Dalam sejarah kolonialisme global, istilah hegemoni merujuk pada dominasi suatu kekuatan atas wilayah lain, baik dalam bentuk pengaruh ekonomi, politik, militer, maupun budaya. Dalam konteks kolonialisme maritim, hegemoni menjadi istilah kunci untuk memahami bagaimana kekuatan-kekuatan Eropa bersaing memperebutkan kontrol atas lautan, jalur perdagangan, dan pelabuhan strategis yang menopang ekspansi imperium mereka. Di kawasan Asia Tenggara, perebutan ini tidak hanya melibatkan monopoli atas komoditas seperti rempah-rempah, tetapi juga pengaruh langsung terhadap kerajaan-kerajaan lokal, perubahan sosial, dan kontrol atas mobilitas manusia serta barang.
Asia Tenggara: Wilayah Strategis dan Kaya Sumber Daya
Asia Tenggara adalah salah satu kawasan paling strategis dalam peta global. Terdiri dari ribuan pulau, berada di persilangan antara Samudra Hindia dan Pasifik, serta menjadi titik temu antara rute pelayaran dagang kuno dari Tiongkok, India, Timur Tengah, dan Afrika Timur. Sebelum kedatangan bangsa Eropa, kawasan ini telah menjadi salah satu pusat perdagangan internasional yang berkembang melalui pelabuhan seperti:
- Malaka – sebagai titik transit utama dari Samudra Hindia ke Laut Cina Selatan,
- Banten, Aceh, Makassar, Ternate, dan Tidore – sebagai pusat produksi dan distribusi rempah-rempah,
- serta kerajaan-kerajaan maritim kuat yang aktif dalam diplomasi dan perdagangan multikultural.
Kekayaan rempah-rempah seperti pala, fuli, cengkeh, lada, dan kayu manis, menjadikan Asia Tenggara salah satu wilayah paling diincar dalam peta ekspansi kolonialisme Eropa.
Tulisan ini bertujuan untuk memetakan proses perebutan hegemoni yang terjadi di Asia Tenggara sejak awal abad ke-16 hingga abad ke-18, yang melibatkan empat kekuatan kolonial utama:
- Portugis, pelopor kolonialisme maritim yang pertama kali merebut Malaka (1511),
- Spanyol, yang menguasai Filipina dan sempat bersaing di Maluku,
- Belanda (VOC), yang kemudian membentuk dominasi paling sistematis di Nusantara,
- Inggris (EIC), yang datang terlambat namun berhasil mengukir pengaruh di wilayah barat dan utara.
Melalui kajian ini, kita akan melihat bagaimana persaingan antar kekuatan Eropa ini membentuk ulang struktur politik, ekonomi, dan sosial Asia Tenggara, serta menjadi akar dari kolonialisme formal yang berlangsung hingga abad ke-20.
Konteks Global dan Latar Belakang
a. Revolusi Maritim dan Teknologi Navigasi
Perebutan hegemoni oleh bangsa-bangsa Eropa di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari latar belakang besar yang dikenal sebagai Revolusi Maritim Eropa—sebuah perubahan radikal dalam cara bangsa-bangsa Eropa menjelajah dunia lewat laut, dipicu oleh kemajuan teknologi, semangat eksplorasi, dan kebutuhan ekonomi yang mendesak.
• Latar Tekanan Ekonomi dan Politik di Eropa
Sejak abad ke-14, Eropa mengalami sejumlah krisis struktural yang mendorong bangsa-bangsa di sana untuk mencari jalur dan pasar baru:
- Jatuhnya Konstantinopel (1453) ke tangan Kesultanan Utsmaniyah menutup jalur dagang darat ke Asia Timur, membuat harga rempah-rempah melonjak.
- Kelangkaan emas dan perak mendorong negara-negara Eropa untuk menemukan sumber daya baru di luar negeri.
- Kompetisi antara kerajaan-kerajaan seperti Portugal, Spanyol, Inggris, dan Belanda mendorong mereka untuk menemukan rute dan wilayah dominasi baru, khususnya di lautan.
• Kemajuan Teknologi Navigasi
Untuk menjelajahi samudra yang luas dan belum dipetakan secara akurat, bangsa-bangsa Eropa mengembangkan berbagai teknologi maritim yang revolusioner:
- Kompas Magnetik
- Diadaptasi dari Tiongkok, alat ini memungkinkan pelaut untuk menentukan arah meskipun tanpa panduan darat.
- Astrolabe dan Sextant
- Digunakan untuk menentukan garis lintang berdasarkan posisi bintang, membantu navigasi di laut terbuka.
- Peta Portolan dan Kartografi Modern
- Peta-peta pelabuhan yang semakin akurat, dipadukan dengan data eksplorasi sebelumnya, menjadi alat penting dalam ekspedisi.
- Pembuatan Kapal Baru: Caravel dan Galleon
- Kapal ringan, tahan gelombang tinggi, dan bisa membawa banyak awak serta meriam.
- Caravel (Portugal): kapal cepat dan lincah untuk eksplorasi.
- Galleon (Spanyol): kapal besar untuk ekspedisi dan perang jarak jauh.
• Navigasi dan Logistik Global
Kemajuan teknologi ini menghasilkan peta maritim dunia yang lebih realistis dan menciptakan jalur pelayaran interkontinental:
- Jalur Portugis ke India dan Asia melalui Tanjung Harapan,
- Jalur Spanyol ke Amerika dan Filipina melalui Samudra Pasifik,
- Jalur Belanda dan Inggris melalui Samudra Hindia dan rute laut selatan.
Dengan teknologi ini, bangsa Eropa tidak hanya menjelajahi dunia, tetapi juga memetakan, mengklaim, dan menguasainya.
Revolusi maritim membuka era baru ekspansi Eropa. Bukan hanya karena semangat petualangan, tapi karena kemampuan teknologis yang mengubah lautan dari penghalang menjadi koridor dominasi global. Inilah fondasi awal perebutan hegemoni di Asia Tenggara—sebuah kawasan yang kini dapat dijangkau, dikontrol, dan dimonopoli lewat kapal, peta, dan meriam.
b. Kolonialisme sebagai Perpanjangan Kapitalisme Dagang Eropa
Kemunculan kolonialisme maritim Eropa tidak dapat dipisahkan dari bangkitnya kapitalisme dagang (merchant capitalism) pada akhir abad ke-15 hingga abad ke-17. Dalam fase ini, tujuan utama bangsa-bangsa Eropa bukanlah sekadar menjelajah dunia untuk ilmu pengetahuan atau penyebaran agama, tetapi untuk menguasai sumber daya dan jalur distribusinya demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Kolonialisme menjadi alat perpanjangan dari kepentingan ekonomi swasta dan negara, membentuk sistem global di mana Asia Tenggara menjadi salah satu target utama.
• Transisi dari Feodalisme ke Kapitalisme
Setelah mengalami stagnasi panjang selama Abad Pertengahan, Eropa mulai bertransformasi:
- Feodalisme melemah, ditandai dengan krisis agraria dan perang antar bangsawan (seperti Perang 100 Tahun).
- Kelas borjuis dagang (merchant class) di kota-kota pelabuhan seperti Genoa, Lisboa, Amsterdam, dan London mulai tumbuh dan menjadi penopang ekonomi baru.
- Terjadi pergeseran fokus dari tanah ke komoditas, terutama komoditas luar negeri seperti rempah-rempah, emas, gula, kapas, dan teh.
Kapitalisme dagang menjadi motor penggerak kolonialisme: siapa menguasai komoditas dan jalurnya, dia menguasai kekayaan dunia.
• Perdagangan sebagai Tujuan, Kolonialisme sebagai Sarana
Awalnya, bangsa-bangsa Eropa hanya ingin berdagang dengan Asia melalui perantara. Namun:
- Mahalnya harga rempah akibat rantai perdagangan panjang (Cina → India → Arab → Venezia) mendorong Eropa untuk mendatangi langsung sumbernya.
- Saat menghadapi persaingan dan hambatan dari kerajaan lokal atau pedagang lain, mereka menggunakan kekuatan militer untuk mendirikan pos dagang bersenjata, lalu memonopoli sumber daya.
