Sejak abad ke-15, wilayah Maluku telah dikenal sebagai “Kepulauan Rempah”, karena hanya di sinilah ditemukan sumber alami dua komoditas yang paling dicari di dunia kala itu: pala (terutama di Banda) dan cengkeh (terutama di Ternate, Tidore, dan Ambon). Rempah-rempah bukan hanya bahan penyedap rasa di Eropa, tetapi juga digunakan untuk pengobatan, pengawetan makanan, parfum, hingga simbol status sosial di kalangan elite.
Nilai jualnya yang sangat tinggi menjadikan Maluku sebagai pusat gravitasi dalam jaringan perdagangan global. Bahkan sebelum kedatangan bangsa Eropa, Maluku telah terhubung dengan jalur dagang internasional melalui pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa, Sumatra, Malaka, hingga Gujarat dan Arab.
Namun, perubahan drastis terjadi ketika bangsa-bangsa Eropa datang ke Asia Tenggara, tidak lagi sekadar sebagai pedagang, tetapi sebagai kekuatan militer dan kolonial. Dari Portugis yang pertama kali menginjakkan kaki di Ternate (1512), lalu Spanyol di Tidore, hingga akhirnya Belanda mendirikan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada 1602 dengan misi tunggal: memonopoli perdagangan rempah secara penuh.
VOC melihat penguasaan Maluku sebagai strategi kunci dalam mengontrol pasokan dan harga rempah dunia. Namun, untuk mencapai tujuan ini, VOC tidak hanya berdagang, tetapi juga:
- Menciptakan perjanjian paksa dengan kerajaan lokal,
- Menguasai titik-titik produksi strategis, dan
- Melancarkan kekerasan berskala besar, termasuk pembantaian dan pembumihangusan desa.
Kondisi Awal Maluku Sebelum VOC
a. Sistem Perdagangan Bebas dan Kerajaan Lokal
Sebelum dominasi kolonial Eropa, Maluku berada dalam sistem perdagangan bebas yang telah terbentuk selama berabad-abad. Empat kerajaan utama — Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo — berperan sebagai pusat politik dan ekonomi di kawasan Maluku, masing-masing memiliki wilayah kekuasaan, struktur pemerintahan, serta jaringan dagang yang luas.
Komoditas utama, yakni cengkeh dan pala, tidak hanya diperdagangkan secara lokal, tetapi juga telah menjadi bagian dari jaringan perdagangan internasional. Pedagang dari Arab, Persia, Gujarat, dan Tiongkok secara rutin mengunjungi Maluku, menukar barang-barang seperti tekstil, logam, keramik, dan manik-manik dengan hasil bumi Maluku. Kota-kota pelabuhan seperti Ternate dan Tidore menjadi pusat distribusi rempah ke berbagai wilayah, termasuk Jawa, Makassar, Malaka, hingga India dan Timur Tengah.
Sistem ini relatif terbuka dan kompetitif. Para pedagang lokal maupun asing beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dan saling menguntungkan. Tidak ada kekuatan tunggal yang memaksakan kontrol penuh atas perdagangan — penguasa lokal berperan sebagai fasilitator dan penerima upeti, bukan sebagai penentu tunggal dalam jalannya perdagangan.
Di bawah model ini, masyarakat Maluku hidup dalam pola ekonomi subsisten dan komersial yang seimbang. Mereka menanam cengkeh atau pala, namun juga tetap bertani untuk kebutuhan pangan, membentuk jaringan sosial yang otonom, dan menjalankan tradisi lokal secara bebas. Rempah-rempah bukan hanya komoditas ekspor, tetapi bagian dari sistem budaya dan identitas lokal.
Namun, stabilitas ini mulai terusik saat Portugis tiba pada awal abad ke-16, membawa pendekatan militer dan monopoli ke wilayah yang sebelumnya terbuka. Kehadiran Portugis tidak langsung menghapus struktur lokal, tetapi mulai menanamkan benih pertarungan hegemoni asing yang akan mencapai puncaknya ketika VOC datang dengan kekuatan lebih besar dan niat dominasi total.
b. Kedatangan Portugis dan Spanyol
Kedatangan bangsa Eropa ke Maluku pada awal abad ke-16 menandai babak baru dalam sejarah kawasan. Dua kekuatan besar dari semenanjung Iberia — Portugis dan Spanyol — datang dengan ambisi dominasi dagang dan misi agama, bukan sekadar sebagai pedagang seperti bangsa Asia lainnya.
Portugis di Ternate (1512)
Pada tahun 1512, pelaut Portugis Francisco Serrão tiba di Ternate setelah menjalin kontak dengan Kesultanan lokal. Portugis segera membangun aliansi dengan Sultan Ternate dan mendapatkan izin untuk mendirikan benteng pertahanan (Benteng São João Baptista). Mereka juga mulai memperkenalkan senjata api dan memperkuat posisi mereka melalui hubungan politik dan misi kristenisasi.
Dengan teknologi militer unggul, Portugis memperkuat kendali mereka atas perdagangan cengkeh dari Ternate. Namun, niat mereka untuk memonopoli secara ketat dan memperkenalkan ajaran Katolik menimbulkan ketegangan dengan masyarakat lokal dan para elite istana yang tetap mempertahankan Islam sebagai identitas utama.
