Kolonialisme awal di Nusantara tidak selalu tampil dalam bentuk dominasi negara kolonial seperti yang dikenal pada abad ke-19. Pada awal abad ke-17, kekuasaan kolonial kerap dijalankan oleh entitas dagang swasta seperti Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) – sebuah kongsi dagang Belanda yang memperoleh hak-hak istimewa dari negara. Meskipun secara formal merupakan perusahaan dagang, VOC memiliki kekuasaan layaknya negara: dapat mengumumkan perang, membuat perjanjian, mendirikan benteng, dan mengelola pemerintahan lokal. Namun di balik kemasan komersialnya, VOC adalah salah satu kekuatan kolonial paling brutal dalam sejarah Asia Tenggara.
Watak kekuasaan VOC dibentuk bukan hanya oleh ambisi ekonomi, tetapi oleh strategi kontrol yang sangat koersif dan militeristik. Tujuan utama VOC adalah monopoli atas komoditas bernilai tinggi seperti rempah-rempah (pala, cengkeh, lada), dan untuk mencapai hal tersebut, mereka tidak segan-segan menggunakan kekerasan yang sistematis dan terorganisir. Tindakan mereka tidak hanya berupa konfrontasi militer terbuka, tetapi juga penghancuran sosial-ekonomi komunitas lokal yang dianggap mengancam sistem monopoli VOC.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis tiga ekspresi utama kekejaman kolonial VOC yang paling menonjol dan berdampak jangka panjang: pertama, Hongi Tochten, yaitu operasi patroli laut bersenjata untuk membakar kebun rempah liar dan menindak pedagang non-VOC; kedua, Pembantaian Banda tahun 1621, yang merupakan salah satu tindakan genosida ekonomi paling brutal dalam sejarah kolonialisme; dan ketiga, strategi pembumihangusan, yakni kebijakan sistematik untuk menghancurkan wilayah-wilayah yang menolak tunduk kepada sistem dagang VOC.
Melalui penjabaran ketiga aspek ini, kita akan melihat bagaimana VOC bukan sekadar perusahaan pencari untung, tetapi pelaku kolonialisme koersif yang membentuk fondasi penindasan kolonial di Nusantara — baik secara ekonomi, politik, maupun psikologis. Pendekatan ini juga akan membantu kita memahami bahwa kolonialisme di Indonesia bukan hanya hasil dari dominasi militer negara-negara Eropa, tetapi juga hasil dari kekuasaan korporat bersenjata yang beroperasi dengan legitimasi negara.
Latar Belakang Kekerasan Kolonial VOC
a. VOC sebagai Kongsi Dagang Bersenjata
Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) didirikan pada tahun 1602 oleh Staten-Generaal Belanda sebagai sebuah kongsi dagang berskala besar yang beroperasi di wilayah Asia, terutama Asia Tenggara. Namun, tidak seperti perusahaan dagang biasa, VOC diberikan octrooi atau hak istimewa oleh negara yang menjadikannya entitas semi-negara. Hak-hak istimewa ini mencakup kemampuan untuk:
- Mengumumkan perang dan membuat perdamaian,
- Menjalin perjanjian diplomatik dengan raja-raja lokal,
- Mendirikan benteng dan memungut pajak,
- Menjalankan kekuasaan administratif di wilayah operasionalnya.
Fakta bahwa VOC dapat menjalankan aktivitas militer dan pemerintahan menjadikannya bukan hanya aktor ekonomi, tetapi juga aktor politik dan militer yang berperan aktif dalam kolonialisasi. Ini menciptakan kondisi unik di mana kepentingan ekonomi swasta dijalankan dengan kekerasan yang dilegitimasi oleh negara, sehingga menjadikan VOC sebagai pelopor kolonialisme korporat bersenjata.
b. Motif Utama: Monopoli Dagang Rempah-rempah
Sasaran utama VOC di Asia Tenggara, khususnya di Nusantara, adalah menguasai sumber utama komoditas yang sangat bernilai di pasar Eropa: rempah-rempah. Pala dari Banda, cengkeh dari Ternate dan Ambon, serta lada dari Sumatra dan Banten merupakan barang dagangan yang memiliki nilai tukar tinggi dan mendatangkan keuntungan luar biasa. Karena itu, VOC tidak sekadar ingin berdagang, melainkan mengeliminasi semua bentuk persaingan – baik dari sesama bangsa Eropa seperti Portugis dan Inggris, maupun dari pedagang lokal Asia.
