Pola Relasi dengan Bangsawan Lokal

Kehadiran kolonialisme Belanda di Nusantara sejak abad ke-17 hingga awal abad ke-20 membawa transformasi besar dalam struktur kekuasaan, sosial, dan politik lokal. Namun, tidak seperti yang sering dibayangkan dalam narasi kolonial klasik—di mana kekuasaan asing sepenuhnya menghapus sistem lama—kolonialisme Belanda justru memilih pendekatan kooptatif terhadap kekuasaan lokal, terutama terhadap para bangsawan.

Alih-alih menggulingkan atau menyingkirkan para raja, adipati, dan bupati, Belanda justru mengakomodasi keberadaan mereka dalam kerangka pemerintahan kolonial, sambil secara bertahap mengurangi kedaulatan dan otonomi asli mereka. Para bangsawan lokal dijadikan mitra—namun bukan dalam relasi setara—melainkan sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan kolonial yang dijalankan melalui administrasi lokal.

Dalam konteks ini, para bangsawan memainkan peran penting sebagai perantara sosial-politik antara pemerintah kolonial dan rakyat. Mereka mengelola pajak, kerja paksa, hukum adat, dan menjadi juru bicara kekuasaan kolonial dalam wajah lokal. Status mereka dipertahankan, bahkan seringkali ditinggikan secara simbolik, tetapi kekuasaan riilnya dipangkas dan diarahkan.

Relasi ini membentuk struktur kekuasaan campuran: di satu sisi mempertahankan simbol dan legitimasi lokal, namun di sisi lain seluruh fungsi dan orientasinya diarahkan untuk mendukung kepentingan kolonial. Inilah yang menjadikan hubungan antara Belanda dan bangsawan lokal bersifat ambivalenkooperatif secara lahiriah, tetapi subordinatif secara struktural. Bangsawan tetap bermahkota, tetapi tunduk pada pena dan perintah pejabat kolonial.

Dalam tulisan ini menyoroti bahwa strategi relasi kolonial terhadap bangsawan lokal adalah bentuk kekuasaan yang cerdas dan hegemonik, memanfaatkan struktur yang telah ada untuk menjinakkan potensi perlawanan dan sekaligus memperluas kontrol kolonial tanpa harus mengerahkan kekuatan militer besar-besaran. Melalui pembacaan kritis atas pola hubungan ini, kita dapat memahami bagaimana kolonialisme tidak hanya bekerja melalui kekerasan, tetapi juga melalui birokratisasi, kooptasi elite, dan manipulasi legitimasi lokal—mekanisme yang jejaknya masih terasa dalam sistem kekuasaan Indonesia hingga kini.


Asal-Usul Kelas Bangsawan Lokal di Nusantara

Sebelum kedatangan kekuasaan kolonial Eropa, wilayah Nusantara telah memiliki struktur sosial dan politik yang relatif mapan dalam bentuk kerajaan-kerajaan lokal, baik yang berskala kecil maupun besar. Struktur ini umumnya berbentuk feodalisme tradisional, di mana kekuasaan politik, ekonomi, dan budaya terpusat pada figur penguasa dan jaringan bangsawan di bawahnya. Sistem ini berbeda-beda dalam wujud lokalnya—dari Jawa, Sumatra, Bali hingga Sulawesi dan Maluku—tetapi memiliki pola umum yang mirip dalam hal stratifikasi sosial dan relasi kuasa.

Di puncak struktur kekuasaan ini terdapat raja atau sultan sebagai penguasa tertinggi, yang sering dipandang sebagai figur sakral atau memiliki legitimasi spiritual (mandat ilahi, wahyu, atau keturunan dewa/pendiri leluhur). Raja memerintah wilayah kerajaannya melalui pejabat-pejabat tinggi yang sebagian besar berasal dari kalangan bangsawan, seperti:

  • Adipati atau raja muda: penguasa daerah bawahan yang biasanya adalah kerabat raja atau loyalis politik yang diberi otoritas atas satu wilayah tertentu.
  • Bupati (khusus di Jawa): setara dengan penguasa daerah atau kepala wilayah, sering kali memiliki basis kekuasaan lokal yang cukup besar sebelum masuk ke dalam sistem kolonial.
  • Patih, tumenggung, dan pejabat birokrasi lokal lainnya: yang menjalankan fungsi administratif, militer, dan hukum dalam struktur kerajaan.

Kelas bangsawan ini bukan hanya memiliki kuasa politik, tetapi juga hak atas tanah dan tenaga kerja, serta otoritas atas pengumpulan upeti atau pajak dari rakyat. Dalam banyak kasus, relasi antara bangsawan dan rakyat berlangsung dalam bentuk ikatan patron-klien, di mana rakyat menunjukkan kesetiaan dan kerja kepada bangsawan sebagai bentuk kewajiban sosial dan ekonomi, bukan semata sebagai warga negara.

Yang menarik adalah bahwa status bangsawan bersifat turun-temurun, dijaga melalui pernikahan sesama elite dan sistem pendidikan yang membentuk etos kekuasaan dan eksklusivitas. Dalam konteks ini, bangsawan bukan hanya kelas sosial, tetapi juga konstruksi ideologis yang menjadi fondasi kekuasaan tradisional di Nusantara.

Ketika kolonialisme datang, terutama dengan model VOC dan kemudian Hindia Belanda, struktur kekuasaan ini tidak dihancurkan, melainkan diadaptasi dan dikendalikan. Pemerintah kolonial melihat bahwa menggunakan kelas bangsawan lokal lebih efisien daripada membangun kekuasaan dari nol. Maka, asal-usul dan tradisi kekuasaan bangsawan lokal menjadi modal penting bagi Belanda dalam menciptakan sistem kolonial yang stabil dan berlapis.

Dengan memahami akar dan fungsi kelas bangsawan pra-kolonial ini, kita dapat lebih jernih melihat bagaimana keberlanjutan dan transformasinya dalam sistem kolonial bukan sekadar kompromi, melainkan strategi kuasa jangka panjang yang menyatu dengan nalar kolonialisme itu sendiri.


Selain memiliki kekuasaan administratif, kelas bangsawan lokal di Nusantara juga memperoleh otoritas melalui tiga sumber utama legitimasi: adat, spiritualitas, dan kekuatan militer. Kombinasi dari ketiganya menjadikan para bangsawan bukan hanya sebagai elite politik, tetapi juga sebagai simbol pemersatu dan penjaga tatanan sosial yang dihormati oleh masyarakat.