Spanyol di Tidore (1521)
Sebagai saingan Portugis, Spanyol juga mencoba membangun pijakan di Maluku. Pada tahun 1521, ekspedisi Magellan–Elcano tiba di Tidore. Berbeda dengan Portugis yang lebih awal masuk ke Ternate, Spanyol bersekutu dengan Sultan Tidore, rival utama Ternate. Hal ini memperuncing konflik lama antar dua kesultanan tersebut.
Spanyol juga mendirikan benteng dan menyuplai senjata ke Tidore, membuka babak “Perang Proksi” antara Ternate–Portugis vs. Tidore–Spanyol, di mana konflik lokal dimanfaatkan untuk kepentingan kolonial asing.
Instabilitas Politik Lokal
Kehadiran dua kekuatan Eropa ini menciptakan instabilitas regional yang berlarut-larut:
- Ketegangan antara Ternate dan Tidore meningkat menjadi konflik bersenjata berkepanjangan.
- Perebutan kekuasaan di istana-istana lokal mulai dipengaruhi oleh dukungan senjata dan perlindungan dari Portugis maupun Spanyol.
- Kerajaan lokal kehilangan otonomi dalam menentukan arah perdagangan dan diplomasi luar negeri mereka.
Perjanjian Saragossa (1529) yang membagi wilayah pengaruh di Asia tidak serta-merta mengakhiri persaingan, karena realitas di lapangan sangat kompleks. Meskipun Portugis akhirnya mengukuhkan dominasi lebih lama di Maluku, keberadaan dua kekuatan asing tersebut mempercepat penghancuran sistem perdagangan tradisional dan menjadikan konflik sebagai instrumen kolonialisme.
VOC Masuk ke Maluku
a. Kepentingan VOC dalam Menguasai Pusat Produksi Rempah
VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang didirikan pada tahun 1602 oleh pemerintah Belanda sebagai kongsi dagang bersenjata, sejak awal memiliki satu tujuan strategis di Asia Tenggara: menguasai total perdagangan rempah-rempah, khususnya pala dan cengkeh, yang sebagian besar hanya tumbuh di wilayah Maluku.
Bagi VOC, penguasaan atas wilayah produsen rempah bukan pilihan, tapi keharusan. Sebab tanpa kontrol langsung atas sumber produksi, mustahil bagi mereka untuk menstabilkan harga, menekan pesaing, dan mendominasi pasar dunia. Wilayah yang menjadi fokus utama mereka adalah:
- Banda: satu-satunya penghasil pala dan fuli (bunga pala) di dunia saat itu. Komoditas ini memiliki nilai jual sangat tinggi di Eropa, bahkan lebih mahal dari emas per gramnya.
- Ambon dan Ternate: pusat utama penghasil cengkeh.
- Tidore dan pulau-pulau kecil sekitarnya: target sekunder yang dipantau dan diintervensi jika dianggap mengganggu stabilitas kontrol VOC.
Untuk mencapai dominasi ini, VOC menyusun strategi sistematis dan brutal:
- Menggunakan kekuatan militer langsung untuk mengusir dan menggantikan posisi Portugis dan Spanyol di kawasan.
- Menciptakan kontrak monopoli dengan sultan lokal atau memaksakan perjanjian yang merugikan pihak lokal.
- Menjalankan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai) dengan cara menyulut konflik antarkerajaan (misalnya Ternate vs Tidore).
- Melancarkan kampanye militer dan represi keras, seperti Hongi Tochten dan pembantaian massal di Banda.
VOC sadar bahwa untuk menciptakan monopoli global atas rempah, mereka tidak cukup hanya menguasai perdagangan. Mereka harus menguasai sumbernya secara langsung, menghancurkan persaingan, dan menggantikan struktur ekonomi dan politik lokal dengan sistem yang dikendalikan penuh oleh VOC dari Batavia.
Langkah ini menjadikan Maluku sebagai teater utama kolonialisme dagang awal, sekaligus contoh nyata bagaimana kapitalisme kolonial tidak segan menggunakan kekerasan ekstrem untuk meraih keuntungan.
b. Strategi Awal: Diplomasi dan Kontrak Monopoli
Sebelum menerapkan kekuatan militer secara terbuka, VOC memulai ekspansinya di Maluku dengan strategi diplomasi dan kontrak dagang eksklusif, sebagai bagian dari pendekatan bertahap yang umum digunakan korporasi kolonial ini.
Diplomasi Awal
VOC menyadari bahwa kekuasaan raja dan sultan lokal masih sangat berpengaruh di Maluku. Karena itu, pendekatan awal mereka adalah dengan menawarkan aliansi dan perlindungan kepada para penguasa setempat, terutama dari ancaman Spanyol dan Portugis yang sebelumnya telah mencampuri urusan politik lokal.
Kepada para sultan di Ternate dan Hitu (Ambon), VOC menawarkan:
- Perjanjian dagang eksklusif, di mana VOC akan menjadi satu-satunya pembeli rempah.
- Bantuan militer untuk menghadapi musuh-musuh lokal, termasuk kerajaan tetangga atau kekuatan asing.
- Hadiah diplomatik seperti senjata, tekstil, logam, dan bahkan pelatihan militer terbatas.