- Dengan dukungan kerajaan, muncul entitas seperti VOC (Belanda) dan EIC (Inggris)—perusahaan dagang yang memiliki wewenang negara.
• Lahirnya Korporasi Imperium
VOC dan EIC menjadi contoh paling jelas dari kapitalisme bersenjata yang mengawinkan kepentingan dagang dan kekuasaan kolonial:
- Mereka bukan sekadar pedagang, tetapi juga:
- Mencetak uang, membuat perjanjian, berperang, dan memungut pajak.
- Menguasai pelabuhan, membentuk birokrasi, dan mengatur penduduk lokal.
- Laba bukan hanya berasal dari perdagangan legal, tetapi juga:
- Eksploitasi kerja paksa, perjanjian tidak setara, dan pencaplokan wilayah.
Kolonialisme menjadi cara formal untuk mengamankan kepentingan kapitalis di wilayah asing. Asia Tenggara tidak hanya menjadi pasar, tetapi lahan eksploitasi langsung.
• Kolonialisme Dagang sebagai Sistem Global
Kapitalisme dagang mengubah dunia menjadi jaringan:
- Asia Tenggara sebagai sumber rempah dan timah,
- Afrika sebagai titik logistik dan pemasok tenaga kerja budak (transit),
- Amerika sebagai penghasil gula, emas, dan kapas,
- Eropa sebagai pusat kapital dan redistribusi kekayaan.
Dengan demikian, kolonialisme bukan sekadar penguasaan wilayah, melainkan pembentukan sistem dunia yang menguntungkan pusat (Eropa) dan merugikan pinggiran (Asia-Afrika).
Kolonialisme di Asia Tenggara adalah bagian dari proyek besar kapitalisme dagang Eropa. Ia bukan hasil kebetulan sejarah, melainkan strategi sadar untuk menaklukkan ekonomi global lewat kekuatan maritim dan militer. Dalam logika kapitalisme kolonial ini, dagang tidak bisa dilepaskan dari dominasi politik, dan hegemoni atas jalur laut berarti kendali atas kekayaan dunia.
c. Perjanjian Tordesillas (1494) dan Zaragosa (1529)
Pembagian Dunia dan Ketegangan Awal Imperium Iberia
Setelah bangsa Spanyol dan Portugis berhasil membuka jalur pelayaran lintas samudra, muncul persoalan besar di antara keduanya: siapa yang berhak menguasai wilayah-wilayah baru di luar Eropa? Untuk mencegah perang terbuka, keduanya kemudian menyepakati dua perjanjian penting yang menjadi fondasi awal pembagian dunia kolonial: Tordesillas (1494) dan Zaragosa (1529).
• Perjanjian Tordesillas (1494)
Disepakati pada tanggal 7 Juni 1494 antara Spanyol dan Portugis dengan mediasi dari Paus Aleksander VI, perjanjian ini menetapkan garis demarkasi (garis imajiner) di 300 mil barat Kepulauan Tanjung Verde (Afrika).
- Wilayah di sebelah barat garis ini menjadi hak Spanyol,
- Wilayah di sebelah timur menjadi hak Portugal.
Konsekuensi dari perjanjian ini:
- Spanyol diberi hak untuk mengeksplorasi dan mengklaim benua Amerika dan wilayah barat Afrika.
- Portugal mengklaim jalur ke India, Afrika Timur, dan Asia Tenggara.
Ironisnya, akibat ketidaktahuan geografis waktu itu, Brasil yang sebenarnya berada di timur garis tersebut, jatuh ke tangan Portugis—sebuah anomali hasil ‘kesalahan untung-untungan’.
• Perjanjian Saragosa (Zaragoza) – 1529
Setelah Spanyol menemukan jalur pelayaran ke arah barat menuju Filipina dan mulai bersaing dengan Portugis di Maluku, ketegangan meningkat. Kedua imperium Iberia mengklaim wilayah yang sama karena pertemuan garis demarkasi timur tidak diatur dalam Tordesillas. Untuk itu, ditandatanganilah Perjanjian Zaragosa pada tahun 1529:
- Garis demarkasi baru ditetapkan di Samudra Pasifik bagian barat.
- Filipina dan sebagian besar Asia Tenggara diserahkan kepada Spanyol,
sementara Maluku dan Timor diklaim sebagai hak Portugal. - Namun dalam praktiknya, batas ini kabur dan sering dilanggar, karena:
- Navigasi dan peta masih belum akurat.
- Ambisi ekonomi dan religius mendorong kedua negara tetap melanggar zona “larangan”.
• Ketegangan Awal Dua Imperium Iberia
Perjanjian-perjanjian ini bukan akhir dari konflik, melainkan justru pembuka babak persaingan kolonial langsung:
- Di Maluku, terjadi konflik bersenjata antara pasukan Spanyol yang dibantu Tidore dan Portugis yang bersekutu dengan Ternate.
- Kedua kekuatan saling mendirikan benteng, berebut dukungan lokal, dan memicu perang-perang kecil.
- Persaingan ini melemahkan posisi Iberia dan menjadi celah masuk bagi kekuatan baru: VOC (Belanda) dan EIC (Inggris).
Perebutan hegemoni kolonial di Asia Tenggara berakar dari kesepakatan ‘membagi dunia’ yang sebenarnya tak mereka miliki, dan justru mengabaikan kedaulatan lokal.
Perjanjian Tordesillas dan Zaragosa merupakan tonggak awal kolonialisme global yang terstruktur, di mana dunia dibagi dua seolah-olah hanya milik dua negara. Asia Tenggara masuk ke dalam pertarungan dua imperium Iberia yang tidak hanya berlomba dalam rempah dan kekuasaan, tetapi juga dalam penyebaran agama dan supremasi maritim. Meskipun disepakati secara diplomatik, praktiknya penuh pelanggaran dan kekerasan—dan menjadi fondasi konflik kolonial berabad-abad di wilayah ini.
Gelombang Pertama: Dominasi Portugis dan Spanyol (1500–1600)
a. Portugal
Bangsa Portugis adalah pelopor kolonialisme maritim di Asia Tenggara. Dengan keunggulan teknologi navigasi dan dukungan penuh dari monarki, mereka menjadi bangsa Eropa pertama yang menguasai titik strategis jalur rempah, dan menetapkan pola kolonial awal yang kelak ditiru oleh kekuatan lain.
• Penaklukan Malaka (1511)
Dipimpin oleh Afonso de Albuquerque, Portugis menyerbu dan menaklukkan Kesultanan Malaka pada 25 Juli 1511. Penaklukan ini adalah peristiwa monumental karena:
- Malaka merupakan pusat perdagangan internasional antara India, Tiongkok, Nusantara, dan dunia Islam.
- Menandai awal dari kehadiran permanen Eropa di Asia Tenggara.
- Portugis membangun benteng A Famosa, sebagai pusat kekuasaan dan pos militer di jalur Selat Malaka.
Dampaknya sangat besar: banyak pedagang Muslim berpindah ke Aceh dan Johor, memperkuat resistensi terhadap Portugis.
• Ekspansi ke Ternate, Ambon, Solor, dan Timor
Setelah menguasai Malaka, Portugis memperluas jaringan kolonialnya ke daerah penghasil rempah langsung:
- Ternate (1512): Mendirikan benteng dan menjalin aliansi dengan Sultan.
- Tidore dan Ambon: Diperebutkan dalam persaingan dengan Spanyol dan kerajaan lokal.
- Solor dan Timor: Menjadi basis misi Katolik dan pos dagang strategis, terutama untuk cendana.
Portugis membangun jaringan pos dagang bersenjata (feitoria) yang saling terhubung dari Goa (India), Malaka, hingga Maluku, dengan kapal-kapal pengangkut dan kapal perang.
• Model Kolonial Portugal: “Perdagangan Bersenjata dan Misi Katolik”
Portugal menerapkan pola kolonial khas yang dikenal sebagai “empire of the sea”:
- Kontrol Laut dan Selat Strategis
- Tujuan utama: menguasai titik-titik chokepoint maritim, bukan seluruh daratan.