  1. Legitimasi Adat
    Dalam sistem kerajaan tradisional Nusantara, adat memegang peranan sentral sebagai hukum tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat. Bangsawan, khususnya raja dan bupati, dipandang sebagai penjaga dan pelaksana tertinggi hukum adat, sekaligus sebagai pemimpin yang menjaga keseimbangan kosmis dan sosial. Keabsahan kekuasaan mereka bersandar pada pengakuan masyarakat bahwa mereka memerintah sesuai nilai-nilai turun-temurun.
  2. Legitimasi Spiritual
    Banyak kerajaan di Nusantara menghubungkan garis keturunannya dengan mitos asal-usul suci atau tokoh-tokoh sakral. Di Jawa misalnya, raja dipandang sebagai penjelmaan wahyu (wahyu keprabon) dan kerap dikaitkan dengan tokoh wayang atau dewa dalam kosmologi Hindu-Buddha dan kemudian Islam. Ini memberikan aura religius dan sakral pada kekuasaan bangsawan, yang memperkuat loyalitas rakyat dan menghalangi tantangan langsung terhadap otoritas mereka.
  3. Legitimasi Militer
    Sebelum integrasi penuh ke dalam sistem kolonial, bangsawan memiliki kontrol langsung atas kekuatan militer lokal, seperti pasukan pengawal kerajaan, prajurit desa, dan pasukan kavaleri atau keris. Mereka memiliki hak untuk memobilisasi kekuatan bersenjata dalam menjaga wilayah, menumpas pemberontakan, atau memperluas pengaruh politik. Ini memberikan dimensi koersif pada kekuasaan mereka, sekaligus menunjukkan otonomi yang relatif tinggi.

Ketiga legitimasi ini—adat, spiritual, dan militer—membentuk basis kekuasaan tradisional yang sangat kuat, dan justru karena itulah menjadi sangat penting bagi pemerintah kolonial untuk tidak menghancurkannya secara frontal. Sebaliknya, Belanda memilih untuk memelihara simbol-simbol ini agar dapat digunakan sebagai sarana kontrol tidak langsung.

Dengan tetap mempertahankan bangsawan lokal dalam posisinya (meski dengan kekuasaan yang telah dipreteli), pemerintah kolonial dapat mengontrol masyarakat melalui mekanisme kekuasaan lama yang diberi makna baru. Maka dari itu, strategi kolonial berikutnya adalah kooptasi—bukan konfrontasi.


Peran Sosial dan Ekonomi Bangsawan Sebelum Kedatangan Belanda

Sebelum masuknya kekuasaan kolonial Belanda, para bangsawan di Nusantara memainkan peran vital dalam kehidupan masyarakat, baik dalam aspek sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Kelas bangsawan—yang terdiri dari raja, adipati, bupati, dan pejabat tinggi lainnya—berfungsi sebagai pusat otoritas dan sumber pengorganisasi kehidupan kolektif masyarakat tradisional. Peran ini tidak hanya bersifat simbolis, tetapi sangat operasional dalam menjaga keteraturan dan kesinambungan sistem sosial lokal.

1. Peran Sosial: Penjaga Tatanan dan Struktur Kehormatan

Bangsawan merupakan patron utama dalam masyarakat feodal, yang memayungi kelompok rakyat biasa (wong cilik) melalui hubungan patron-klien. Dalam sistem ini, rakyat memberikan kesetiaan dan kerja kepada bangsawan, sementara bangsawan memberikan perlindungan, keadilan, dan kepemimpinan.

  • Mereka bertindak sebagai pengadil utama dalam sengketa lokal, pemimpin upacara adat, dan penentu norma sosial.
  • Kehadiran bangsawan memperkuat struktur masyarakat berbasis hirarki, di mana status sosial ditentukan oleh garis keturunan dan kedekatan dengan pusat kekuasaan.
  • Mereka juga memainkan peran sebagai perantara spiritual, menghubungkan masyarakat dengan dunia sakral melalui ritual-ritual kerajaan dan kosmologi lokal.

2. Peran Ekonomi: Pemilik Lahan dan Pengelola Produksi

Secara ekonomi, bangsawan berperan sebagai pengelola utama sumber daya agraris, terutama tanah dan tenaga kerja. Dalam sistem feodal di banyak kerajaan Nusantara:

  • Tanah dikuasai oleh raja atau bangsawan sebagai “milik kekuasaan” (tanah lungguh) dan dibagikan kepada bawahannya sebagai bentuk hadiah atau alat kontrol politik.
  • Petani tidak memiliki hak milik atas tanah, tetapi berstatus sebagai penggarap yang berkewajiban memberikan bagian hasil panen sebagai upeti (pajeg) kepada bangsawan.
  • Bangsawan memobilisasi tenaga kerja rakyat melalui sistem kerja bakti atau kerja wajib, baik untuk menggarap sawah, membangun irigasi, atau mendirikan bangunan kerajaan.

Bangsawan juga terlibat dalam pengaturan perdagangan, baik sebagai penguasa pelabuhan, pemungut bea, maupun sebagai aktor ekonomi langsung yang memiliki armada atau gudang dagang.

3. Kewenangan Simbolik dan Disiplin Sosial

Bangsawan tidak hanya berfungsi dalam tataran administratif, melainkan juga mengontrol imajinasi kolektif masyarakat. Mereka menjadi simbol stabilitas, keberlangsungan tatanan kosmis, dan kemakmuran kerajaan.

  • Pakaian, bahasa, cara berbicara, hingga jarak sosial antara bangsawan dan rakyat diatur dalam kode etik yang mempertegas ketimpangan.
  • Bangsawan menjadi arsitek ideologi ketertiban, tempat di mana nilai kepatuhan dan loyalitas dikuatkan secara turun-temurun.

Dengan peran sosial dan ekonomi yang sangat kuat ini, bangsawan lokal sebelum kolonialisme tidak hanya menguasai wilayahnya secara politik, tetapi juga menjadi fondasi kehidupan masyarakat. Maka tak mengherankan jika Belanda—ketika mulai mengkonsolidasikan kekuasaan di Nusantara—tidak menghancurkan peran ini, tetapi mengadaptasinya demi kelancaran kolonialisme.

