Pada akhir abad ke-17, Pulau Jawa memasuki fase baru dalam sejarah politiknya, ditandai oleh melemahnya otoritas kerajaan-kerajaan lokal dan semakin menguatnya dominasi politik serta militer VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Setelah perang-perang istana yang melelahkan dan disintegrasi internal Kesultanan Mataram, banyak bangsawan dan rakyat kecil merasa kehilangan perlindungan politik dan ekonomi yang selama ini mereka andalkan. VOC memanfaatkan situasi ini dengan membangun aliansi-aliansi strategis bersama penguasa lokal, memecah belah kekuatan istana, dan menanamkan pengaruhnya melalui jalur perjanjian, paksaan, bahkan kekuatan senjata. Kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur secara perlahan jatuh ke dalam orbit pengaruh kolonial Belanda.
Di tengah dinamika tersebut, muncul sosok yang tidak berasal dari kalangan bangsawan, tidak memiliki darah biru, tetapi mampu mengubah arah sejarah: Untung Surapati. Lahir sebagai seorang budak dari Bali dan dijual ke Batavia, Surapati menjalani hidup yang keras sebagai bawahan dalam sistem kolonial VOC. Namun, nasibnya berubah ketika ia menunjukkan bakat militer dan diangkat menjadi prajurit bayaran. Keberaniannya mengkritik ketidakadilan dan kekejaman sistem kolonial membawa ia pada titik balik: membelot dari VOC dan membunuh atasannya, Kapten Ruijs, lalu memulai kehidupan sebagai pelarian dan pemimpin perlawanan.
Dari pelarian, Surapati menjelma menjadi panglima perang karismatik, pemimpin rakyat tertindas, dan sosok simbolik yang memperjuangkan kedaulatan wilayah timur Jawa dari cengkeraman VOC. Ia membangun basis kekuatan di Pasuruan, menyusun kekuatan militer dari elemen-elemen rakyat, mantan budak, bangsawan kecil, dan kelompok anti-VOC, serta melancarkan perlawanan selama lebih dari dua dekade. Perlawanan Untung Surapati tidak hanya berupa serangkaian pertempuran, tetapi juga upaya terorganisasi untuk membangun kekuatan alternatif—suatu bentuk perlawanan sistemik terhadap kolonialisme yang dilakukan dari luar struktur kerajaan dominan.
Dalam konteks sejarah Indonesia, perlawanan Untung Surapati merupakan salah satu bentuk awal perlawanan rakyat terhadap kolonialisme yang tidak digerakkan oleh dinasti atau istana, tetapi oleh pengalaman langsung terhadap ketidakadilan sistem kolonial. Surapati menunjukkan bahwa latar belakang sosial bukan penghalang untuk menjadi pemimpin besar. Ia menjadi simbol perjuangan akar rumput, keberanian yang lahir dari penindasan, dan idealisme kebebasan yang tak bisa dibeli.
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam perjalanan hidup dan perlawanan Untung Surapati dari berbagai sisi: biografi, strategi militer dan politik, dinamika aliansi, serta warisan ideologisnya. Melalui pendekatan sejarah naratif dan analitis, kita akan menelusuri bagaimana seorang budak dapat menjadi musuh paling berbahaya bagi VOC di Jawa selama dua dekade, serta bagaimana perjuangannya memberikan pengaruh jangka panjang dalam kesadaran kolektif perlawanan di Nusantara.
Memahami kisah Untung Surapati bukan hanya penting untuk melengkapi narasi sejarah nasional, tetapi juga sebagai refleksi terhadap nilai-nilai keadilan, perlawanan terhadap penindasan, dan hak setiap manusia untuk menentukan nasibnya sendiri, tanpa memandang asal-usul atau status sosial.
Latar Belakang Sosial dan Politik
a. Situasi Jawa Pasca-Mataram
Setelah masa kejayaan Sultan Agung (1613–1645), Kesultanan Mataram—kerajaan terbesar di Jawa pada abad ke-17—mengalami kemunduran yang perlahan tapi pasti. Sultan Agung berhasil membangun kekuasaan yang nyaris menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kendalinya, kecuali wilayah-wilayah pesisir barat dan timur yang masih dikuasai oleh VOC dan kerajaan kecil lainnya. Namun, selepas wafatnya, Mataram memasuki masa desentralisasi politik, krisis legitimasi, dan konflik pewarisan tahta yang berkepanjangan.
Raja-raja setelah Sultan Agung tidak memiliki kekuatan politik dan kapasitas militer sebanding. Ketidakstabilan dimulai pada masa pemerintahan Amangkurat I (1646–1677), yang terkenal otoriter, curiga terhadap para bangsawan, dan membuat banyak kelompok elite serta rakyat kecewa. Pemerintahannya dipenuhi dengan intrik istana, eksekusi massal bangsawan, dan pemberontakan terbuka, seperti Pemberontakan Trunajaya (1674–1681), yang hampir menghancurkan pusat kekuasaan Mataram di Kartasura.
Pemberontakan Trunajaya menjadi titik kritis yang memperlihatkan betapa rentannya Mataram terhadap disintegrasi, dan menjadi pembuka jalan bagi keterlibatan militer dan politik VOC secara langsung dalam urusan dalam negeri kerajaan Jawa. VOC, yang sebelumnya hanya berperan sebagai mitra dagang, mulai memainkan peran sebagai penentu legitimasi kekuasaan, dengan menyediakan bantuan militer kepada raja yang bersedia tunduk kepada kepentingan dagang dan politik Belanda.
Ketika Amangkurat I wafat, dan terjadi perebutan kekuasaan antara Amangkurat II dan kelompok-kelompok oposisi (termasuk Trunajaya), VOC mendukung Amangkurat II dalam merebut kembali Kartasura. Sebagai gantinya, raja harus membayar “utang perang”, menyerahkan hak atas daerah-daerah penting (termasuk pesisir), serta memberi hak eksklusif kepada VOC dalam perdagangan dan pajak. Sejak saat itu, Mataram secara efektif kehilangan sebagian besar kedaulatan politik dan ekonominya, dan menjadi kerajaan yang terus-menerus bergantung pada dukungan VOC untuk bertahan.
Di tingkat lokal, berbagai bupati, adipati, dan bangsawan pesisir mulai bersikap ambivalen terhadap istana. Banyak dari mereka lebih memilih menjalin hubungan langsung dengan VOC demi kekuasaan dan keamanan wilayahnya, daripada tunduk pada pusat kekuasaan Kartasura yang lemah. Situasi ini menciptakan fragmentasi politik, di mana loyalitas elite lokal terbagi antara VOC dan istana, sering kali menimbulkan bentrokan bersenjata atau perang saudara berkepanjangan.
Dalam kekacauan inilah muncul ruang bagi sosok seperti Untung Surapati untuk membentuk kekuatan alternatif. Kondisi politik yang porak-poranda, kepercayaan yang luntur terhadap kekuasaan pusat, serta meningkatnya kebencian terhadap dominasi VOC, menjadi lahan subur bagi perlawanan akar rumput yang radikal dan mandiri. Surapati, yang tidak memiliki afiliasi istana tetapi memiliki visi tentang perlawanan dan keadilan, memanfaatkan situasi ini untuk membangun kekuatan militer yang tidak berpihak pada penguasa boneka, tetapi pada semangat perlawanan terhadap kolonialisme.
Dengan demikian, keruntuhan moral dan politik pasca-Sultan Agung bukan hanya melemahkan struktur kerajaan, tetapi juga membuka peluang bagi munculnya kekuatan-kekuatan lokal baru yang akan memainkan peran penting dalam sejarah perlawanan, termasuk perlawanan besar Untung Surapati yang berlangsung selama lebih dari dua dekade.
b. Politik VOC di Jawa
Setelah keberhasilannya dalam membantu Amangkurat II merebut kembali tahta Mataram dari tangan Trunajaya, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) tidak hanya semakin menguat secara militer di tanah Jawa, tetapi juga mulai menerapkan strategi politik yang sangat dalam dan manipulatif untuk mengontrol kerajaan-kerajaan lokal tanpa harus menjajah secara langsung. VOC memilih untuk memainkan kekuasaan dari balik layar—melalui pengaruh diplomatik, dominasi ekonomi, dan intervensi militer yang dikalkulasi secara cermat.
Strategi Intervensi dalam Konflik Istana
VOC sangat menyadari bahwa kerajaan-kerajaan di Jawa—terutama Mataram—sedang berada dalam kondisi yang labil, penuh intrik dan perebutan kekuasaan di dalam istana. Alih-alih menghindari kekacauan itu, VOC justru masuk ke dalam konflik internal tersebut sebagai “penengah” yang menawarkan bantuan militer dan logistik kepada calon pewaris tahta atau faksi bangsawan tertentu. Dengan strategi ini, VOC dapat memastikan bahwa pihak yang mereka dukung akan berutang jasa dan tunduk secara politik maupun ekonomi setelah naik tahta.
Contoh paling jelas dari strategi ini adalah pada suksesi Amangkurat II. Ketika istana Kartasura jatuh ke tangan pemberontak Trunajaya, VOC menjadi penyelamat tahta yang “sah” bagi Amangkurat II. Namun, bantuan itu datang dengan harga tinggi: perjanjian yang memaksa raja menyerahkan daerah pesisir utara Jawa, mengizinkan VOC memungut pajak, dan menetapkan monopoli perdagangan di wilayah kekuasaan Mataram. Intervensi ini menjadi preseden bagi langkah-langkah berikutnya di kerajaan lain.
VOC tidak tertarik untuk memerintah secara langsung seperti penjajah dalam pengertian modern. Sebaliknya, mereka memelihara kekuasaan boneka, menciptakan lapisan penguasa lokal yang tampak berdaulat, tetapi sebenarnya sepenuhnya bergantung pada VOC untuk bertahan hidup secara militer dan politik.