Monopoli ini tidak dapat dicapai melalui mekanisme pasar bebas. Maka, VOC menggunakan kekerasan sistemik untuk:
- Menghancurkan jaringan dagang lokal yang bersifat terbuka,
- Mengendalikan produksi dengan paksa,
- Menyingkirkan kelompok atau komunitas yang menolak tunduk.
Dalam konteks ini, kekerasan bukanlah anomali, tetapi justru alat utama operasional VOC. Setiap tindakan kekejaman – dari pembakaran kebun, deportasi massal, hingga pembantaian – adalah bagian dari strategi sistematis untuk mempertahankan dominasi dagang yang total.
b. Tantangan terhadap Monopoli
Meskipun VOC telah menandatangani kontrak eksklusif dengan sejumlah raja dan penguasa lokal untuk menjamin hak monopoli perdagangan rempah-rempah, realitas di lapangan jauh lebih kompleks dan tidak sepenuhnya dapat dikendalikan. Penduduk lokal di Maluku, Banda, Ambon, dan Ternate memiliki sejarah panjang sebagai pedagang aktif yang terbiasa menjual hasil bumi kepada berbagai pihak, termasuk:
- Pedagang Inggris yang memiliki jalur dagang alternatif dan menawarkan harga lebih tinggi,
- Pedagang Cina dan Arab yang sudah lama menjadi mitra dagang kerajaan-kerajaan lokal,
- Jaringan pelaut dan pedagang nusantara dari Makassar, Bugis, Jawa, hingga Aceh.
Bagi VOC, aktivitas ini dianggap sebagai bentuk “pengkhianatan kontrak” dan pelanggaran terhadap monopoli. VOC tidak melihat penduduk lokal sebagai mitra dagang otonom, melainkan sebagai bagian dari sistem produksi yang harus tunduk sepenuhnya pada regulasi dagang perusahaan. Dengan kata lain, jika seseorang menjual rempah ke pihak lain selain VOC, itu dianggap sebagai ancaman langsung terhadap kepentingan korporasi.
VOC tidak memiliki mekanisme negosiasi yang fleksibel. Sebaliknya, mereka memandang semua bentuk pelanggaran monopoli sebagai legitimasi untuk melakukan tindakan koersif. Maka, lahirlah operasi militer seperti Hongi Tochten, pembantaian terhadap komunitas seperti di Banda, dan kebijakan pembumihangusan untuk menghancurkan setiap sumber produksi liar yang dianggap mengganggu monopoli. Strategi kekerasan ini bukan sekadar tindakan balasan, tetapi bagian integral dari sistem kendali ekonomi berbasis kekuatan militer.
Hongi Tochten: Teror Laut untuk Menghancurkan Swasembada Rempah
a. Definisi dan Tujuan
- Hongi Tochten adalah istilah dalam bahasa Belanda yang merujuk pada operasi patroli laut bersenjata yang dilakukan secara berkala oleh VOC bersama sekutu lokal (terutama prajurit-prajurit Ambon).
- Operasi ini dilakukan menggunakan perahu kora-kora — kapal perang lokal bersayap yang dilengkapi dayung dan layar.
- Tujuan utama: mendeteksi, membakar, dan menghancurkan seluruh pohon rempah-rempah (terutama cengkeh dan pala) yang tumbuh di wilayah yang tidak berada di bawah kontrak atau pengawasan langsung VOC.
VOC meyakini bahwa jika masyarakat lokal diberi kebebasan menanam rempah secara mandiri dan menjualnya di pasar bebas, maka:
- Harga akan jatuh akibat persaingan.
- Monopoli dagang akan runtuh.
- Keuntungan investor di Belanda akan terancam.