Diplomasi ini seringkali dibumbui dengan ancaman terselubung, karena VOC juga menyebarkan informasi bahwa mereka memiliki kekuatan militer besar di Batavia dan armada laut yang siap dikerahkan.
Kontrak Monopoli Rempah
Perjanjian dagang yang ditawarkan VOC selalu mencantumkan klausul monopoli, yang melarang kerajaan lokal:
- Menjual rempah-rempah kepada pihak lain (termasuk pedagang pribumi dan asing non-VOC).
- Menanam rempah di luar kuota yang ditentukan VOC.
- Menyimpan rempah tanpa izin pengawas VOC.
Dalam praktiknya, perjanjian ini menghilangkan kedaulatan dagang para raja dan sultan, serta secara bertahap menjadikan mereka tergantung pada VOC secara ekonomi dan militer.
Akibat dari Strategi Awal Ini
- Beberapa penguasa lokal terpaksa menandatangani kontrak karena tekanan politik dan militer.
- Kerajaan-kerajaan yang menolak, seperti di Banda, menjadi target intervensi keras di kemudian hari.
- Strategi ini menciptakan fragmentasi dan konflik internal, karena VOC juga mendukung satu pihak melawan lainnya dalam perebutan kekuasaan, terutama saat terjadi suksesi kepemimpinan.
Meskipun terlihat damai di permukaan, strategi diplomasi VOC sesungguhnya adalah bentuk awal kolonisasi struktural, yang menggerogoti otonomi lokal dan membuka jalan bagi kekuasaan koersif penuh.
Penguasaan Ambon
a. Penaklukan dari Portugis (1605)
Ambon adalah salah satu wilayah strategis dalam jaringan perdagangan rempah-rempah, khususnya cengkeh. Sejak awal abad ke-16, Portugis telah menguasai Ambon dan menjadikannya salah satu basis pertahanan dan perdagangan utama mereka di Maluku.
Namun, seiring melemahnya kekuasaan Portugis akibat konflik internal dan tekanan dari musuh lama mereka — Spanyol dan Belanda — kekuatan Portugis di Asia mulai tergerus. Hal ini dimanfaatkan oleh VOC yang baru didirikan tahun 1602.
Rebutan Kekuasaan
Pada tahun 1605, pasukan VOC di bawah pimpinan Steven van der Hagen berhasil merebut Ambon dari tangan Portugis. Penaklukan ini tidak hanya bermakna simbolik, tapi juga strategis:
- VOC berhasil mengusir pesaing utamanya dari salah satu pusat cengkeh di timur.
- Mereka mendapatkan akses langsung ke produksi cengkeh di sekitar Pulau Ambon dan Lease (Haruku, Saparua, Nusalaut).
- Dengan menguasai Ambon, VOC juga memutus hubungan antara pedagang lokal dan jaringan lama Arab–India yang sebelumnya dilindungi Portugis.
Ambon Sebagai Markas Utama VOC (1605–1619)
Sebelum pendirian Batavia pada tahun 1619, Ambon berfungsi sebagai markas besar operasional VOC di Timur:
- Didirikan kantor dagang, loji, dan gudang penyimpanan rempah.
- Dibangun Benteng Victoria, sebagai pusat pertahanan dan simbol kekuasaan VOC di Maluku.
- Dari Ambon, VOC mulai mengatur ekspedisi militer ke Banda, Ternate, dan wilayah-wilayah lain yang ingin dilemahkan atau dikuasai.
Selain fungsi dagang dan militer, Ambon juga menjadi pusat komunikasi dan koordinasi antara pos-pos VOC di Asia Timur, seperti Malaka, Batavia, dan Jepang.
Implikasi Politik dan Ekonomi
- VOC mulai memonopoli pembelian cengkeh di Ambon dan sekitarnya.
- Mereka mengatur sistem panen, harga, dan distribusi sesuai kepentingan perusahaan.
- Penguasa lokal yang menolak tunduk atau menjual kepada pihak lain dikenakan sanksi berat, termasuk Hongi Tochten — patroli pembakaran ladang liar oleh armada VOC dan sekutu lokalnya (misalnya tentara Ambon).
Penaklukan Ambon adalah langkah awal nyata penguasaan kolonial VOC di Maluku, membuka jalan untuk dominasi penuh atas rempah dan penghancuran tatanan perdagangan lama di kawasan.
b. Militerisasi dan Pengawasan Rempah
Setelah merebut Ambon dari Portugis pada 1605, VOC dengan cepat membangun struktur kekuasaan militer dan ekonomi untuk memastikan kontrol penuh atas produksi dan distribusi cengkeh, komoditas utama dari wilayah ini. Pendekatan yang diterapkan adalah kombinasi antara kekuatan militer, pengawasan administratif, dan sistem eksploitasi tenaga kerja.
Benteng Victoria: Simbol dan Alat Kekuasaan
- Benteng Victoria, yang awalnya dibangun Portugis, diperluas dan diperkuat oleh VOC.
- Fungsi utamanya bukan hanya sebagai pertahanan dari serangan luar, tetapi juga sebagai pusat komando, kantor administrasi, dan pengawasan ketat terhadap kegiatan ekonomi lokal.
- Dari sini, VOC mengendalikan seluruh alur perdagangan cengkeh, mulai dari panen, pengumpulan, penyimpanan, hingga pengiriman keluar Ambon.