- Mereka membangun benteng-benteng laut dan mengenakan pajak pelayaran kepada kapal non-Portugis.
- Dominasi Dagang Lewat Kekuatan Militer
- Portugis menerapkan sistem monopoli rempah dan logam mulia.
- Jika terjadi perlawanan, mereka tidak segan menggunakan kekuatan bersenjata—seperti pemboman pelabuhan dan blokade laut.
- Penyebaran Katolik dan Misi Jesuit
- Mengirim misionaris dari ordo Dominikan dan Jesuit ke Maluku, Timor, dan Solor.
- Beberapa wilayah Kristen Timur Indonesia (seperti Timor Leste dan Flores) adalah warisan langsung misi Portugal.
• Keterbatasan dan Kelemahan
Meski menjadi pionir kolonialisme di Asia Tenggara, dominasi Portugis tidak bertahan lama:
- Jumlah personel dan logistik terbatas, menyebabkan mereka sangat bergantung pada benteng dan aliansi lokal.
- Konflik internal antar bangsawan Portugis dan korupsi merusak tata kelola pos dagang.
- Perlawanan dari kekuatan lokal (seperti Aceh, Ternate) serta masuknya pesaing baru seperti VOC (Belanda) dan EIC (Inggris) menggerus kekuasaan mereka.
Malaka akhirnya direbut oleh Belanda pada 1641, dan Ternate diambil alih VOC pada awal abad ke-17.
Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang membangun jaringan kolonial bersenjata di Asia Tenggara. Mereka mengandalkan strategi maritim, benteng dagang, dan misi agama untuk mengukuhkan hegemoni. Namun, pendekatan yang terlalu tersebar dan militeristik, ditambah masuknya kekuatan baru, membuat hegemoni Portugal retak lebih cepat dibanding ambisinya.
b. Spanyol
Spanyol merupakan imperium maritim besar yang bersaing langsung dengan Portugis dalam menjelajahi dan menguasai dunia baru. Meskipun awalnya lebih fokus pada Amerika Latin, Spanyol kemudian mengukuhkan kekuasaan di Asia Tenggara melalui Filipina dan turut terlibat dalam persaingan kolonial atas Maluku. Pendekatan Spanyol berorientasi kuat pada penyebaran agama Katolik dan pengembangan jalur dagang trans-Pasifik.
• Penetapan Koloni di Filipina (1565–1571)
- Tahun 1565, ekspedisi Miguel López de Legazpi dari Meksiko (Spanyol Baru) berhasil mendarat dan mendirikan koloni pertama di Cebu.
- Tahun 1571, kota Manila ditetapkan sebagai ibu kota koloni Spanyol di Asia Timur, menggantikan pusat Muslim lokal.
- Filipina diberi nama untuk menghormati Raja Philip II dari Spanyol.
Filipina menjadi satu-satunya koloni Katolik Roma di Asia Timur, hasil misi intensif dari ordo Dominikan, Fransiskan, dan Jesuit.
• Ekspedisi ke Maluku dan Konflik dengan Portugis
Spanyol tidak puas hanya dengan Filipina. Mereka juga mengklaim wilayah Maluku, terutama Tidore, sebagai bagian dari wilayah kekuasaannya menurut interpretasi mereka atas Perjanjian Tordesillas.
- Kolonisasi Tidore (awal 1600-an) dilakukan untuk menandingi posisi Portugis di Ternate.
- Hal ini memicu konflik bersenjata antara Spanyol dan Portugis, meskipun kedua negara secara resmi bersatu dalam Uni Iberia (1580–1640).
- Di lapangan, kedua pasukan tetap saling bersaing memperebutkan benteng dan pengaruh politik lokal.
Kehadiran Spanyol di Maluku akhirnya tidak bertahan lama dan secara bertahap ditinggalkan karena tekanan militer dari VOC dan biaya logistik yang tinggi.
• Fokus Spanyol: Kristenisasi dan Jalur Dagang Trans-Pasifik
Spanyol memiliki orientasi kolonial yang berbeda dibanding Portugis atau Belanda:
- Kristenisasi sebagai misi utama
- Filipina dijadikan basis penyebaran agama Katolik ke Asia Timur.
- Ratusan gereja, seminari, dan sekolah misi didirikan; tradisi Katolik bertahan kuat hingga saat ini.
- Dagang Trans-Pasifik: Galeon Trade
- Spanyol memanfaatkan posisi Filipina sebagai penghubung perdagangan antara Asia dan Amerika.
- Kapal Manila Galleon berlayar dari Manila ke Acapulco (Meksiko) membawa:
- Rempah-rempah, porselen, sutra dari Cina dan Nusantara,
- Perak dari tambang Amerika untuk membayar dagangan Asia.
- Sistem ini berjalan selama lebih dari 250 tahun (1565–1815), menjadikan Manila pusat dagang lintas samudra.
Keterbatasan dan Kegagalan Ekspansi
- Spanyol tidak pernah berhasil menancapkan kekuasaan permanen di luar Filipina.
- Kelemahan logistik, jarak yang jauh dari Spanyol (dan pusat kekuasaan di Meksiko), serta perlawanan lokal dan tekanan Belanda membuat ekspansi ke wilayah lain mandek.
- Setelah akhir Uni Iberia (1640), dominasi Spanyol di Asia secara praktis terbatas pada Filipina.
Spanyol menempatkan dirinya sebagai kekuatan religius dan dagang di Asia Tenggara. Meskipun gagal bersaing secara efektif dengan Portugis dan Belanda di Maluku, mereka berhasil menciptakan koloni Katolik yang langgeng di Filipina, serta membangun jaringan dagang global yang menjembatani Asia dan Amerika. Kolonialisme Spanyol adalah contoh dominasi maritim yang menggabungkan misi keagamaan, ekonomi trans-Samudra, dan pengaruh budaya jangka panjang.
Gelombang Kedua: Masuknya Belanda dan Inggris (1600–1700)
a. Kemunculan VOC (1602)
Belanda memasuki arena kolonial Asia Tenggara pada awal abad ke-17, mengambil alih inisiatif dari Portugis dan Spanyol yang mulai melemah akibat konflik internal, biaya tinggi, dan keterbatasan armada. Untuk mengefisienkan upaya kolonial dan perdagangan, Belanda membentuk suatu entitas korporat yang menjadi institusi dagang bersenjata paling kuat di Asia selama lebih dari satu abad: Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
• Struktur VOC sebagai Kongsi Dagang Militer
VOC dibentuk secara resmi pada 20 Maret 1602 oleh negara Republik Belanda (Republik Tujuh Provinsi Bersatu) dengan kekuasaan luar biasa:
- Diberi monopoli perdagangan Asia Timur, terutama rempah-rempah dari Nusantara.
- Mempunyai hak istimewa negara:
- mencetak uang,
- menyatakan perang dan perdamaian,
- mendirikan benteng,
- menandatangani perjanjian dengan kerajaan lokal.
VOC dipimpin oleh Dewan Tujuh Belas (Heeren XVII) di Amsterdam, dengan seorang Gubernur Jenderal di Asia sebagai pemimpin eksekutif tertinggi di lapangan.
VOC merupakan contoh kapitalisme dagang yang diorganisasi sebagai mesin kekuasaan militer, bukan hanya korporasi biasa.
• Perebutan Pelabuhan dari Portugis: Ambon, Banda, Ternate
VOC menjalankan ekspansi agresif terhadap kekuasaan Portugis di kepulauan rempah:
- Ambon (1605)
- Portugis diusir, dan VOC menjadikan Ambon sebagai basis pertama di Maluku.
- Didirikan benteng, dan perdagangan cengkeh dimonopoli penuh oleh VOC.
- Banda (1609–1621)
- Banda adalah satu-satunya penghasil pala dan fuli di dunia saat itu.
- Setelah perlawanan rakyat Banda, VOC melakukan pembantaian brutal tahun 1621, dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen.
- Penduduk lokal dimusnahkan atau dijadikan budak, diganti dengan sistem perkeniers (pengusaha Belanda yang mengelola perkebunan pala dengan tenaga kerja budak).