Struktur yang sudah mapan ini sangat potensial untuk diubah fungsinya dari kekuasaan adat ke dalam sistem kontrol kolonial—sebuah transformasi yang akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian berikutnya.


Strategi Kolonial: Kooptasi, Bukan Konfrontasi

Ketika kekuasaan kolonial Belanda mulai mengonsolidasikan pengaruhnya di Nusantara—baik melalui VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada abad ke-17 hingga pemerintahan Hindia Belanda pada abad ke-19—mereka menyadari bahwa kekuatan militer semata tidak cukup untuk mengontrol wilayah kepulauan yang luas, beragam budaya, dan kaya perlawanan. Maka, strategi yang lebih efisien pun ditempuh: kooptasi terhadap struktur kekuasaan lokal, terutama terhadap kalangan bangsawan.

Alih-alih melakukan konfrontasi frontal atau penghancuran sistem lama, VOC dan pemerintah kolonial lebih memilih untuk mempertahankan dan memodifikasi struktur kekuasaan lokal agar sesuai dengan kepentingan kolonial. Mereka melihat bahwa struktur feodal dan hirarkis bangsawan lokal sangat sesuai untuk dijadikan instrumen kontrol sosial dan administratif, karena:

  • Sudah dikenal dan diakui oleh rakyat
  • Telah memiliki jaringan birokrasi dan kekuasaan lokal
  • Mampu menjalankan perintah tanpa harus mengandalkan aparat kolonial asing dalam jumlah besar

Bangsawan Sebagai Alat Kontrol Sosial Kolonial

Dalam konteks ini, para bangsawan—terutama para bupati di Jawa—tidak diberhentikan, tetapi diintegrasikan secara formal ke dalam struktur kolonial. Mereka tetap memiliki atribut kekuasaan adat, namun fungsinya telah bergeser: dari pemimpin otonom menjadi agen lokal kolonialisme.

  • Mereka tetap diberi pakaian kebesaran, gelar, dan kehormatan adat, tetapi tidak lagi memiliki kedaulatan.
  • Sebagai gantinya, mereka diberi gaji tetap, tunduk pada sistem evaluasi administratif, dan diwajibkan melaporkan aktivitas wilayahnya secara rutin.
  • Loyalitas mereka digeser: bukan lagi kepada kerajaan atau leluhur, tetapi kepada residen atau gubernur jenderal di Batavia.

Konsep ini dikenal dalam praktik sebagai “raja kecil” kolonial: para bupati tetap berkuasa secara simbolik di wilayahnya, tetapi sebenarnya adalah pelaksana kebijakan kolonial, tunduk pada pengawasan asisten residen dan residen yang mewakili pemerintah Hindia Belanda.

Hubungan Hierarkis dan Simbolik

Relasi antara residen dan bupati sering kali ditampilkan dalam upacara dan simbol yang mempertegas hierarki kekuasaan:

  • Bupati duduk di kursi yang lebih rendah dari residen dalam acara resmi.
  • Bupati harus melapor dan meminta izin untuk keputusan penting.
  • Setiap bupati diwajibkan menghormati instruksi administratif dan tidak boleh membentuk kekuatan militer pribadi.

Dengan strategi ini, pemerintah kolonial berhasil menghemat sumber daya, meminimalisasi perlawanan langsung, dan menjadikan bangsawan sebagai perisai sekaligus alat untuk menegakkan kekuasaan asing. Rakyat tetap melihat bangsawan sebagai pemimpinnya, namun kebijakan yang dijalankan adalah kebijakan penjajah.

Kooptasi ini menjadi fondasi politik kolonial yang paling canggih: kekuasaan dipertahankan melalui wajah lama, tetapi isinya telah dikendalikan dari luar. Maka tidak heran jika banyak bupati di masa kolonial dikenal sebagai “bangsawan berkebaya, tapi berpikiran Batavia.”


Relasi Kekuasaan: Hierarki dan Ketundukan

Struktur kekuasaan kolonial di Hindia Belanda dibangun dengan arsitektur vertikal yang terpusat di Batavia (Jakarta), dan dijabarkan ke bawah melalui tingkatan-tingkatan administratif yang ketat: dari Gubernur Jenderal, Raad van Indië, residen, asisten residen, hingga bupati dan kepala desa. Dalam struktur ini, bangsawan lokal—khususnya para bupati—ditempatkan sebagai simpul kekuasaan di tingkat daerah, namun dengan ruang gerak yang dibatasi dan dikendalikan oleh otoritas kolonial di atasnya.

Kekuasaan Simbolik dan Administratif yang Terkungkung

Bupati dan bangsawan lokal lainnya tetap diberi kekuasaan administratif tertentu: mengatur desa, memungut pajak, mengawasi pekerjaan wajib, hingga menjaga ketertiban masyarakat. Namun, semua tindakan itu harus sesuai dengan arahan dan persetujuan dari asisten residen atau residen.

Kekuasaan mereka hanya bersifat delegatif, bukan otonom. Misalnya:

  • Pengangkatan atau pemberhentian kepala desa memerlukan restu dari asisten residen.
  • Kebijakan ekonomi daerah—terutama terkait kerja paksa dan tanam paksa—ditentukan dari atas.
  • Laporan administrasi mingguan, bulanan, hingga tahunan wajib disusun dan dikirim ke Batavia.

Dengan demikian, meskipun tampil sebagai penguasa lokal, bangsawan sebenarnya terperangkap dalam mekanisme hierarkis yang membatasi inisiatifnya dan memaksa mereka menjalankan instruksi kekuasaan kolonial.

Relasi Vertikal yang Kaku dan Sepihak

Hubungan antara residen (Eropa) dan bupati (pribumi) bukan hubungan mitra, melainkan relasi antara atasan dan bawahan. Residen tidak hanya memiliki wewenang administratif, tetapi juga kewenangan yudisial dan koersif atas wilayahnya. Dalam banyak kasus, seorang bupati harus:

  • Tunduk dalam tata cara protokol kolonial (misalnya, berdiri saat menyambut residen, tidak boleh duduk sejajar).
  • Menghadiri rapat-rapat administratif tanpa suara pengambilan keputusan.
  • Menjalankan instruksi tanpa boleh menolaknya secara terbuka.

Relasi ini menciptakan struktur ketundukan institusional, di mana bangsawan pribumi dipaksa menerima posisi sebagai alat pelaksana, bukan pembuat keputusan.

