Perang Banten (1750-an): Konflik Internal dan Intervensi Kolonial

Kesultanan Banten pada abad ke-18 merupakan salah satu kekuatan politik dan ekonomi penting di wilayah barat Nusantara. Sejak abad ke-16, Banten telah tumbuh menjadi kerajaan maritim yang kuat, berperan sebagai pelabuhan utama di ujung barat Pulau Jawa dan penghubung penting antara jalur perdagangan India–Timur Tengah dengan Nusantara dan Tiongkok. Dengan kekuatan armada lautnya serta kontrol atas komoditas strategis seperti lada, Banten menjadi pusat perdagangan internasional yang bersaing langsung dengan Batavia—markas utama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) di Hindia Belanda.

Namun, memasuki abad ke-18, kejayaan Banten mulai digerogoti oleh konflik internal dan tekanan eksternal. Di dalam istana, muncul persaingan tajam antara faksi-faksi bangsawan, pangeran muda, dan kelompok ulama istana, yang masing-masing memiliki agenda sendiri. Di sisi lain, VOC melihat ketidakstabilan ini sebagai peluang untuk memperluas pengaruh politik dan ekonominya atas wilayah yang selama ini tetap mempertahankan kedaulatannya. Banten yang dulu dikenal karena kekokohan militernya dan semangat anti-kolonialisme di bawah Sultan Ageng Tirtayasa, mulai terpecah oleh infiltrasi diplomatik, tekanan ekonomi, dan strategi adu domba dari pihak luar.

Kondisi ini memuncak dalam serangkaian konflik yang meletus di pertengahan abad ke-18, yang kini dikenal sebagai Perang Banten 1750-an. Meskipun perang ini tidak seterkenal perlawanan Diponegoro atau perang Makassar, peristiwa ini menyimpan nilai historis besar sebagai titik balik yang menandai keruntuhan kedaulatan penuh Kesultanan Banten dan masuknya kekuasaan kolonial secara sistematis ke dalam jantung politik lokal.

Tulisan ini bertujuan untuk mengulas secara menyeluruh dinamika latar belakang sosial-politik yang memicu konflik, tokoh-tokoh utama yang terlibat dalam pertarungan kekuasaan, jalannya peristiwa perang dan intervensi VOC, serta dampaknya terhadap struktur politik, sosial, dan ekonomi di Banten dan wilayah sekitarnya. Dengan memahami Perang Banten secara utuh, kita dapat melihat bagaimana sebuah kerajaan besar bisa runtuh bukan hanya karena kekuatan asing, tetapi karena rapuhnya solidaritas internal dan kegagalan dalam mempertahankan kedaulatan bersama.

Latar Belakang Konflik

a. Posisi Strategis Kesultanan Banten

Kesultanan Banten memiliki posisi geografis yang sangat strategis dalam konteks geopolitik dan ekonomi kawasan Asia Tenggara. Terletak di ujung barat Pulau Jawa, Banten menghadap langsung ke Selat Sunda, salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia yang menghubungkan Laut Jawa dengan Samudra Hindia. Jalur ini merupakan pintu gerbang utama antara kawasan Asia Timur dengan Asia Selatan, Timur Tengah, dan Eropa. Sejak masa awal kesultanannya pada abad ke-16, posisi ini telah menjadikan Banten sebagai pelabuhan internasional penting yang disinggahi kapal-kapal dari Gujarat, Persia, Arab, Tiongkok, hingga bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Inggris, dan Belanda.

Selain letaknya yang menguntungkan secara maritim, Banten juga dikenal sebagai penghasil utama komoditas lada (merica)—barang dagangan paling bernilai tinggi di pasar internasional kala itu. Daerah pedalaman seperti Lampung, yang berada di bawah pengaruh Banten, menghasilkan lada dalam jumlah besar yang kemudian diekspor ke berbagai belahan dunia melalui pelabuhan Banten. Kontrol atas komoditas ini menjadikan Kesultanan Banten kaya, berpengaruh, dan diperhitungkan oleh kekuatan dagang global.

