Sejak kedatangannya di Nusantara pada awal abad ke-17, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) tidak serta-merta menjalankan kekuasaan kolonial secara langsung melalui penaklukan militer frontal. Sebaliknya, strategi yang digunakan lebih canggih dan sistematis, yakni melalui politik koalisi dan intervensi ke dalam struktur kekuasaan lokal. Dalam konteks ini, kekuatan kolonial memanfaatkan konflik internal, perebutan takhta, dan diplomasi asimetris untuk mendapatkan pengaruh dan kontrol atas wilayah strategis.
Pendekatan ini tampak jelas dalam hubungan VOC dengan tiga kerajaan besar di Nusantara:
- Mataram di Jawa Tengah, yang semula menjadi penantang utama kekuasaan VOC dan akhirnya dikendalikan melalui perjanjian dan intervensi politik internal.
- Banten di Jawa Barat, kerajaan dagang maritim yang ditaklukkan lewat rekayasa konflik keluarga kerajaan.
- Makassar di Sulawesi Selatan, pusat perdagangan bebas yang ditundukkan melalui aliansi militer dengan musuh internal kerajaan.
Melalui kasus-kasus ini, tulisan ini akan membedah bagaimana VOC mempraktikkan strategi pecah belah (devide et impera), membentuk aliansi pragmatis dengan faksi lokal, dan akhirnya menundukkan kekuasaan raja-raja Nusantara. Tujuan utamanya bukan hanya penguasaan politik, tetapi juga konsolidasi kendali dagang, monopoli komoditas, dan dominasi atas jalur pelayaran strategis.
Dengan menelusuri politik koalisi dan intervensi ini, kita dapat memahami bahwa kolonialisme tidak selalu hadir dalam bentuk penjajahan terbuka, tetapi sering kali bermula dari manipulasi kekuasaan lokal yang secara bertahap menghancurkan kedaulatan kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara.
Konteks Umum Politik Koalisi Kolonial
a. Devide et impera: Strategi Pecah Belah dan Aliansi Pragmatis
Strategi devide et impera (pecah belah dan kuasai) merupakan inti dari kebijakan politik VOC dalam berinteraksi dengan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara. Prinsip ini dijalankan dengan sengaja menciptakan, memperbesar, atau memanfaatkan konflik internal dalam suatu kerajaan—baik konflik perebutan takhta, persaingan antarkelompok bangsawan, maupun ketegangan antara pusat dan daerah.
Alih-alih menaklukkan musuh secara langsung, VOC memilih untuk berpihak kepada faksi yang lebih lemah namun bersedia tunduk atau bekerja sama, lalu membantu mereka untuk mengalahkan faksi yang lebih kuat atau lebih anti-kolonial. Setelah faksi pro-VOC menang, VOC kemudian menuntut konsesi-konsesi politik dan ekonomi, seperti:
- monopoli perdagangan,
- hak mendirikan benteng,
- hak campur tangan dalam suksesi,
- dan pengakuan atas kekuasaan VOC secara de facto di wilayah tersebut.
Contoh konkret strategi ini:
- Di Banten, VOC memihak Pangeran Purbaya dalam konflik keluarga melawan Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikenal anti-VOC.
- Di Makassar, VOC memanfaatkan persekutuan dengan Arung Palakka, seorang bangsawan Bugis yang diasingkan oleh kerajaan Gowa, untuk menjatuhkan kekuasaan Sultan Hasanuddin.
- Di Mataram, VOC masuk ke dalam pusaran konflik internal istana dan secara bertahap mengubah kerajaan besar tersebut menjadi subordinat VOC melalui perjanjian-perjanjian sepihak.
Devide et impera menjadi sangat efektif karena:
- Banyak kerajaan di Nusantara yang mengalami konflik internal akibat perebutan kekuasaan atau perbedaan faksi politik.
- VOC membawa daya tawar dalam bentuk senjata, logistik, dan pengaruh dagang.
- Ketergantungan kerajaan lokal terhadap VOC makin meningkat setelah konflik diselesaikan dengan bantuan militer VOC.
Dengan demikian, VOC tidak sekadar menaklukkan dari luar, tetapi merusak dari dalam. Politik koalisi ini menciptakan bentuk kolonialisme baru yang tidak langsung terlihat secara militeristik, tetapi menghancurkan kedaulatan dan integritas kekuasaan lokal secara sistemik.
b. Diplomasi Kontrak dan Monopoli Dagang
Selain menggunakan taktik devide et impera, VOC juga mempraktikkan bentuk kolonialisme yang dibungkus dalam kerangka diplomatik: perjanjian resmi antara VOC dan kerajaan lokal. Namun, perjanjian-perjanjian ini bersifat tidak setara, karena disusun untuk semaksimal mungkin menguntungkan pihak Belanda. Diplomasi kontrak menjadi alat legalistik VOC untuk:
- Memperluas kendali ekonomi,
- Melegitimasi kehadiran militer dan administratifnya,
- Mengikat kerajaan lokal secara struktural dalam sistem dagang VOC.