- Ternate dan Tidore
- Lewat siasat diplomasi dan kekuatan militer, VOC merebut benteng Portugis dan menjalin aliansi paksa dengan Kesultanan Ternate.
VOC mengganti sistem dagang terbuka antar pelabuhan lokal menjadi monopoli tertutup: satu pelabuhan, satu komoditas, satu pembeli.
• Pendudukan Jayakarta dan Pendirian Batavia (1619)
VOC ingin mendirikan markas pusat kekuasaan yang strategis di Jawa:
- Awalnya VOC berdagang di Jayakarta atas izin penguasa lokal (Banten).
- Terjadi konflik antara VOC, pasukan Jayakarta, dan para pedagang Inggris.
- Pada tahun 1619, pasukan VOC di bawah Jan Pieterszoon Coen menyerang dan membumihanguskan Jayakarta, kemudian membangun kota baru bernama Batavia.
Batavia menjadi:
- Ibu kota VOC di Asia Timur,
- Pusat komando, administrasi, dan logistik seluruh ekspedisi VOC,
- Kota kolonial berarsitektur Eropa pertama yang sistematis di Nusantara.
Sejak saat itu, Batavia menjadi simbol dominasi kolonial Belanda, menggantikan Malaka sebagai pusat kekuasaan Eropa di Asia Tenggara.
Kemunculan VOC menandai peralihan hegemoni kolonial di Asia Tenggara dari Iberia ke Belanda. Lewat pendekatan terkoordinasi yang menggabungkan dagang, militer, dan sistem birokrasi, VOC menjadi kekuatan dominan selama dua abad. Mereka tidak hanya berdagang, tetapi membentuk sistem kolonial tersendiri yang akan menjadi fondasi Hindia Belanda di kemudian hari.
b. East India Company (EIC – 1600)
Di tengah dominasi Portugis dan kemunculan agresif VOC Belanda, Inggris juga turut membentuk korporasi dagang kolonial yang ambisius: English East India Company (EIC), yang mendapatkan piagam resmi dari Ratu Elizabeth I pada tahun 1600. EIC menjadi kendaraan utama Inggris untuk memasuki pasar Asia, termasuk Asia Tenggara. Meski awalnya lebih berhasil di India, EIC sempat berupaya keras merebut sebagian pengaruh di Nusantara, meskipun akhirnya kalah bersaing dengan VOC.
• Ekspansi Awal ke Sumatra dan Jawa
- Awal abad ke-17, kapal-kapal EIC mulai berdatangan ke wilayah barat Nusantara, khususnya Aceh, Banten, dan pesisir timur Sumatra.
- Tujuan utama: berdagang lada dan rempah, serta menjalin hubungan langsung dengan kerajaan lokal tanpa melalui perantara Portugis atau Belanda.
- EIC mencoba mendirikan pos dagang di Banten, namun mendapat tekanan militer dari VOC yang menginginkan monopoli penuh.
Inggris lebih memilih pendekatan diplomatik dan dagang damai dibanding kekuatan militer langsung, namun pendekatan ini membuat mereka sulit mempertahankan posisi dalam iklim kompetitif dan keras yang diciptakan oleh VOC.
• Persaingan Dagang dengan VOC dan Portugal
- Di awal abad ke-17, VOC dan EIC sempat bersekutu dalam melawan Portugis, namun kemudian hubungan mereka berubah menjadi permusuhan terbuka.
- VOC menganggap kehadiran Inggris sebagai ancaman terhadap sistem monopoli rempah mereka.
- Tahun 1623, terjadi peristiwa terkenal: “Pembantaian Amboyna”, di mana sejumlah pedagang Inggris dituduh berkhianat dan dieksekusi oleh VOC.
- Peristiwa ini memicu krisis diplomatik antara Inggris dan Belanda, dan membuat Inggris meninggalkan Ambon serta Maluku, memusatkan perhatian mereka ke bagian barat Nusantara.
• Basis di Bengkulu dan Relasi Diplomatik
Setelah terusir dari Banten dan Maluku, EIC mencari basis alternatif di Sumatra:
- Tahun 1685, Inggris secara resmi mendirikan Fort Marlborough di Bengkulu (Bencoolen) sebagai pusat kekuasaan mereka di Sumatra.
- EIC menjalin hubungan dagang dan diplomasi dengan kerajaan-kerajaan lokal di Sumatra Barat dan Selatan, terutama dalam perdagangan lada dan hasil hutan.
- Bengkulu menjadi koloni kecil Inggris yang bertahan selama lebih dari 140 tahun (hingga 1824), meski tidak berkembang signifikan secara ekonomi maupun militer.
Keberadaan Inggris di Sumatra bersifat terbatas dan berskala kecil, berbeda jauh dengan posisi mereka di India atau posisi dominan VOC di Jawa.
East India Company memainkan peran minor namun strategis di Asia Tenggara. Upaya awalnya di Jawa dan Maluku kandas oleh kekuatan VOC, namun mereka tetap mempertahankan kehadiran di wilayah barat Nusantara melalui Bengkulu. Pendekatan Inggris yang lebih diplomatik dan tidak terlalu militeristik membatasi ekspansi mereka di kawasan ini, namun membuka jalan bagi pengaruh jangka panjang Inggris dalam geopolitik regional, terutama melalui jalur perjanjian diplomatik dan pertukaran wilayah di abad ke-19.
5. Zona Konflik dan Persaingan Wilayah
a. Maluku: Ternate, Tidore, Banda
Perebutan “Tanah Rempah” antara Imperium Kolonial
Maluku merupakan epicentrum konflik kolonial Asia Tenggara pada abad ke-16 hingga ke-17. Kaya akan rempah-rempah seperti cengkeh, pala, dan fuli, wilayah ini menjadi rebutan keras antara Portugis, Spanyol, dan kemudian VOC (Belanda). Dari sinilah muncul konflik bersenjata berskala regional, pembantaian massal, dan praktek kolonial brutal yang menjadi cermin wajah asli kolonialisme awal di Nusantara.
• Perang Rempah: Portugis, Spanyol, dan VOC di Maluku
- Portugis (1512–1605)
- Tiba pertama di Ternate tahun 1512, menjalin aliansi dengan Sultan Ternate.
- Mendirikan benteng São João Baptista, namun relasi memburuk karena arogansi Portugis dan misi Katolik.
- Akhirnya diusir dari Ternate oleh Sultan Baabullah pada 1575 setelah perang panjang.
- Spanyol (1565–1663)
- Berbasis di Filipina, Spanyol mendukung Tidore sebagai tandingan Ternate.
- Mendirikan benteng dan melakukan serangkaian serangan terhadap posisi Portugis dan Belanda.
- Setelah melemahnya kekuatan mereka, Spanyol akhirnya menarik diri dari Maluku pada 1663.
- VOC (1605 – seterusnya)
- Masuk setelah melihat konflik internal lokal dan kelemahan Portugis.
- Tahun 1605, VOC merebut Ambon dari Portugis.
- Tahun 1621, VOC menyerang Banda dan melakukan pembantaian massal terhadap penduduknya karena menolak monopoli.
• Pembantaian Banda (1621) dan Dominasi VOC
Peristiwa Pembantaian Banda merupakan titik balik kekuasaan VOC di Maluku:
- Penduduk Banda menolak perjanjian monopoli yang dipaksakan VOC untuk hanya menjual pala kepada Belanda.
- Jan Pieterszoon Coen memimpin ekspedisi militer ke Banda:
- ±14.000 penduduk dibantai atau dijadikan budak, sisanya melarikan diri ke pulau lain.
- Pulau-pulau Banda kemudian dibagi kepada pengusaha Belanda (perkeniers) yang mengelola kebun pala dengan tenaga kerja budak dari luar pulau (termasuk Bali, Jawa, dan Sulawesi).
VOC kemudian menguasai penuh jalur perdagangan rempah dari sumbernya langsung:
- Membangun benteng-benteng di Ambon, Banda, Ternate, dan Tidore.
- Menjalin perjanjian tidak setara dengan Sultan Ternate, memaksa mereka hanya menjual cengkeh kepada VOC.
- Melakukan hongi tochten (razia laut bersenjata) untuk menghancurkan pohon rempah liar milik rakyat yang tidak tunduk pada monopoli.