Maka, Hongi Tochten adalah kebijakan sistemik, bukan aksi balasan spontan. Ia berfungsi sebagai mekanisme penegakan monopoli ekonomi melalui teror dan kekerasan langsung, dan menunjukkan bagaimana kontrol atas tanaman bisa berarti kontrol atas seluruh wilayah. Selanjutnya, praktik ini berkembang menjadi bentuk awal dari “ekonomi militeristik”: pohon bisa dibakar, kampung bisa dihancurkan, dan petani bisa dieksekusi—semata untuk mempertahankan harga pasar.
b. Prosedur Brutal
- Kapal-kapal Hongi (biasanya berisi prajurit VOC dan sekutu dari Ambon atau Ternate) berlayar menyisir pulau-pulau rempah di Maluku, seperti Seram, Halmahera, dan Kepulauan Lease.
- Mereka mendatangi desa-desa, memeriksa kebun, dan mencari pohon rempah liar atau pohon yang tidak terdaftar dalam sistem kontrol VOC.
- Jika ditemukan, pohon tersebut langsung ditebang dan dibakar di tempat — bahkan jika dimiliki secara turun-temurun oleh masyarakat lokal.
- Penduduk yang:
- Menanam tanpa izin
- Menjual ke pedagang asing (seperti Inggris atau Cina)
- Menyembunyikan hasil panen
Akan dianggap sebagai pengkhianat dagang (economische verraders) dan dikenai hukuman ekstrem:
- Dihukum mati di depan umum
- Diusir dari kampung halaman
- Dibawa sebagai budak atau diasingkan ke pulau lain
- Hongi Tochten dilakukan secara berkala dan terorganisir — bukan operasi sporadis. Bahkan sering kali didokumentasikan dan dilaporkan ke markas pusat VOC di Batavia sebagai bentuk “perlindungan aset dagang”.
Dengan demikian, VOC tidak hanya membunuh manusia, tetapi juga membunuh kemungkinan kedaulatan ekonomi masyarakat lokal, menjadikan rempah bukan lagi kekayaan rakyat, tetapi komoditas privat korporasi bersenjata.
c. Dampak terhadap Masyarakat Lokal
- Kehilangan mata pencaharian:
Petani yang selama berabad-abad hidup dari menanam dan memperdagangkan rempah-rempah secara bebas tiba-tiba kehilangan sumber nafkahnya. Kebun mereka dihancurkan, pohon-pohon ditumpas, dan hasil panen disita atau dianggap ilegal jika tidak dijual ke VOC. - Ketakutan massal dan psikologis:
Kehadiran kapal-kapal Hongi menciptakan teror psikologis kolektif. Setiap desa hidup dalam ketakutan akan inspeksi mendadak, pembakaran kebun, atau penangkapan. Anak-anak dan perempuan sering dijadikan saksi eksekusi sebagai bentuk intimidasi. - Migrasi paksa dan pengosongan desa:
Banyak komunitas melarikan diri ke pedalaman atau pulau lain untuk menghindari pengawasan VOC. Beberapa pulau menjadi kosong secara ekonomi dan demografis karena tidak tahan terhadap tekanan represi dan kekerasan. - Rusaknya tatanan sosial:
Dalam jangka panjang, sistem gotong royong dan struktur adat setempat tercerabut, karena masyarakat tidak lagi bebas mengelola sumber daya alamnya sendiri. Orang-orang menjadi terfragmentasi, kehilangan solidaritas, dan menjadi objek eksploitasi sistem dagang kolonial.
Dengan kata lain, Hongi Tochten bukan sekadar operasi militer, tapi bentuk pemaksaan struktur ekonomi kolonial melalui penghancuran fisik dan mental masyarakat lokal.
Pembantaian Banda (1621): Genosida demi Monopoli Pala
a. Latar Belakang: Banda Menolak Kontrak Monopoli VOC
- Banda sebagai satu-satunya sumber pala dunia:
Kepulauan Banda (Banda Neira, Lontar, Ai, Run, dan sekitarnya) adalah produsen eksklusif pala dan fuli (bunga pala), dua komoditas paling berharga di pasar dunia saat itu. VOC sangat berkepentingan untuk mengamankan monopoli mutlak atas produksi dan distribusinya. - Penolakan terhadap kontrak eksklusif VOC:
Penduduk Banda — para pemimpin negeri (orang kaya), petani, dan saudagar — menolak menandatangani kontrak monopoli VOC. Mereka lebih memilih berdagang bebas dengan pedagang Inggris, Portugis, Gujarat, dan Arab yang memberikan harga lebih tinggi dan tanpa kontrol. - VOC menganggap sikap ini sebagai pengkhianatan:
Bagi VOC, penolakan Banda bukan hanya soal dagang, melainkan ancaman terhadap seluruh sistem kolonial rempah yang mereka rancang. Gagal mengendalikan Banda berarti gagal menguasai pasar pala dunia. Maka diputuskan bahwa Banda harus ditaklukkan secara militer — bahkan dilenyapkan.