Politik Adu Domba dan Penciptaan Kerajaan Boneka
Salah satu strategi paling efektif VOC adalah politik divide et impera (pecah belah dan kuasai). Mereka secara aktif membenturkan faksi-faksi dalam kerajaan, mengadu bupati melawan sultan, atau mendukung saudara yang bersaing atas tahta. Ketika konflik horizontal terjadi, VOC akan tampil sebagai “penengah” atau “pembela hukum” dengan imbalan konsesi wilayah, hak dagang, atau perjanjian monopoli.
VOC juga menciptakan struktur kekuasaan semu, di mana raja-raja kecil atau bupati yang didukung mereka tampak berdaulat tetapi sejatinya tidak memiliki kekuasaan penuh. Mereka diwajibkan mematuhi perintah VOC, membayar pajak tetap, dan menyerahkan sebagian hasil bumi seperti beras, gula, lada, atau kayu manis.
Kondisi ini menciptakan lapisan penguasa lokal yang teralienasi dari rakyat, karena mereka dilihat sebagai kaki tangan kolonial. Dalam jangka panjang, strategi ini justru menyulut gelombang perlawanan rakyat, salah satunya yang dipimpin oleh Untung Surapati—yang melihat langsung bagaimana elit Jawa dikooptasi oleh kekuasaan asing.
Kepentingan Ekonomi dan Militer di Jawa Timur dan Tengah
VOC memiliki kepentingan ekonomi utama di wilayah pesisir utara Jawa—terutama Semarang, Jepara, Surabaya, dan Pasuruan—yang merupakan pusat produksi dan ekspor beras, gula, kayu, dan hasil bumi lainnya. Wilayah ini juga menjadi titik transit rempah-rempah dari timur Indonesia sebelum dikirim ke Batavia dan kemudian ke Eropa.
Namun, agar kepentingan ekonomi ini terlindungi, VOC juga memerlukan kestabilan politik dan keamanan militer. Maka, penguasaan politik atas Jawa Tengah dan Timur menjadi keharusan. VOC mendirikan garnisun militer di kota-kota strategis, membangun benteng, dan mempersenjatai pasukan lokal (serdadu Jawa, Ambon, Bugis) untuk menjaga kepentingan mereka.
Wilayah Jawa Timur—terutama Pasuruan dan sekitarnya—menjadi penting karena letaknya yang strategis dalam jalur logistik ke arah timur (Bali, Makassar, Maluku), sekaligus karena potensinya sebagai pusat perlawanan. VOC menyadari bahwa kelompok-kelompok yang kecewa dengan kekuasaan Kartasura pro-Belanda dapat membangun kekuatan alternatif di wilayah ini. Itulah mengapa, ketika Untung Surapati membangun basis kekuatannya di Pasuruan, VOC melihatnya sebagai ancaman serius terhadap hegemoni mereka di Jawa.
Dengan demikian, politik VOC di Jawa adalah gabungan dari intervensi lembut dan kekerasan tersembunyi. Mereka tidak perlu menaklukkan seluruh kerajaan dengan pedang, cukup menguasai pemimpinnya dan mengendalikan ekonomi lokal. Namun, dalam praktiknya, strategi ini menciptakan rasa ketidakadilan dan kemarahan, membuka jalan bagi munculnya figur seperti Untung Surapati yang menawarkan alternatif perlawanan—bukan atas nama dinasti, melainkan atas nama kehormatan, keadilan, dan kedaulatan.
c. Latar Sosial Untung Surapati
Di balik gemuruh perlawanan bersenjata yang kelak ia pimpin, sosok Untung Surapati menyimpan latar kehidupan yang sangat berbeda dengan kebanyakan pemimpin perlawanan di masanya. Tidak lahir dari keturunan bangsawan, tidak dibesarkan dalam istana atau pesantren elit, Surapati berasal dari lapisan sosial paling bawah, bahkan dari status yang paling hina dalam struktur masyarakat Jawa dan Nusantara kala itu: seorang budak.
Asal-usul sebagai Budak Bali yang Diambil Menjadi Prajurit VOC
Nama aslinya adalah Surawiraaji, atau dalam beberapa sumber disebut juga sebagai Surapati, yang kemudian dikenal sebagai Untung karena keberhasilannya dalam mendaki tangga sosial. Ia diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke-17, di Bali, dalam situasi peperangan atau penaklukan yang menyebabkan banyak orang Bali dijual sebagai budak ke Batavia. Dalam sistem perdagangan budak VOC, anak-anak muda dari Bali, Sulawesi, atau daerah lain di luar Jawa sering ditangkap atau dijual dan kemudian dijadikan budak rumah tangga, pelayan, atau tentara bayaran oleh para pejabat dan serdadu Belanda.
Surapati dibeli oleh Kapten Rijcklof van Goens (muda), dan kemudian dijadikan pelayan sekaligus prajurit VOC. Di bawah asuhan dan pengawasan tuannya, Surapati memperlihatkan kecerdasan, disiplin, dan kemampuan militer yang menonjol. Ia kemudian mendapat akses pada pendidikan dasar dan latihan militer, dan dipercaya menjadi anggota pasukan pribumi di bawah komando Belanda. Dalam sistem ini, orang pribumi dipersenjatai untuk menjaga kepentingan VOC—baik melawan musuh luar maupun menekan perlawanan dalam negeri.
Namun, meski telah diberi “kesempatan”, Surapati tidak pernah sepenuhnya menjadi bagian dari struktur kekuasaan kolonial. Statusnya tetap dipandang sebagai budak yang naik pangkat, bukan sebagai warga yang setara. Ia menjadi saksi langsung terhadap bagaimana VOC memperlakukan rakyat pribumi dengan ketidakadilan, pemaksaan, dan penghinaan. Diskriminasi rasial dan sosial yang ia alami menumbuhkan pemikiran kritis terhadap sistem kolonial, dan secara perlahan menumbuhkan semangat pembangkangan yang berakar dari luka pribadi maupun solidaritas terhadap sesama rakyat tertindas.
Perjalanan Hidup Awal dan Pemikiran Kritis terhadap Kolonialisme
Selama masa pelayanannya, Surapati belajar tidak hanya tentang senjata dan taktik militer, tetapi juga struktur kekuasaan VOC, strategi kontrol terhadap rakyat jajahan, dan bagaimana elite lokal dikooptasi dalam sistem penjajahan yang halus namun brutal. Ia juga menyaksikan bahwa banyak perwira Belanda bertindak semena-mena, menindas rakyat lokal, memperkosa, menyita tanah, dan memanipulasi raja-raja setempat demi kepentingan dagang dan kekuasaan.
Kesadaran Surapati tumbuh dari pengalaman-pengalaman ini, membentuk pandangan politik yang tidak biasa untuk seseorang dari latar bawah. Ia menyadari bahwa sistem kolonial tidak memberi ruang bagi kesetaraan atau keadilan, bahkan kepada orang pribumi yang “loyal” sekalipun. Ketegangan antara dirinya dan perwira Belanda mulai meningkat ketika ia membela sesama prajurit pribumi yang diperlakukan tidak adil.
Momen Pembelotan: Pembunuhan Kapten Ruijs dan Pelarian
Puncak dari konflik batin dan ketegangan ini terjadi ketika Surapati—yang saat itu sedang ditugaskan di Jawa Tengah—bertikai dengan seorang perwira Belanda bernama Kapten Ruijs (atau Ruijsch, menurut beberapa versi). Kapten ini dikenal kejam dan arogan terhadap anak buah pribuminya. Dalam salah satu insiden, Kapten Ruijs menghina dan menyiksa salah satu prajurit bawahannya, yang mendorong Surapati membalas secara brutal: ia membunuh sang kapten.
Peristiwa pembunuhan ini membuat Surapati resmi menjadi buronan VOC. Namun alih-alih menyerah atau melarikan diri ke luar Jawa, ia memilih melawan dan membentuk kelompok gerilya, yang terdiri dari para pelarian, bekas prajurit, rakyat miskin, dan kaum marjinal lain yang juga kecewa terhadap kekuasaan Belanda dan elit lokal. Pelarian itu bukan menjadi akhir hidupnya, melainkan awal kebangkitannya sebagai pemimpin perlawanan.
Ia dan pengikutnya mulai bergerak ke wilayah timur, menyusuri pedalaman Jawa, dan membentuk kekuatan militer yang mandiri. Keputusan untuk tidak menyerahkan diri dan malah membentuk barisan perlawanan ini menjadikan Surapati salah satu tokoh paling berani dan radikal pada zamannya—seorang yang tidak memiliki legitimasi dari istana, tetapi mendapat dukungan dari rakyat bawah yang tertindas.
Dengan latar belakang sosial sebagai budak, pengalaman pahit sebagai prajurit bawah kolonial, dan keberaniannya untuk melakukan pembelotan, Untung Surapati tumbuh sebagai tokoh revolusioner yang tidak biasa dalam sejarah Jawa. Ia adalah bukti bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan tidak harus datang dari bangsawan atau kalangan elite—melainkan bisa lahir dari rasa sakit, kesadaran, dan keberanian seorang rakyat kecil yang tidak rela ditindas.
Tokoh Sentral: Untung Surapati
a. Biografi Singkat
Untung Surapati adalah salah satu tokoh paling unik dalam sejarah perlawanan Nusantara. Ia lahir bukan dari kalangan bangsawan atau istana, melainkan dari akar masyarakat yang paling bawah: seorang budak. Nama aslinya diperkirakan adalah Surawiraaji atau Surapati, dan ia berasal dari Bali. Tidak diketahui secara pasti tahun kelahirannya, namun ia diyakini lahir sekitar pertengahan abad ke-17, kemungkinan besar dalam konteks perang atau penaklukan lokal yang menyebabkan banyak penduduk Bali dijadikan budak dan dijual ke luar pulau.