Karakteristik umum dari kontrak diplomatik VOC:
- Monopoli Dagang Eksklusif
VOC mendapatkan hak sebagai satu-satunya pembeli hasil bumi utama kerajaan (seperti beras, rempah-rempah, atau emas). Raja atau penguasa dilarang keras berdagang dengan pihak lain—termasuk pedagang Cina, Arab, dan bahkan rakyat sendiri—di luar perantara VOC. - Konsesi Wilayah dan Pelabuhan
Raja sering dipaksa memberikan kendali atas pelabuhan penting atau daerah penghasil komoditas kepada VOC. Contohnya:- Pelabuhan Gresik dan Jepara yang menjadi bagian dari kendali VOC setelah intervensi di Mataram.
- Pelabuhan Makassar ditutup untuk pedagang bebas setelah jatuh ke tangan VOC.
- Klausa Hak Istimewa VOC
Kontrak sering mencantumkan pasal yang memberikan VOC hak:- membangun benteng dan loji dagang,
- memungut pajak di wilayah tertentu,
- menempatkan residen atau pengawas VOC di istana,
- atau bahkan campur tangan dalam pengangkatan pejabat kerajaan.
- Sanksi Berat untuk Pelanggaran
Jika kerajaan lokal melanggar kontrak atau berdagang di luar jalur VOC, maka konsekuensinya bisa sangat berat: embargo ekonomi, serangan militer, hingga penggulingan pemimpin.
Contoh nyata:
- Perjanjian antara VOC dan Kesultanan Banten (1684) mengakhiri kedaulatan penuh Banten. VOC memperoleh hak untuk mendirikan benteng dan mengendalikan semua perdagangan internasional di pelabuhan.
- Perjanjian Bongaya (1667) antara VOC dan Kerajaan Gowa setelah Perang Makassar memaksa Sultan Hasanuddin menyerahkan pelabuhan-pelabuhan penting, menghancurkan kekuatan armada niaga Makassar.
Dengan diplomasi kontrak ini, VOC secara perlahan tetapi pasti menggembosi kemandirian ekonomi dan politik kerajaan lokal, menjadikannya negara-boneka ekonomi yang tak mampu mengatur perdagangannya sendiri. Pendekatan ini lebih efisien daripada pendudukan militer langsung, dan menjadi fondasi sistem kolonial yang bertahan hingga era Hindia Belanda.
c. Intervensi Militer sebagai Jalan Terakhir
Ketika diplomasi dan kontrak gagal mencapai hasil yang diinginkan, VOC tidak segan-segan menggunakan kekuatan militer secara langsung. Namun, intervensi ini bukan tindakan pertama, melainkan opsi terakhir yang dilaksanakan setelah proses:
- pemecahbelahan internal,
- sabotase ekonomi,
- dan isolasi diplomatik dilakukan terlebih dahulu.
Intervensi militer VOC memiliki ciri khas:
- Cepat, terencana, dan bertujuan menghancurkan pusat kekuatan lawan.
- Didukung oleh pasukan lokal sekutu (Ambon, Bugis, Bali) yang membuat operasi lebih mudah di berbagai medan.
- Dilanjutkan dengan perjanjian damai yang menguntungkan VOC secara sepihak.
Beberapa contoh penting:
1. Perang Makassar (1666–1669)
- Sultan Hasanuddin dari Gowa menolak monopoli dagang VOC dan tetap membuka pelabuhan untuk semua pedagang asing.
- VOC melancarkan ekspedisi militer besar dipimpin Cornelis Speelman, dengan dukungan pasukan Arung Palakka (Bone).
- Setelah Gowa dikalahkan, VOC memaksakan Perjanjian Bongaya (1667) yang menghancurkan kedaulatan Gowa dan mematikan jalur perdagangan bebas Makassar.
2. Serangan terhadap Banten (1680–1684)
- Sultan Ageng Tirtayasa menolak dominasi VOC dan mendukung perdagangan bebas.
- VOC memihak putranya, Sultan Haji, dalam perang saudara.
- Setelah Sultan Ageng ditangkap, Banten dijadikan wilayah protektorat VOC dengan hak eksklusif perdagangan dan kehadiran militer tetap.
3. Intervensi di Mataram (1749)
- VOC ikut campur dalam konflik suksesi antara putra-putra Amangkurat II dan elit bangsawan Jawa.
- Intervensi militer dilakukan secara halus melalui pengiriman pasukan bantuan dan pengamanan loji.
- Akhirnya VOC berhasil memaksakan penyerahan kedaulatan politik dari Sunan Mataram ke VOC secara simbolik (peristiwa 1749 di Imogiri), yang menjadi dasar berdirinya Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta sebagai kerajaan vasal.
Dengan strategi ini, VOC membentuk zona pengaruh militer yang luas, tanpa harus secara penuh menguasai seluruh wilayah secara administratif. Taktik ini memperkuat peran VOC sebagai kekuatan kolonial yang:
- efisien secara biaya,
- memanfaatkan konflik internal lokal,
- dan menciptakan struktur kekuasaan yang tergantung pada dominasi VOC.
Intervensi militer bukan hanya alat kekerasan, tetapi bagian dari rekayasa politik jangka panjang untuk membentuk lanskap kerajaan-kerajaan lokal yang terfragmentasi dan mudah dikendalikan dari Batavia.