b. Ekspedisi Jan Pieterszoon Coen
- Komandan brutal VOC dan arsitek kolonialisme keras:
Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC, dikenal karena keyakinannya bahwa kekuasaan dagang harus dijaga dengan kekerasan absolut. Ia menganggap Banda sebagai ujian bagi otoritas VOC dan bertekad mengakhiri pembangkangan dengan cara apapun. - Serangan militer ke Banda tahun 1621:
Coen memimpin sendiri ekspedisi militer besar ke Kepulauan Banda, dengan ratusan tentara Eropa dan sekutu dari Ambon dan Ternate. Pulau demi pulau diserang. Benteng pertahanan lokal dihancurkan. Penduduk yang tidak melarikan diri ditangkap, dieksekusi, atau diperbudak. - Skala kekejaman yang sistematis:
- Sekitar 14.000–15.000 jiwa (nyaris seluruh populasi Banda) tewas dibunuh, dideportasi, atau mati kelaparan selama kampanye pembersihan.
- Pemimpin lokal (orang kaya) yang dianggap melawan dieksekusi di depan umum.
- Penduduk perempuan dan anak-anak ditangkap, dijadikan budak dan dikirim ke Batavia atau Ambon.
- Desa-desa dan ladang dihancurkan, meninggalkan Banda sebagai pulau-pulau kosong.
- Pembantaian ini oleh banyak sejarawan dianggap sebagai bentuk genosida kolonial — pembersihan etnis demi keuntungan komoditas.
c. Perubahan Pasca Pembantaian
- Pengosongan Kepulauan Banda
Setelah penduduk asli Banda dibantai, diasingkan, atau diperbudak, pulau-pulau di Banda menjadi hampir kosong dari penduduk lokal. VOC menganggap ini peluang untuk membangun sistem produksi rempah yang sepenuhnya dikendalikan dari hulu ke hilir. - Pembentukan sistem “Perken”
- VOC membagi pulau-pulau menjadi perkebunan rempah (perken) yang diserahkan kepada orang Eropa (perkenier).
- Setiap perkenier mengelola kebun pala, namun harus menjual seluruh hasilnya hanya kepada VOC dengan harga yang ditentukan.
- VOC juga membangun benteng dan stasiun militer di berbagai titik Banda untuk mengawasi perken-perken ini.
- Penggunaan tenaga kerja budak
Karena tidak ada lagi masyarakat lokal yang tersisa, VOC mendatangkan ribuan budak dari Bali, Sulawesi, NTT, India, bahkan Afrika Timur untuk bekerja di perken-perken Banda.- Mereka diperlakukan dengan kejam, tanpa upah, dan terus diawasi.
- Budaya lokal Banda musnah, digantikan struktur kolonial brutal yang mengutamakan produksi dan ekspor pala.
- Dampak jangka panjang
- Kepulauan Banda berubah dari komunitas otonom menjadi koloni dagang eksklusif VOC.
- Struktur ini menjadi model kolonial ekonomi kekerasan yang ditiru VOC di tempat lain (Ambon, Ternate).
Strategi Pembumihangusan: Kekuasaan Melalui Kehancuran
a. Konsep Pembumihangusan Kolonial
- VOC menerapkan logika kekuasaan yang ekstrem: jika suatu wilayah tidak bisa dikendalikan, maka wilayah itu harus dihancurkan agar tidak bisa digunakan oleh siapapun, termasuk musuh dagangnya.
- Tujuannya bukan hanya untuk menang secara militer, tetapi menghancurkan fondasi ekonomi lokal—agar tidak ada alternatif terhadap sistem monopoli VOC.