Maluku menjadi simbol brutalitas kolonial VOC dalam menjalankan monopoli kapitalis bersenjata. Dari perang antar kerajaan lokal yang dimanipulasi, intervensi militer, hingga genosida ekonomi, VOC berhasil menjadikan Maluku sebagai ladang emas imperialisme. Konflik antara Portugis, Spanyol, dan Belanda di Maluku bukan sekadar soal rempah, tetapi soal hegemonisasi sumber daya dunia dengan harga yang dibayar oleh darah penduduk asli.
b. Selat Malaka: Malaka, Aceh, Johor
Persimpangan Laut yang Diperebutkan oleh Imperium dan Kerajaan Lokal
Selat Malaka merupakan jalur pelayaran terpenting di Asia Tenggara, penghubung antara Samudra Hindia dan Laut Cina Selatan. Siapa yang menguasai Malaka, menguasai aliran rempah, emas, sutra, dan komoditas dari Asia Timur ke Timur Tengah dan Eropa. Maka tidak mengherankan jika wilayah ini menjadi pusat konflik kolonial dan arena pertempuran geopolitik antara Portugis, VOC, dan kerajaan lokal seperti Aceh dan Johor.
• Portugis vs Aceh dan Johor
Setelah Portugis menaklukkan Malaka pada 1511, terjadi gelombang reaksi keras dari kekuatan lokal:
- Kesultanan Aceh
- Menjadi kekuatan Islam paling militan dalam menentang Portugis.
- Melancarkan serangkaian serangan militer besar ke Malaka pada 1520-an hingga akhir 1500-an.
- Membangun hubungan diplomatik dan militer dengan Kesultanan Utsmaniyah (Turki) untuk melawan dominasi Kristen Eropa di kawasan.
- Aceh juga menekan kerajaan tetangganya (termasuk Johor dan Pahang) untuk menolak kerja sama dengan Portugis.
- Kesultanan Johor
- Didirikan oleh keturunan Melaka setelah jatuh ke tangan Portugis.
- Bermusuhan dengan Portugis namun juga bersaing dengan Aceh.
- Kadang-kadang menjalin kerja sama taktis dengan Portugis demi menghalau pengaruh Aceh.
- Pada abad ke-17, Johor kemudian bersekutu dengan VOC Belanda untuk mengusir Portugis.
Ketegangan antara Aceh, Johor, dan Portugis menciptakan konflik tiga arah yang kompleks, melibatkan strategi, diplomasi, dan perang terbuka selama lebih dari satu abad.
• Perebutan Malaka: Dari Portugal ke VOC (1641)
Setelah lebih dari satu abad menduduki Malaka, posisi Portugis semakin melemah:
- Mereka dikepung oleh perlawanan lokal, biaya tinggi pertahanan benteng, serta persaingan ketat dengan VOC di wilayah Nusantara lainnya.
- VOC melihat Malaka sebagai pesaing dalam jalur perdagangan, meski mereka sudah memiliki Batavia sebagai pusat kekuasaan.
Tahun 1641, dalam kerja sama militer antara VOC dan Kesultanan Johor, pasukan Belanda menyerang dan merebut Malaka dari Portugis.
- Benteng A Famosa dan pelabuhan jatuh ke tangan VOC.
- Portugis praktis kehilangan kekuatan besar mereka di Asia Tenggara, kecuali di Timor.
- Malaka menjadi koloni Belanda, meski nilainya mulai berkurang karena pusat dagang telah bergeser ke Batavia.
Perebutan ini menandai berakhirnya dominasi Portugis dan mengukuhkan VOC sebagai pemegang kendali jalur dagang utama di Asia Tenggara bagian barat.
Selat Malaka adalah titik kunci imperialisme maritim. Pertempuran di wilayah ini tidak hanya melibatkan imperium asing, tetapi juga dinamika antar-kerajaan lokal yang memiliki strategi dan kepentingan tersendiri. Perebutan Malaka menjadi simbol dari pergeseran kekuasaan kolonial—dari Katolik Iberia ke Protestan Belanda—dan sekaligus mencerminkan bagaimana jalur laut bisa mengubah geopolitik regional secara drastis.
c. Sulawesi dan Makassar
Perlawanan Maritim Terakhir Melawan Monopoli VOC
Makassar (Gowa-Tallo) adalah kekuatan pelaut besar terakhir di Nusantara yang secara aktif menolak sistem monopoli VOC. Sebagai pusat perdagangan bebas yang kosmopolitan, Makassar berkembang menjadi benteng ekonomi dan kultural di timur Nusantara pada abad ke-17. Ketika VOC berusaha memaksakan kontrol dagang dan politik, Kerajaan Gowa melakukan perlawanan militer besar-besaran dalam salah satu perang terpanjang dan terberat VOC di luar Jawa.
• Perang VOC vs Kerajaan Gowa (1666–1669)
- Kerajaan Gowa di bawah Sultan Hasanuddin adalah kekuatan utama di Sulawesi dan wilayah timur Nusantara:
- Memiliki armada laut kuat dan aktif berdagang dengan Ternate, Banjarmasin, Bali, hingga Filipina dan Inggris.
- Menjadi alternatif pusat perdagangan bebas, menolak sistem monopoli VOC atas rempah-rempah.
- VOC memandang Makassar sebagai ancaman eksistensial karena:
- Memfasilitasi pedagang bebas dan musuh VOC seperti Inggris dan rakyat Banda yang melarikan diri.
- Tidak bersedia menandatangani perjanjian monopoli atau tunduk pada VOC.
- Tahun 1666–1669, VOC melancarkan perang besar yang dipimpin oleh Laksamana Cornelis Speelman, dengan bantuan:
- Pasukan dari Bugis Bone (Arung Palakka) yang merupakan lawan internal Gowa.
- Armada besar dari Batavia dan sekutu-sekutu lokal anti-Gowa.
- Kekalahan Gowa (1669):
- Benteng Somba Opu hancur.
- Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya:
- VOC mendapat hak dagang eksklusif.
- Rakyat Makassar tidak boleh berdagang bebas ke luar tanpa izin VOC.
Sultan Hasanuddin dijuluki “Ayam Jantan dari Timur” karena keberaniannya melawan kekuatan kolonial terbesar di Asia saat itu.
• Inggris dan Pelaut Makassar sebagai Sekutu Anti-VOC
- Inggris menjadi sekutu informal Kerajaan Gowa:
- Inggris mendapat izin berdagang di Makassar tanpa tekanan monopoli.
- Beberapa benteng dan gudang Inggris berdiri di Makassar sebelum perang.
- Setelah kekalahan Gowa, orang-orang Inggris diusir oleh VOC sebagai bagian dari pembersihan total pengaruh saingan Eropa.
- Pelaut dan diaspora Makassar:
- Banyak pelaut dan bangsawan Gowa bermigrasi ke daerah lain seperti Sumbawa, Lombok, Maluku, hingga Australia Utara.
- Mereka menyebarkan keahlian navigasi, keterampilan dagang, dan semangat anti-kolonial.
Warisan pelaut Makassar masih terlihat dalam budaya maritim Bugis-Makassar, dan dalam jejak pelayaran prasejarah ke Australia yang diabadikan dalam catatan suku Yolngu.
Sulawesi, khususnya Makassar, menjadi benteng perlawanan terakhir terhadap dominasi VOC dalam jalur perdagangan timur Nusantara. Kemenangan Belanda atas Gowa mengukuhkan monopoli VOC, tetapi juga memunculkan keretakan sosial dan diaspora perlawanan. Perang ini menunjukkan bahwa kolonialisme tidak hanya ditantang oleh kekuatan darat seperti Mataram, tetapi juga oleh kekuatan maritim tangguh yang mandiri dan kosmopolitan.
d. Jawa dan Sumatra
Manipulasi Kolonial atas Kerajaan Lokal dan Politik Pecah Belah
Jawa dan Sumatra adalah dua pulau paling strategis dalam lanskap kolonial Nusantara. Keduanya memiliki kerajaan-kerajaan besar seperti Banten dan Mataram di Jawa, serta Aceh, Palembang, dan Minangkabau di Sumatra. Para kekuatan kolonial Eropa—terutama VOC dan Inggris—tidak selalu menaklukkan dengan senjata secara langsung, melainkan menggunakan diplomasi licik, adu domba internal, dan perjanjian tidak setara untuk memecah kekuatan lokal dan menguasai jalur ekonomi-politik.