Di samping kekuatan ekonomi, posisi strategis ini juga memberi Banten peran penting secara politik dan militer. Kesultanan ini mampu menjalin hubungan diplomatik yang luas, mempertahankan kekuatan angkatan lautnya, dan menjadi penyeimbang kekuasaan terhadap pengaruh Portugis di Malaka dan kemudian VOC di Batavia. Dalam beberapa periode, Banten bahkan menjadi pelindung atau sekutu kerajaan-kerajaan kecil di pesisir barat Sumatra dan selatan Kalimantan, memperkuat statusnya sebagai kekuatan regional maritim yang otonom.

Namun, keunggulan strategis inilah yang juga menjadikan Banten sebagai sasaran ambisi kekuasaan kolonial. VOC memandang posisi Banten tidak hanya sebagai pesaing dalam perdagangan, tetapi juga sebagai ancaman geopolitik terhadap dominasi mereka di Batavia dan jalur niaga Nusantara barat. Sejak abad ke-17, VOC telah beberapa kali mencoba mengendalikan Banten melalui blokade ekonomi, perjanjian tidak setara, dan intervensi diplomatik. Ketika stabilitas internal Banten mulai melemah pada abad ke-18, peluang VOC untuk menguasai secara langsung wilayah tersebut pun semakin terbuka.

Dengan demikian, posisi strategis Kesultanan Banten bukan hanya menjadi dasar kekuatannya, tetapi juga menjadi sumber kerentanannya. Di tengah tekanan ekonomi global dan ketegangan lokal, keunggulan geografis ini berubah menjadi medan konflik antara kekuasaan tradisional lokal dan kepentingan kolonial asing—sebuah dinamika yang menjadi benih dari Perang Banten di tahun 1750-an.


b. Persaingan Elite Istana dan Fragmentasi Kekuasaan

Salah satu penyebab utama keruntuhan internal Kesultanan Banten pada pertengahan abad ke-18 adalah konflik berkepanjangan antar elite istana, yang melibatkan pertarungan kepentingan antara sultan yang berkuasa, pangeran-pangeran kerajaan, bangsawan, dan faksi birokrasi. Perselisihan ini bukan sekadar konflik pribadi atau persaingan kekuasaan biasa, melainkan mencerminkan krisis legitimasi dan fragmentasi politik yang menggerogoti fondasi negara dari dalam.

Di dalam istana, terdapat perpecahan antara generasi tua—yang masih mengusung cita-cita kemandirian seperti pada masa Sultan Ageng Tirtayasa—dengan generasi muda yang lebih pragmatis dan cenderung kompromistis terhadap kekuatan kolonial. Sultan-sultan penerus Ageng, termasuk Sultan Haji dan penggantinya, menghadapi dilema antara mempertahankan kekuasaan secara absolut atau harus berbagi pengaruh dengan kelompok internal istana yang kuat dan memiliki hubungan patronase dengan pihak luar, termasuk VOC.

Faksi pangeran-pangeran muda sering kali tidak puas dengan peran simbolik dalam struktur istana. Mereka menuntut kekuasaan politik dan administratif yang lebih besar, bahkan sebagian mulai membangun kekuatan sendiri di daerah-daerah kekuasaan (kadipaten), menciptakan semacam semi-otonomi yang melemahkan kendali pusat. Sementara itu, beberapa elite birokrasi dan panglima istana memanfaatkan konflik antar pangeran untuk memperluas pengaruh mereka secara diam-diam, baik melalui persekongkolan internal maupun lewat persekutuan tersembunyi dengan kekuatan eksternal seperti VOC.

Ketegangan ini diperparah oleh kurangnya sistem suksesi yang kuat dan transparan. Sengketa pewarisan tahta menjadi pemicu utama fragmentasi istana. Ketika seorang pangeran merasa tersingkir dari jalur pewarisan, ia cenderung mencari dukungan dari pihak luar atau membentuk aliansi dengan kelompok bangsawan yang tidak puas. VOC, yang memiliki kepentingan strategis di Banten, memanfaatkan situasi ini dengan mendukung kandidat-kandidat pro-VOC dalam perebutan kekuasaan, sembari menawarkan “bantuan” keamanan dan ekonomi yang pada hakikatnya adalah bentuk infiltrasi politik.