- Konsep ini sering disebut sebagai “zona mati ekonomi” — wilayah yang dilumpuhkan sumber dayanya agar VOC tetap menjadi satu-satunya kekuatan ekonomi.
b. Contoh Eksekusi Strategi
- Pulau-pulau rempah seperti Seram, Hitu, dan sebagian Halmahera menjadi korban ekspedisi pembumihangusan:
- Pohon-pohon rempah yang dianggap liar dan tidak berada dalam kontrol VOC dibakar massal.
- Lahan subur dirusak agar tidak bisa lagi ditanami.
- Penduduk dipaksa pindah atau dibunuh bila dianggap menghalangi.
- Hongi Tochten juga merupakan bagian dari strategi pembumihangusan dalam bentuk patrolisasi laut dan darat yang tujuannya memastikan tidak ada produksi mandiri di luar kendali VOC.
c. Efek Psikologis dan Sosial
- Masyarakat lokal hidup dalam ketakutan konstan, tidak tahu kapan desanya akan dihancurkan atau dirazia.
- Sistem ini menciptakan trauma kolektif dan menjauhkan rakyat dari keberanian untuk melawan dominasi dagang VOC.
- Membuat rakyat menjadi tergantung secara total pada sistem VOC untuk akses hidup, perdagangan, dan perlindungan.
b. Contoh: Ambon, Seram, dan Pulau-Pulau Kecil Lainnya
- Ambon:
- Setelah direbut dari Portugis pada 1605, VOC menjadikan Ambon sebagai pusat awal operasi kolonial.
- VOC menerapkan sistem pengawasan total atas rempah, dan desa-desa yang dianggap melanggar kontrak monopoli akan dibakar habis.
- Kebun cengkeh rakyat dihancurkan, hanya kebun-kebun yang dikelola dan diawasi VOC yang diizinkan eksis.
- Populasi yang dianggap “tidak patuh” dipaksa pindah atau dijadikan pekerja paksa.
- Seram:
- Pulau Seram dianggap sebagai wilayah liar yang banyak menanam rempah di luar kendali VOC.
- VOC melakukan penggerebekan berkala (Hongi Tochten) dan menghancurkan ladang secara sistematis.
- Desa-desa dibumihanguskan, dan penduduk dituduh menjual rempah ke pedagang Makassar atau Inggris dianiaya atau dibuang.
- Pulau ini dijadikan zona buffer dan basis garnisun militer untuk menekan wilayah sekitar.
- Pulau-Pulau Kecil Lainnya (Haruku, Saparua, Nusalaut):
- VOC memaksakan kontrol ketat atas produksi rempah di pulau-pulau ini.
- Kampung yang menyembunyikan rempah atau pedagang non-VOC akan dimusnahkan.
- Beberapa penduduk dijadikan budak kontrak, diangkut ke Banda atau Batavia.
- Pola kekerasan sistematis dan pembumihangusan menciptakan zona ketakutan total dan kehancuran struktur sosial lokal.
c. Strategi “Tanah Hangus” sebagai Kontrol Produksi dan Psikologis
- VOC menerapkan strategi “tanah hangus” (scorched earth) bukan hanya untuk menghancurkan infrastruktur ekonomi lawan, tetapi juga untuk menciptakan teror psikologis massal.
- Setiap desa atau wilayah yang berani melawan atau menjual rempah ke pihak lain akan:
- Dibakar hingga habis.
- Ladangnya dihancurkan, sumber air diracuni atau disumbat.
- Penduduknya diusir, dibantai, atau diperbudak.
- Tujuan dari strategi ini:
- Mematahkan semangat perlawanan secara kolektif.
- Menanamkan pesan bahwa VOC adalah satu-satunya otoritas ekonomi dan politik yang tak tertandingi.
- Efeknya:
- Wilayah yang dihancurkan tidak pulih selama puluhan bahkan ratusan tahun.
- Kedaulatan lokal hilang, digantikan dengan ketergantungan penuh pada sistem kolonial VOC.
- Tercipta kultur takut dan tunduk sebagai bagian dari kontrol struktural kolonialisme Belanda.