3. Kasus Mataram: Dari Rivalitas ke Subordinasi
a. Hubungan Awal VOC–Mataram (Abad ke-17)
Pada awal abad ke-17, Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung merupakan kekuatan politik dan militer terbesar di Jawa. VOC yang mulai menguat posisinya di Batavia dianggap sebagai ancaman langsung terhadap ekspansi dan ambisi Mataram untuk menyatukan seluruh Jawa.
Ciri utama hubungan awal:
- Penuh kecurigaan dan saling waspada.
- Sultan Agung menolak kerjasama dengan VOC dan memilih jalur konfrontatif.
- VOC memandang Mataram sebagai potensi ancaman terhadap pelabuhan dagangnya di pesisir utara.
Konflik utama:
- Penyerangan Mataram ke Batavia (1628 dan 1629):
- Dua kali serangan besar-besaran dilancarkan oleh Sultan Agung untuk merebut Batavia.
- Meskipun sempat mengepung, Mataram gagal karena logistik dan pertahanan benteng VOC yang kuat.
- Kegagalan ini menandai batas kekuatan militer Mataram dan awal posisi bertahan VOC.
- Setelah Sultan Agung wafat (1645):
- Kepemimpinan Mataram melemah dan VOC mulai masuk ke dalam konflik internal istana.
- Muncul pendekatan diplomatik dari VOC, disertai tekanan ekonomi terhadap kerajaan.
Secara keseluruhan, hubungan awal ini ditandai oleh:
- Sikap anti-kolonial aktif dari Sultan Agung.
- Upaya Mataram mempertahankan kedaulatan dan supremasi politik atas Jawa.
- VOC tetap bertahan di pesisir, namun belum mampu menundukkan Mataram secara langsung.
Tahap ini penting sebagai latar transisi menuju fase berikutnya: intervensi politik VOC di dalam dinasti Mataram dan perubahan karakter kerajaan menjadi lebih bergantung pada kekuasaan kolonial.
b. Perang Mataram–VOC dan Kegagalan Ekspansi ke Batavia
Konflik antara Kesultanan Mataram dan VOC mencapai puncaknya saat Sultan Agung melancarkan dua kali serangan besar ke Batavia, pusat kekuasaan VOC di Jawa, pada tahun 1628 dan 1629. Perang ini mencerminkan rivalitas antara kekuatan maritim kolonial dengan kekuatan agraris lokal yang bercita-cita menyatukan pulau Jawa.
1. Latar Belakang Serangan
- VOC membangun kekuatan di Batavia sejak 1619, yang dianggap mengancam hegemoni Mataram atas pantai utara Jawa.
- Sultan Agung melihat VOC sebagai penghalang ambisinya menyatukan seluruh Jawa di bawah Mataram.
- Sebelum menyerang Batavia, Mataram telah menaklukkan hampir seluruh wilayah pesisir Jawa seperti Tuban, Surabaya, dan Madura.
2. Serangan Pertama (1628)
- Dipimpin oleh Tumenggung Bahureksa (Adipati Kendal).
- Logistik dan pasokan pangan menjadi masalah utama; serangan gagal akibat kelaparan dan kesulitan suplai.
- VOC memanfaatkan kanal dan sistem pertahanan benteng dengan efektif.
- Serangan gagal total; Bahureksa gugur di medan perang.
3. Serangan Kedua (1629)
- Kali ini pasukan dipimpin oleh Tumenggung Sura Agul-Agul.
- Mataram mengubah strategi dengan menghancurkan lumbung pangan VOC di Karawang dan Bekasi terlebih dahulu.
- Namun VOC sudah memperkuat pertahanan dan memiliki suplai dari laut.
- Serangan kembali gagal dan Sura Agul-Agul terbunuh.
4. Dampak Kegagalan
- VOC mempertahankan Batavia dan semakin memperkuat militernya di Jawa.
- Ambisi Sultan Agung menyatukan Jawa dengan kekuatan militer terganjal secara permanen.
- VOC membangun benteng-benteng pertahanan tambahan dan memperkuat armada lautnya di sekitar Batavia.
- Dari titik ini, VOC mulai memosisikan diri sebagai kekuatan politik yang tak bisa diabaikan di Jawa.
Perang Mataram–VOC memperlihatkan batas kemampuan kerajaan agraris melawan kekuatan maritim modern dengan teknologi militer dan logistik unggul. Kegagalan ini menjadi titik balik yang membuka jalan bagi strategi koalisi dan intervensi VOC di kemudian hari, terutama setelah wafatnya Sultan Agung dan melemahnya kepemimpinan Mataram.
c. Intervensi dalam Politik Suksesi Pasca Sultan Agung
Setelah wafatnya Sultan Agung pada tahun 1645, Kesultanan Mataram mengalami masa krisis politik yang berkepanjangan, ditandai oleh ketidakstabilan internal dan melemahnya otoritas raja. VOC memanfaatkan situasi ini untuk memperluas pengaruhnya di Jawa dengan intervensi langsung dalam politik suksesi, terutama pada masa pemerintahan Amangkurat I dan Amangkurat II.
1. Ketegangan dan Kekacauan di Masa Amangkurat I
- Amangkurat I, putra Sultan Agung, dikenal otoriter dan tidak sepopuler ayahnya.
