan kekuasaan dalam keluarga kerajaan Aceh.

Sultan Ali Riayat Syah III (Sultan Muda, 1604–1607): Krisis Keluarga dan Pertempuran

Sultan Ali Riayat Syah III (sering disebut Sultan Muda) memerintah Aceh dari 1604 sampai April 1607. Pemerintahannya terguncang banyak masalah domestik dan bencana alam. Ia mengambil alih takhta dari ayahnya ketika Aceh dilanda kemarau panjang dan kelaparan. Selain itu, ia terlibat perselisihan dengan saudaranya sendiri, Pangeran Husin yang menjadi Raja (Uleebalang) di Pidie. Konflik keluarga ini terjadi karena Sultan Muda memecat ayah mereka dari kekuasaan. Pangeran Husin menolak mengekstradisi keponakannya (Perkasa Alam) yang dianggap sebagai ancaman dan malah mengangkat senjata. Perkasa Alam – putra Ratu Puteri Inderabangsa (adik raja) – lari ke Pidie. Sultan Muda menuntut agar Husin mengirimkan Perkasa Alam ke Banda Aceh, namun Husin menolak. Husin pun berbalik memberontak, memerintahkan pasukannya menyerbu ibu kota. Akan tetapi, pasukan Pidie menolak bertempur dan Perkasa Alam pun akhirnya ditangkap dan dipenjara di Kutaraja (Banda Aceh).

Intervensi Portugis (1606)

Kondisi internal Aceh yang lemah memancing campur tangan asing. Portugis di Malaka risau karena Aceh membuka hubungan dagang dengan Belanda dan Inggris. Tahun 1606 Vireynaos Portugis di Goa, Martim Afonso de Castro, memimpin ekspedisi militer besar-besaran ke Aceh. Armada Portugis tiba di muara Sungai Aceh pada Juni 1606 dan menuntut Aceh membangun benteng Portugis di sana. Setelah negosiasi gagal, pasukan Portugis menyerang benteng Aceh dengan kekuatan penuh. Namun serangan Portugis berhasil dipatahkan oleh tentara Aceh. Perkasa Alam yang sedang dipenjara meminta izin memimpin pasukan, dan pada pertempuran yang terjadi ia berhasil menghentikan serangan Portugis. Kabar bahwa armada Belanda dan Johor akan menyerang Malaka memaksa Castro membatalkan invasi Aceh dan mundur. Kegagalan ekspedisi Portugis ini justru mengangkat nama Perkasa Alam. Keberhasilan militernya membuatnya disegani elite Aceh, sementara ibunya (Puteri Inderabangsa) giat menyuap para pemimpin politik dan pedagang kaya dengan uang demi mendukung kariernya.

Kematian Sultan Muda dan Naiknya Iskandar Muda

Pada 4 April 1607 Sultan Ali Muda Riayat Syah tiba-tiba mangkat dunia. Beredarnya kabar wafatnya Sultan Muda segera dimanfaatkan Perkasa Alam. Pada hari yang sama, ia mengamankan kesetiaan pasukan penjaga istana dengan berbagai hadiah dan janji serta mengintimidasi ulama (qadi) yang menolak, sehingga ia diproklamasikan menjadi Sultan Iskandar Muda. Saat itulah Aceh memasuki era stabilitas baru: di bawah kepemimpinan Iskandar Muda, Aceh mencapai puncak kejayaannya. Sultan Iskandar Muda yang masih keturunan Sayyid al-Mukammil ini kelak memulihkan stabilitas politik dan kekuatan militer Aceh setelah dua dekade konflik suksesi yang hebat.

Peran Pihak Asing dan Dampak Konflik

Intervensi Portugis dan Eropa

Selama periode perang suksesi, Portugis di Melaka tetap menjadi kekuatan eksternal utama. Setelah bersitegang belasan tahun, Aceh sempat berdamai dengan Portugis (saat Sultan Buyung berkuasa). Namun hubungan dingin itu pernah memanas lagi (ekspedisi 1606). Di sisi lain, munculnya armada Belanda dan Inggris di Selat Malaka (akhir 1500-an awal 1600-an) memperumit situasi. Warta tentang operasi Belanda–Johor di Malaka membuat Portugal batal menyerang Aceh tahun 1606. Meski konflik suksesi sesungguhnya adalah urusan internal Aceh, tekanan negara Barat turut memengaruhi strategi militer Aceh (misalnya Aceh lebih fokus melawan Portugis alih-alih berperang sipil) dan mempercepat munculnya aliansi baru seperti Aceh–Belanda di masa berikutnya.

Dukungan Utsmaniyah

Pada masa ini Aceh terus mendapatkan dukungan dari Kekaisaran Ottoman di Turki sebagai sesama kekuatan Islam. Sejak dekade 1560-an, Aceh telah mengirim utusan kepada Sultan Utsmaniyah dan menerima kiriman ahli persenjataan serta meriam. Bukti sejarah menunjukkan bantuan militer Utsmaniyah ke Aceh berlangsung hingga pertengahan abad ke-16. Meskipun pada masa perang suksesi (setelah 1585) bantuan tersebut tidak tercatat lagi secara intens, peran awal Utsmaniyah telah memperkuat Angkatan Laut dan artileri Aceh, sehingga menjadikan Aceh mampu melancarkan berbagai serangan laut (termasuk pemboman Malaka) serta menangkis invasi Portugal.