Dualisme Kekuasaan: Antara Adat dan Kolonial

Di mata rakyat, bupati tetap tampil sebagai simbol kekuasaan tradisional. Mereka masih mengenakan pakaian kebesaran, mengadakan upacara adat, dan dihormati oleh masyarakat lokal. Namun, fungsi utama mereka telah bergeser: dari pemimpin komunitas menjadi perpanjangan tangan kekuasaan kolonial.

Di sinilah muncul ambiguitas: rakyat diperintah oleh bangsanya sendiri, tetapi atas nama kekuasaan asing. Dengan kata lain, kolonialisme Belanda menciptakan “kekuasaan kolonial dalam wajah lokal”, yang menyamarkan struktur penjajahan di balik simbol-simbol adat yang tetap dipertahankan.

Relasi kekuasaan yang hierarkis dan kaku ini menjadikan bangsawan bukan hanya subordinat secara struktural, tetapi juga teralienasi secara politik dan moral, terjepit antara loyalitas kepada rakyat dan ketundukan kepada kolonial.


Pembagian Tugas: Kekuasaan Dibagi, Tapi Tidak Setara

Dalam struktur pemerintahan kolonial Hindia Belanda, pembagian tugas antara bangsawan lokal dan pejabat kolonial dirancang sedemikian rupa untuk memaksimalkan kendali dan efisiensi kekuasaan, namun tanpa memberikan otonomi nyata kepada elite pribumi. Kekuasaan memang dibagi, tetapi dalam kerangka subordinasi—bangsawan diberi tugas-tugas pelaksana, sementara pengambilan keputusan strategis tetap dimonopoli oleh pihak kolonial.

Tugas Bangsawan Lokal (Bupati dan Jajarannya)

Bangsawan lokal diberi tanggung jawab langsung dalam mengelola kehidupan sehari-hari masyarakat desa, yaitu:

  • Urusan Desa dan Adat:
    Bupati dan pejabat bawahannya tetap menjadi penanggung jawab atas urusan adat, budaya, dan hubungan sosial di tingkat lokal. Mereka memimpin upacara adat, mengatur tata ruang desa, serta menjadi simbol kelangsungan tradisi.
  • Kerja Paksa (Rodi dan Tanam Paksa):
    Mereka mengorganisir mobilisasi tenaga kerja untuk proyek-proyek kolonial seperti pembangunan jalan, pengangkutan hasil bumi, hingga pengawasan pelaksanaan tanam paksa (Cultuurstelsel). Bangsawan menjadi pengatur kerja paksa—atas nama “kebijakan pemerintah”.
  • Pengumpulan Pajak:
    Bangsawan bertanggung jawab memungut pajak dari rakyat—baik berupa hasil bumi, tenaga, maupun uang—untuk disetorkan ke kas kolonial. Mereka harus memastikan target pajak terpenuhi, tanpa boleh mempersoalkan beban yang ditanggung rakyat.

Dengan demikian, fungsi utama bangsawan adalah sebagai operator lapangan dan pelaksana teknis dari kebijakan kolonial.

Tugas Pejabat Kolonial (Residen, Asisten Residen, dan di atasnya)

Pihak kolonial mengendalikan aspek-aspek strategis dan struktural dari kekuasaan, yaitu:

  • Pengawasan dan Evaluasi:
    Residen dan asistennya memiliki kuasa penuh untuk mengawasi kinerja para bupati dan kepala desa. Mereka menerima laporan rutin, melakukan inspeksi mendadak, dan berhak memberhentikan pejabat lokal bila dianggap tidak loyal atau tidak efisien.
  • Keputusan Fiskal dan Anggaran:
    Kebijakan fiskal—seperti besaran pajak, kuota tanam paksa, dan alokasi anggaran untuk daerah—ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah kolonial. Bangsawan tidak memiliki suara dalam hal ini, tetapi harus menjalankannya.
  • Militer dan Keamanan:
    Penggunaan kekuatan bersenjata, penindakan pemberontakan, dan pengamanan wilayah berada di tangan militer kolonial. Bangsawan tidak lagi memiliki pasukan sendiri sebagaimana sebelum kolonialisme.
  • Hukum Tinggi dan Yudisial:
    Meskipun hukum adat masih berlaku dalam kasus-kasus lokal, semua perkara yang lebih besar atau menyangkut kepentingan kolonial langsung ditangani oleh pengadilan kolonial. Dengan demikian, kekuasaan yudisial bangsawan juga dibatasi.

Implikasi dari Pembagian Tugas Ini:

  • Relasi kuasa asimetris: bangsawan tampak berkuasa di mata rakyat, tetapi mereka hanyalah pelaksana di hadapan penguasa kolonial.
  • Efektivitas kolonial tanpa ekspansi militer besar-besaran, karena kekuasaan lokal dikendalikan dari dalam oleh elite pribumi yang terkooptasi.
  • Pemusatan keputusan di tangan kolonial, namun pelaksanaan dibebankan kepada aparat lokal yang sekaligus menjadi tameng terhadap potensi perlawanan rakyat.

Dengan strategi pembagian tugas ini, Belanda berhasil menciptakan struktur kekuasaan yang stabil namun eksploitatif, yang bertahan selama lebih dari satu abad.


Pemberian Gaji dan Status, Bukan Kedaulatan

Salah satu strategi paling efektif dari pemerintah kolonial Belanda dalam mengendalikan bangsawan lokal adalah mengganti kedaulatan tradisional mereka dengan status simbolik dan gaji tetap. Dengan cara ini, bangsawan tetap terlihat berkuasa di mata rakyat, namun sebenarnya telah dilepaskan dari otoritas sejatinya sebagai pemimpin yang merdeka.

1. Gaji sebagai Alat Kendali

Alih-alih menerima upeti dari rakyat seperti dalam sistem feodal sebelumnya, para bupati dan pejabat bangsawan lainnya di bawah kolonialisme diberi gaji tetap oleh pemerintah Hindia Belanda. Gaji ini memiliki beberapa fungsi:

  • Menghapus kemandirian ekonomi bangsawan, sehingga mereka tergantung langsung pada pemerintah kolonial.
  • Mendorong loyalitas administratif, karena kelangsungan penghasilan mereka bergantung pada kepatuhan terhadap residen atau asisten residen.
  • Mengatur sistem reward–punishment: siapa yang patuh akan dinaikkan gajinya, yang dianggap tidak efisien dapat diturunkan atau diganti.