- Banyak bangsawan dan ulama dibunuh, menciptakan dendam politik dalam kalangan elit dan rakyat.
- Ketidakpuasan ini akhirnya memunculkan pemberontakan besar Trunajaya pada tahun 1674, yang mengguncang pusat kekuasaan Mataram.
2. Pemberontakan Trunajaya (1674–1680)
- Dipimpin oleh Trunajaya dari Madura, yang mendapat dukungan luas dari para bangsawan pemberontak dan pasukan Bugis.
- Pada puncaknya, Trunajaya berhasil menaklukkan Plered (ibu kota Mataram) dan mengusir Amangkurat I, yang kemudian wafat dalam pelarian.
- Putranya, Amangkurat II, naik takhta dalam keadaan genting dan tidak memiliki kekuatan militer memadai.
3. Koalisi Amangkurat II dan VOC
- Amangkurat II meminta bantuan militer kepada VOC untuk merebut kembali takhta.
- VOC melihat peluang emas untuk menanamkan pengaruh lebih dalam di Mataram.
- Sebagai imbalan atas bantuannya, VOC menuntut berbagai konsesi politik dan ekonomi, termasuk wilayah, monopoli dagang, dan hak legal tertentu.
4. Perjanjian Jepara (1677)
- Ditandatangani oleh Amangkurat II dan VOC sebagai syarat bantuan.
- Isi penting:
- Mataram menyerahkan Jepara dan wilayah pesisir utara lainnya ke VOC.
- VOC berhak memungut pajak dan menetapkan pejabat tertentu.
- VOC menjadi pelindung politik resmi terhadap istana Mataram.
5. Dampak Strategis
- Amangkurat II berhasil merebut kembali kendali atas istana dengan bantuan VOC.
- Namun, kedaulatan Mataram terkikis tajam, karena ketergantungan pada VOC semakin meningkat.
- Setelahnya, Mataram secara bertahap berubah menjadi vasal politik Belanda.
Intervensi VOC dalam suksesi pasca-Sultan Agung menunjukkan strategi klasik kolonial: masuk melalui konflik internal dan mengunci elite lokal dalam perjanjian tak setara. Perjanjian Jepara (1677) menjadi tonggak penting dimulainya subordinasi Mataram di bawah kekuasaan VOC, dan menjadi model bagi intervensi serupa di kerajaan-kerajaan lain seperti Banten dan Makassar.
d. Fragmentasi dan Subordinasi Mataram
Setelah intervensi VOC dalam konflik suksesi di Mataram pada akhir abad ke-17, kekuasaan politik kerajaan tersebut tidak hanya semakin tergantung, tetapi juga terpecah secara struktural. Proses ini berlangsung melalui serangkaian perjanjian, tekanan politik, dan rekayasa konflik internal yang disengaja oleh VOC demi melemahkan kekuatan pusat dan menguatkan dominasi kolonial.
1. Krisis Internal dan Munculnya Fragmentasi
- Sepeninggal Amangkurat II dan penerusnya, istana Mataram terus dilanda perselisihan antara pewaris takhta dan bangsawan daerah.
- VOC secara aktif mengambil peran dalam menengahi dan memfasilitasi pemecahan wilayah dengan dalih menjaga stabilitas, padahal bertujuan menciptakan politik devide et impera permanen.
2. Perjanjian Giyanti (1755): Awal Pemecahan
- Setelah Perang Suksesi Jawa III (1746–1755), yang melibatkan pemberontakan Pangeran Mangkubumi, VOC menjadi penentu dalam penyelesaian konflik.
- Isi utama perjanjian:
- Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua:
- Kasunanan Surakarta (sisa istana resmi Mataram).
- Kesultanan Yogyakarta (dipimpin oleh Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono I).
- Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua:
- VOC diakui sebagai penengah dan pelindung kedua kerajaan, memperkuat legitimasi kekuasaannya.
3. Perjanjian Salatiga (1757): Fragmentasi Lanjutan
- Menyusul konflik internal di Yogyakarta dan ketidakpuasan Pangeran Raden Mas Said (Mangkunegara I), lahirlah:
- Kadipaten Mangkunegaran sebagai entitas semi-merdeka di bawah pengawasan VOC.
- Wilayah Kesultanan Yogyakarta semakin mengecil, dan pengaruh VOC makin dalam di lingkungan kraton.
4. Kadipaten Pakualaman (1812)
- Dibentuk oleh Inggris (Raffles) setelah pemberontakan terhadap Sultan Hamengkubuwono II.
- Setelah Belanda kembali berkuasa (1816), Pakualaman tetap diakui, melengkapi fragmentasi Mataram menjadi empat entitas utama:
- Kasunanan Surakarta
- Kesultanan Yogyakarta
- Mangkunegaran
- Pakualaman
5. Sistem Subordinasi Politik
- Keempat entitas ini tidak memiliki kedaulatan penuh.
- Segala urusan luar negeri, perdagangan, dan keamanan berada di bawah kontrol VOC (kemudian Hindia Belanda).
- Raja dan adipati menjadi “penguasa simbolik”, sementara kekuasaan administratif dan militer dijalankan pejabat kolonial.