Sistem Pengawasan Kebun Rempah
- Kebun-kebun cengkeh di Ambon dan pulau-pulau sekitarnya seperti Lease (Saparua, Haruku, Nusalaut) diawasi langsung oleh pejabat VOC, sering disebut sebagai controleurs.
- Penduduk lokal tidak bebas menanam atau menjual cengkeh tanpa izin.
- Tanaman liar dianggap ancaman monopoli — Hongi Tochten (patroli bersenjata laut) dilakukan secara berkala untuk membakar kebun liar, bahkan menghukum mati pelanggar.
Penduduk Dijadikan Petani Kontrak
- Masyarakat lokal diharuskan menanam pohon cengkeh sesuai kuota VOC.
- Mereka tidak memiliki hak atas hasil panen selain jatah kecil untuk kebutuhan sendiri.
- Penjualan hanya diperbolehkan kepada VOC, dengan harga yang ditentukan sepihak (seringkali sangat rendah).
- Sistem ini dikenal sebagai bentuk kerja paksa terselubung, karena rakyat bekerja tanpa kebebasan dan dalam pengawasan ketat, sering di bawah ancaman hukuman fisik.
Sanksi dan Kekerasan Struktural
- Pelanggaran kontrak monopoli dianggap sebagai bentuk pemberontakan.
- Hukuman bisa berupa:
- Denda berat atau penyitaan harta.
- Deportasi ke Batavia atau Banda.
- Eksekusi terbuka sebagai efek jera.
- Penduduk menjadi tenaga kerja terikat dalam sistem kolonial yang tidak memberi ruang alternatif ekonomi.
Dengan pendekatan militeristik dan pengawasan ketat ini, VOC berhasil mengubah Ambon dari wilayah otonom menjadi pusat rempah terkontrol, sekaligus menghancurkan kemandirian ekonomi masyarakat lokal dan memperkuat dominasi kolonial korporatis selama hampir dua abad.
Penaklukan dan Pembantaian di Banda (1621)
a. Penolakan Penduduk Banda terhadap Monopoli VOC
Banda adalah satu-satunya sumber pala dan fuli (bunga pala) di dunia pada awal abad ke-17. Sebagai komoditas bernilai tinggi di pasar global, penguasaan atas Banda menjadi obsesi utama VOC. Namun, tidak seperti kerajaan-kerajaan lain yang bisa ditundukkan melalui diplomasi atau kontrak monopoli, masyarakat Banda memilih untuk melawan secara aktif.
Sikap Mandiri dan Perlawanan Ekonomi
- Penduduk Banda terdiri dari gabungan komunitas lokal dan elite niaga yang sudah lama terlibat dalam perdagangan bebas, menjual pala ke:
- Pedagang Arab dan India,
- Pedagang Cina dan Jawa,
- Dan terutama pedagang Inggris yang datang melalui East India Company (EIC).
- Mereka menolak menandatangani kontrak monopoli VOC, karena sadar bahwa kontrak itu akan:
- Menghancurkan harga pasar,
- Menghilangkan kebebasan berdagang,
- Mengurangi kesejahteraan ekonomi komunitas Banda.
- Meski sempat ditekan oleh VOC dengan perjanjian parsial, orang Banda terus melanggar monopoli dengan diam-diam menjual pala ke Inggris, terutama melalui jalur laut rahasia dan pos dagang ilegal.
Konteks Ketegangan
- VOC menganggap Banda sebagai pembangkang dan ancaman terhadap monopoli rempah secara keseluruhan.
- Gubernur Jenderal VOC, Jan Pieterszoon Coen, memutuskan bahwa penguasaan total hanya bisa dilakukan lewat kekerasan.
Kelanjutan bagian ini akan menguraikan invasi militer VOC dan pembantaian sistematis terhadap penduduk Banda.
b. Ekspedisi Jan Pieterszoon Coen
Setelah gagal memaksakan kontrak monopoli dan mengalami frustrasi akibat perdagangan gelap antara orang Banda dan Inggris, Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen memimpin ekspedisi militer besar-besaran ke Kepulauan Banda pada tahun 1621. Operasi ini menjadi salah satu tindakan paling brutal dalam sejarah kolonial awal di Nusantara.
Eksekusi Genosida dan Teror
- Jan Pieterszoon Coen mendarat dengan armada bersenjata lengkap, disertai tentara bayaran dan sekutu lokal (terutama dari Ambon dan Bugis).
- Dalam waktu singkat, VOC:
- Membakar desa-desa dan ladang pala penduduk.
- Menangkap ribuan orang Banda, lalu melakukan eksekusi massal, termasuk pemimpin adat dan elite niaga lokal.
- Sekitar 14.000–15.000 jiwa penduduk Banda tewas, diasingkan, atau dijual sebagai budak. Hanya segelintir yang berhasil melarikan diri ke pulau-pulau terluar atau ke Inggris.
Transformasi Banda Menjadi Koloni Produksi
- Setelah mengosongkan Banda dari penduduk aslinya, VOC mengubah wilayah itu menjadi koloni produksi penuh:
- Lahan perkebunan pala diambil alih VOC dan dibagi menjadi “perken”, yaitu unit perkebunan yang dikelola orang Eropa.
- Budak dari luar wilayah (Makassar, Jawa, India, Afrika) diangkut untuk menggantikan tenaga kerja lokal.