Surapati kecil ditangkap atau dijual dalam sistem perdagangan manusia yang saat itu lazim terjadi antara Bali dan Batavia (Jakarta sekarang). Ia kemudian dijual ke tangan seorang pejabat VOC, dan menjadi pelayan di lingkungan kolonial Belanda. Dalam sistem VOC, budak-budak muda yang menunjukkan kecerdasan dan ketangkasan sering diberi pelatihan dasar, dan beberapa dari mereka, termasuk Surapati, diberi kesempatan untuk menjadi prajurit.
Ketika usianya cukup dewasa, Surapati bergabung dengan pasukan VOC sebagai prajurit bayaran—status yang lebih tinggi dari budak, tetapi tetap tidak setara dengan prajurit Belanda atau bahkan serdadu Ambon yang lebih dipercaya. Sebagai anggota pasukan pribumi dalam struktur VOC, tugasnya adalah mengamankan daerah, mengawal ekspedisi, dan membantu operasi militer, termasuk di wilayah Jawa dan Madura.
Namun, posisi ini bersifat paradoks. Di satu sisi, Surapati mendapatkan akses ke pelatihan militer, penguasaan senjata, dan pemahaman tentang organisasi pasukan kolonial. Di sisi lain, ia tetap mengalami perlakuan diskriminatif dan penindasan. Prajurit-prajurit pribumi, walaupun setia, sering diperlakukan semena-mena, digaji rendah, dan tidak memiliki hak atau perlindungan yang sama dengan prajurit Eropa. Mereka juga sering dikirim ke garis depan tanpa pertimbangan keselamatan.
Dalam konteks inilah, Surapati membentuk kesadaran akan ketidakadilan sistem kolonial, bukan sebagai teori politik, tetapi sebagai pengalaman langsung yang dialaminya sehari-hari. Ia tidak hanya melihat kekejaman VOC terhadap rakyat jelata, tetapi juga merasakannya secara pribadi, meskipun ia adalah bagian dari pasukannya.
Peristiwa yang menjadi titik balik dalam hidupnya terjadi saat ia bertugas di wilayah Jawa Tengah. Dalam sebuah konflik dengan atasannya, Kapten Ruijs, seorang perwira Belanda, Surapati melakukan pembunuhan yang menjadikannya buronan resmi VOC. Namun, pembelotan itu menjadi awal dari transformasinya, dari prajurit bayaran menjadi pemimpin perlawanan.
Setelah melarikan diri, Surapati mengubah identitasnya menjadi “Untung Surapati”—nama yang mengandung makna simbolik. Kata “Untung” bisa dimaknai sebagai keberuntungan atau anugerah, sedangkan “Surapati” berarti pemimpin yang gagah berani. Nama itu bukan sekadar nama baru, tetapi manifestasi dari transformasi dirinya dari budak menjadi pemimpin rakyat.
Dengan keterampilan militer, pengalaman lapangan, dan pemahaman tentang taktik serta kelemahan VOC, Untung Surapati membentuk pasukan sendiri dan memulai perjalanan panjang sebagai tokoh perlawanan yang disegani. Perjalanannya adalah bukti nyata bahwa latar belakang sosial tidak menghalangi seseorang untuk menempuh jalan besar. Ia adalah cerminan dari seorang tokoh yang ditempa oleh penderitaan, diasah oleh ketidakadilan, dan dibentuk oleh keberanian.
b. Transformasi Ideologis dan Politik
Transformasi Untung Surapati dari seorang budak menjadi panglima perlawanan bukanlah perubahan yang terjadi seketika. Ia adalah hasil dari pengalaman pahit, ketidakadilan sistemik, dan kesadaran politik yang tumbuh secara bertahap selama masa hidupnya di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial VOC. Dari seorang pelayan dan prajurit bawahan, Surapati secara perlahan membentuk ideologi perlawanan yang berpijak pada penolakan terhadap penindasan, dan keyakinan bahwa martabat dan kemerdekaan adalah hak setiap manusia—terlepas dari asal-usul sosialnya.
Kesadaran terhadap Ketidakadilan Sistem Kolonial
Sebagai prajurit dalam pasukan VOC, Surapati memiliki akses langsung ke jantung sistem kekuasaan kolonial. Ia melihat bagaimana sistem ini bekerja: bagaimana VOC menggunakan kekuatan ekonomi dan militer untuk menekan kerajaan-kerajaan lokal, bagaimana raja dan bangsawan dijadikan boneka, dan bagaimana rakyat jelata diperas melalui pajak, kerja paksa, serta monopoli dagang yang memiskinkan.
Lebih dari itu, ia juga merasakan secara pribadi perlakuan diskriminatif terhadap prajurit pribumi, termasuk dirinya. Meskipun telah menunjukkan loyalitas dan kompetensi militer, Surapati dan rekan-rekannya tetap dianggap rendahan oleh perwira Belanda. Mereka dijadikan alat perang, tetapi tidak pernah diperlakukan sebagai mitra sejajar. Dalam sistem VOC, bahkan seorang mantan budak seperti Surapati yang telah membuktikan nilai dirinya pun tetap terpenjara dalam struktur rasis dan eksploitatif.
Kesadaran itu perlahan berubah menjadi kemarahan dan keteguhan sikap. Bagi Surapati, tidak ada keadilan dalam sistem yang menindas satu golongan dan meninggikan yang lain hanya karena warna kulit atau latar keturunan. Ia mulai memandang VOC bukan sebagai kekuatan pengaman atau pelindung, melainkan sebagai penjajah yang menghancurkan martabat pribumi dan mengobrak-abrik tatanan politik lokal demi keuntungan dagang.
Pelarian dan Bergabung dengan Kelompok Perlawanan
Puncak dari konflik batin dan ketegangan sosial itu meledak dalam tindakan pembelotan. Pembunuhan terhadap Kapten Ruijs adalah tindakan balas dendam sekaligus deklarasi politik. Ia tidak lagi sekadar prajurit yang kecewa, tetapi sudah mengambil keputusan untuk memutuskan total keterikatannya dengan sistem kolonial.
Setelah melarikan diri dari kejaran VOC, Surapati tidak pergi sendiri. Ia menggalang kekuatan dari kalangan terpinggirkan—para buronan, bekas prajurit pribumi yang dikhianati, rakyat miskin, dan mereka yang muak dengan kekuasaan VOC serta para bupati boneka. Dalam pelariannya, ia bergerak dari satu wilayah ke wilayah lain, membangun jaringan dan merekrut orang-orang yang satu ideologi dengannya.
Yang membedakan Surapati dari banyak tokoh perlawanan lain pada masa itu adalah kemampuannya untuk mengintegrasikan perlawanan lokal dengan visi yang lebih luas. Ia bukan hanya melawan karena marah atau kecewa, tetapi karena ia memiliki pandangan ideologis yang tajam: bahwa kekuasaan kolonial VOC bukan sekadar penjajahan militer, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan, kesetaraan, dan kedaulatan rakyat.
Dalam waktu singkat, kelompok gerilya yang ia pimpin tumbuh menjadi pasukan yang ditakuti VOC. Ia mulai menyerang pos-pos Belanda, membebaskan tawanan, dan mengambil alih wilayah-wilayah kecil di Jawa bagian timur. Basis perlawanan ini kemudian mengarah ke bentuk pemerintahan alternatif di luar kontrol istana Kartasura yang pro-VOC. Ia tidak sekadar membentuk milisi, tetapi merintis kekuasaan tandingan yang bersifat mandiri dan otonom.
Dalam transformasinya ini, Surapati memperlihatkan bahwa ideologi perlawanan bukan hanya milik kaum elite atau bangsawan, tetapi juga bisa tumbuh dari pengalaman rakyat kecil yang tercerahkan. Ia menjadi bukti bahwa kesadaran politik bisa lahir dari penderitaan, dan bahwa keberanian untuk melawan ketidakadilan bisa menjelma menjadi gerakan yang mengguncang fondasi kekuasaan kolonial.
c. Kepemimpinan dan Karisma
Kekuatan Untung Surapati tidak semata terletak pada keberaniannya melawan VOC, tetapi juga pada kemampuan kepemimpinan dan karismanya yang luar biasa, yang mampu menyatukan kelompok-kelompok berbeda latar sosial, budaya, dan politik menjadi satu kekuatan perlawanan yang tangguh. Dalam konteks sejarah Jawa dan Nusantara abad ke-17, di mana kekuasaan umumnya bersifat hierarkis dan dinasti, kemunculan seorang pemimpin akar rumput yang mampu membangun kekuatan lintas kelas dan daerah seperti Surapati adalah fenomena luar biasa dan langka.
Strategi Militer dan Taktik Gerilya
Untung Surapati, dengan latar belakang sebagai bekas prajurit VOC, memiliki pemahaman yang dalam tentang taktik tempur musuhnya. Ia mengetahui kelemahan struktur pasukan Belanda, mengenali pola patroli mereka, dan memahami cara mereka mengendalikan wilayah melalui benteng dan pos dagang. Pengetahuan ini ia gunakan untuk menyusun strategi perlawanan yang sangat efektif di medan Nusantara: perang gerilya.
