Penaklukan Jayakarta dan Berdirinya Batavia (1619)

Pada awal abad ke-17, pesisir utara Pulau Jawa menjadi arena baru dalam perebutan kekuasaan global. Salah satu titik strategis di wilayah tersebut adalah Jayakarta, sebuah pelabuhan penting yang terletak di muara Sungai Ciliwung, langsung menghadap ke Laut Jawa dan menghubungkan jalur laut dari Asia Timur, India, hingga Eropa. Jayakarta merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Banten, namun memiliki otonomi relatif dalam pengelolaan pelabuhannya. Keberadaan Jayakarta di pusat arus perdagangan maritim menjadikannya incaran kekuatan kolonial Eropa, terutama Belanda (VOC) dan Inggris (EIC) yang bersaing memperebutkan dominasi dagang rempah di Asia.

Ketegangan antara kekuatan Eropa ini tak terhindarkan, terutama karena VOC mulai menunjukkan ambisi bukan hanya sebagai pedagang, tetapi sebagai kekuatan politik dan militer. Hubungan antara VOC dengan penguasa lokal Jayakarta memburuk akibat ekspansi militer Belanda yang agresif dan upaya VOC untuk menggeser pengaruh Inggris yang lebih dulu membangun hubungan diplomatik dengan lokal. Situasi semakin kompleks karena Kesultanan Banten berusaha mempertahankan kedaulatannya atas Jayakarta dan menolak dominasi asing secara sepihak.

Tulisan ini bertujuan untuk mengurai secara sistematis bagaimana VOC melakukan penaklukan Jayakarta pada tahun 1619, serta menjelaskan bagaimana peristiwa tersebut menjadi titik balik penting dalam sejarah kolonialisme di Nusantara. Dari sebuah pelabuhan lokal bernama Jayakarta, VOC mendirikan Batavia, kota benteng kolonial yang kemudian menjadi pusat kekuasaan Belanda selama lebih dari tiga abad di Hindia Timur.


2. Jayakarta Sebelum 1619

a. Wilayah Pelabuhan Strategis

Sebelum tahun 1619, Jayakarta merupakan sebuah kota pelabuhan penting yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten, salah satu kerajaan maritim paling berpengaruh di pesisir barat Pulau Jawa. Letaknya yang strategis di muara Sungai Ciliwung, menjadikan Jayakarta sebagai penghubung antara jalur perdagangan laut internasional dan pedalaman Jawa yang kaya akan hasil bumi seperti beras, lada, dan kayu.

Sebagai pelabuhan niaga, Jayakarta bersifat terbuka dan kosmopolitan. Para pedagang dari berbagai penjuru dunia – termasuk dari Cina, Gujarat, Persia, Arab, dan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara – menjadikan Jayakarta sebagai titik persinggahan dan pusat pertukaran komoditas. Selain itu, sejak akhir abad ke-16, pelabuhan ini mulai ramai didatangi oleh kapal-kapal dagang dari Eropa, terutama Portugis, Inggris, dan Belanda, yang mencari komoditas berharga dari Nusantara, seperti lada, pala, dan cengkeh.

Kebijakan perdagangan terbuka yang diterapkan oleh otoritas Jayakarta, dengan dukungan Kesultanan Banten, menjadikan kota ini multikultural dan dinamis. Namun, sifat terbuka ini pula yang kemudian menjadi pangkal konflik, ketika kekuatan dagang Eropa mulai memaksakan kepentingannya dan saling bersaing memperebutkan kontrol eksklusif atas pelabuhan strategis tersebut.


b. Perebutan Pengaruh Dagang

Memasuki awal abad ke-17, Jayakarta menjadi ajang persaingan sengit antar kekuatan dagang Eropa, terutama antara VOC (Belanda) dan East India Company (EIC – Inggris). Keduanya membangun loji dagang (kantor dan gudang) di wilayah pelabuhan Jayakarta dengan persetujuan otoritas lokal. Loji-loji ini berfungsi sebagai pusat transaksi rempah-rempah, terutama lada Jawa yang memiliki nilai tinggi di pasar Eropa.