- Sistem pengawasan sangat ketat, dijaga dengan benteng dan patroli laut untuk mencegah penyelundupan atau pemberontakan.
Tujuan Strategis dan Dampaknya
- Monopoli total atas pala dan fuli berhasil ditegakkan.
- Harga pala di pasar global bisa dikendalikan VOC karena tidak ada produsen lain.
- Genosida Banda menjadi simbol bahwa VOC tidak segan menggunakan kekerasan ekstrem demi kepentingan dagang.
Warisan Kekerasan
- Tragedi Banda tidak hanya berdampak lokal, tapi menjadi model kolonialisme koersif berbasis korporasi.
- Tindakan Coen dikenang sebagai simbol kolonialisme brutal yang membunuh demi pasar dan laba investor.
Pengaruh VOC di Ternate dan Tidore
a. Aliansi dan Dominasi Politik
Kepulauan Maluku Utara, khususnya Ternate dan Tidore, sejak awal abad ke-16 telah menjadi arena persaingan kekuatan global, termasuk antara Portugis dan Spanyol, lalu dilanjutkan oleh VOC (Belanda). Dalam konteks ini, VOC menjalankan strategi aliansi politik dan kontrol tidak langsung untuk mendominasi produksi dan distribusi cengkeh, komoditas yang sangat bernilai di pasar global.
Dukungan VOC terhadap Ternate
- VOC secara aktif mendukung Sultan Ternate yang pro-Belanda sebagai mitra utama di Maluku Utara. Dukungan ini mencakup:
- Bantuan militer untuk melawan pengaruh Spanyol dan Portugis.
- Perjanjian dagang monopoli: Sultan hanya boleh menjual cengkeh kepada VOC.
- VOC membantu dalam penertiban wilayah, termasuk melawan daerah yang menolak kontrak monopoli.
- Dengan menjadikan Ternate sebagai mitra utama, VOC mendapatkan hak-hak dagang eksklusif dan izin membangun benteng-benteng strategis di sekitar kerajaan.
Konflik dengan Tidore yang Pro-Spanyol
- Sebaliknya, Kesultanan Tidore yang condong ke Spanyol menjadi musuh utama VOC:
- Spanyol menjadikan Tidore sebagai basis untuk menyaingi posisi Belanda di Maluku.
- VOC beberapa kali menyerang wilayah kekuasaan Tidore, baik secara langsung maupun melalui Ternate.
- Ketegangan ini memuncak dalam beberapa kali konflik bersenjata, dan akhirnya dominasi Spanyol memudar di kawasan pada pertengahan abad ke-17, seiring dengan melemahnya kekuasaan global Spanyol.
VOC sebagai Penentu Politik Regional
- Melalui politik koalisi dan dominasi dagang, VOC berhasil:
- Mengendalikan politik internal Ternate, termasuk pergantian sultan bila diperlukan.
- Memperlemah posisi Tidore secara militer dan ekonomi.
- Menciptakan sistem “mitra-boneka”: kerajaan lokal tampak berdaulat, tetapi dikendalikan kebijakannya oleh VOC.
Pengaruh VOC di Ternate dan Tidore menunjukkan bahwa:
- VOC tidak selalu menggunakan kekuatan militer langsung seperti di Banda.
- Sebaliknya, mereka menggunakan diplomasi, aliansi selektif, dan rekayasa politik internal untuk membangun dominasi dagang dan politik secara berkelanjutan.
b. Pendudukan Militer dan Pengawasan Produksi
Setelah menjalin aliansi politik dengan Sultan Ternate dan berhasil melemahkan pengaruh Tidore dan Spanyol, VOC tidak berhenti pada level diplomatik. Mereka mulai menerapkan strategi militer dan administratif untuk mengokohkan kontrol langsung atas produksi dan distribusi cengkeh di Maluku Utara.
Pembangunan Benteng dan Infrastruktur Militer
- VOC membangun benteng-benteng strategis di sekitar wilayah Ternate dan sekitarnya, di antaranya:
- Benteng Oranje di Ternate, yang menjadi pusat kekuatan VOC di Maluku Utara.
- Pos militer dan pelabuhan VOC yang dijaga dengan garnisun bersenjata dan kapal patroli laut.
- Fungsi benteng:
- Mengamankan jalur dagang VOC.
- Menjaga wilayah dari serangan sisa kekuatan Spanyol atau pemberontakan lokal.
- Menjadi pusat pengawasan dan intimidasi terhadap penduduk dan raja.
Raja Menjadi Simbolik: Kekuasaan Efektif di Tangan VOC
- Walaupun Sultan Ternate secara formal tetap berkuasa, realitasnya pemerintahan berada di bawah kendali penuh pejabat VOC.
- VOC mengatur:
- Produksi cengkeh (kapan, berapa, dan oleh siapa ditanam).
- Harga dan jalur distribusi.
- Siapa yang boleh berdagang dan ke mana barang dikirim.
- Sultan hanya bertindak sebagai “perpanjangan lidah” kebijakan VOC kepada rakyat, tanpa kewenangan nyata dalam politik atau ekonomi.
Pengawasan Ketat Produksi
- VOC menjalankan pengawasan langsung terhadap ladang cengkeh dan distribusinya:
- Melarang penanaman di luar kawasan yang ditentukan.