Berbeda dengan pendekatan frontal ala kerajaan-kerajaan tradisional, Surapati memilih metode mobilitas tinggi, penyergapan, sabotase, dan penguasaan medan. Ia membentuk satuan-satuan kecil yang gesit dan mampu menyelinap menyerang pos VOC, merampas logistik, dan menghilang ke dalam hutan atau pemukiman lokal sebelum musuh bisa membalas. Strategi ini membuat VOC kewalahan, karena meski mereka unggul dalam jumlah pasukan dan senjata berat, mereka tidak terbiasa menghadapi musuh yang tidak bertahan di satu tempat, tidak terikat pada struktur istana, dan didukung masyarakat sekitar.
Selain taktik militer, Surapati juga menerapkan strategi wilayah dengan menjadikan Pasuruan dan daerah sekitarnya sebagai basis kekuasaan. Di sana, ia membangun kekuatan militer semi-reguler, mengorganisasi pertahanan, dan bahkan memerintah sebagai raja tanpa mahkota. Ia menerapkan sistem kepemimpinan yang bersifat fungsional—berbasis pada loyalitas, kompetensi, dan perjuangan bersama, bukan garis keturunan. Hal ini membuat para pengikutnya merasa dihormati dan memiliki peran nyata dalam perjuangan.
Kemampuannya Membentuk Koalisi dengan Bangsawan dan Rakyat
Salah satu kekuatan terbesar Untung Surapati adalah kemampuannya merangkul berbagai kelompok, dari rakyat kecil hingga bangsawan istana. Meskipun ia bukan berasal dari kelas elite, Surapati mampu membentuk jaringan politik dan aliansi strategis dengan pihak-pihak yang juga kecewa terhadap VOC dan istana Kartasura yang dianggap sebagai antek Belanda.
Di antaranya adalah koalisi informal dengan Amangkurat III, raja Mataram yang tersingkir oleh Pakubuwono I dengan dukungan VOC. Surapati melihat peluang untuk memanfaatkan konflik internal istana sebagai bagian dari strategi besar melawan dominasi Belanda. Dalam banyak hal, ia menjadi semacam “pengawal militer ideologis” bagi faksi anti-VOC dalam politik Jawa, sambil tetap menjaga otonomi kekuasaannya sendiri.
Tak hanya bangsawan, Surapati juga memperoleh dukungan luas dari rakyat jelata. Mereka melihat dalam dirinya bukan hanya pemimpin militer, tetapi juga pembela orang-orang kecil, terutama karena latar belakangnya yang sama sebagai korban ketidakadilan sosial. Ia memperlakukan pengikutnya dengan adil, membagi rampasan perang secara merata, dan membebaskan desa-desa dari pajak tinggi yang dikenakan oleh VOC atau bupati boneka.
Karisma pribadinya membuat banyak orang rela bertempur bersamanya. Ia dikenal sebagai sosok tegas namun rendah hati, pemimpin yang tidak hanya memerintah dari belakang, tetapi hadir di garis depan pertempuran. Ia berbicara dalam bahasa rakyat, bukan bahasa istana, dan hal itu memperkuat legitimasi moralnya sebagai pemimpin sejati perlawanan rakyat.
Dengan kombinasi antara strategi militer cerdas, gaya kepemimpinan inklusif, dan visi perlawanan yang melampaui dendam pribadi, Untung Surapati mampu mengubah kelompok pelarian menjadi pasukan yang ditakuti, dan wilayah buangan menjadi benteng perjuangan. Kepemimpinannya menunjukkan bahwa karisma sejati lahir dari keberanian, keadilan, dan pengorbanan, bukan dari warisan darah atau gelar semata.
Jalannya Perlawanan (1683–1706)
a. Pembelotan dan Awal Perlawanan (1683–1686)
Perlawanan Untung Surapati terhadap VOC secara terbuka dimulai pada tahun 1683, ketika ia melakukan tindakan yang akan mengubah jalan hidupnya secara drastis dan menjadikannya musuh utama Belanda di tanah Jawa: pembunuhan terhadap Kapten Ruijs, seorang perwira tinggi VOC, di dekat istana Kartasura. Aksi ini bukan sekadar tindak kriminal atau pelampiasan pribadi—ia adalah tindakan politik yang eksplosif, menjadi titik awal perlawanan bersenjata sistematis terhadap kekuasaan kolonial Belanda di tanah Jawa.
Pembunuhan Kapten Ruijs di Kartasura
Kapten Ruijs adalah salah satu perwira VOC yang bertanggung jawab atas pengawasan pasukan pribumi dan memiliki reputasi sebagai perwira keras, bahkan brutal, terhadap bawahannya. Surapati, yang saat itu telah menjadi prajurit VOC dan mendapat tugas ke Jawa Tengah, menyimpan ketegangan mendalam terhadap Ruijs, terutama akibat perlakuan yang tidak adil dan penghinaan terhadap sesama prajurit pribumi.
Menurut catatan sejarah dan beberapa versi lisan, konflik antara Surapati dan Ruijs memuncak ketika Ruijs menolak permintaan Surapati agar beberapa prajurit pribumi yang dipenjara dibebaskan, karena dianggap diperlakukan tidak adil. Perselisihan itu memicu konfrontasi, dan dalam satu kejadian dramatis, Surapati membunuh Ruijs, kemungkinan besar bersama dengan beberapa anak buahnya yang loyal.
Tindakan ini membuat Surapati menjadi buronan nomor satu VOC, dan sekaligus membuka lembaran baru dalam sejarahnya—ia tidak lagi seorang prajurit dalam sistem kolonial, melainkan pemimpin pelarian yang akan berubah menjadi pemimpin gerilyawan.
Pelarian ke Wilayah Pesisir Timur Jawa
Setelah membunuh Ruijs, Surapati dan pengikutnya melarikan diri dari Kartasura. Mereka tidak hanya berpindah tempat, tetapi juga berubah status dari prajurit menjadi pemberontak, dari alat kekuasaan kolonial menjadi musuh negara kolonial itu sendiri. Perjalanan pelariannya membawa mereka ke wilayah-wilayah pedalaman dan pesisir Jawa Timur, wilayah yang secara politik tidak terlalu dikontrol langsung oleh Kartasura maupun VOC, dan karenanya lebih kondusif untuk membentuk basis gerakan bawah tanah.
Surapati memanfaatkan wilayah pesisir timur Jawa—dari daerah sekitar Malang, Lumajang, hingga Pasuruan—sebagai tempat persembunyian sekaligus basis mobilisasi kekuatan. Wilayah ini secara historis dihuni oleh berbagai kelompok yang tidak puas terhadap kekuasaan pusat, baik karena ekonomi, agama, maupun posisi sosial. Kehadiran Surapati disambut oleh banyak rakyat kecil dan bangsawan lokal kecil yang mencari pemimpin alternatif yang berani menantang dominasi VOC dan elit istana boneka.
Membangun Basis Kekuatan di Pasuruan
Setelah melalui serangkaian pertempuran kecil dan penggalangan kekuatan selama beberapa tahun, Pasuruan akhirnya menjadi basis utama Surapati. Kota ini, yang pernah menjadi pusat perdagangan penting sebelum jatuh ke tangan VOC, memiliki posisi strategis di jalur perdagangan antara Jawa dan Bali, serta memiliki pelabuhan yang dapat digunakan untuk mengatur logistik dan komunikasi.
Di Pasuruan, Surapati mulai membangun struktur kekuasaan semi-kerajaan. Ia menetapkan sistem pertahanan, mengatur distribusi logistik dan pangan, serta menyusun pasukan militer dengan struktur yang lebih formal. Ia tidak hanya bertindak sebagai pemimpin gerilya, tetapi juga sebagai penguasa de facto yang memerintah berdasarkan legitimasi rakyat dan kekuatan militernya sendiri.
Di luar Pasuruan, nama Surapati mulai dikenal luas. Ia dianggap sebagai pahlawan oleh rakyat tertindas, dan sebagai ancaman oleh para penguasa yang tunduk pada VOC. VOC, yang sebelumnya menganggap peristiwa pembunuhan Kapten Ruijs sebagai insiden terbatas, mulai menyadari bahwa mereka kini menghadapi musuh ideologis dan militer yang terorganisir, tangguh, dan berakar di wilayah strategis.
Antara tahun 1683 dan 1686, Surapati berhasil menjadikan Pasuruan sebagai pusat kekuatan anti-kolonial, tempat berkumpulnya rakyat dari berbagai latar belakang sosial dan etnis yang bersatu dalam semangat perlawanan. Periode ini menandai fase konsolidasi awal kekuatan Surapati, dan menjadi fondasi utama bagi perlawanan besar-besaran yang akan terjadi dalam dua dekade berikutnya.
b. Koalisi dengan Bangsawan Anti-VOC
Setelah membangun basis kekuatan di Pasuruan, Untung Surapati tidak hanya mengandalkan kekuatan militernya sendiri. Ia mulai menjalin aliansi politik dengan kelompok-kelompok bangsawan dan faksi kerajaan yang juga memendam kekecewaan terhadap dominasi VOC. Strategi ini merupakan langkah taktis yang cerdas: memperluas front perlawanan dari sekadar gerakan lokal menjadi jaringan koalisi yang lebih luas, yang menggabungkan kekuatan rakyat, prajurit pelarian, dan bangsawan anti-Belanda.
Hubungan dengan Amangkurat III dan Kaum Anti-Belanda
Salah satu koalisi paling penting dan menentukan dalam perjuangan Surapati adalah hubungannya dengan Amangkurat III, raja Mataram yang sempat naik tahta tetapi kemudian diturunkan oleh VOC yang mendukung Pakubuwono I sebagai penggantinya. Peralihan kekuasaan ini bukanlah proses damai, melainkan hasil intervensi militer VOC dalam konflik suksesi di Kartasura.