Kekejaman yang Terorganisir dan Terencana
- Kekejaman sebagai kebijakan resmi:
VOC tidak sekadar melakukan kekerasan sebagai reaksi, tetapi menjadikannya alat utama kebijakan. Serangan ke Banda, Hongi Tochten, dan pembumihangusan bukan hasil tindakan liar perorangan, melainkan strategi yang dirancang dan dijalankan sistematis oleh pimpinan pusat (Heeren XVII) dan Gubernur Jenderal di Batavia. - Kapitalisme bersenjata:
VOC adalah perusahaan dagang dengan struktur militer. Keuntungan dan kekuasaan dijaga dengan senjata, bukan dengan diplomasi damai atau interaksi pasar terbuka. Ini menjadikan VOC sebagai prototipe dari korporasi kolonial modern, di mana motif profit berjalan beriringan dengan kekuatan koersif. - Penghancuran sistem sosial lokal:
Untuk menjaga monopoli, VOC membongkar sistem perdagangan tradisional, memaksa masyarakat untuk hanya bertani rempah dan menjual ke VOC. Kehidupan agraris subsisten diganti dengan produksi komoditas ekspor yang diawasi militer. Struktur sosial desa, hak milik, dan kedaulatan lokal dihancurkan. - Struktur kolonial bertingkat:
VOC menciptakan tatanan baru yang hierarkis dan represif:- Orang Eropa di puncak sebagai administrator dan pemilik modal,
- Orang Timur Asing (Cina, Arab, India) sebagai perantara ekonomi,
- Pribumi sebagai buruh, petani kontrak, atau tentara bayaran.
Kekejaman VOC adalah bagian dari sistem kolonial berbasis produksi, disiplin, dan dominasi struktural.
Dampak Jangka Panjang
a. Trauma Sosial dan Depopulasi
- Kepunahan nyaris total masyarakat Banda:
Setelah pembantaian tahun 1621, hampir seluruh penduduk asli Banda dibantai, diasingkan, atau diperbudak. Pulau-pulau yang dulunya padat dengan komunitas adat dan budaya lokal menjadi kawasan kosong yang diisi budak dari luar dan pemilik perkebunan Belanda. - Putusnya kesinambungan budaya dan sejarah lokal:
Dengan hilangnya penduduk asli, tradisi lisan, pengetahuan lokal tentang pertanian pala, dan sistem sosial lokal pun turut musnah. Pulau Banda menjadi contoh awal dari genosida kolonial yang menyapu bersih etnis dan budaya setempat demi kepentingan ekonomi. - Memori kolektif kekerasan:
Kekejaman VOC — termasuk pembakaran desa, Hongi Tochten, dan pembumihangusan — meninggalkan bekas luka psikologis dan sosial yang diturunkan turun-temurun. Masyarakat lokal belajar bahwa menolak kekuasaan kolonial berarti kehancuran total. Hal ini menciptakan budaya takut, penyerahan, dan kolaborasi paksa dalam struktur kolonial selanjutnya. - Depopulasi sebagai strategi imperial:
Pembunuhan massal dan pengusiran dipakai VOC sebagai cara untuk mengosongkan wilayah strategis dari “masalah”. Wilayah yang kosong secara demografis lebih mudah dikontrol, diatur ulang, dan dimasuki sistem ekonomi kolonial tanpa resistensi sosial yang kuat.
b. Ketergantungan Ekonomi dan Hancurnya Kemandirian Lokal
- Dari petani merdeka menjadi buruh kolonial:
Setelah wilayah-wilayah seperti Banda, Ambon, dan Seram dikuasai VOC, masyarakat lokal tidak lagi memiliki hak atas hasil kebun rempah mereka sendiri. Mereka dipaksa bekerja di bawah sistem perken (perkebunan) milik Belanda atau tunduk pada pengawasan VOC. Petani kehilangan posisi sebagai produsen mandiri, dan berubah menjadi buruh upahan atau pekerja paksa. - Sistem monopoli yang memiskinkan:
VOC membeli rempah dari petani lokal dengan harga yang ditentukan sepihak, lalu menjualnya di pasar internasional dengan harga berkali lipat. Skema ini menciptakan ketimpangan ekstrem: rakyat penghasil rempah tetap miskin, sementara pemegang saham VOC meraih dividen besar. Ini adalah bentuk eksploitasi ekonomi sistemik. - Hancurnya ekonomi subsistensi:
Dalam banyak kasus, petani dilarang menanam tanaman pangan demi memenuhi kuota tanam rempah seperti cengkeh dan pala. Akibatnya, terjadi kelaparan dan ketergantungan pada suplai makanan dari luar, yang juga dikendalikan oleh VOC. Hal ini melemahkan struktur kemandirian pangan dan ekonomi lokal. - Ketergantungan struktural pada VOC:
VOC tidak hanya memonopoli hasil bumi, tapi juga mengontrol pelabuhan, distribusi barang, dan sistem barter lokal. Masyarakat tidak punya alternatif selain berinteraksi dengan VOC untuk kebutuhan sehari-hari, menjadikan mereka terperangkap dalam sistem kolonial tanpa jalan keluar ekonomi.