Fragmentasi Mataram bukan sekadar hasil konflik internal, melainkan strategi sistematis VOC untuk menghancurkan potensi perlawanan pusat dan menciptakan struktur kekuasaan feodal kolaboratif. Semua entitas hasil pemecahan berada di bawah pengawasan kolonial, menjadikan Jawa Tengah sebagai laboratorium politik kolonial berbasis “koalisi terkontrol” yang berfungsi hingga masa Hindia Belanda.
Kasus Banten: Kerajaan Dagang yang Dibelah
a. Banten sebagai Saingan Utama VOC di Jalur Dagang Barat Jawa
Kerajaan Banten pada abad ke-17 merupakan salah satu pelabuhan terpenting di Asia Tenggara, dengan posisi strategis di ujung barat Pulau Jawa. Kota pelabuhannya menjadi simpul perdagangan internasional yang ramai, menghubungkan pedagang dari Arab, Persia, India, Tiongkok, hingga Eropa.
Ciri utama Banten sebagai kekuatan dagang:
- Pelabuhan terbuka yang tidak mengenal sistem monopoli.
- Pusat produksi lada dan hasil bumi lain dari pedalaman Banten.
- Memiliki mata uang sendiri, mencetak koin sebagai simbol kedaulatan.
- Toleransi agama tinggi, menarik komunitas multietnis seperti Tionghoa, Gujarat, dan Hadramaut.
Konflik dengan VOC:
- VOC melihat Banten sebagai penghalang utama monopoli rempah dan jalur pelayaran barat ke Batavia.
- VOC tidak dapat memaksakan monopoli karena Banten menjual lada ke pedagang Inggris dan swasta lainnya.
- Ketegangan meningkat ketika Sultan Ageng Tirtayasa memperkuat armada laut dan pelabuhan untuk menyaingi VOC.
b. Konflik Internal: Sultan Ageng vs Sultan Haji
Konflik puncak antara Kerajaan Banten dan VOC terjadi bukan melalui invasi langsung, melainkan rekayasa politik internal. Sultan Ageng Tirtayasa, yang dikenal anti-VOC dan pro-kemandirian ekonomi, berseberangan pandangan dengan putranya sendiri, Pangeran Haji, yang lebih terbuka terhadap kompromi dengan Belanda.
Fase Konflik dan Intervensi:
- Sultan Ageng menolak keras monopoli VOC dan memperkuat pertahanan laut Banten.
- Pangeran Haji meminta bantuan VOC untuk merebut kekuasaan dari ayahnya.
- VOC memanfaatkan perpecahan ini dan mengirim pasukan untuk mendukung Sultan Haji dalam perang saudara yang meletus pada awal 1680-an.
Dampak Langsung:
- Sultan Ageng dikalahkan dan ditangkap (1683), lalu ditahan di Batavia hingga wafat.
- VOC menandatangani kontrak dagang monopoli dengan Sultan Haji yang baru naik takhta.
- Banten dipaksa:
- Menyerahkan benteng dan senjata.
- Menutup pelabuhan untuk pedagang non-VOC.
- Mengakui kekuasaan VOC sebagai mitra utama (dan pengawas).
Konflik ini menjadi model kolonial “pecah belah dan kuasai” yang sukses menghancurkan kedaulatan sebuah kerajaan besar tanpa perang besar-besaran melawan rakyat secara langsung.
c. Penandatanganan Kontrak Monopoli dan Pelemahan Kedaulatan
Setelah kemenangan Sultan Haji atas Sultan Ageng berkat bantuan militer VOC, Banten secara resmi masuk ke dalam jeratan kekuasaan kolonial melalui kontrak-kontrak tidak setara yang disusun oleh VOC.
Isi dan Konsekuensi Perjanjian:
- Hak monopoli VOC atas seluruh perdagangan ekspor-impor dari pelabuhan Banten, khususnya lada dan rempah-rempah.
- Larangan bagi Banten untuk berdagang langsung dengan bangsa Eropa lain seperti Inggris, Prancis, atau Denmark.
- Keharusan mengakui VOC sebagai mitra utama dan penyokong kekuasaan kerajaan, menjadikan Banten secara de facto berada dalam sistem protektorat.
Pelemahan Kedaulatan Banten:
- Pelabuhan internasional Banten ditutup bagi pedagang non-VOC, menyebabkan penurunan drastis dalam pemasukan kerajaan.
- Benteng-benteng pertahanan Banten dilucuti, dan VOC menempatkan garnisun sebagai simbol dominasi militer.
- Raja menjadi simbolik, sementara keputusan penting di bidang ekonomi dan luar negeri dikendalikan dari Batavia.
Akibat perjanjian ini, Banten—yang dahulu menjadi pelabuhan dagang terbuka dan kosmopolitan—berubah menjadi wilayah bayangan di bawah kendali VOC, menandai berakhirnya masa kejayaan Banten sebagai pusat maritim Nusantara.
Kasus Makassar: Penaklukan Langsung oleh VOC
a. Makassar sebagai Pelabuhan Bebas dan Pusat Kekuatan Maritim
Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar berkembang pesat pada abad ke-17 sebagai pelabuhan internasional bebas yang menerima pedagang dari berbagai bangsa—termasuk Inggris, Portugis, Melayu, dan pelaut pribumi dari seluruh Nusantara.