Sistem ini menciptakan profesionalisasi palsu, di mana jabatan bangsawan menjadi “pekerjaan administratif,” bukan lagi posisi kuasa yang otonom.

2. Status dan Simbolisme: Ilusi Kekuasaan

Meski telah kehilangan kedaulatan nyata, bangsawan tetap diberikan simbol-simbol kehormatan adat, seperti:

  • Hak memakai pakaian kebesaran dan keris pusaka
  • Penggunaan gelar tradisional (Raden, Tumenggung, Panembahan, dll.)
  • Kesempatan memimpin upacara adat atau keagamaan lokal

Namun semua itu hanyalah kulit luar dari kekuasaan. Isi dan kendali sesungguhnya ada di tangan pejabat kolonial. Dalam hal ini, Belanda memelihara ilusi kekuasaan tradisional, agar rakyat tetap memandang bangsawan sebagai pemimpin mereka, padahal sang bangsawan sebenarnya telah menjadi pegawai pemerintah kolonial.

3. Kehilangan Kedaulatan, Bukan Jabatan

Yang digeser bukan orangnya, tetapi fungsi politiknya. Seorang bupati yang dulunya bisa membuat keputusan atas wilayahnya, setelah dikooptasi kolonial hanya bisa melaksanakan keputusan dari atas. Ia tidak lagi memiliki pasukan pribadi, hak menentukan pajak, atau kekuasaan atas wilayah secara mutlak.

Dalam struktur ini, kedaulatan sebagai unsur utama kekuasaan bangsawan telah dicabut, tetapi secara sengaja tidak dihapus secara simbolik—justru dipertahankan untuk menjaga stabilitas sosial dan meredam perlawanan.


Strategi ini membentuk tipe kekuasaan kolonial yang halus tetapi efektif: menjinakkan elite lokal, bukan menghancurkannya. Para bangsawan pun menjadi kelas perantara: tidak lagi mewakili rakyat, tetapi juga bukan penguasa penuh—mereka adalah tangan kolonial yang berpakaian adat.

Peran Ideologis dan Sosial Bangsawan Kolonial

Dalam kerangka kolonialisme Hindia Belanda, bangsawan pribumi bukan hanya berfungsi sebagai pelaksana teknis kebijakan—seperti pengumpul pajak atau pengawas kerja paksa—tetapi juga menjalankan peran ideologis dan sosial yang jauh lebih subtil namun sangat penting: memelihara ilusi stabilitas dan ketaatan masyarakat kepada kekuasaan kolonial.

1. Penjaga Stabilitas dan Disiplin Sosial

Bangsawan diposisikan sebagai penjaga tatanan di tingkat lokal. Mereka diberi tugas mempertahankan ketertiban, mencegah perlawanan, dan memastikan masyarakat tidak keluar dari garis yang ditetapkan oleh pemerintah kolonial. Mereka:

  • Menjaga disiplin kerja dalam sistem tanam paksa atau kerja rodi.
  • Menyelesaikan konflik masyarakat secara “adat” agar tidak naik ke tingkat kolonial.
  • Menjadi wajah yang menenangkan saat kebijakan kolonial menyengsarakan rakyat.

Dengan demikian, bangsawan menjalankan fungsi represif pasif: mereka tidak memakai senjata, tetapi menjaga keteraturan lewat wibawa, intimidasi sosial, dan otoritas budaya.

2. Penanam Legitimasi Kekuasaan Kolonial

Pemerintah Belanda sangat menyadari bahwa kekuasaan asing akan selalu dipandang asing oleh rakyat, kecuali jika dibungkus dengan simbol-simbol lokal. Di sinilah bangsawan memainkan peran krusial:

  • Mereka tetap memimpin ritual adat, upacara panen, slametan, dan tradisi lokal lainnya, meskipun kini disponsori oleh negara kolonial.
  • Dalam seremoni, bupati duduk di kursi kehormatan, tetapi dalam kenyataan, mereka melaporkan ke residen.
  • Mereka menjadi corong legitimasi kolonial, menyampaikan kebijakan Belanda seolah-olah bagian dari kelangsungan tatanan lama.

Dengan demikian, kekuasaan kolonial tampil tidak sebagai pemutus tatanan adat, melainkan sebagai kelanjutan “resmi” dari sistem yang sudah ada—sebuah transplantasi kekuasaan yang dibungkus adat.

3. “Penengah” Sekaligus “Penakluk”

Posisi bangsawan sangat ambivalen: di satu sisi, mereka adalah penengah antara kekuasaan kolonial dan rakyat, yang diminta untuk menjaga harmoni, menengahi konflik, dan memastikan kelancaran administrasi. Tapi di sisi lain, mereka juga menjadi penakluk terhadap bangsanya sendiri, karena:

  • Mereka mengesahkan kebijakan yang menindas, seperti tanam paksa, pungutan tinggi, dan kerja rodi.
  • Mereka memobilisasi tenaga rakyat untuk kepentingan penjajah.
  • Mereka menjadi barisan pertama yang menumpas perlawanan atau agitasi lokal.

Dalam posisi ini, bangsawan kolonial adalah “elite kolaborator”, yang peran historisnya tidak bisa dipisahkan dari berjalannya sistem kolonial itu sendiri.


Peran ideologis ini memperpanjang usia kolonialisme. Kekuasaan tidak selalu dibangun di atas kekerasan langsung, tetapi juga melalui representasi, simbolisme, dan kontrol budaya—dan bangsawan kolonial adalah alat paling efektif dalam menjalankannya.

Manfaat dan Ketegangan

Hubungan antara bangsawan lokal dan pemerintahan kolonial Hindia Belanda bukan semata relasi dominasi satu arah. Meskipun berada dalam posisi subordinat, bangsawan kolonial juga memperoleh sejumlah keuntungan dan privilese yang membuat sebagian besar dari mereka bersedia mempertahankan kolaborasi dengan sistem yang menindas rakyatnya sendiri. Namun di balik itu, terdapat ketegangan struktural dan moral yang terus membayangi posisi mereka.