- Melakukan inspeksi rutin dan operasi pemusnahan (hongi tochten) terhadap tanaman liar atau penyelundupan.
- Memberlakukan sistem kerja paksa dan pengawasan terhadap petani lokal.
Efek Strategi Ini
- VOC menciptakan rezim kontrol total atas sumber daya cengkeh tanpa harus secara langsung mengelola seluruh wilayah Maluku.
- Model penguasaan seperti ini sangat efisien bagi kongsi dagang:
- Minim biaya administratif, tetapi maksimum kontrol ekonomi.
- Menjadikan kerajaan lokal seperti Ternate sebagai negara klien (client state) VOC.
Sistem Monopoli dan Represi di Maluku
a. Pengawasan Ketat terhadap Pohon Rempah
Salah satu pilar utama dominasi VOC di Maluku adalah penerapan sistem monopoli absolut atas komoditas rempah, khususnya pala dan cengkeh. Untuk menjaga agar sistem ini berjalan tanpa celah, VOC menerapkan pengawasan yang ekstrem dan terstruktur terhadap setiap elemen produksi rempah.
Setiap Pohon Dicatat dan Dikontrol
- VOC melakukan pendataan pohon secara rinci, mencakup:
- Lokasi kebun.
- Jumlah pohon.
- Pemilik dan pengelola kebun (biasanya warga lokal yang “ditugaskan”).
- Sistem ini dijalankan oleh pejabat pengawas VOC (kontrolir) yang bertugas menginspeksi desa-desa secara berkala.
- Tujuannya adalah menghindari penanaman ilegal dan menyaring produksi agar tidak bocor ke tangan pedagang pesaing (seperti Inggris atau perantara lokal).
Produksi Dijatah dan Wajib Dijual ke VOC
- Setiap kampung dan petani mendapatkan kuota tanam dan panen berdasarkan ketentuan VOC.
- Tidak ada kebebasan dalam menentukan:
- Harga jual (ditetapkan sepihak oleh VOC, biasanya sangat rendah).
- Pembeli (hanya VOC).
- Waktu pengiriman dan tempat pengumpulan hasil panen.
- Semua hasil panen wajib disetor ke gudang VOC; pelanggaran dianggap pengkhianatan dan dapat dihukum berat, termasuk:
- Denda besar.
- Pengusiran dari desa.
- Hukuman fisik, penjara, bahkan eksekusi.
Akibatnya: Kontrol Total terhadap Sumber Daya
- VOC tidak hanya membeli rempah — mereka mengatur seluruh proses hidup masyarakat penghasil rempah.
- Sistem ini menjadikan petani dan raja lokal sebagai bagian dari rantai produksi kolonial, tanpa memiliki kendali atas hasil kerja mereka sendiri.
b. Hongi Tochten
Salah satu instrumen paling brutal dalam menjaga monopoli rempah VOC di Maluku adalah “Hongi Tochten” — operasi patroli militer laut yang dilakukan secara berkala oleh armada VOC dan sekutu lokal (terutama pasukan Ambon dan Ternate). Tujuan utama dari strategi ini adalah membakar semua pohon rempah liar yang tumbuh di luar kendali VOC dan menebar teror sebagai efek jera.
Apa itu Hongi Tochten?
- Hongi berasal dari istilah setempat untuk perahu perang dayung.
- Tochten berarti perjalanan atau patroli.
- Maka, Hongi Tochten berarti ekspedisi laut dengan kapal perang ringan untuk mengawasi dan menghancurkan kebun rempah tidak resmi.
- Biasanya dilakukan oleh pasukan gabungan VOC dan milisi lokal, dipersenjatai lengkap, dan berlangsung beberapa bulan dalam setahun.
Tujuan dan Pelaksanaan
- Mengeliminasi produksi di luar kontrol VOC:
- Membakar atau menebang pohon cengkeh/pala liar.
- Menghancurkan kebun yang tidak tercatat dalam sistem resmi VOC.
- Mencegah kebocoran jalur dagang:
- Dengan menghapus sumber rempah non-monopoli, VOC mematikan potensi munculnya pesaing dagang di pasar global.
- Mendisiplinkan masyarakat lokal:
- Setiap indikasi penyelundupan atau pelanggaran kuota akan ditindak tanpa kompromi.
- Penduduk dianggap bersalah secara kolektif, bukan individual — satu pelanggaran bisa menyebabkan satu desa dihancurkan total.
Konsekuensi Bagi Penduduk
- Hukuman berat:
- Siapa pun yang tertangkap melanggar aturan monopoli:
- Dihukum mati secara publik sebagai peringatan.
- Diusir dari pulau atau dijadikan budak.
- Siapa pun yang tertangkap melanggar aturan monopoli:
- Trauma sosial berkepanjangan:
- Banyak komunitas yang secara turun-temurun hidup dalam ketakutan dan pengawasan ketat.
- Sistem adat dan kearifan lokal dalam bertani dan berdagang dipatahkan oleh kekerasan struktural ini.
Efektivitas dan Kekejaman Sistem
- Hongi Tochten menjadikan monopoli VOC nyaris absolut selama lebih dari satu abad.
- Namun, biaya sosial dan manusia yang ditimbulkan sangat besar — ekosida ekonomi, represi budaya, dan kehancuran komunitas lokal.