Pada awalnya, baik VOC maupun EIC berusaha menjaga hubungan baik dengan penguasa Jayakarta dan Kesultanan Banten. Namun, sikap arogan VOC yang mulai mendikte kebijakan lokal dan menuntut hak-hak eksklusif atas perdagangan menyebabkan ketegangan dengan Sultan Banten. Belanda seringkali bertindak sepihak, membangun benteng-benteng kecil, dan memperluas loji mereka tanpa restu penuh dari otoritas lokal.

Sementara itu, Inggris memainkan diplomasi yang lebih fleksibel, menjalin kedekatan dengan elite Jayakarta, bahkan kadang membantu Kesultanan Banten dalam memperkuat posisi mereka terhadap agresivitas VOC. Ini menyebabkan VOC merasa semakin terdesak secara politik dan ekonomi, hingga akhirnya memilih untuk menggunakan jalur kekerasan dan militer demi memastikan dominasinya.

Konflik antara VOC, Inggris, dan Kesultanan Banten di Jayakarta pun makin mendalam, memicu peristiwa-peristiwa yang berujung pada penaklukan penuh Jayakarta oleh VOC pada tahun 1619, yang kemudian mengubah wajah kota itu menjadi Batavia – pusat pemerintahan kolonial Belanda di Asia.


Ketegangan Meningkat: VOC vs Jayakarta dan Inggris

a. Konfrontasi Militer

Ketegangan antara VOC dan otoritas lokal Jayakarta memuncak ketika Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang ambisius dan militan, memerintahkan pembangunan benteng pertahanan di Jayakarta secara sepihak. Tindakan ini dianggap provokatif dan melanggar kedaulatan Kesultanan Banten, yang saat itu merupakan penguasa sah wilayah Jayakarta.

Ketika VOC mulai memperkuat posisi militer mereka di loji-loji dagang, pihak Jayakarta—dengan dukungan dari pasukan Banten dan juga Inggris—melancarkan serangan terhadap pemukiman dan benteng VOC. Pertempuran kecil-kecilan pun mulai terjadi di sekitar pelabuhan dan pemukiman warga, menandai dimulainya konflik terbuka.

VOC tidak tinggal diam. Coen, yang sempat kembali ke Ambon untuk menghimpun kekuatan, kembali ke Jayakarta dengan armada militer dan bala bantuan dari Maluku. Ia membawa serta artileri berat dan pasukan bersenjata lengkap, memperkuat posisi VOC untuk menghadapi gabungan kekuatan lokal dan Inggris. Inggris sendiri mulai kehilangan posisi tawar setelah mendapat tekanan dari VOC dan gagal memperoleh dukungan penuh dari Banten.

Konfrontasi ini menandai perubahan penting dalam strategi VOC: dari diplomasi dan perdagangan menjadi penaklukan militer terbuka. Dengan memanfaatkan konflik internal dan lemahnya koordinasi antara Jayakarta, Banten, dan Inggris, VOC mulai mempersiapkan aksi militer besar-besaran yang kelak akan menghancurkan kota Jayakarta dan membangun kekuasaan baru: Batavia.


Pendirian Batavia (1619)

a. Pemberian Nama dan Tujuan

Setelah menghancurkan Jayakarta, VOC mendirikan kota baru di lokasi yang sama dan menamainya “Batavia”, diambil dari nama suku Batavi, yang dalam mitologi nasional Belanda dianggap sebagai leluhur simbolik bangsa Belanda. Nama ini dipilih untuk memberikan legitimasi historis dan semangat kebangsaan terhadap proyek kolonial ini.