Manfaat bagi Bangsawan: Status, Akses, dan Perlindungan

Dalam skema kekuasaan kolonial Hindia Belanda, bangsawan lokal—terutama para bupati dan kerabatnya—memperoleh sejumlah manfaat nyata dari relasi kolaboratif mereka dengan penguasa kolonial. Meskipun berada dalam posisi subordinat, mereka tidak dilucuti sepenuhnya dari kehormatan dan fasilitas. Justru, mereka dijadikan sekutu strategis, yang diberi imbalan dalam bentuk status sosial, akses ekonomi, dan keamanan politik.


1. Status Sosial yang Dipertahankan

Pemerintah kolonial dengan sengaja memelihara simbol dan struktur kehormatan bangsawan, agar tetap tampak “berkuasa” di mata rakyat:

  • Gelar-gelar adat seperti Raden, Tumenggung, atau Panembahan tetap digunakan.
  • Bangsawan diberi hak menghadiri upacara resmi dengan pakaian kebesaran dan protokol khusus.
  • Mereka masih diakui sebagai “pemimpin adat”, meskipun tanpa kekuasaan penuh.

Simbol-simbol ini digunakan untuk meminjam legitimasi tradisional, agar kekuasaan kolonial tampak seolah sah dan alami di hadapan rakyat.


2. Akses ke Sumber Daya Ekonomi

Sebagai imbalan atas loyalitas dan kerja administratif mereka, bangsawan kolonial memperoleh berbagai keuntungan ekonomi, di antaranya:

  • Hak atas tanah lungguh, yaitu sebidang tanah yang hasilnya menjadi penghasilan pribadi.
  • Komisi atau bagian dari pungutan pajak dan hasil tanam paksa.
  • Akses istimewa pada perdagangan lokal, sewa tanah, dan distribusi bahan pangan.

Banyak bangsawan yang—dalam kerangka ini—bertransformasi menjadi pengusaha semi-feodal, yang memperkaya diri di tengah kemiskinan rakyat.


3. Perlindungan Politik dan Hukum

Bangsawan yang bekerja sama dengan kolonial juga mendapat perlindungan dari atas:

  • Kedudukan politik mereka dijamin oleh pemerintah Hindia Belanda, sepanjang mereka loyal dan “efisien”.
  • Mereka tidak bisa diganggu gugat oleh elite lokal lain, kecuali oleh residen atau gubernur jenderal.
  • Dalam banyak kasus, pelanggaran hukum atau penyalahgunaan kekuasaan mereka dibiarkan, selama tidak mengganggu stabilitas.

Perlindungan ini menjadikan bangsawan sebagai lapisan elite yang relatif aman dari tekanan horizontal, dan sangat tergantung pada struktur vertikal kolonial.


Dengan demikian, manfaat yang diterima bangsawan kolonial menjadikan mereka aktor rasional dalam sistem kekuasaan kolonial—mereka mendukung sistem bukan karena dipaksa secara langsung, tetapi karena diuntungkan secara struktural. Namun, seperti telah dijelaskan sebelumnya, manfaat ini dibayar mahal oleh rakyat yang mereka pimpin, dan menimbulkan ketegangan ideologis dan sosial yang tidak bisa dihindari.


Ketegangan: Antara Dua Dunia yang Berlawanan

Di balik keuntungan yang dinikmati bangsawan dalam sistem kolonial, terdapat ketegangan struktural dan moral yang terus-menerus membayangi. Bangsawan lokal berada dalam posisi liminal—antara menjadi wakil tradisi dan pelayan kolonial—dan kondisi ini menciptakan dinamika kompleks yang tidak jarang meledak menjadi konflik terbuka atau pengkhianatan terhadap kekuasaan yang menaunginya.


1. Antara Loyalitas kepada Adat dan Tuntutan Kolonial

Bangsawan adalah produk dari sistem adat dan kosmologi kekuasaan Nusantara. Mereka diangkat karena silsilah, wibawa, atau legitimasi spiritual yang diakui oleh rakyat. Namun dalam sistem kolonial, mereka dipaksa menjadi pejabat administratif, menjalankan kebijakan yang sering kali bertentangan dengan nilai-nilai lokal, seperti:

  • Paksaan tanam paksa dan kerja rodi, yang secara moral tidak sesuai dengan prinsip keadilan dalam hukum adat.
  • Pungutan pajak tinggi, yang merusak harmoni sosial desa.
  • Penerapan hukum Eropa yang menggeser kedudukan norma adat.

Akibatnya, banyak bangsawan terpecah secara psikologis dan identitas—mereka bukan lagi penjaga adat, namun belum sepenuhnya menjadi bagian dari sistem kolonial yang mengasingkan mereka.


2. Munculnya Perlawanan Lokal terhadap Bangsawan Kolonial

Dalam banyak kasus, rakyat mulai melihat bangsawan bukan lagi sebagai pelindung, melainkan sebagai wakil penindas. Reaksi ini melahirkan berbagai bentuk resistensi, seperti:

  • Pemberontakan petani lokal terhadap tanam paksa yang dikomando oleh bupati.
  • Penghinaan simbolik terhadap bangsawan yang tunduk kepada residen.
  • Pembangkangan administratif di tingkat desa, termasuk manipulasi data atau sabotase kerja paksa.

Fenomena ini menunjukkan bahwa struktur kolonial tidak hanya menciptakan perlawanan terhadap Belanda, tapi juga memicu krisis kepercayaan terhadap elite lokal.


3. Bangsawan yang Berbalik Melawan: Dari Kolaborator ke Simbol Perlawanan

Tidak semua bangsawan tunduk tanpa syarat. Beberapa tokoh bangsawan justru berbalik arah dan memimpin perlawanan terhadap sistem kolonial yang mereka anggap menghancurkan tatanan sosial dan spiritual leluhur mereka. Contoh paling terkenal adalah:

  • Pangeran Diponegoro (Yogyakarta), yang awalnya bagian dari keluarga istana, namun menolak kooptasi kolonial dan memimpin Perang Jawa (1825–1830).
  • Raden Intan II (Lampung), bangsawan lokal yang menolak dominasi Belanda dan gugur sebagai pahlawan perlawanan.
  • Sultan Ageng Tirtayasa (Banten), meskipun dari masa yang lebih awal, mencerminkan model bangsawan yang menolak menjadi alat Belanda.

Perlawanan ini menjadi bukti bahwa posisi bangsawan kolonial bukanlah mutlak, dan bahwa dalam kondisi tertentu, kesadaran identitas dan keadilan dapat mengalahkan kenyamanan status.