Dampak terhadap Masyarakat Lokal
a. Hancurnya Kedaulatan Kerajaan Rempah
Salah satu konsekuensi utama dari penguasaan VOC atas wilayah Maluku, Ambon, Banda, dan Ternate adalah lenyapnya kedaulatan politik kerajaan-kerajaan lokal. Daerah yang sebelumnya memiliki sistem pemerintahan sendiri, kedaulatan ekonomi, dan jaringan dagang internasional akhirnya berubah menjadi wilayah yang dikontrol penuh oleh kekuasaan kolonial.
Raja Hanya Menjadi Alat Formal VOC
- Raja-raja seperti Sultan Ternate, raja Ambon, atau bangsawan Banda tetap diangkat secara simbolis, namun hanya sebagai pelaksana kebijakan VOC.
- Mereka tidak lagi memiliki wewenang untuk:
- Menjalin hubungan dagang luar negeri,
- Menetapkan pajak dan kuota produksi secara independen,
- Mengatur militer dan wilayah hukum sendiri.
- Dalam banyak kasus, VOC-lah yang menentukan siapa yang menjadi raja, sesuai dengan kepentingan dagang mereka.
Hilangnya Otonomi Kerajaan Lokal
- Keputusan strategis seperti perang, aliansi, perdagangan, bahkan hukum adat, semua diawasi atau dikendalikan pejabat VOC.
- Perjanjian monopoli memaksa kerajaan:
- Menyerahkan wilayah tertentu untuk dikuasai langsung VOC,
- Menghapus kebijakan luar negeri yang bisa bertentangan dengan kepentingan Belanda,
- Menjadi bagian dari sistem distribusi VOC, bukan lagi penguasa atas negerinya sendiri.
VOC sebagai Otoritas Politik De Facto
- VOC bukan hanya pedagang, tetapi bertindak sebagai:
- Penguasa militer (dengan benteng dan pasukan),
- Penguasa administratif (mengatur panen, produksi, hingga hukuman),
- Penguasa ideologis (melalui kerja sama dengan gereja dan zending).
Konsekuensi Sosial dan Budaya
- Rakyat kehilangan kepercayaan terhadap bangsawan lokal karena mereka dianggap boneka VOC.
- Struktur sosial tradisional (adat, raja, hulubalang) digantikan oleh sistem kontrol kolonial berbasis perintah dan kuota.
- Identitas politik lokal menjadi tumpul, digantikan dengan sistem komando VOC dari Batavia.
b. Perubahan Struktur Sosial dan Ekonomi
Kebijakan kontrol ketat dan sistem monopoli rempah yang diterapkan oleh VOC di Maluku, Ambon, Banda, dan Ternate mengakibatkan perubahan besar dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Dari yang sebelumnya hidup dalam pola subsistensi dan ekonomi komunitas, mereka dipaksa masuk dalam sistem produksi kolonial yang sangat eksploitatif.
1. Dari Subsistensi ke Produksi Monokultur
- Petani lokal kehilangan hak untuk menentukan pola tanam: seluruh tenaga dan lahan dialihkan untuk menanam rempah-rempah, khususnya pala dan cengkeh.
- Tanaman pangan seperti sagu, pisang, padi lokal, atau sayuran ditinggalkan atau dilarang ditanam karena dianggap tidak menguntungkan VOC.
- Akibatnya, masyarakat bergantung pada hasil impor pangan atau pada sisa hasil kebun VOC, yang tidak mencukupi kebutuhan hidup dasar.
2. Munculnya Kelaparan dan Dislokasi Sosial
- Kelangkaan bahan pangan berulang setiap beberapa tahun, terutama ketika hasil panen rempah buruk, tetapi tetap dipaksa memenuhi kuota VOC.
- Banyak kampung yang mengalami eksodus atau penggusuran, terutama setelah operasi Hongi Tochten.
- Keluarga-keluarga tercerai-berai karena:
- Laki-laki dewasa dipekerjakan paksa di kebun rempah,
- Anak-anak dan perempuan dijadikan tenaga kerja musiman atau dikirim keluar daerah sebagai budak atau tenaga domestik paksa.
3. Ekonomi Eksploitasi Brutal
- Masyarakat tidak dibayar sesuai harga pasar — VOC menetapkan harga beli sepihak yang sangat rendah, dan menjual ke Eropa dengan harga tinggi.
- Sistem “perken” di Banda bahkan menggunakan budak dari luar Nusantara untuk mengolah kebun pala — memperlihatkan bahwa masyarakat lokal dianggap terlalu “berbahaya” untuk diberi akses ke sumber produksi.
- Mereka yang menolak atau melanggar aturan monopoli dihukum secara kolektif — mulai dari pencabutan hak tanah, pengusiran, hingga eksekusi terbuka.
4. Runtuhnya Tatanan Sosial Komunal
- Struktur masyarakat adat dan komunal yang sebelumnya solid menjadi terpecah dan tergantikan oleh struktur pengawasan kolonial.
- Hubungan antarkampung dan antarpulau yang dulu diwarnai pertukaran dagang dan ikatan sosial, hancur karena blokade dan larangan interaksi non-VOC.
- Elit lokal yang berkolaborasi dengan VOC diuntungkan, sementara mayoritas rakyat diperbudak secara ekonomi dan kultural.