Pendirian Batavia bukan hanya sekadar membangun kota, melainkan merupakan langkah besar dalam mengubah VOC dari kongsi dagang menjadi kekuatan kolonial teritorial. Tujuan utama Batavia adalah menjadi:

  • Markas pusat administrasi VOC di Asia Timur.
  • Pusat perdagangan regional, tempat pengumpulan dan distribusi komoditas (rempah, tekstil, teh, dan lainnya).
  • Basis militer strategis untuk mengendalikan jalur laut Nusantara dan menjaga monopoli dagang.

Dengan demikian, Batavia menjadi simbol perubahan besar: dari perjanjian dagang ke pendudukan, dari kerja sama dagang ke dominasi militer dan politik.

b. Perencanaan Kota

Pendirian Batavia dirancang dengan prinsip tata kota Eropa abad ke-17, menjadikannya prototipe kota kolonial Belanda di Asia. VOC membangun kota ini dengan tujuan tidak hanya fungsional secara militer dan ekonomi, tetapi juga simbolik sebagai representasi kekuasaan dan “peradaban” Eropa di Timur.

Beberapa elemen utama dalam perencanaan Batavia:

  • Kanal-kanal buatan: Meniru kota Amsterdam, Batavia dipenuhi kanal yang berfungsi sebagai jalur transportasi sekaligus drainase, namun kelak menjadi sumber penyakit akibat genangan air.
  • Benteng dan tembok kota: Dibangun untuk pertahanan dari serangan musuh, baik dari laut maupun dari kekuatan lokal.
  • Pusat administrasi VOC: Termasuk Stadhuis (balai kota), kantor dagang, gudang penyimpanan, serta rumah pejabat Belanda.
  • Pasar budak dan pemukiman multietnis: Batavia menjadi pusat perdagangan budak, dengan komunitas etnis seperti Tionghoa, Arab, India, Ambon, Bugis, dan lainnya yang diklasifikasi secara sosial oleh VOC.
  • Pengadilan dan sistem hukum kolonial: Dibentuk struktur yudisial untuk menyelesaikan sengketa dagang dan mengontrol populasi kota secara hukum kolonial.

Dengan pembangunan Batavia, VOC menjadikan kota ini sebagai markas besar kekaisaran dagang mereka di Asia, sekaligus laboratorium kolonialisme perkotaan yang menyatukan perdagangan, kekuasaan, dan pengawasan sosial dalam satu sistem.


Batavia sebagai Pusat Kolonial VOC

a. Markas Gubernur Jenderal

Batavia menjadi jantung kekuasaan VOC di Asia Timur dan Tenggara. Jan Pieterszoon Coen menjadikannya markas resmi Gubernur Jenderal, posisi tertinggi dalam struktur administratif VOC di Asia. Langkah ini menandai transformasi VOC dari sekadar kongsi dagang menjadi kekuatan semi-negara dengan pusat kendali kolonial yang terorganisir.

Beberapa poin penting terkait fungsi Batavia sebagai markas Gubernur Jenderal:

  • Sentralisasi kekuasaan VOC: Semua kebijakan penting, termasuk ekspansi militer, pengaturan perdagangan, dan hubungan diplomatik, dirumuskan dari Batavia.
  • Koordinasi loji dan kantor dagang: Batavia mengatur pos-pos dagang VOC di Ambon, Banda, Malaka, Sri Lanka, India, bahkan Jepang (Nagasaki/Dejima).
  • Administrasi dan pengadilan kolonial: Sistem peradilan, perizinan dagang, perpajakan, dan pengawasan produksi dikendalikan dari sini.
  • Rekrutmen dan pelatihan pejabat VOC: Para pejabat dagang dan militer ditempatkan ke berbagai wilayah kolonial dari Batavia.

Batavia bukan hanya pusat logistik, tapi juga simbol kekuasaan VOC sebagai kekaisaran dagang yang menguasai jalur rempah-rempah dan pelabuhan strategis Asia. Kota ini menjadi basis utama dalam strategi kontrol wilayah dan distribusi keuntungan ekonomi bagi investor di Eropa.

b. Peran Batavia dalam Monopoli Dagang

Setelah pendirian Batavia, kota ini segera menjadi sumbu utama sistem monopoli dagang VOC. VOC tidak hanya menggunakan Batavia sebagai pusat administratif, tetapi juga sebagai sentral distribusi rempah-rempah dari berbagai wilayah produksi di Nusantara.