Dengan demikian, ketegangan dalam posisi bangsawan kolonial adalah cermin dari konflik besar antara adat, kolonialisme, dan identitas nasional. Mereka adalah representasi dari struktur kekuasaan yang dipinjamkan, yang sewaktu-waktu dapat dilepaskan—entah secara sadar, terpaksa, atau melalui pemberontakan.

Evolusi Hubungan: Dari Bupati ke Priyayi Administratif

Pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20, sistem kekuasaan kolonial Hindia Belanda mengalami proses birokratisasi yang semakin dalam dan sistemik. Dalam proses ini, posisi bangsawan lokal—terutama para bupati dan keturunannya—mengalami transformasi struktural yang signifikan. Dari semula merupakan penguasa tradisional yang memiliki otoritas atas nama adat dan warisan kerajaan, mereka secara bertahap berubah menjadi bagian dari birokrasi kolonial, yang dikenal sebagai priyayi administratif.


Integrasi Bangsawan ke Dalam Birokrasi Kolonial

Setelah Belanda secara resmi memulihkan kekuasaannya atas Jawa pada 1816 dan membentuk Hindia Belanda sebagai entitas kolonial yang terpusat, mereka segera menyadari bahwa kontrol atas wilayah yang luas dengan jumlah pegawai Eropa terbatas hanya mungkin dilakukan melalui kooptasi elite lokal, khususnya kalangan bangsawan. Oleh karena itu, para bangsawan—terutama bupati dan keturunannya—tidak disingkirkan, melainkan diintegrasikan secara sistematis ke dalam struktur birokrasi kolonial sebagai perpanjangan tangan kekuasaan Belanda.


1. Dari Penguasa Tradisional Menjadi Pegawai Kolonial

  • Sebelum integrasi ini, bupati dan bangsawan adalah penguasa lokal semi-otonom dengan legitimasi dari tradisi, spiritualitas, dan kekuatan militer.
  • Dalam struktur kolonial baru, mereka tetap dipertahankan sebagai pemimpin lokal, tetapi dikonversi menjadi aparatur negara kolonial.
  • Kekuasaan mereka kini bukan berasal dari leluhur atau rakyat, melainkan dari delegasi Gubernur Jenderal, melalui struktur berjenjang: residen → asisten residen → bupati.

2. Tugas Administratif dan Kewenangan Terbatas

  • Para bangsawan bertanggung jawab atas urusan-urusan seperti pengumpulan pajak, pengawasan kerja paksa, pelaksanaan tanam paksa, dan pelaporan statistik desa.
  • Mereka diwajibkan menyusun laporan tertulis secara berkala kepada pejabat kolonial di atasnya.
  • Mereka juga menjadi bagian dari mekanisme logistik kolonial: menyalurkan tenaga kerja, hasil bumi, dan memfasilitasi kebijakan pusat hingga ke tingkat desa.

3. Penataan Ulang Status dan Hubungan Kekuasaan

  • Bangsawan tidak lagi memiliki kedaulatan atau otoritas spiritual yang independen. Semua kewenangan bersifat administratif, bukan sakral.
  • Mereka diberi gaji tetap, tunjangan tanah (tanah lungguh), dan simbol kehormatan yang membuat mereka tampak berkuasa, tetapi sebenarnya berada dalam kontrol ketat kolonial.
  • Sistem ini menciptakan sebuah relasi kuasa yang bersifat fungsional dan pragmatis, di mana para bangsawan bertindak sebagai alat teknokratik dalam wajah budaya tradisional.

4. Penguatan Simbolisme untuk Menutupi Subordinasi

  • Untuk menghindari gejolak rakyat, pemerintah kolonial tetap memperbolehkan bangsawan memakai gelar kehormatan, pakaian adat, dan memimpin upacara budaya lokal.
  • Namun simbol-simbol ini hanyalah kulit luar dari kekuasaan lama yang telah kosong, karena keputusan strategis, fiskal, dan yudisial sepenuhnya berada di tangan pejabat Belanda.
  • Dengan kata lain, bangsawan menjadi semacam “administrator dalam jubah adat”, bukan pemimpin spiritual atau politik seperti sebelumnya.

Proses integrasi ini menjadikan bangsawan lokal sebagai penyangga utama kolonialisme, sambil secara perlahan merombak struktur kekuasaan lokal dari dalam. Inilah salah satu contoh paling nyata dari “penjajahan melalui kolaborasi”, yang membuat pemerintahan kolonial bisa berjalan efisien tanpa banyak tentara, karena roda pemerintahannya dijalankan oleh rakyat yang telah dijinakkan secara struktural.

Lahirnya Kelas “Priyayi Administratif”

Transformasi bangsawan lokal dalam struktur kolonial Hindia Belanda melahirkan satu kelas sosial baru yang sangat menentukan arah sejarah kekuasaan lokal: kelas “priyayi administratif.” Mereka bukan lagi sepenuhnya bangsawan tradisional, tetapi juga bukan pejabat kolonial Eropa. Sebaliknya, mereka adalah kelas perantara—mengemban peran penting sebagai penghubung antara elite Eropa dan masyarakat bumiputra, dengan loyalitas utama tetap kepada sistem kolonial.


1. Terdidik di Sekolah Belanda

Untuk membentuk birokrasi yang efisien dan loyal, pemerintah kolonial mulai mendidik keturunan bangsawan dan anak pejabat lokal dalam sistem pendidikan bergaya Barat:

  • Sekolah khusus bagi elite pribumi seperti OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) mendidik para calon pegawai bumiputra agar mampu bekerja dalam sistem administrasi kolonial.
  • Sekolah Belanda seperti HIS (Hollandsch-Inlandsche School) dan HBS (Hoogere Burgerschool) juga mulai menerima anak-anak priyayi terpilih.
  • Pendidikan ini tidak hanya memberi kemampuan teknis, tetapi juga menanamkan nilai-nilai loyalitas terhadap pemerintahan kolonial, cara berpikir rasional-administratif, serta gaya hidup Eropa.

Priyayi administratif inilah yang kelak menjadi kerangka inti birokrasi pribumi di bawah kolonialisme.