Amangkurat III, meskipun memiliki klaim sah atas tahta, ditolak oleh VOC karena dianggap tidak kooperatif terhadap kepentingan kolonial. Ia kemudian dipaksa mundur dan memimpin pelarian dari pusat istana. Dalam pelariannya inilah ia menemukan kesamaan nasib dan kepentingan dengan Surapati: sama-sama tersingkir oleh kekuatan kolonial dan rezim boneka yang didukung VOC.
Pertemuan antara Surapati dan Amangkurat III menciptakan sinergi antara kekuatan militer independen dengan klaim legitimasi politik kerajaan. Meskipun Surapati bukan bangsawan dan tidak memiliki darah kerajaan, keberhasilannya dalam pertempuran dan kekuatannya yang nyata di lapangan membuat Amangkurat III mengakui pentingnya dukungan Surapati. Sebaliknya, bagi Surapati, aliansi ini memberinya basis legitimasi moral dan simbolik dalam konteks budaya Jawa, di mana kekuasaan raja tetap menjadi pusat imajinasi politik rakyat.
Dengan koalisi ini, Surapati tidak lagi hanya menjadi pemimpin pemberontakan lokal, tetapi tampil sebagai pilar utama dari poros anti-VOC di Jawa, berhadapan langsung dengan kekuasaan Pakubuwono I yang dilindungi VOC.
Simpati Rakyat dan Pemberontakan Lokal terhadap VOC
Di luar struktur istana, Surapati juga memperoleh simpati luas dari rakyat, terutama mereka yang selama ini menjadi korban sistem kolonial VOC. Penindasan ekonomi, kerja paksa, pajak berat, dan monopoli dagang VOC telah memicu kemarahan luas di berbagai pelosok Jawa. Dalam konteks ini, kehadiran Surapati dilihat sebagai harapan—sosok pemberani yang melawan bukan demi tahta, melainkan demi keadilan dan kedaulatan rakyat.
Pemberontakan-pemberontakan kecil pun mulai bermunculan, terutama di wilayah timur dan tengah Jawa. Rakyat di desa-desa membantu logistik pasukan Surapati, menyembunyikan pelarian, dan bahkan ikut serta dalam pertempuran sebagai milisi rakyat. Perlawanan terhadap VOC berubah dari konflik elite menjadi gerakan akar rumput yang meluas.
Banyak bupati dan bangsawan kecil yang semula berada di posisi netral mulai berpihak kepada Surapati, baik secara diam-diam maupun terang-terangan. Mereka menyumbangkan pasukan, informasi, dan perbekalan. Surapati pun dikenal sebagai pemimpin yang tidak arogan terhadap bangsawan dan tidak jauh dari rakyat, membuat loyalitas terhadap dirinya lebih kuat daripada kepada istana Kartasura yang tunduk pada Belanda.
VOC menyadari bahaya koalisi ini. Mereka tidak hanya menghadapi pasukan gerilya, tetapi gerakan perlawanan politik-militer yang memiliki legitimasi sosial dan dukungan luas. Koalisi antara Surapati, Amangkurat III, para bangsawan anti-Belanda, dan rakyat marjinal mengancam stabilitas kekuasaan VOC di seluruh Jawa bagian tengah dan timur.
Dengan aliansi ini, perlawanan Surapati tumbuh dari kelompok pelarian menjadi kekuatan nasionalis awal, yang bukan hanya melawan karena kalah, tapi karena menolak tunduk pada tatanan politik kolonial yang dibangun di atas pengkhianatan, ketidakadilan, dan kekerasan.
c. Penyerangan dan Perebutan Wilayah (1686–1700)
Periode antara tahun 1686 hingga 1700 menandai fase ofensif dalam perlawanan Untung Surapati. Setelah sebelumnya membangun basis kekuatan dan membentuk aliansi strategis, ia mulai melancarkan serangkaian operasi militer sistematis terhadap pos-pos VOC di Jawa Timur. Perlawanan yang semula bersifat defensif dan gerilya mulai berkembang menjadi gerakan penyerangan terbuka dan perebutan wilayah, dengan tujuan utama: mengusir pengaruh VOC dan mempertahankan otonomi kekuasaan pribumi.
Operasi Militer Melawan Pos-pos VOC di Jawa Timur
Berbekal jaringan intelijen lokal, pasukan yang terlatih, serta dukungan dari rakyat dan beberapa bangsawan anti-Belanda, Surapati meluncurkan serangan ke berbagai pos VOC yang tersebar di daerah timur seperti Bangil, Probolinggo, Lumajang, dan Mojokerto. Pos-pos tersebut biasanya dijaga oleh garnisun kecil yang difungsikan sebagai pusat perdagangan, pengumpulan pajak, dan pengawasan terhadap wilayah sekitar.
Strategi yang digunakan Surapati adalah kombinasi antara serangan kilat (hit-and-run) dan pengepungan. Ia menyerang dengan cepat, menghancurkan fasilitas VOC, menawan atau membunuh tentara Belanda, lalu segera mundur sebelum bala bantuan datang. Beberapa serangan berhasil membebaskan daerah-daerah yang telah lama ditekan oleh kekuasaan kolonial.
Dalam setiap serangan, Surapati tidak hanya menargetkan instalasi militer, tetapi juga simbol-simbol kekuasaan VOC: gudang, rumah pejabat Belanda, kapal-kapal kecil, dan kantor administrasi. Selain merusak infrastruktur kolonial, ia juga membebaskan penduduk lokal dari pajak dan kerja paksa, serta memperkenalkan sistem pemerintahan baru berbasis gotong royong dan distribusi hasil bumi yang lebih adil.
Penguasaan Wilayah Pasuruan dan Sekitarnya
Pasuruan menjadi pusat kekuatan Surapati—semacam ibu kota perlawanan. Di wilayah ini, ia membentuk semacam struktur pemerintahan yang mandiri: menunjuk kepala daerah, menetapkan sistem pajak lokal, dan membentuk pasukan reguler. Surapati bahkan menetapkan hukum adat dan sistem keadilan lokal, menciptakan stabilitas di tengah konflik berkepanjangan. Ini menunjukkan bahwa perjuangannya bukan semata pemberontakan, tetapi usaha membangun tata kekuasaan alternatif terhadap sistem kolonial.
Di sekeliling Pasuruan, desa-desa dan kota kecil lain seperti Bangil, Gempol, dan Lawang menjadi bagian dari zona pengaruh Surapati. Di wilayah ini, VOC praktis tidak memiliki kendali langsung. Beberapa garnisun Belanda yang masih bertahan terpaksa diperkuat atau ditarik mundur karena ancaman terus-menerus dari pasukan Surapati.
Pengaruhnya bahkan mulai menjangkau wilayah-wilayah di luar Jawa Timur, seperti Banyumas dan Madiun, di mana para bangsawan lokal mulai menunjukkan simpati atau dukungan terhadap gerakannya. Pasuruan pun menjadi oasis politik anti-kolonial di tengah dominasi VOC yang makin luas.
Peran Surapati dalam Mempertahankan Sisa-sisa Kedaulatan Jawa
Dalam konteks yang lebih luas, perjuangan Surapati dapat dilihat sebagai upaya mempertahankan sisa-sisa kedaulatan Jawa yang tersisa dari gempuran kolonialisme. Ketika istana Kartasura telah tunduk pada VOC dan para bangsawan banyak yang berkompromi, Surapati berdiri sebagai benteng terakhir dari gagasan Jawa merdeka.
Ia tidak mengklaim gelar raja secara resmi, tetapi dalam praktiknya memerintah sebagai penguasa mandiri, didukung oleh rakyat dan dihormati oleh para bangsawan. Ia juga menolak semua perjanjian atau pendekatan diplomatik dari VOC yang mencoba meredam perlawanan dengan kompromi politik. Surapati menolak tunduk, dan ini menjadikan dirinya sebagai simbol perlawanan yang keras kepala namun penuh integritas.
VOC sangat menyadari bahwa selama Surapati masih hidup, proyek kolonialisasi total di Jawa Timur tidak akan pernah berhasil sepenuhnya. Pasuruan menjadi titik perlawanan yang menyatukan dimensi militer, sosial, dan simbolik, serta menjadi magnet bagi rakyat yang mendambakan tatanan yang lebih adil di luar kekuasaan kolonial.
Dengan kemampuan militer yang tajam, basis rakyat yang kuat, dan visi politik yang tegas, Untung Surapati pada periode ini telah melampaui peran sebagai pemimpin pemberontakan. Ia menjadi tokoh negara tandingan, panglima rakyat, dan simbol harapan bagi Nusantara yang sedang digerogoti kekuasaan asing.
d. Puncak dan Akhir Perlawanan (1700–1706)
Periode 1700–1706 menandai fase paling genting sekaligus tragis dalam perjalanan perlawanan Untung Surapati. Setelah hampir dua dekade memimpin perjuangan anti-kolonial yang konsisten dan meluas, Surapati kini menghadapi gabungan kekuatan kolonial VOC dan kerajaan Kartasura di bawah Pakubuwono I, yang pro-Belanda. Inilah fase perang terbuka yang mengakhiri perang gerilya, dan sekaligus menjadi ujian terakhir kekuatan, visi, dan keteguhan Surapati dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan.
Perang Terbuka dengan VOC dan Kartasura Pro-Belanda
Pada awal tahun 1700-an, VOC, yang sebelumnya melakukan pendekatan militer secara bertahap dan terbatas, mulai menyadari bahwa Surapati tidak akan pernah tunduk melalui negosiasi. Mereka lalu menyusun strategi penumpasan total, kali ini dengan melibatkan kekuatan besar, termasuk pasukan kerajaan Kartasura yang telah sepenuhnya berada dalam pengaruh Pakubuwono I—raja boneka hasil intervensi VOC.