Keterlibatan Melayu Lain

Konflik suksesi Aceh juga menarik perhatian kerajaan-kerajaan Melayu lainnya. Hubungan dengan Johor sempat memanas setelah pembunuhan cucu Sultan Mansur, karena Sultan Johor Ali Jalla adalah mertua korban. Tetapi di era Sultan Buyung tercapai perdamaian maritim dengan Johor hingga 1606. Selain itu, Aceh memiliki hubungan kekerabatan dengan Pahang, Brunei, dan Demak (masa silam) melalui ikatan pernikahan dan garis keturunan. Dukungan saudagar dan politikus dari Kesultanan Pahang dan Brunei (yang mengadopsi sistem hukum Aceh) juga memperkuat posisi Aceh dalam konflik regional. Namun, perang suksesi sendiri adalah perebutan internal di Aceh—pihak luar hanya memeriahkan arena politik dengan dukungan diplomatik atau senjata tertentu.

Dampak terhadap Kesultanan Aceh

Perang suksesi 1585–1607 menghancurkan banyak tatanan lama Aceh. Sekelompok sultan bermunculan dalam waktu singkat, melibatkan darah bangsawan asli Aceh, keturunan kerajaan Melaka, dan pangeran luar (Indrapura). Posisi uleebalang (bangsawan daerah) dan rohaniwan menjadi sangat menentukan naik-turunnya tahta. Banyak anggota keluarga kerajaan yang saling bunuh atau saling intrik. Meski demikian, konflik ini juga mengkonsolidasikan kekuasaan Aceh di tangan satu dinasti baru: setelah perang berakhir, cucu Sultan Sayyid al-Mukammil (Iskandar Muda) tampil sebagai penguasa tunggal yang kuat. Kematian Sultan Ali II, Sultan Buyung, dan Sayyid al-Mukammil justru membuka jalan bagi perampingan garis keturunan yang krusial bagi stabilitas masa depan.

Pemulihan dan Iskandar Muda

Begitu Iskandar Muda naik tahta (1607), Aceh memasuki era pemulihan dan ekspansi. Sebagai sosok yang cakap militer dan negarawan, ia memperkuat armada laut dan menaklukkan banyak wilayah di Sumatra dan Semenanjung Malaya. Stabilitas politik yang ia wujudkan kontras tajam dengan perang saudara sebelumnya. Kebijakan-kebijakan Iskandar (misalnya hukum kanun dan reposisi panglima laut seperti Malahayati) membantu mengatasi krisis yang terjadi selama perang suksesi. Dengan berakhirnya pergolakan antarbangsawan, Aceh kembali tumbuh menjadi kekuatan maritim unggul hingga pertengahan abad ke-17.

Perang Suksesi Aceh 1585–1607 adalah periode pergolakan politik internal yang dipicu wafatnya Sultan Mansur Syah dan berakhir dengan naiknya Iskandar Muda. Konflik ini melibatkan perebutan tahta di antara pangeran Aceh sendiri, dengan campur tangan pihak luar berupa tekanan Portugis di Malaka, sisa dukungan Ottoman, dan dinamika di kalangan kerajaan-kerajaan Melayu tetangga. Perang ini meninggalkan bekas mendalam bagi Aceh: setelah dua dekade pertumpahan darah, struktur kekuasaan dipadukan dalam tangan satu penguasa kuat (Iskandar Muda) yang membawa kesultanan ke puncak kejayaan.


📚 DAFTAR REFERENSI

🔸 Sumber Primer dan Klasik

  1. Hikayat Aceh – Naskah klasik sejarah Kesultanan Aceh, abad ke-17.
  2. Diogo do Couto, Decadas da Ásia – Kronik Portugis abad ke-16 yang memuat peristiwa di Aceh dan Selat Malaka.
  3. Ma Huan, Yingya Shenglan – Catatan pelayaran Tiongkok abad ke-15, referensial terhadap kawasan Aceh dan Malaka.
  4. Catatan Portugis dan Belanda (VOC Archives, 1600-an awal) – Berisi laporan intelijen dan observasi politik Aceh.

🔸 Buku dan Karya Akademik

  1. Djajadiningrat, Hoesein. Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten. Leiden: Brill, 1913.
  2. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII. Jakarta: Kencana, 2004.
  3. Reid, Anthony. Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450–1680: Expansion and Crisis. New Haven: Yale University Press, 1993.
  4. Kathirithamby-Wells, J. The Dutch and the Sultanate of Aceh: A Collection of Documents. Kuala Lumpur: MBRAS, 1975.
  5. Miksic, John N. & Goh, Geok Yian. Ancient Southeast Asia. London: Routledge, 2016.

🔸 Artikel & Jurnal Ilmiah

  1. Lombard, Denys. “Kerajaan Aceh Abad XVI.” Dalam Nusa: Seri Kajian Sejarah dan Budaya, Vol. 3, 1980.
  2. Penth, Hans. “Aceh: The Rise and Fall of an Islamic Empire.” Journal of the Siam Society, Vol. 78, 1990.
  3. Amri, Nurdin. “Perang Tahta di Kesultanan Aceh: Perspektif Politik Dinasti.” Jurnal Sejarah Citra Lekha, Vol. 4 No. 2, 2020.
  4. Uka Tjandrasasmita. “Kesultanan Aceh dan Dinamika Islamisasi Nusantara.” Jurnal LIPI Sejarah, 2005.

🔸 Ensiklopedia dan Sumber Daring

  1. Wikipedia Bahasa Indonesia:
  2. Kompas.com – “Asal-usul Iskandar Muda, Raja Terbesar dari Aceh”, 2021.
  3. Historia.id – “Konflik Keluarga di Balik Tahta Aceh”, 2020.
  4. Perpustakaan Digital UIN Syarif Hidayatullah – Repositori digital naskah dan artikel tentang sejarah Aceh.

About administrator