• Banten dan Mataram: Kekuatan Lokal yang Dimanipulasi
- Kesultanan Banten
- Awalnya adalah pesaing kuat VOC, memiliki pelabuhan besar dan menjalin kontak luas dengan pedagang Inggris, Arab, dan India.
- VOC secara sistematis mengintervensi politik internal:
- Mendukung Sultan yang pro-VOC saat terjadi perebutan kekuasaan.
- Menekan perdagangannya melalui blokade laut dan tarif tinggi.
- Pada 1682, setelah perang saudara, VOC memasang penguasa boneka di Banten dan memaksakan monopoli dagang.
- Kesultanan Mataram (Jawa Tengah)
- Sebagai kekuatan daratan terbesar di Jawa, Mataram sering terlibat konflik dengan VOC (contoh: Perang Jawa I dan II).
- Dalam jangka panjang, VOC mengeksploitasi konflik suksesi di dalam istana Mataram:
- Memberi dukungan militer kepada calon raja yang bersedia menandatangani perjanjian monopoli dan konsesi wilayah.
- Akibatnya, Mataram terpecah menjadi beberapa bagian (Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, Pakualaman).
Strategi VOC di Jawa adalah devide et impera: mempertahankan Mataram lemah namun tetap ada sebagai alat kontrol lokal.
• Persaingan Inggris dan Belanda di Sumatra
- Sumatra Barat dan Tengah
- Inggris aktif di wilayah pesisir barat, terutama di Padang, Bengkulu, dan sekitarnya.
- Mereka menjalin kerja sama dengan kerajaan Minangkabau dan Palembang dalam perdagangan lada dan emas.
- Persaingan dengan VOC cukup tajam, meski skalanya lebih kecil dibanding di Jawa.
- Sumatra Timur dan Aceh
- Aceh bersaing keras dengan Belanda dan Inggris.
- Kadang berpihak ke Inggris untuk melawan dominasi VOC dan Portugis.
- Inggris berusaha mendirikan pos dagang di wilayah utara (misalnya Langkat dan Deli) namun pengaruhnya terbatas hingga abad ke-19.
Di Sumatra, Inggris lebih menekankan hubungan diplomatik dan ekonomi, sedangkan VOC mengandalkan intervensi militer dan perjanjian paksa.
Di Jawa dan Sumatra, kekuatan kolonial tidak selalu menggunakan kekerasan langsung. Mereka menguasai melalui intrik politik, perjanjian tidak setara, dan manipulasi konflik lokal. Hasilnya adalah terpecahnya kerajaan-kerajaan besar, melemahnya kekuatan politik pribumi, dan semakin kuatnya dominasi kolonial atas struktur sosial, ekonomi, dan budaya lokal. VOC di Jawa dan Inggris di Sumatra membentuk dua pola kolonial berbeda, namun dengan tujuan akhir yang sama: hegemoni mutlak atas Nusantara.
e. Kalimantan dan Borneo: Kutai, Banjarmasin, Sambas
Pertarungan Senyap dalam Bayang-Bayang Dominasi Jawa dan Sumatra
Wilayah Kalimantan atau Borneo dalam konteks kolonialisme Asia Tenggara sering kali luput dari perhatian utama, namun sesungguhnya memainkan peran penting sebagai lumbung sumber daya, jalur perdagangan sungai, dan penyangga kekuasaan lokal yang tetap kuat hingga akhir abad ke-19. Di sini, kerajaan-kerajaan seperti Kutai Kartanegara, Kesultanan Banjarmasin, dan Kesultanan Sambas menjadi objek penetrasi kolonial VOC dan Inggris dalam bentuk perdagangan, perjanjian protektorat, dan intervensi terbatas.
• Kutai Kartanegara
- Merupakan kerajaan tertua di Kalimantan Timur dan salah satu yang pertama menjalin hubungan dagang dengan pedagang asing, termasuk Belanda.
- VOC mulai masuk ke wilayah ini melalui pendekatan dagang, memanfaatkan Kutai sebagai sumber hasil hutan, rotan, damar, dan emas.
- Belanda menekan penguasa Kutai untuk menandatangani perjanjian monopoli ekspor komoditas.
- Namun, Kutai cukup berhasil menjaga otonominya hingga abad ke-19 karena lokasinya yang tidak sepenting pelabuhan besar lain di Jawa atau Maluku.
• Kesultanan Banjarmasin
- Terletak di Kalimantan Selatan dan berkembang sebagai pusat dagang lada dan pelabuhan sungai strategis.
- VOC mulai tertarik ke Banjarmasin sejak abad ke-17 karena potensinya dalam menyaingi jalur rempah barat.
- Terjadi benturan antara penguasa lokal dan VOC, terutama saat Belanda mencoba mengendalikan perdagangan melalui sungai Barito.
- Pada abad ke-18, Belanda memaksa Banjarmasin menandatangani perjanjian dagang yang membatasi ekspor bebas, serta membentuk kantor dagang dan garnisun kecil.
- Namun, kontrol VOC tidak pernah sepenuhnya solid karena struktur kekuasaan lokal dan geografi sungai yang luas dan sulit dijinakkan.
• Kesultanan Sambas
- Terletak di Kalimantan Barat, berbatasan dengan wilayah pengaruh Inggris dari Sarawak (Malaysia sekarang).
- Kesultanan Sambas berada dalam posisi silang antara VOC dan Inggris, terutama saat Inggris mulai aktif dari arah barat laut Borneo.
- Sambas memiliki pelabuhan yang digunakan untuk ekspor hasil tambang emas dan produk hutan, dan menjadi tempat pertarungan pengaruh halus antara dua kekuatan Eropa.
- Belanda mengamankan pengaruh melalui perjanjian protektorat yang memberi mereka hak dagang dan pengawasan atas pelabuhan, meski tidak langsung menjajah secara militer.
- Inggris pun sempat berusaha masuk ke wilayah ini, namun pengaruhnya terbatas karena benturan dengan VOC.
Kalimantan bukan zona konflik besar seperti Jawa atau Maluku, tetapi merupakan wilayah perebutan pengaruh senyap. VOC menerapkan pendekatan semi-kolonial berbasis perjanjian dagang dan kontrol pelabuhan, tanpa perlu menaklukkan secara militer. Sementara itu, kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Banjarmasin, dan Sambas menjadi model resistensi diplomatik, yang meski tunduk secara formal, masih mampu mempertahankan banyak unsur kedaulatan hingga akhir abad ke-19. Persaingan Belanda dan Inggris di wilayah ini menjadi cikal bakal batas geopolitik Kalimantan modern.
Strategi Hegemoni yang Digunakan
Cara-Cara Halus dan Kasar Kolonial Eropa Memenangkan Perebutan Asia Tenggara
Hegemoni kolonial di Asia Tenggara tidak terjadi hanya lewat pertempuran terbuka, tetapi dibangun lewat kombinasi strategi militer, politik, ekonomi, agama, dan budaya. VOC, Portugis, Inggris, dan Spanyol masing-masing menerapkan teknik dominasi yang sistematis—baik lewat penaklukan langsung, manipulasi politik lokal, maupun pengendalian sumber daya.
a. Koalisi dengan Kerajaan Lokal (Politik Devide et Impera)
- Strategi “pecah belah dan kuasai” menjadi senjata kolonial paling efektif, khususnya digunakan oleh VOC.
- Aliansi dibuat dengan pihak-pihak dalam kerajaan lokal yang berseteru dalam konflik suksesi atau perang saudara.
- Contoh:
- VOC membantu putra Sultan di Banten melawan saudaranya, lalu menempatkannya sebagai boneka Belanda.
- Mataram terpecah karena VOC mendukung salah satu pangeran dalam konflik istana (yang melahirkan Kasunanan dan Kesultanan).
- Arung Palakka (Bone) didukung Belanda untuk menjatuhkan Gowa.