VOC memobilisasi pasukan dari Semarang, Surabaya, dan Batavia, yang terdiri atas serdadu Belanda, pasukan Ambon, Bugis, dan prajurit Jawa yang loyal kepada istana Kartasura. Gabungan kekuatan ini memiliki misi tunggal: menghancurkan kekuatan Untung Surapati di Pasuruan dan mengakhiri perlawanan secara permanen.
Situasi politik saat itu semakin rumit karena Amangkurat III, sekutu Surapati, telah kehilangan legitimasi dan terpaksa melarikan diri. Surapati praktis berdiri sendiri—meski tidak pernah benar-benar tanpa dukungan, karena rakyat dan pasukan setianya tetap bertahan bersamanya hingga akhir.
Serangan terhadap Pasukan Belanda Pendukung Pakubuwono I
Mengetahui rencana penyerbuan terhadap Pasuruan, Surapati tidak menunggu dalam posisi defensif. Ia justru melancarkan serangan pendahuluan terhadap pasukan VOC dan Kartasura yang bergerak menuju wilayah kekuasaannya. Serangan-serangan ini, meski heroik dan menimbulkan kerugian besar di pihak lawan, tidak mampu membendung gelombang kekuatan besar yang datang secara terus-menerus dari arah barat dan utara.
Surapati menerapkan kembali taktik gerilya, serangan malam, dan penyergapan hutan, namun kondisi pasukannya yang mulai kelelahan, logistik yang terbatas, dan runtuhnya beberapa titik pertahanan kecil membuat posisi Pasuruan semakin terdesak. Ia tetap menolak mundur ke luar Jawa atau menyerahkan diri—pilihan yang bisa menyelamatkan nyawanya tetapi akan mengkhianati semangat perjuangannya.
VOC, menyadari simbolisme Surapati, berupaya tidak hanya menghancurkan kekuatan militernya, tetapi juga menghapus pengaruh moral dan ideologisnya. Mereka menyebarkan propaganda bahwa Surapati adalah pemberontak tanpa tujuan, menghasut bupati-bupati lokal untuk kembali tunduk, dan menawarkan hadiah besar atas kepala Surapati.
Pertempuran Terakhir di Bangil (1706) dan Gugurnya Surapati
Puncak dari seluruh rangkaian konflik ini terjadi pada tahun 1706 di Bangil, wilayah dekat Pasuruan yang menjadi garis pertahanan terakhir pasukan Surapati. Dalam pertempuran besar yang berlangsung sengit dan berdarah, pasukan VOC dan Kartasura mengepung Bangil dari berbagai arah, memaksa pasukan Surapati bertahan mati-matian.
Surapati, meskipun telah berusia lanjut, tetap turun langsung ke medan pertempuran, memimpin pasukannya dengan semangat juang yang tak surut. Dalam pertempuran ini, pasukan Surapati kalah jumlah dan perlengkapan, namun bertempur dengan keberanian luar biasa.
Menurut sumber-sumber Belanda dan lokal, Untung Surapati gugur dalam pertempuran ini, menjadikan 1706 sebagai tahun akhir dari perjuangan fisik seorang tokoh yang telah mengguncang dominasi kolonial selama lebih dari dua dekade. Beberapa versi menyatakan bahwa tubuhnya tidak pernah ditemukan secara resmi, menambah unsur mitologis terhadap kisahnya. Namun yang pasti, dengan gugurnya Surapati, Pasuruan jatuh ke tangan VOC, dan perlawanan berskala besar di Jawa Timur memasuki masa surut.
Meski perlawanan bersenjata berakhir, nama Untung Surapati tidak pernah lenyap dari ingatan rakyat. Ia dikenang bukan sebagai pemberontak, tetapi sebagai pahlawan yang melawan ketidakadilan dengan keteguhan yang langka dalam sejarah. Ia membuktikan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada jumlah pasukan atau garis keturunan, tetapi pada jiwa yang tidak pernah tunduk pada tirani.
Strategi Politik dan Militer Surapati
Dalam menghadapi kekuatan raksasa seperti VOC yang memiliki pasukan profesional, logistik kuat, serta dukungan dari kerajaan boneka seperti Kartasura, Untung Surapati menunjukkan kematangan strategi dan kejelian taktis yang luar biasa. Perjuangannya selama lebih dari dua dekade bukan hanya ditopang oleh semangat, tapi oleh strategi militer dan politik yang cermat. Surapati memahami bahwa untuk menghadapi musuh yang lebih kuat secara konvensional, ia harus mengubah medan permainan: menggunakan keunggulan lokal, membangun aliansi akar rumput, dan memanfaatkan mobilitas sebagai kekuatan utama.
Taktik Gerilya dan Pemanfaatan Medan
Salah satu keunggulan utama Surapati adalah kemampuannya dalam perang gerilya, yang kala itu belum sepenuhnya dipahami oleh militer kolonial Eropa. Ia menghindari perang terbuka di dataran luas dan lebih memilih penyergapan di hutan, serangan malam, penghadangan logistik, dan manuver cepat. Strategi ini membuat pasukannya sulit dilacak dan sering memaksa VOC bertempur dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Surapati juga sangat mengenal medan geografis Jawa Timur, dari lembah dan bukit di sekitar Pasuruan hingga jalur pedalaman ke arah Lumajang dan Malang. Ia memanfaatkan medan tersebut sebagai benteng alami, sekaligus sebagai jalur pelarian atau penghubung logistik. Banyak pos pertahanan VOC diserang saat sedang lengah atau dalam posisi tidak strategis, karena Surapati mengatur waktu dan lokasi pertempuran dengan sangat hati-hati.
Penguasaan Komunikasi Lokal dan Mobilitas Cepat
Di luar aspek militer, Surapati juga unggul dalam menguasai komunikasi sosial dan jaringan lokal. Ia membangun relasi dengan tokoh-tokoh desa, pemuka adat, dan bahkan kelompok masyarakat bawah yang selama ini ditindas oleh sistem VOC. Dari jaringan ini, ia mendapatkan informasi intelijen, bantuan logistik, bahkan jalur persembunyian dan pelarian.
Pasukannya juga dilatih untuk bergerak cepat dan fleksibel, tanpa tergantung pada struktur birokrasi besar seperti milik VOC. Ini memungkinkan Surapati untuk berpindah posisi dalam waktu singkat, memukul musuh di tempat yang tak terduga, dan menghilang sebelum bala bantuan VOC tiba. Kecepatan dan kelincahan ini membuat banyak pasukan VOC frustrasi karena tidak mampu memaksa Surapati bertempur secara konvensional.
Koalisi dengan Bangsawan Lokal Anti-Kolonial
Strategi politik Surapati sangat efektif dalam merangkul bangsawan-bangsawan lokal yang kecewa terhadap VOC. Ia bukan hanya seorang jenderal, tetapi juga seorang diplomat yang pandai membaca situasi. Melalui pendekatan personal, pernikahan politik, atau janji perlindungan, ia berhasil membangun koalisi horizontal dengan elite lokal yang tetap ingin mempertahankan otonomi mereka dari cengkeraman kolonial.
Koalisi terbesarnya adalah dengan Amangkurat III, yang memperkuat legitimasi politik Surapati sebagai pejuang bukan sekadar dari luar, tapi bagian dari pertarungan kekuasaan internal Jawa yang sah. Selain itu, banyak bupati dan pemuka daerah di wilayah timur memilih diam-diam mendukung Surapati karena ia memberikan alternatif kekuasaan yang adil dan bersifat lokal, dibandingkan Kartasura yang sudah dikendalikan Belanda.
Perbandingan Kekuatan dengan VOC
Dalam hal kekuatan militer dan material, jelas bahwa VOC unggul jauh. Mereka memiliki pasukan bersenjata lengkap, meriam, senapan, kapal-kapal cepat, dan akses ke jaringan pasokan dari Batavia hingga Maluku. Namun keunggulan itu tidak otomatis menjamin kemenangan cepat. Surapati membuktikan bahwa dengan strategi gerilya, kekuatan kecil yang bergerak cepat dan didukung oleh rakyat bisa bertahan bahkan memberi tekanan kepada kekuatan besar sekalipun.
VOC mengandalkan struktur komando yang kaku dan rantai pasokan panjang—kelemahan yang bisa diserang oleh pasukan Surapati. Ia menyerang logistik VOC, memotong jalur komunikasi, dan menimbulkan kerugian psikologis yang besar karena VOC dipaksa bertempur di luar gaya perangnya sendiri.
Kelebihan dan Keterbatasan Logistik Perlawanan
Kelebihan utama logistik Surapati adalah dukungan rakyat lokal. Pasukan Surapati tidak menggantungkan diri pada sistem distribusi resmi, melainkan pada gotong royong masyarakat desa, penyamaran dalam komunitas, dan perbekalan hasil rampasan dari pos VOC. Ia membentuk sistem distribusi sederhana namun efisien, memungkinkan pasukannya tetap bertahan dalam jangka panjang meskipun terkepung.
Namun, keterbatasannya juga jelas. Surapati tidak memiliki akses senjata berat seperti meriam, tidak mampu memproduksi senjata sendiri, dan sangat rentan jika jalur logistik terganggu atau dikhianati. Dalam jangka panjang, tekanan dari VOC yang terus meningkatkan kekuatan militer dan politik menyebabkan keterbatasan ini menjadi krusial, terutama menjelang akhir perjuangan di Bangil.
Keseluruhan strategi Untung Surapati menunjukkan kematangan seorang pemimpin rakyat dan pejuang kemerdekaan awal, yang menggabungkan kemampuan militer, pemahaman sosial, serta kecerdasan politik. Ia adalah contoh bahwa perlawanan terhadap kolonialisme di Nusantara bukan reaksi spontan, melainkan hasil dari perencanaan strategis dan kepemimpinan yang visioner.