Karakteristik Makassar Sebelum Penaklukan:
- Politik terbuka terhadap semua bangsa, menolak monopoli dagang dan intervensi VOC.
- Perlindungan terhadap pedagang bebas dan pelaut anti-VOC, termasuk orang Banda yang melarikan diri dari kekerasan Belanda.
- Kekuatan militer laut yang kuat, dengan armada kapal yang aktif di jalur dagang Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
- Pemimpin yang karismatik, seperti Sultan Hasanuddin, menolak segala bentuk kontrak monopoli VOC.
VOC Menganggap Makassar Ancaman Strategis:
- VOC tidak bisa menerapkan monopoli rempah secara penuh selama Makassar menjadi “pelabuhan pelarian”.
- Makassar menjadi pesaing langsung Batavia dalam perdagangan internasional di timur Nusantara.
b. Konfrontasi VOC vs Sultan Hasanuddin
Perang Makassar (1666–1669) adalah salah satu konflik besar antara kekuatan lokal maritim dan kolonialisme VOC. VOC menganggap Makassar sebagai hambatan utama dalam upaya mereka memonopoli perdagangan rempah di timur Nusantara.
1. Awal Konfrontasi
- VOC berusaha memaksa Kerajaan Gowa menandatangani perjanjian monopoli dagang, tetapi ditolak keras oleh Sultan Hasanuddin.
- Hasanuddin bersikeras mempertahankan prinsip pelabuhan bebas dan melindungi pedagang dari luar, termasuk Inggris dan pribumi anti-Belanda.
- Ketegangan meningkat ketika VOC mulai melakukan blokade laut di sekitar pelabuhan Makassar.
2. Ekspedisi Militer VOC
- Pada tahun 1666, VOC mengirimkan ekspedisi besar ke Sulawesi di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman.
- VOC merekrut pasukan dari Ambon, Batavia, dan bahkan memanggil sekutu lokal dari Bone, yakni Arung Palakka, musuh bebuyutan Sultan Hasanuddin yang sebelumnya melarikan diri ke Batavia.
3. Perang Besar Makassar (1666–1669)
- Pertempuran berlangsung sengit, terutama di sekitar benteng Somba Opu.
- Hasanuddin memimpin perlawanan dengan gagah berani, tetapi harus menghadapi koalisi VOC–Bone yang memiliki senjata dan armada laut yang lebih unggul.
- Pada 1669, Benteng Somba Opu jatuh ke tangan VOC. Sultan Hasanuddin terpaksa menandatangani Perjanjian Bongaya, yang sangat merugikan pihak Gowa.
4. Isi dan Dampak Perjanjian Bongaya (1669)
- VOC memperoleh hak monopoli dagang di seluruh wilayah kekuasaan Gowa.
- Semua benteng di luar Makassar harus dihancurkan.
- Arung Palakka diangkat sebagai penguasa Bone dengan dukungan VOC.
- Makassar kehilangan statusnya sebagai pelabuhan bebas, dan VOC menempatkan garnisun militer permanen di sana.
5. Akhir Perlawanan dan Subordinasi
- Sultan Hasanuddin dijuluki “Ayam Jantan dari Timur” karena keberaniannya, namun dipaksa turun takhta pasca kekalahan.
- Makassar berubah dari pusat kekuatan maritim independen menjadi wilayah taklukan VOC, dan pintu masuk penting VOC ke bagian timur Indonesia.
c. Kekalahan Makassar dan Perjanjian Bongaya
1. Akhir Perang dan Penandatanganan Perjanjian
- Pada tahun 1669, setelah pertempuran sengit dan jatuhnya benteng utama Somba Opu, Sultan Hasanuddin terpaksa menyerah kepada VOC.
- Ia dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya, sebuah kesepakatan sepihak yang dirancang untuk memastikan dominasi penuh VOC atas Makassar dan perdagangan di wilayah timur Nusantara.
2. Isi Penting Perjanjian Bongaya
- VOC memperoleh hak eksklusif untuk berdagang di wilayah Kerajaan Gowa.
- Seluruh pelabuhan Makassar ditutup untuk pedagang asing non-VOC, termasuk Inggris dan pedagang Melayu.
- Benteng-benteng pertahanan Kerajaan Gowa di luar kota utama dihancurkan.
- Gowa diwajibkan mengakui kekuasaan Bone, sekutu VOC, sebagai kerajaan merdeka yang tidak lagi tunduk pada Makassar.
- Pasukan VOC ditempatkan permanen di Makassar untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian.
3. Dampak Langsung terhadap Makassar
- Kekuasaan politik Sultan Hasanuddin direduksi menjadi simbolik.
- Perdagangan bebas berakhir, dan Makassar sebagai pelabuhan terbuka internasional jatuh menjadi pos dagang di bawah kendali ketat VOC.
- Rakyat Makassar mengalami perubahan drastis dalam struktur ekonomi dan sosial, dari pelaut-pedagang merdeka menjadi buruh di bawah sistem monopoli kolonial.
4. Penurunan Status Strategis Makassar
- Setelah perjanjian ini, Makassar kehilangan peranannya sebagai pesaing utama Batavia, dan VOC semakin leluasa membangun hegemoni di kawasan timur Indonesia.