2. Loyal pada Struktur Kolonial

Kelas priyayi administratif tumbuh dalam sistem yang membuat mereka bergantung secara penuh pada negara kolonial:

  • Karier dan kenaikan jabatan mereka sepenuhnya ditentukan oleh evaluasi pejabat Belanda.
  • Mereka dilatih untuk taat, tidak kritis, dan lebih fokus pada kelancaran administrasi daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.
  • Mereka memainkan peran penting dalam mendukung kebijakan-kebijakan kolonial seperti tanam paksa, sensus, pungutan pajak, dan kerja rodi.

Priyayi administratif menjadi penjaga roda pemerintahan kolonial yang berjalan tanpa banyak tentangan dari dalam.


3. Mediator Kelas antara Bumiputra dan Pejabat Eropa

Dalam struktur sosial kolonial yang bersifat dualistik dan hirarkis, priyayi administratif menjadi:

  • Penerjemah kebijakan kolonial ke dalam konteks lokal (secara bahasa, budaya, dan relasi sosial).
  • Wajah lokal kekuasaan kolonial di mata rakyat desa—mereka memimpin, memerintah, namun bukan atas nama kerajaan atau leluhur, melainkan atas nama negara Belanda.
  • Pengaman psikologis yang menjaga agar masyarakat tetap taat kepada pemerintah kolonial karena diperintah oleh sesama bumiputra.

Dengan posisi ini, priyayi administratif mewujudkan relasi kuasa yang lentur namun kuat: mereka bukan penjajah, tetapi juga bukan pembebas.


Lahirnya kelas priyayi administratif menandai fase lanjutan kolonialisme: dari penjajahan melalui senjata, ke penjajahan melalui pendidikan, jabatan, dan simbol status. Hingga kini, bayang-bayang kelas ini masih terasa dalam pola birokrasi dan politik lokal Indonesia.

Warisan dan Refleksi

Relasi kolonial antara pemerintah Hindia Belanda dan bangsawan lokal tidak berakhir dengan kemerdekaan Indonesia. Sebaliknya, banyak unsur dari sistem relasi kekuasaan tersebut justru diwarisi dan direproduksi dalam struktur politik dan birokrasi negara pascakolonial. Warisan ini membentuk fondasi kekuasaan lokal dan nasional yang masih berwatak sentralistik, elitis, dan cenderung patrimonial, sehingga membatasi ruang partisipasi rakyat secara sejati.


1. Warisan Sistemik yang Bertahan

  • Sentralisasi Kekuasaan ke Jakarta
    Sama seperti Batavia pada masa kolonial, Jakarta menjadi pusat kendali administratif yang memonopoli keputusan penting, sementara daerah-daerah hanya berperan sebagai pelaksana. Skema vertikal ini mengulangi model kolonial: pusat dominan, daerah tunduk.
  • Struktur Sosial yang Hierarkis dan Birokratis
    Kelas priyayi administratif telah meninggalkan jejak dalam bentuk mentalitas birokrasi tertutup, di mana jabatan sering dianggap hak status, bukan hasil kinerja. Pola relasi patron–klien, senioritas, dan kepatuhan vertikal masih mewarnai banyak lembaga negara.
  • Kooptasi Elite Lokal dalam Sistem Kekuasaan
    Sama seperti bupati kolonial, banyak elite lokal kini dikooptasi melalui mekanisme politik elektoral atau birokrasi—mereka mendapat jabatan, akses, dan sumber daya, dengan syarat loyal terhadap kekuasaan pusat. Hal ini sering menghambat munculnya pemimpin akar rumput yang independen.

2. Refleksi: Membebaskan Diri dari Warisan Kolonial-Feodal

Mengingat dalam sejarahnya kekuasaan kolonial begitu efektif justru karena menggunakan sistem lokal, maka reformasi struktural pascakemerdekaan harus meninjau ulang akar-akar kuasa tersebut:

  • Relasi kekuasaan harus ditransformasikan, dari yang bersifat delegatif (atas ke bawah), menjadi relasi mandat rakyat (bawah ke atas).
  • Elite lokal tidak cukup hanya diganti, tetapi perlu diubah fungsinya, dari alat kekuasaan ke pelayan masyarakat.
  • Penting untuk membangun sistem partisipatif, transparan, dan egaliter, yang memberi ruang bagi rakyat menentukan jalannya pemerintahan secara substansial, bukan hanya formal.

Relasi antara bangsawan lokal dan kekuasaan kolonial bukan hanya cerita masa lalu, tetapi sistem kekuasaan yang warisannya masih hidup dalam praktik pemerintahan kontemporer. Untuk mewujudkan demokrasi sejati, Indonesia harus mengakui, mengurai, dan melampaui struktur kekuasaan kolonial-feodal tersebut—menuju tatanan sosial-politik yang berpihak pada rakyat, bukan pada hierarki.

Antara Gelar dan Kuasa: Ketika Bangsawan Menjadi Alat Penjajah

Relasi antara kekuasaan kolonial Belanda dan bangsawan lokal bukan sekadar kebijakan administratif, melainkan strategi kunci kolonialisme di Nusantara. Dengan memanfaatkan struktur kekuasaan adat yang telah mapan, pemerintah kolonial menciptakan sistem pengendalian yang efisien namun minim konflik terbuka. Bangsawan lokal diubah dari pemimpin masyarakat menjadi alat penghubung antara kekuasaan asing dan rakyatnya sendiri, dengan simbol-simbol adat sebagai selubung dari kekuasaan yang telah berubah arah.

Strategi ini menunjukkan bahwa kekuasaan kolonial tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan langsung atau militeristik, melainkan sering kali beroperasi secara halus—melalui kooptasi elite, manipulasi simbol budaya, dan penundukan melalui birokrasi. Kolonialisme bekerja bukan hanya melalui senjata, tetapi juga melalui struktur sosial yang ditanamkan ke dalam tubuh masyarakat itu sendiri.

Memahami pola relasi ini menjadi sangat penting bagi kita saat ini, karena banyak struktur kolonial masih bekerja dalam bentuk baru: dalam relasi antara pusat dan daerah yang timpang, dalam pola patron-klien di politik lokal, dan dalam munculnya elite lokal yang lebih dekat dengan kekuasaan pusat daripada rakyatnya. Untuk membangun Indonesia yang adil dan demokratis, kita perlu membongkar warisan kolonial ini—bukan hanya secara fisik, tetapi secara sosial dan struktural.

Sejarah relasi kolonial-bangsawan bukan sekadar masa lalu, tetapi cermin dari persoalan kekuasaan kita hari ini.

About administrator