Hasilnya: kerajaan lokal menjadi pecah, lemah, dan tergantung pada kekuatan kolonial.
b. Pendudukan Pelabuhan dan Blokade Laut
- Kolonialisme maritim sangat mengandalkan kontrol atas jalur logistik dan perdagangan laut.
- VOC dan Portugis secara sistematis menduduki pelabuhan-pelabuhan utama:
- Malaka, Ambon, Batavia, Makassar, Banda.
- Jalur pelayaran alternatif diblokade secara militer (contoh: razia Hongi Tochten oleh VOC untuk menghancurkan kapal dagang liar).
- Penguasa lokal yang tidak tunduk kepada monopoli VOC akan diisolasi secara ekonomi.
Dominasi pelabuhan berarti mengendalikan ekonomi dan diplomasi seluruh kerajaan di pedalaman.
c. Penguasaan atas Komoditas Strategis (Rempah, Lada, Timah)
- Kekuatan kolonial tidak hanya ingin berdagang, tetapi mengontrol langsung sumber komoditas:
- Rempah-rempah (Maluku): diambil dengan paksa lewat sistem monopoli dan perkeniers.
- Lada (Sumatra, Banten, Kalimantan): dibeli dengan harga tetap yang merugikan petani.
- Timah (Bangka, Belitung): dikuasai lewat eksploitasi tambang paksa dan buruh kontrak.
- Sistem kontrak dan pajak mengikat rakyat dan bangsawan lokal dalam ketergantungan struktural.
Komoditas bukan hanya alat dagang, tapi basis kekuasaan kolonial.
d. Misi Agama sebagai Pembenaran Kekuasaan
- Baik Portugis maupun Spanyol menjadikan misi Katolik sebagai pembenaran ekspansi kolonial.
- Penginjilan dilakukan beriringan dengan pendudukan (misal: Filipina, Timor, Ambon).
- Belanda, meski berhaluan Protestan, lebih pragmatis namun tetap menyokong zending di daerah-daerah Kristen.
- Misi agama digunakan untuk:
- Mengubah identitas budaya lokal.
- Menancapkan loyalitas spiritual ke kekuasaan kolonial.
- Membagi komunitas (misal: pemisahan Muslim-Kristen di Maluku dan Timor).
Agama dijadikan alat ideologis untuk menjustifikasi penaklukan, bukan sekadar dakwah.
e. Penggunaan Pasukan Bayaran Lokal (Bugis, Ambon, Bali)
- VOC dan Inggris sering merekrut pasukan lokal sebagai tentara sewaan:
- Ambon dan Manado: dikenal sebagai pasukan Kristen loyal dan disiplin VOC.
- Bugis (Bone): digunakan VOC dalam Perang Makassar.
- Bali: digunakan sebagai tenaga penjaga benteng dan marinir karena keterampilan bela diri.
- Pasukan bayaran digunakan untuk:
- Menundukkan kerajaan yang memberontak.
- Menjaga pos dan pelabuhan kolonial.
- Menjalankan razia (contoh: hongi tochten di Maluku oleh orang Ambon atas perintah VOC).
Strategi ini memecah solidaritas antar suku dan menciptakan struktur kekerasan horizontal antar bangsa sendiri.
Perebutan hegemoni di Asia Tenggara tidak hanya bergantung pada kekuatan senjata, tetapi pada arsitektur strategi yang sistematis dan berlapis. Melalui politik devide et impera, kontrol ekonomi, dominasi maritim, dan pembenaran agama, kekuatan kolonial Eropa menancapkan kekuasaan dalam waktu lama. Kerajaan-kerajaan lokal, jika tidak cerdas bermain politik, terjerat dalam permainan kekuasaan yang menguntungkan kolonialisme dan mematikan kedaulatan.
Perubahan Hegemoni: Runtuhnya Portugis dan Spanyol, Dominasi Belanda
Transisi Kekuasaan dari Imperium Katolik ke Kapitalisme Maritim Belanda
Sepanjang abad ke-16 hingga ke-19, Asia Tenggara menjadi saksi atas pergeseran kekuatan kolonial global. Dua kekuatan awal, Portugis dan Spanyol, secara bertahap tersingkir dari panggung utama, digantikan oleh Belanda (VOC) sebagai penguasa dominan. Inggris juga hadir, namun mengalihkan fokusnya ke wilayah Asia lainnya. Pergeseran hegemoni ini menciptakan fondasi geopolitik dan ekonomi kolonial yang membentuk rupa modern negara-negara Asia Tenggara.
a. Kelemahan Portugis dan Isolasi Spanyol
- Portugis
- Terlalu tersebar secara geografis: Goa, Malaka, Timor, Brasil, dan Afrika Barat.
- Memiliki armada kecil dan sumber daya manusia terbatas.
- Menderita kerugian karena perlawanan lokal (Ternate, Aceh, Malaka) dan terdesak oleh VOC dalam hal militer dan logistik.
- Setelah jatuhnya Malaka pada 1641 ke tangan VOC, Portugis hanya mempertahankan Timor Timur secara signifikan hingga abad ke-20.
- Spanyol
- Fokus pada kristenisasi Filipina dan perdagangan Galeon Manila–Acapulco.
- Tidak memiliki kekuatan militer maritim yang besar di Asia Tenggara.
- Terisolasi secara strategis karena letak geografis Filipina yang jauh dari pusat-pusat konflik utama (Maluku, Jawa, Sumatra).
- Akhirnya dikalahkan dan digantikan oleh Amerika Serikat di Filipina pada 1898.
Kekalahan keduanya menandai berakhirnya dominasi Katolik Iberia dalam kolonialisme Asia Tenggara.
b. VOC sebagai Kekuatan Dominan Abad ke-17 dan ke-18
- VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) menjadi korporasi dagang multinasional pertama dan paling kuat di dunia abad ke-17:
- Mempunyai armada, tentara, hak perang dan diplomasi, serta mencetak mata uang sendiri.
- Menguasai wilayah dari Maluku, Batavia, Ambon, Banda, hingga mengintervensi kerajaan-kerajaan besar seperti Mataram, Banten, Makassar.
- Menerapkan sistem monopoli brutal, pajak paksa, dan kontrol pelabuhan.
- Pusat kekuatan VOC adalah Batavia (Jakarta) yang menjadi ibu kota koloni Belanda di Asia.
VOC mengubah kolonialisme dari sekadar perdagangan menjadi bentuk negara korporat dengan kekuasaan politik penuh.
c. Inggris Beralih ke India dan Semenanjung Malaya
- Setelah gagal bersaing di Jawa dan Maluku, Inggris mulai mengalihkan fokus ke India:
- East India Company (EIC) berhasil menaklukkan kekuatan Mughal dan menguasai India pada abad ke-18.
- Inggris tetap menjaga kehadiran di Asia Tenggara lewat:
- Bengkulu (Sumatra) – Fort Marlborough
- Penang (1786), Singapura (1819), dan Melaka (1824) — menjadi cikal bakal Straits Settlements.
- Melalui Perjanjian Inggris-Belanda 1824, Inggris dan Belanda membagi Asia Tenggara:
- Belanda dominan di Indonesia, Inggris menguasai Malaya dan Singapura.
Inggris mundur dari Nusantara, tetapi memperkuat hegemoninya di jalur timur India–Cina, membentuk zona pengaruh baru yang kelak menjadi negara modern.
d. Pengaruh Hegemoni terhadap Formasi Negara Kolonial Modern
- Perebutan hegemoni dan kemenangan Belanda menyebabkan terbentuknya Hindia Belanda, yang secara geografis dan administratif menjadi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia modern.
- Di sisi lain, Inggris menciptakan struktur kolonial tersendiri di Semenanjung Malaya dan Singapura, menjadi dasar bagi Malaysia dan Singapura masa kini.
- Filipina mewarisi sistem kolonial Spanyol hingga dijual ke AS.
- Timor Timur tetap di bawah Portugis hingga 1975, sebelum merdeka menjadi Timor Leste.
Perubahan hegemoni kolonial bukan hanya mempengaruhi perdagangan dan politik, tapi juga menentukan batas-batas teritorial dan identitas negara modern di Asia Tenggara.