c. Cikal Bakal Sistem Kolonial Hindia Belanda
- Warisan struktur kekuasaan koersif VOC:
VOC tidak hanya membangun monopoli dagang, tetapi juga menciptakan sistem kekuasaan kolonial yang menyatukan militer, birokrasi, dan ekonomi dalam satu kendali. Ketika VOC bubar pada 1799, struktur ini tidak dihancurkan, melainkan diwarisi oleh negara Belanda dan menjadi cikal bakal kolonialisme resmi Hindia Belanda. - Replikasi praktik kekerasan sistemik:
Praktik seperti kerja paksa, pembumihangusan, dan represi bersenjata yang diterapkan VOC di Maluku, Banda, dan Makassar, menjadi model yang diadaptasi dalam kebijakan tanam paksa (Cultuurstelsel), sistem kerja rodi, serta pembentukan aparat sipil kolonial pada abad ke-19. - Normalisasi pemisahan kelas dan kontrol politik lokal:
VOC memperkenalkan model stratifikasi sosial kolonial: Eropa di puncak, “Timur Asing” (Cina, Arab, India) di tengah, dan Pribumi di bawah. Struktur ini dilanjutkan oleh Hindia Belanda, lengkap dengan sistem birokrasi yang memanfaatkan priyayi lokal sebagai perpanjangan tangan kekuasaan kolonial. - Pendudukan wilayah dan kontrol administratif:
Batavia (yang dibangun VOC) tetap menjadi pusat kendali kolonial. Jejak penguasaan VOC atas pelabuhan, daerah penghasil rempah, dan rute dagang utama menjadi dasar bagi pengintegrasian wilayah Nusantara ke dalam koloni Hindia Belanda. - Dari kongsi dagang ke negara penjajah:
VOC membuktikan bahwa korporasi bersenjata dapat menjalankan fungsi kolonial. Ketika Belanda mengambil alih, VOC berubah wujud menjadi bentuk kolonialisme negara — dengan struktur lebih rapi, tetapi tetap berdasar pada eksploitasi ekonomi dan kekerasan sistematis.
Kekerasan yang dijalankan VOC di Nusantara bukan sekadar tindakan militer atau pembalasan dagang; ia adalah bagian dari sebuah arsitektur kolonial yang terencana dan terukur. Dari Hongi Tochten yang membakar swasembada rakyat, pembantaian Banda yang memusnahkan satu peradaban pulau, hingga pembumihangusan desa dan ladang di Maluku, semua menunjukkan bahwa VOC tidak hanya menguasai komoditas, tetapi juga memusnahkan pilihan.
Namun, kolonialisme tidak hanya beroperasi dengan meriam dan kapal dagang. Setelah kekerasan fisik membentuk ketakutan, VOC mulai menjalankan senjata yang lebih licin namun tak kalah mematikan: politik devide et impera. Strategi adu domba, manipulasi konflik internal, dan dukungan kepada faksi-faksi tertentu dalam perebutan kekuasaan menjadi pilar baru kekuasaan kolonial. Di titik inilah, kekuasaan VOC tidak lagi bergantung hanya pada kekuatan senjata, tapi pada kemampuannya meretas solidaritas lokal dan membajak sistem politik kerajaan-kerajaan pribumi dari dalam.
Maka, untuk memahami kesinambungan kolonialisme korporat ini, kita perlu menelusuri bagaimana VOC memproduksi konflik, mengelola perpecahan, dan membangun kekuasaan di atas reruntuhan kesatuan lokal. Inilah yang akan kita telaah dalam bagian selanjutnya: “Politik Devide et Impera & Rekayasa Konflik di Nusantara”.