- Perjanjian Bongaya juga menjadi preseden kolonial dalam menggunakan koalisi elite lokal (seperti Arung Palakka) untuk menundukkan kerajaan kuat secara militer dan politik.
Politik Koalisi VOC: Manipulasi, Perpecahan, dan Intervensi Langsung
a. Pola Umum Operasi Politik VOC
VOC mengembangkan pola dominasi bertahap yang sangat efektif tanpa harus langsung menaklukkan wilayah secara militer besar-besaran. Skemanya bisa digambarkan sebagai berikut:
Diplomasi awal → Pecah belah elite lokal → Dukung faksi yang pro-VOC → Imbalan: perjanjian monopoli & konsesi → VOC kuasai pelabuhan & ekonomi → Dominasi politik
VOC menghindari perang besar bila bisa dicapai dengan biaya lebih murah melalui aliansi lokal. Ini terlihat dalam kasus:
- Mataram (dukungan kepada Amangkurat II),
- Banten (dukungan kepada Sultan Haji),
- Makassar (koalisi dengan Arung Palakka melawan Hasanuddin).
b. Devide et Impera (Pecah Belah dan Kuasai)
- VOC mendukung pihak minoritas atau faksi lemah dalam konflik internal kerajaan untuk menciptakan ketergantungan.
- Setelah kemenangan, pihak yang menang harus membayar utang politik dan militer melalui kontrak-kontrak berat.
- Strategi ini mencegah lahirnya kekuatan besar regional, menjaga VOC tetap sebagai pemain dominan tunggal.
c. Perjanjian Tidak Setara dan Konsesi Sepihak
- Kontrak monopoli dagang: raja hanya boleh menjual hasil bumi ke VOC dengan harga yang ditentukan VOC.
- Konsesi pelabuhan dan benteng: VOC mendapat hak membangun loji dan benteng di wilayah strategis.
- Beberapa kerajaan dipaksa menyerahkan kedaulatan fiskal dan teritorial sebagai kompensasi bantuan VOC.
d. Kontrol Politik Bertahap
- Setelah perjanjian, VOC menempatkan residen, pejabat dagang, dan garnisun di pusat-pusat kekuasaan lokal.
- Raja atau sultan hanya menjadi boneka simbolik, sementara VOC mengendalikan pajak, hukum, dan perdagangan.
- Hegemoni informal berubah menjadi dominasi struktural.
e. Keuntungan VOC dari Strategi Ini
- Biaya perang rendah, tetapi hasilnya permanen.
- Menghindari konfrontasi langsung yang bisa memicu perlawanan rakyat besar-besaran.
- Menundukkan kerajaan dari dalam melalui elite, bukan melalui pendudukan paksa.
Berikut penjabaran detail untuk bagian:
Dampak Jangka Panjang
a. Disintegrasi Kerajaan Besar
Strategi koalisi dan intervensi VOC menyebabkan hancurnya kedaulatan penuh kerajaan-kerajaan lokal. Dampaknya terlihat dalam:
- Mataram: Kerajaan agraris terbesar di Jawa yang semula memiliki ambisi menyatukan seluruh Jawa, akhirnya terpecah menjadi:
- Kasunanan Surakarta (1745)
- Kesultanan Yogyakarta (1755)
- Kadipaten Mangkunegaran (1757)
- Kadipaten Pakualaman (1812)
Semua entitas ini dibentuk dalam konteks intervensi dan rekayasa politik kolonial, bukan atas kehendak alami rakyat Mataram.
- Banten: Setelah konflik antara Sultan Ageng dan Sultan Haji, kerajaan ini kehilangan otonominya. VOC menguasai:
- Pelabuhan dan perdagangan
- Hak politik luar negeri
- Banten akhirnya jatuh menjadi wilayah administratif VOC, kehilangan posisi sebagai kerajaan dagang global.
- Makassar: Kerajaan maritim besar yang pernah menguasai jalur dagang bebas di timur Nusantara:
- Setelah Perjanjian Bongaya (1667), kekuatan armada Makassar dibubarkan.
- Arung Palakka dan VOC menjadi penguasa efektif, memaksa kerajaan tunduk secara ekonomi dan politik.
Secara umum, ketiga kerajaan besar ini mengalami penurunan peran strategis, ekonomi, dan politik, serta dipaksa beroperasi dalam kerangka sistem kolonial yang dirancang VOC.
b. Integrasi ke Sistem Kolonial
Setelah melemah secara politik dan militer akibat koalisi dan intervensi VOC, kerajaan-kerajaan lokal secara bertahap diintegrasikan ke dalam struktur kolonial, dengan rincian sebagai berikut:
- Status simbolik tanpa kedaulatan
Kerajaan-kerajaan seperti Surakarta, Yogyakarta, dan Banten masih dibiarkan eksis secara simbolik, tetapi kekuasaan nyata berada di tangan VOC (kemudian Hindia Belanda).