Transisi dari dominasi Portugis–Spanyol ke hegemoni VOC dan Inggris membentuk tatanan kolonial jangka panjang di Asia Tenggara. Strategi korporasi kolonial seperti VOC dan EIC mengubah pendekatan kolonialisme dari eksplorasi ke eksploitasi. Dari sinilah lahir struktur negara kolonial yang menjadi cikal bakal pembentukan negara-negara Asia Tenggara modern, lengkap dengan warisan konflik, batas teritorial, dan hierarki sosial yang masih terasa hingga hari ini.
Dampak terhadap Asia Tenggara
Transformasi Radikal Akibat Perebutan Hegemoni Kolonial
Perebutan hegemoni antara kekuatan kolonial Eropa di Asia Tenggara menghasilkan dampak jangka panjang yang bukan hanya politis dan ekonomi, tetapi juga sosiokultural dan institusional. Perubahan ini memengaruhi seluruh aspek kehidupan masyarakat Asia Tenggara dan menjadi fondasi dari sistem penjajahan formal yang berlangsung hingga abad ke-20. Berikut adalah dampak utamanya:
a. Hancurnya Jaringan Dagang Tradisional
- Sebelum kedatangan kolonial, Asia Tenggara memiliki jaringan dagang terbuka dan kosmopolitan, menghubungkan India, Tiongkok, Arab, dan Afrika Timur.
- Sistem ini berbasis pada:
- Hubungan setara antar pelabuhan.
- Otonomi pedagang lokal.
- Perdagangan lintas budaya dan agama (Muslim, Hindu, Buddha, Tionghoa).
- VOC dan kolonial lain menghancurkan sistem ini dengan:
- Memaksakan monopoli tunggal dan pelarangan dagang bebas.
- Menutup pelabuhan yang tidak tunduk (contoh: Makassar, Banten).
- Menyita kapal dan membunuh pedagang independen.
Akibatnya, keragaman ekonomi dan otonomi pelabuhan hancur, digantikan oleh ekonomi ekstraktif kolonial.
b. Fragmentasi Kerajaan Lokal dan Kolonialisasi Ekonomi
- Perebutan hegemoni mendorong fragmentasi internal di banyak kerajaan:
- Mataram terpecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta.
- Banten dan Johor dikendalikan lewat konflik suksesi.
- Kerajaan-kerajaan kehilangan:
- Otonomi ekonomi, karena komoditas utama dikontrol kolonial.
- Kekuasaan militer, karena dilarang membentuk angkatan bersenjata.
- Di saat bersamaan, tanah dan hasil bumi dikuasai asing:
- Lewat sistem pajak, sewa tanah, dan kerja paksa.
- Terbentuk struktur feodalisme kolonial—raja tetap berkuasa, tapi hanya sebagai pelaksana kehendak kolonial.
Raja menjadi simbol tanpa kuasa, ekonomi rakyat diserap ke pusat kekuasaan asing.
c. Perubahan Sosial dan Agama Akibat Kolonialisme
- Kolonialisme membawa serta perubahan besar dalam struktur sosial:
- Munculnya kelas priyayi terdidik yang loyal pada penguasa kolonial.
- Diskriminasi rasial diberlakukan: Eropa – Timur Asing – Pribumi.
- Penyebaran agama:
- Kristenisasi meluas di wilayah-wilayah tertentu (Filipina, Ambon, Minahasa, Timor).
- Islamisasi melambat di wilayah dominasi Kristen dan kolonial.
- Pendidikan kolonial dipakai untuk membentuk elite terkontrol.
- Kota-kota pelabuhan mengalami modernisasi gaya Barat (Batavia, Manila, Penang), tetapi desa dan pedalaman sengaja dibiarkan stagnan.
Kolonialisme mengubah identitas budaya dan menciptakan ketimpangan sosial yang sistematis.
d. Awal Penjajahan Administratif Penuh
- Dari hegemoni dagang dan militer, kolonialisme masuk ke fase administratif-birokratis:
- Pembentukan residensi, keresidenan, dan distrik.
- Diperkenalkannya sistem hukum Eropa yang meminggirkan adat.
- Pajak, sensus, dan kewajiban kerja paksa menjadi bagian dari kontrol negara.
- VOC menjadi pionir sistem kolonial korporat, lalu diteruskan oleh:
- Hindia Belanda (sejak 1816) di bawah Kerajaan Belanda.
- Straits Settlements di bawah Inggris.
- Koloni Spanyol yang terpusat di Manila.
- Sistem ini menjadi dasar negara kolonial modern dengan seluruh mekanismenya: sekolah, tentara, birokrasi, pengadilan, dan jaringan komunikasi.
Inilah momen ketika kolonialisme bukan lagi soal perdagangan, tapi tentang penguasaan sistemik total atas manusia dan tanah.
Perebutan hegemoni kolonial telah mengubah wajah Asia Tenggara secara permanen. Jaringan dagang kuno digantikan sistem monopoli, kerajaan-kerajaan terfragmentasi dan dikendalikan, tatanan sosial berubah drastis, dan akhirnya lahirlah sistem penjajahan administratif yang terstruktur. Warisan ini membentuk realitas negara, identitas, dan konflik modern di wilayah Asia Tenggara hingga hari ini.
Lebih dari sekadar kompetisi memperebutkan rempah-rempah. Ia merupakan proses panjang dan kompleks di mana kekuatan kolonial Eropa berusaha memonopoli jalur perdagangan global, meruntuhkan kerajaan-kerajaan lokal, dan membentuk lanskap politik-ekonomi baru yang berakar pada kekuasaan asing.
• Geopolitik sebagai Inti Kolonialisme
Rempah-rempah memang menjadi pemicu awal eksplorasi dan penetrasi kolonial, tetapi seiring waktu, yang diperebutkan bukan hanya komoditas, melainkan kontrol atas wilayah strategis:
- Selat Malaka, Laut Jawa, Kepulauan Maluku, hingga pelabuhan-pelabuhan besar di Sumatra dan Sulawesi menjadi pusat konflik geopolitik.
- Pelabuhan bukan hanya tempat perdagangan, tetapi benteng militer, kantor administrasi, dan pusat intelijen kolonial.
Dengan kata lain, kolonialisme dagang berubah menjadi kolonialisme teritorial dan birokratis.
• Akibat dari Persaingan Kolonial
Persaingan antara Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris tidak hanya berimbas pada konflik antar bangsa Eropa, tetapi juga:
- Memecah belah kerajaan lokal dengan devide et impera.
- Menghancurkan jaringan dagang tradisional dan budaya maritim Nusantara.
- Memasukkan sistem nilai, hukum, dan pendidikan asing yang menggantikan struktur adat dan Islam lokal.
Inilah fase awal dari hilangnya kedaulatan Nusantara dan munculnya struktur kolonial modern.
• Transformasi Nusantara: Dari Pusat Dagang ke Koloni
Nusantara pada awalnya adalah salah satu simpul utama perdagangan global, dengan kota-kota pelabuhan seperti Banten, Ternate, Makassar, dan Aceh menjadi pusat interaksi antar peradaban.
Namun setelah ratusan tahun konflik hegemoni dan intervensi asing:
- Kota-kota pelabuhan menjadi alat kekuasaan kolonial, bukan lagi pusat kemandirian ekonomi.
- Kerajaan-kerajaan besar melemah dan tergantung pada kekuasaan kolonial.
- Rakyat menjadi objek eksploitasi struktural, bukan subjek ekonomi mandiri.
Kolonialisme mengubah Nusantara dari pelaku ke korban sejarah global.
Perebutan hegemoni kolonial Eropa di Asia Tenggara menandai fase krusial dalam sejarah global dan regional. Ia membentuk tidak hanya peta politik dan ekonomi, tetapi juga identitas, relasi sosial, dan struktur kekuasaan yang masih berbekas hingga hari ini.
Untuk memahami sejarah modern Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara, babak ini menjadi fondasi penting yang tidak boleh dilupakan—karena di sinilah akar ketimpangan kolonial, perlawanan, dan nasionalisme mulai tumbuh.