Beberapa peran strategis Batavia dalam sistem monopoli VOC:

  • Sentralisasi distribusi: Semua hasil rempah dari Banda (pala), Ambon dan Ternate (cengkeh), serta lada dari Jawa wajib dikirim ke Batavia terlebih dahulu sebelum diekspor ke Eropa.
  • Pusat penyimpanan dan ekspor: Gudang besar dibangun di sepanjang kanal-kanal Batavia untuk menyimpan komoditas sebelum dikapalkan ke Amsterdam.
  • Kontrol logistik dan harga: VOC menggunakan Batavia untuk menetapkan harga, volume ekspor, dan waktu pengiriman, menjadikannya pusat pengendali pasar global rempah.
  • Pemutus jaringan dagang tradisional: Dengan memaksa semua pelabuhan lokal tunduk pada Batavia, VOC memutus sistem perdagangan bebas antar-kerajaan yang sebelumnya ada.

Batavia bukan sekadar pelabuhan, tetapi jantung sistem kolonial dagang yang memaksa seluruh rantai pasok bekerja demi kepentingan korporasi VOC. Kota ini menjadi simbol dominasi kolonial awal melalui jalur dagang yang dikendalikan secara militeristik dan administratif.

Dampak terhadap Masyarakat Lokal

a. Penggusuran dan Penindasan

Penaklukan Jayakarta oleh VOC pada tahun 1619 membawa perubahan drastis bagi masyarakat lokal, baik secara demografis, sosial, maupun ekonomi. Wilayah yang sebelumnya merupakan pelabuhan kosmopolitan terbuka, berubah menjadi pusat kekuasaan kolonial dengan sistem sosial yang diskriminatif.

Beberapa dampak utama:

  • Pengusiran penduduk asli: Banyak penduduk Jayakarta yang dibunuh, diusir, atau kehilangan hak atas tanah mereka. VOC membangun Batavia di atas reruntuhan Jayakarta dengan buruh paksa, budak dari luar daerah, dan imigran dari Asia.
  • Stratifikasi sosial kolonial:
    • Lapisan atas: Orang Eropa (Belanda) yang menjadi penguasa militer, administrasi, dan elite sosial.
    • Lapisan menengah: Timur Asing seperti Tionghoa, Arab, dan India yang menjadi pedagang perantara atau pekerja terampil.
    • Lapisan bawah: Pribumi yang menjadi buruh paksa, petani kontrak, atau budak.
  • Pencabutan hak-hak tradisional: Struktur kekuasaan lokal seperti para lurah atau pemuka adat disingkirkan atau dijadikan bawahan tanpa kekuasaan riil.
  • Kekerasan dan kontrol militer: Kota dikelilingi benteng dan patroli VOC yang mencegah pemberontakan, menciptakan suasana represif bagi warga non-Eropa.

Penindasan ini menjadi fondasi politik apartheid kolonial awal, yang kemudian diwarisi oleh sistem Hindia Belanda di masa-masa selanjutnya.

Berikut versi yang lebih rincian dan mendalam untuk subbab:


Dampak terhadap Masyarakat Lokal

b. Perlawanan Lokal dan Represi oleh VOC

Setelah pendirian Batavia pada 1619, VOC menghadapi serangkaian respons negatif dari masyarakat lokal yang tidak menerima transformasi Jayakarta menjadi benteng kolonial. Penaklukan brutal, penggusuran paksa, dan pemberlakuan monopoli perdagangan memicu ketegangan yang berujung pada berbagai bentuk perlawanan, baik terbuka maupun terselubung. Berikut rincian dampaknya:


1. Pemberontakan dan Penolakan Awal
  • Sejumlah kelompok masyarakat Jayakarta yang selamat dari pembantaian mulai melakukan perlawanan sporadis di kawasan pesisir dan pedalaman, terutama di wilayah yang masih memiliki loyalitas terhadap Kesultanan Banten.
  • Tahun-tahun awal Batavia diwarnai oleh penyerangan malam, sabotase terhadap gudang VOC, hingga pemboikotan jalur logistik oleh nelayan dan petani lokal.
  • Kesultanan Banten sendiri melakukan beberapa ekspedisi militer kecil ke sekitar Batavia, walaupun selalu gagal menembus pertahanan benteng VOC.

2. Strategi Represi dan Teror oleh VOC
  • Jan Pieterszoon Coen dan penerusnya menerapkan kebijakan represif total terhadap setiap bentuk perlawanan:
    • Eksekusi publik terhadap orang-orang yang dicurigai berkomplot.
    • Pengasingan tokoh adat, ulama, dan pemimpin komunitas yang anti-VOC ke Ambon atau Banda.
    • Pemusnahan kampung-kampung yang dianggap memberi dukungan logistik pada pemberontak.
  • VOC juga melakukan penyadapan intelijen menggunakan informan dari golongan Timur Asing, khususnya Tionghoa dan India, yang diuntungkan secara ekonomi oleh sistem Batavia.

3. Militerisasi Batavia dan Sistem Kontrol Sosial
  • VOC memperkuat posisi Batavia sebagai basis militer:
    • Membangun tembok kota setinggi 5 meter, lengkap dengan parit pertahanan (moat) dan benteng utama: Fort Jacatra.
    • Mendirikan pos penjagaan dan menara pengawas di sepanjang kanal dan gerbang kota.
    • Meningkatkan jumlah pasukan bayaran lokal: Ambon, Bugis, dan Bali digunakan sebagai tameng pertahanan.
  • Untuk menekan pemberontakan terselubung, VOC:
    • Mewajibkan pendaftaran penduduk, terutama kaum pribumi.
    • Memaksakan jam malam bagi non-Eropa.
    • Menciptakan sistem pemantauan sosial berbasis kelompok etnis dan kampung (misalnya Kampung Melayu, Kampung Bali, Kampung Cina).

4. Dampak Sosial-Psikologis dan Ketimpangan Struktural
  • Penindasan yang dilakukan VOC menciptakan ketakutan dan dislokasi sosial di kalangan masyarakat lokal.
  • Masyarakat yang sebelumnya hidup dari perdagangan bebas terpaksa menjadi pekerja paksa, pelayan, atau budak.
  • Muncul kelas-kelas sosial buatan berdasarkan ras dan loyalitas, dengan posisi pribumi di strata terbawah.
  • Perlawanan terorganisir dari masyarakat lokal menjadi terpecah dan melemah akibat kebijakan devide et impera.

Simbol Awal Kolonialisme Permanen di Jawa

Penaklukan Jayakarta oleh VOC pada tahun 1619 bukan sekadar pergantian penguasa lokal, tetapi menjadi simbol besar awal kolonialisme permanen di Jawa, bahkan di seluruh Nusantara. Transformasi Jayakarta menjadi Batavia mengandung sejumlah makna strategis dan politis yang jauh melampaui kepentingan dagang belaka.


a. Berakhirnya Kedaulatan Lokal atas Pelabuhan Strategis

  • Jayakarta merupakan salah satu dari sedikit pelabuhan bebas di pesisir utara Jawa yang sebelumnya dikendalikan oleh Kesultanan Banten dan berfungsi dalam jaringan dagang Asia yang luas.
  • Penaklukan ini menghentikan kedaulatan kerajaan-kerajaan lokal atas jalur laut vital yang selama ini menjadi sumber kekuatan ekonomi dan politik mereka.
  • Sejak saat itu, penguasaan pelabuhan dan arus komoditas mulai ditentukan oleh kekuatan kolonial Eropa, bukan lagi oleh komunitas pelaut lokal atau sultan-sultan pesisir.