Dampak dan Warisan Perlawanan Surapati
a. Politik dan Sosial
Perlawanan yang dipimpin Untung Surapati selama lebih dari dua dekade bukan hanya peristiwa militer, tetapi juga momen transformatif dalam sejarah sosial-politik Jawa dan Nusantara. Dampaknya terasa luas, tidak hanya dalam konteks pertempuran langsung, tetapi juga dalam pembentukan kesadaran kolektif, strategi kekuasaan lokal, serta munculnya tradisi perlawanan yang lebih terorganisir terhadap kolonialisme VOC.
Melemahnya Cengkeraman Penuh VOC di Wilayah Jawa Timur
Meskipun VOC akhirnya berhasil membunuh Surapati dan menduduki kembali Pasuruan, cengkeraman mereka di Jawa Timur tidak pernah benar-benar stabil setelah itu. Perlawanan Surapati membuat wilayah timur menjadi zona konflik berkepanjangan, di mana kepercayaan rakyat terhadap otoritas VOC dan kerajaan boneka seperti Kartasura terus merosot.
VOC terpaksa mengalokasikan sumber daya besar untuk mengawasi, menstabilkan, dan menjaga wilayah-wilayah yang sebelumnya berada di bawah pengaruh Surapati. Mereka harus membangun kembali garnisun, memulihkan jaringan logistik, serta menghadapi perlawanan sporadis dari sisa-sisa pasukan dan pendukung Surapati yang tetap hidup di pedalaman. Ini membuat biaya operasi kolonial di Jawa Timur menjadi lebih tinggi dan menguras kekuatan VOC di wilayah lain.
Meningkatnya Semangat Perlawanan di Kalangan Rakyat dan Elite Lokal
Kisah dan keteladanan Untung Surapati menyebar ke berbagai penjuru Jawa, bahkan hingga ke luar pulau. Ia dikenang sebagai tokoh yang bukan berasal dari garis keturunan bangsawan, namun mampu menantang kekuatan besar dan mendirikan kekuasaan mandiri. Ini memberikan harapan baru bagi rakyat kecil bahwa perlawanan bukan hak eksklusif raja atau aristokrat, tetapi dapat dipimpin oleh siapa saja yang memiliki keberanian, strategi, dan keadilan sebagai pijakan moral.
Di kalangan bangsawan lokal, terutama mereka yang kecewa terhadap VOC atau tersingkir dari kekuasaan, keberhasilan Surapati dalam membentuk koalisi dan menciptakan basis kekuasaan menunjukkan bahwa jalur alternatif di luar istana dan VOC mungkin dilakukan. Hal ini memperkuat semangat perlawanan di daerah lain, seperti dalam gerakan Raden Rangga di Madura, Trunojoyo, hingga kemudian munculnya tokoh-tokoh seperti Sultan Agung II atau perlawanan di Banten dan Priangan.
Penciptaan Preseden Pemberontakan Sistemik terhadap VOC
Salah satu warisan strategis paling penting dari perjuangan Surapati adalah diciptakannya preseden pemberontakan yang bersifat sistemik dan terorganisir terhadap VOC. Sebelum era Surapati, perlawanan terhadap VOC cenderung bersifat sporadis, lokal, dan cepat dihancurkan. Namun Surapati membuktikan bahwa dengan basis rakyat, dukungan elite lokal, dan strategi militer yang tepat, gerakan anti-kolonial bisa bertahan lama bahkan mendirikan struktur kekuasaan alternatif.
Preseden ini membuka jalan bagi model perlawanan baru, yang tidak lagi hanya bertumpu pada kekuatan simbolik atau moral, tetapi juga kekuatan militer praktis dan basis sosial-politik. Konsep “wilayah bebas VOC” yang diciptakan Surapati di Pasuruan menjadi inspirasi bagi perlawanan berikutnya—bahwa penjajahan bisa dilawan tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan mengambil alih wilayah, membangun pemerintahan, dan menolak sistem kolonial secara menyeluruh.
Dengan demikian, meskipun secara militer Surapati akhirnya gugur dan kekuasaannya direbut kembali, dampak politik dan sosial dari perlawanan yang ia pimpin jauh melampaui kekalahan di medan perang. Ia menanamkan gagasan bahwa kedaulatan adalah hak setiap komunitas, bahwa penjajahan dapat dilawan dengan cara terorganisir, dan bahwa kemerdekaan adalah perjuangan kolektif, bukan hadiah dari istana atau kekuasaan asing.
b. Warisan Ideologis
Perlawanan Untung Surapati bukan hanya peristiwa historis, tetapi juga tonggak ideologis dalam sejarah perjuangan Nusantara. Ia meninggalkan warisan yang jauh lebih besar daripada sekadar kemenangan atau kekalahan militer. Warisan itu hidup dalam bentuk nilai-nilai, simbol-simbol perlawanan, dan inspirasi bagi generasi pejuang di masa selanjutnya. Dalam konteks politik kolonialisme dan nasionalisme, Surapati adalah pelopor dari gagasan perlawanan rakyat non-dinasti yang menjungkirbalikkan hierarki sosial dan mengedepankan keadilan sebagai prinsip perjuangan.
Surapati sebagai Simbol Perlawanan dari Rakyat Biasa
Salah satu aspek paling menonjol dari warisan ideologis Surapati adalah latar belakangnya sebagai rakyat biasa—bahkan budak. Ia bukan bangsawan, bukan pangeran, bukan tokoh agama besar. Ia adalah orang dari kalangan bawah yang tertindas, namun bangkit dan memimpin perlawanan berskala nasional melawan kekuasaan kolonial dan pengkhianatan elite.
Hal ini membuat Surapati menjadi simbol pembebasan dari struktur feodal dan kolonial sekaligus. Ia membuktikan bahwa kemerdekaan bukan monopoli bangsawan, dan bahwa keberanian serta keteguhan hati bisa melampaui garis keturunan. Dalam tradisi lisan dan ingatan rakyat, Surapati hidup sebagai sosok yang mewakili mereka yang tersingkir, namun tidak menyerah.
Inspirasi bagi Gerakan Anti-Kolonial Selanjutnya
Gagasan dan tindakan Surapati menjadi inspirasi langsung maupun tidak langsung bagi banyak gerakan anti-kolonial di abad-abad berikutnya. Perlawanan yang ia bangun menunjukkan bahwa kolonialisme bisa dilawan secara strategis dan terorganisir. Hal ini menjadi contoh nyata bagi para pejuang lokal, dari perlawanan lokal di Priangan, Banten, hingga inspirasi jangka panjang bagi gerakan kebangsaan modern pada abad ke-19 dan 20.
Dalam narasi nasionalisme Indonesia, Surapati adalah salah satu cikal bakal pejuang kemerdekaan yang tidak tunduk pada kekuasaan kolonial dan tidak tunduk pula pada struktur kekuasaan internal yang kolaboratif. Ia menjadi bagian dari fondasi moral bahwa perjuangan bangsa tidak melulu harus lahir dari elite formal atau kerajaan, melainkan dapat muncul dari akar rumput dan gerakan rakyat.
Model Perjuangan Non-Dinasti dalam Sejarah Nusantara
Sejarah Nusantara sebelum Surapati didominasi oleh model kepemimpinan dinastik: raja-raja, sultan, bangsawan agung. Perlawanan seringkali terikat pada perebutan tahta atau konflik istana. Surapati menghadirkan model baru: perjuangan berbasis rakyat, tidak bergantung pada legitimasi darah, tetapi pada kemampuan memimpin, menyusun strategi, dan membangun koalisi sosial.
Model ini memiliki resonansi yang kuat di era modern. Ia mewariskan paradigma bahwa kekuasaan yang adil tidak harus datang dari warisan tahta, tapi dari legitimasi perjuangan dan kepercayaan rakyat. Dalam kerangka itulah, Surapati sering disandingkan dengan para pemimpin revolusioner di belahan dunia lain—pemimpin yang lahir dari rakyat, menolak kekuasaan korup, dan berjuang demi kemerdekaan kolektif.
Dengan demikian, warisan ideologis Surapati jauh melampaui zamannya. Ia tidak hanya dikenang sebagai pemimpin perang, tetapi sebagai ikon gerakan pembebasan, sebagai simbol keadilan dan perlawanan yang hidup di luar struktur kekuasaan lama, dan sebagai pendobrak batas sosial yang menunjukkan bahwa martabat manusia tidak ditentukan oleh kelahiran, tetapi oleh tindakan dan keyakinan.
c. Jejak Geografis dan Kultural
Perlawanan Untung Surapati meninggalkan jejak bukan hanya dalam lembaran sejarah, tetapi juga dalam landskap geografis dan kebudayaan lokal di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Nama dan perjuangannya dikenang dalam berbagai bentuk: nama tempat, situs sejarah, tradisi lisan, hingga simbol identitas lokal. Jejak-jejak ini menjadi bukti bahwa sosok Surapati hidup lebih lama dari usianya, terus menjadi bagian dari kesadaran kolektif masyarakat yang pernah menjadi saksi atau pewaris perjuangannya.
Tempat-Tempat yang Terkait: Pasuruan, Bangil, Kartasura
Tiga wilayah utama yang berkaitan erat dengan kisah hidup dan perjuangan Surapati adalah Pasuruan, Bangil, dan Kartasura:
- Pasuruan menjadi markas utama perjuangan Surapati selama hampir dua dekade. Di wilayah ini ia tidak hanya bertahan, tetapi juga membangun kekuasaan semi-kerajaan yang mandiri. Hingga kini, berbagai toponimi dan cerita rakyat di Pasuruan masih menyimpan kenangan akan sosok Surapati. Beberapa wilayah di kabupaten ini bahkan dikenal dengan julukan “daerah bekas kekuasaan Surapati.”