Perlawanan Lokal dan Respons terhadap Penjajahan
Walaupun kekuatan VOC tampak dominan, perlawanan dari masyarakat lokal di Maluku—terutama di Banda, Tidore, dan berbagai desa kecil—menunjukkan bahwa kolonialisme tidak pernah diterima begitu saja. Meski sebagian besar pemberontakan berakhir dengan kekalahan, mereka merupakan ekspresi jelas dari penolakan terhadap kekuasaan asing dan monopoli yang menindas.
a. Perlawanan di Banda (1621)
- Masyarakat Banda secara konsisten menolak perjanjian monopoli VOC, dan tetap menjual pala kepada pedagang Inggris dan Jawa.
- Penolakan ini memicu ekspedisi militer besar oleh Jan Pieterszoon Coen.
- Terjadi pembantaian massal tahun 1621, di mana hampir seluruh penduduk asli Banda tewas atau diasingkan.
- Namun, perlawanan ini menjadi simbol heroisme lokal dan salah satu tragedi kemanusiaan terbesar pada masa awal kolonialisme di Nusantara.
b. Perlawanan Tidore terhadap Hegemoni VOC
- Tidore yang bersekutu dengan Spanyol menolak dominasi VOC yang pro-Ternate.
- Beberapa kali terlibat dalam konflik terbuka dengan VOC, termasuk penyerangan terhadap kapal-kapal VOC dan pemberontakan lokal.
- Akhirnya, VOC berhasil menekan Tidore secara militer dan politik, tetapi semangat perlawanan tetap hidup dalam budaya lokal.
c. Perlawanan Desa-desa di Ambon dan Ternate
- Di luar pusat kerajaan, desa-desa kecil melakukan sabotase terhadap kebijakan tanam paksa dan sistem kuota.
- Mereka kadang menebang pohon rempah sendiri, atau menyelundupkan hasil panen ke pelabuhan gelap.
- Perlawanan ini ditindak dengan patroli militer dan hukuman kolektif, termasuk operasi Hongi Tochten, pengusiran, dan eksekusi.
d. Tokoh dan Simbol Perlawanan
- Walau banyak tokoh lokal yang tidak tercatat dalam dokumen VOC, ada pahlawan-pahlawan tak dikenal yang menjadi pemimpin komunitas perlawanan kecil.
- Dalam tradisi lisan dan folklore Maluku, masih hidup kisah tentang:
- Kepala desa yang dibunuh karena menolak menyerahkan hasil panen.
- Tokoh perempuan yang melindungi kebun dari inspeksi VOC.
- Doa dan ritual adat yang dijadikan bentuk perlawanan kultural terhadap penindasan.
e. Strategi Bertahan dalam Diam
- Banyak masyarakat yang memilih beradaptasi secara diam-diam, seperti:
- Memanipulasi laporan panen.
- Berpura-pura patuh tetapi menyelundupkan hasil ke luar.
- Menyimpan benih rempah secara rahasia untuk regenerasi non-kuota.
Penguasaan Maluku oleh VOC merupakan salah satu babak paling penting sekaligus paling kelam dalam sejarah kolonialisme di Asia Tenggara. Kasus ini memperlihatkan dengan jelas bagaimana kolonialisme tidak dimulai dari pendudukan bersenjata secara langsung, melainkan dari niat dagang yang perlahan berubah menjadi dominasi politik dan militer brutal.
🔹 Kolonialisme Dagang → Penjajahan Teritorial
VOC awalnya datang sebagai kongsi dagang, menawarkan kontrak dagang dan aliansi diplomatik kepada kerajaan-kerajaan lokal. Namun, begitu kepentingan ekonomi terganggu—seperti saat penduduk Banda menolak monopoli—VOC tidak ragu menggunakan:
- kekerasan ekstrem,
- pembantaian massal, dan
- depopulasi sistematis,
untuk mengamankan monopoli dagangnya.
🔹 Strategi Koersif dan Terstruktur
Dominasi VOC di Maluku dibangun melalui tiga strategi utama:
- Diplomasi dan kontrak paksa: mengikat penguasa lokal agar hanya berdagang dengan VOC.
- Kekuatan militer: penguasaan benteng, garnisun, dan operasi represif seperti Hongi Tochten.
- Sistem pengawasan ekonomi: pencatatan setiap pohon rempah, pembatasan perdagangan, dan kontrol penuh atas produksi.
🔹 Laboratorium Kolonialisme Awal
Maluku, khususnya Ambon, Banda, dan Ternate, menjadi laboratorium eksperimen kolonial VOC:
- Di Banda, pulau dikosongkan, lalu diisi dengan pekerja budak dan perkebunan perken milik orang Eropa.
- Di Ambon dan Ternate, muncul sistem kontrol yang mengintegrasikan kekuatan militer, ekonomi, dan administrasi lokal.
🔹 Warisan Struktural
Jejak VOC di Maluku tidak hanya berupa bangunan benteng atau dokumen arsip, tetapi juga:
- Kehancuran kedaulatan lokal,
- Ketimpangan agraria dan ekonomi, dan
- Ingatan kolektif masyarakat atas kekerasan kolonial.
Kondisi ini menjadi pondasi bagi kolonialisme Hindia Belanda selanjutnya dan membentuk struktur ketidakadilan yang masih terasa dampaknya hingga masa modern.