Para raja hanya bertindak sebagai penguasa administratif, bukan sebagai pemegang otoritas penuh. - Kerajaan sebagai alat pengontrol rakyat
Pemerintahan kolonial menggunakan elite lokal (raja, bupati, priyayi) sebagai perpanjangan tangan kekuasaan kolonial untuk:- Memungut pajak
- Mengatur kerja paksa atau tanam paksa
- Menekan potensi pemberontakan
- Penerapan sistem birokrasi kolonial
Setelah VOC dibubarkan dan digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda (1816), kerajaan-kerajaan ini:- Dimasukkan dalam struktur karesidenan dan afdeling
- Diatur oleh residen Belanda sebagai pejabat tertinggi
- Raja menjadi penguasa tradisional yang tunduk pada sistem hukum kolonial
- Kontrak politik sebagai dasar subordinasi
Perjanjian-perjanjian seperti:- Perjanjian Jepara (1677 – Mataram)
- Perjanjian Bongaya (1667 – Makassar)
- Perjanjian Sultan Haji (1683 – Banten)
menjadi dasar hukum kolonial untuk mengontrol wilayah dan membatasi gerak politik para raja.
- Dampak jangka panjang:
Model ini melahirkan sistem “dual authority” (kekuasaan kolonial dan kekuasaan adat), yang:- Merusak sistem politik lokal tradisional
- Membuat masyarakat terbiasa dengan pemerintahan luar (asing) yang memanipulasi kekuasaan lokal
c. Lahirnya Elite Lokal Kolaborator
Salah satu dampak paling berkelanjutan dari strategi koalisi dan intervensi VOC adalah terbentuknya kelas elite lokal kolaborator, yang memiliki peran besar dalam memperkuat dominasi kolonial. Beberapa poin penting terkait hal ini:
- Transformasi peran priyayi dan bangsawan lokal
- Kelas priyayi yang dahulu merupakan bagian dari sistem kekuasaan kerajaan kini diintegrasikan ke dalam birokrasi kolonial, menjadi pejabat rendahan (asisten residen, wedana, mantri, dll).
- Mereka tetap diberi gelar dan privilese sosial, tetapi tunduk pada perintah penguasa kolonial.
- Penguasa lokal sebagai administrator kolonial
- Raja, sultan, atau adipati tetap memerintah secara nominal, tetapi bertindak sebagai bupati bawahan pemerintah kolonial.
- Hal ini terlihat di Jawa (Kasunanan dan Kesultanan), Sumatra (Kesultanan Langkat, Deli), dan Sulawesi.
- Pendidikan sebagai alat pembentukan loyalis
- Sistem pendidikan kolonial (seperti Hollandsch-Inlandsche School / HIS) menciptakan golongan elite baru yang terdidik secara Belanda dan memiliki mentalitas kolonial.
- Mereka dipekerjakan sebagai pegawai negeri kolonial, jaksa, guru, atau penerjemah — tetapi tetap dibatasi hak politiknya.
- Kelas penengah antara Belanda dan rakyat biasa
- Elite lokal ini menjadi “tameng sosial” yang menjembatani kekuasaan kolonial dengan rakyat, sekaligus menjadi alat represi internal terhadap bangsanya sendiri.
- Mereka menjaga stabilitas, memungut pajak, dan bahkan melawan gerakan anti-kolonial dari dalam masyarakatnya sendiri.
- Warisan sosial politik jangka panjang
- Pembentukan elite kolaborator ini menciptakan ketimpangan kelas dan konflik horisontal yang berlanjut hingga era kemerdekaan.
- Kelas ini menjadi benih munculnya elite birokrat nasionalis sekaligus penjaga status quo kolonial.
Politik koalisi yang dijalankan VOC bukanlah bentuk penjajahan frontal, melainkan sebuah strategi halus namun mematikan yang dirancang untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara tanpa harus menguasai seluruh wilayah secara langsung. Pendekatan ini membuktikan bahwa kekuasaan tidak selalu dibangun dengan kekuatan senjata, tetapi juga melalui manipulasi politik, diplomasi licin, dan eksploitasi konflik internal.
Melalui intervensi dalam suksesi takhta, dukungan pada faksi-faksi yang pro-kolonial, dan perjanjian-perjanjian monopoli dagang yang tidak setara, VOC berhasil menundukkan tiga pusat kekuasaan utama:
- Mataram yang awalnya menentang keras, kemudian dipaksa tunduk melalui pecah belah,
- Banten yang dikooptasi lewat perang saudara,
- dan Makassar yang ditaklukkan lewat perang langsung dan pemaksaan perjanjian.
Dari kasus-kasus ini lahir pola kolonialisme yang khas: menjaga raja tetap berkuasa secara simbolik, namun mengosongkan kedaulatannya dan menjadikannya alat pengaman kekuasaan VOC. Kelas elite lokal dibentuk sebagai birokrat bawahan, sekaligus perisai sosial dari kemungkinan pemberontakan rakyat.
Warisan strategi ini membekas dalam struktur sosial dan politik Indonesia modern — di mana pusat kekuasaan sering kali dijalankan oleh elite terdidik yang berjarak dari rakyat, dan konflik internal digunakan untuk melanggengkan kekuasaan eksternal. Dengan demikian, politik koalisi VOC bukan hanya sejarah masa lalu, melainkan juga cerminan awal dari praktik kolonialisme struktural yang berlangsung selama berabad-abad di kepulauan Nusantara.