- Bangil, yang terletak tidak jauh dari Pasuruan, menjadi lokasi pertempuran terakhir dan tempat gugurnya Surapati pada tahun 1706. Meski tidak banyak situs fisik tersisa akibat pergantian zaman, namun Bangil tetap menjadi titik penting dalam narasi kepahlawanan Surapati. Beberapa komunitas lokal mengenang Bangil sebagai “tanah keramat pejuang,” dan ada upaya dari kalangan budayawan untuk menjadikan kawasan ini sebagai situs memori perjuangan anti-kolonial.
- Kartasura, tempat Surapati pertama kali membunuh Kapten Ruijs dan memulai perjalanannya sebagai pelarian dan pejuang, menyimpan peran penting dalam bab awal narasi Surapati. Istana Kartasura saat itu menjadi simbol rezim pro-VOC yang kemudian ditentangnya. Meski tidak menjadi basis perlawanan, Kartasura adalah latar krusial dalam transformasi ideologis Surapati dari alat kolonial menjadi musuhnya.
Peringatan dan Pelestarian Nama Untung Surapati dalam Budaya Lokal
Nama Untung Surapati tidak hilang ditelan waktu. Di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur, nama “Surapati” diabadikan dalam nama jalan, sekolah, dan bahkan desa. Kota-kota seperti Malang, Pasuruan, dan Surabaya memiliki jalan utama bernama “Jalan Untung Surapati”, sebagai bentuk penghormatan atas perjuangannya. Ini merupakan bentuk pengakuan negara dan masyarakat terhadap kontribusinya dalam sejarah nasional.
Dalam tradisi lisan, kisah Surapati masih diceritakan dalam babad lokal, cerita wayang rakyat, dan tembang Jawa. Ia sering digambarkan sebagai sosok pemberani, cerdas, dan bermartabat—seorang “kesatria tanpa tahta” yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Di beberapa komunitas, khususnya di Pasuruan dan Bangil, surapati dihormati secara simbolik seperti leluhur lokal, terutama oleh keturunan pendukungnya yang masih hidup di wilayah tersebut.
Selain itu, dalam konteks kebudayaan nasional, Surapati telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh pemerintah. Pengakuan ini bukan hanya simbolik, tetapi juga menegaskan posisi Surapati dalam narasi besar sejarah perjuangan bangsa, sejajar dengan tokoh-tokoh seperti Sultan Hasanuddin, Diponegoro, dan Imam Bonjol.
Jejak geografis dan kultural ini memperlihatkan bahwa meskipun perlawanan Surapati terjadi lebih dari tiga abad lalu, gaung perjuangannya tetap hidup dalam ruang dan memori masyarakat. Ia bukan sekadar tokoh sejarah, tetapi telah menjadi bagian dari identitas lokal dan nasional, warisan yang mengingatkan generasi penerus bahwa keberanian, keadilan, dan pengabdian kepada rakyat tidak mengenal batas zaman.
Relevansi dalam Sejarah Nasional
Untung Surapati bukan sekadar tokoh lokal atau figur heroik dalam sejarah daerah Jawa Timur, melainkan telah menjelma menjadi simbol perjuangan nasional. Warisannya melampaui konteks waktu dan tempat, menghadirkan relevansi yang kuat dalam narasi kebangsaan Indonesia modern. Baik sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme maupun sebagai representasi nilai-nilai keadilan sosial, perjuangan Surapati tetap aktual dan inspiratif hingga hari ini.
Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengangkat Untung Surapati sebagai Pahlawan Nasional, sebuah pengakuan negara atas kontribusi luar biasa yang ia berikan dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme. Pengakuan ini menempatkan Surapati sejajar dengan tokoh-tokoh besar lain seperti Sultan Hasanuddin, Pangeran Diponegoro, dan Imam Bonjol—para pejuang yang berdiri teguh melawan kekuasaan asing demi membela martabat rakyat dan tanah air.
Pengakuan ini juga merupakan bentuk pemulihan narasi, karena dalam sejarah kolonial Belanda, Surapati sering digambarkan sebagai “pemberontak” atau “pengacau.” Dalam narasi nasional, ia direhabilitasi sebagai pembela rakyat yang menolak tunduk pada kekuasaan zalim, sebuah contoh nyata bahwa sejarah ditulis ulang berdasarkan nilai dan perjuangan yang berpihak pada kemerdekaan dan keadilan.
Nilai-Nilai Patriotisme dan Keadilan yang Diusung
Surapati adalah salah satu contoh paling kuat dari patriotisme yang lahir dari kesadaran personal dan pengalaman penindasan. Ia tidak diwarisi tahta atau kuasa, namun justru membangun wibawa dan pengaruh dari bawah—melalui keberanian, kepemimpinan, dan komitmen terhadap keadilan sosial. Ia menunjukkan bahwa patriotisme tidak lahir dari kepentingan golongan, tetapi dari cinta terhadap tanah dan rakyat.
Nilai-nilai yang diusung Surapati sangat relevan dengan semangat nasionalisme modern:
- Anti-penindasan dan penolakan terhadap kekuasaan yang mengabaikan hak rakyat.
- Persatuan antara rakyat kecil dan elite lokal dalam menghadapi musuh bersama.
- Kemandirian dan harga diri, menolak kompromi dengan kekuasaan asing meski dihadapkan pada risiko besar.
- Pengabdian tanpa pamrih, karena ia tidak mengejar kekuasaan formal, tetapi memperjuangkan ruang kebebasan bagi bangsanya.
Nilai-nilai ini menjadi fondasi ideologis dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia pada abad ke-20, dan tetap menjadi pengingat moral bagi para pemimpin bangsa saat ini.
Relevansi Surapati dalam Konteks Perlawanan Modern terhadap Dominasi Asing
Dalam konteks kekinian, kisah Untung Surapati tetap relevan, terutama ketika Indonesia menghadapi tantangan globalisasi, intervensi ekonomi asing, dan infiltrasi budaya luar yang dapat menggerus kedaulatan. Surapati menunjukkan bahwa perlawanan terhadap dominasi asing tidak selalu harus bersifat militer, tetapi bisa hadir dalam bentuk kesadaran politik, konsolidasi kekuatan rakyat, dan penegakan keadilan dalam skala lokal maupun nasional.
Surapati juga mengajarkan bahwa perjuangan tidak harus menunggu legalitas atau kekuasaan formal, tetapi bisa tumbuh dari inisiatif rakyat dan komunitas yang sadar akan haknya. Dalam era kontemporer, ini dapat dimaknai sebagai dorongan untuk:
- Membangun kemandirian ekonomi nasional.
- Memperjuangkan keadilan sosial dan pemerintahan yang bersih.
- Menolak dominasi politik dan investasi asing yang merugikan rakyat.
Ia menjadi cermin keberanian untuk berdiri di luar sistem yang korup dan pro-kolonial, dan menunjukkan bahwa kedaulatan sejati tidak bisa ditukar dengan stabilitas semu atau kompromi politik.
Dengan demikian, relevansi Untung Surapati tidak hanya terletak pada sejarahnya, tetapi pada pesan perjuangan yang terus hidup. Ia bukan sekadar nama di monumen atau buku sejarah, tetapi sosok teladan yang terus menginspirasi perjuangan bangsa dalam mempertahankan kedaulatan, keadilan, dan harga diri, di masa lalu, kini, dan masa depan.
Jejak Surapati: Dari Budak Menjadi Lambang Perlawanan Nusantara
Kisah perjuangan Untung Surapati merupakan salah satu narasi paling menggetarkan dalam sejarah Nusantara. Dari seorang budak belian asal Bali, ia menjelma menjadi panglima rakyat, pemimpin pasukan yang diperhitungkan oleh kekuatan kolonial terbesar saat itu: VOC. Ia bukan dilahirkan dalam istana, bukan pula pewaris tahta, namun sejarah mencatat namanya sejajar dengan para raja dan pahlawan agung. Dalam situasi yang nyaris tanpa peluang, ia membalikkan keadaan dan menciptakan alternatif kekuasaan merdeka di tengah laju kolonialisasi Eropa.
Perjalanan panjangnya dari Kartasura hingga gugur di Bangil mencerminkan tiga nilai utama yang terus relevan hingga hari ini:
- Kesetaraan, karena Surapati menunjukkan bahwa siapa pun—apa pun latar belakangnya—berhak memimpin dan berjuang demi keadilan.
- Harga diri, karena ia menolak tunduk pada kekuasaan zalim, meski harus menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar.
- Keberanian, karena ia tidak sekadar melawan, tetapi membangun struktur perjuangan yang mandiri dan tahan lama.
Dalam semangat itu, Surapati bukan sekadar tokoh militer, tetapi arsitek ideologis perlawanan rakyat—mereka yang tidak puas hanya dengan kompromi, dan tidak takut mendobrak tatanan kolonial yang menindas.
Sejarah Indonesia modern tidak bisa dilepaskan dari fondasi-fondasi perjuangan seperti yang ditanamkan oleh Surapati. Ia mewakili transisi penting dari perlawanan yang berbasis dinasti menuju perjuangan rakyat yang lebih horizontal dan berbasis moralitas keadilan. Kisahnya perlu terus dihidupkan dalam pendidikan, budaya, dan wacana kebangsaan agar generasi mendatang menyadari bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil keberanian orang-orang seperti Surapati yang rela kehilangan segalanya demi martabat tanah air.
Untung Surapati bukan hanya milik masa lalu, melainkan juga milik masa depan Indonesia. Ia adalah pengingat abadi bahwa kekuasaan yang adil harus dibangun dari keberpihakan pada rakyat, dari tekad untuk merdeka, dan dari keberanian untuk berdiri sendiri meski dunia menolak.