b. Batavia sebagai Titik Awal Ekspansi Kolonial VOC

  • Batavia dirancang tidak hanya sebagai markas dagang, melainkan sebagai pusat pemerintahan dan komando militer VOC.
  • Dari Batavia, VOC merancang dan melancarkan ekspansi ke berbagai wilayah:
    • Ambon, Banda, dan Maluku dikontrol secara total untuk rempah.
    • Cirebon, Banten, Mataram, dan pesisir utara Jawa lainnya menjadi target dominasi politik dan dagang secara bertahap.
    • Banjarmasin, Makassar, Bali, dan Sumatra juga dijadikan target operasi militer dan kontrak dagang eksklusif.
  • Batavia menjadi “ibu kota kolonial” pertama di Asia Tenggara yang dikendalikan sepenuhnya oleh korporasi kolonial.

c. Awal dari Struktur Kolonial Jangka Panjang

  • Model pemerintahan VOC di Batavia menciptakan format kekuasaan kolonial yang terpusat, eksploitatif, dan militeristik yang kelak diadopsi Hindia Belanda.
  • Kota ini menjadi tempat lahirnya:
    • Sistem stratifikasi sosial berbasis ras.
    • Pengadilan kolonial.
    • Sistem pajak dan pengawasan terhadap komunitas lokal.
  • Kehadiran Batavia menciptakan kesenjangan struktural antara penguasa asing dan masyarakat lokal yang berlangsung hingga lebih dari tiga abad kemudian.

d. Warisan Politik dan Geopolitik

  • Keberhasilan VOC di Jayakarta memberikan legitimasi bagi ekspansi lebih lanjut oleh kekuatan kolonial lain (Inggris, Prancis).
  • Batavia menjadi simbol dominasi kolonial Eropa di Asia dan pusat kekuasaan kolonial Belanda hingga abad ke-20.
  • Posisi Batavia sebagai pusat kekuasaan kolonial bahkan diwarisi oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, dan kemudian oleh Republik Indonesia melalui transformasinya menjadi Jakarta.

Penaklukan Jayakarta oleh VOC pada tahun 1619 tidak dapat dipandang semata sebagai aksi militer biasa. Ia merupakan titik balik sejarah yang menandai pergeseran besar dalam penguasaan atas Nusantara — dari kerajaan-kerajaan lokal kepada kekuatan kolonial Eropa yang terorganisir secara sistemik. Proses ini bukan hanya tentang perebutan kota pelabuhan, melainkan awal dari transformasi total struktur politik, ekonomi, dan sosial kawasan.

Dengan menghancurkan Jayakarta dan mendirikan Batavia di atas reruntuhannya, VOC menciptakan pusat kekuasaan kolonial yang berfungsi sebagai markas besar eksploitasi regional. Dari sinilah VOC membangun monopoli rempah, mengatur jaringan perdagangan, memobilisasi kekuatan militer, serta mengatur perjanjian dan dominasi atas kerajaan-kerajaan lokal di seluruh kepulauan.

Lebih dari tiga abad, Batavia — yang kemudian menjadi Jakarta — memainkan peran sebagai jantung pemerintahan kolonial Belanda. Kota ini bukan hanya simbol kekuasaan, tetapi juga sistem dominasi struktural: stratifikasi sosial berbasis ras, kerja paksa, kontrol produksi komoditas, dan represi politik menjadi fondasi kekuasaan kolonial yang terinstitusionalisasi.

Dengan demikian, peristiwa 1619 menjadi momen kunci dalam sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia. Dari titik inilah kolonialisme berbasis dagang berevolusi menjadi kolonialisme teritorial dan administratif penuh, meninggalkan warisan panjang dalam bentuk ketimpangan, konflik sosial, dan memori kolektif yang masih hidup hingga hari ini.