Pada akhirnya, konflik internal ini tidak hanya melemahkan kekuatan militer dan diplomatik Kesultanan Banten, tetapi juga menciptakan celah besar bagi intervensi VOC. Istana yang seharusnya menjadi pusat kendali pemerintahan berubah menjadi medan perebutan pengaruh, tempat di mana persatuan digantikan oleh intrik, pengkhianatan, dan kooptasi.

Fragmentasi kekuasaan ini menjadi akar dari melemahnya daya tahan Banten ketika konfrontasi terbuka dengan VOC meletus di tahun 1750-an. Tanpa kesatuan internal, Kesultanan Banten kehilangan kemampuan untuk bertahan menghadapi tekanan eksternal yang sistematis dan agresif. Dalam konteks ini, perang yang terjadi bukan semata-mata akibat invasi luar, melainkan juga akibat kerapuhan internal yang membukakan jalan bagi dominasi kolonial.


c. Intervensi dan Kepentingan VOC

VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) adalah perusahaan dagang Belanda yang dalam praktiknya bertindak sebagai entitas kolonial dengan kekuatan militer dan politik. Sejak abad ke-17, VOC telah menjadikan kawasan barat Nusantara—khususnya Banten—sebagai wilayah kunci dalam strategi hegemoni dagangnya. Banten yang makmur, mandiri, dan terbuka terhadap berbagai bangsa dianggap sebagai rintangan besar terhadap kebijakan monopoli VOC, terutama dalam perdagangan lada dan akses ke Selat Sunda.

Awalnya, VOC mencoba menjalin hubungan dagang formal dengan Kesultanan Banten. Namun, perbedaan prinsip antara dua entitas ini segera menimbulkan ketegangan. Kesultanan Banten mempertahankan prinsip perdagangan bebas dan kedaulatan maritim, sementara VOC bersikeras menjalankan kebijakan monopoli dagang, blokade pelabuhan, dan pembatasan terhadap pedagang asing non-Belanda. Akibatnya, berbagai perjanjian yang ditandatangani antara Banten dan VOC seringkali berujung pada pelanggaran sepihak oleh VOC, terutama dalam hal tarif dagang, kebebasan pelayaran, dan hak kedaulatan atas wilayah pesisir dan hulu lada seperti Lampung.

Ketika konflik internal istana Banten mulai menguat pada akhir abad ke-17 dan berlanjut ke abad ke-18, VOC melihat peluang untuk memperkuat pengaruhnya. Mereka tidak serta-merta menginvasi secara terbuka, melainkan lebih dulu menerapkan strategi intervensi politik terselubung. Salah satu pola intervensi klasik yang digunakan VOC adalah politik adu domba (divide et impera), yaitu dengan memihak pada salah satu faksi dalam konflik dinasti atau sengketa suksesi, kemudian menawarkan “bantuan militer” atau “perlindungan dagang” sebagai imbalan atas konsesi politik dan ekonomi.

Dalam konteks Banten, VOC memberi dukungan kepada pangeran-pangeran muda atau bangsawan yang memiliki ambisi naik takhta tetapi tidak mendapat restu dari struktur kekuasaan lama. Mereka membantu penggulingan atau melemahkan lawan politik pangeran tersebut, dan sebagai gantinya, menanamkan pengaruh mereka di dalam istana. Praktik ini pernah dilakukan VOC pada masa konflik antara Sultan Ageng Tirtayasa dan putranya, Sultan Haji, dan pola serupa berulang pada periode 1750-an ketika VOC turut terlibat dalam menekan faksi-faksi istana yang dianggap anti-Belanda.

Selain itu, VOC juga memanfaatkan krisis ekonomi dan ketergantungan elite lokal terhadap perdagangan ekspor. Dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan sekitar dan mengatur harga lada, VOC mampu menekan pendapatan Kesultanan Banten, menciptakan ketergantungan yang secara bertahap mengikis kedaulatan. Di sisi lain, VOC memelihara garnisun dan pos-pos militer di dekat wilayah Banten, yang memungkinkan mereka bergerak cepat ketika konflik pecah, sekaligus menjadi alat tekanan diplomatik.

Dengan demikian, keterlibatan VOC dalam Perang Banten bukanlah intervensi mendadak, melainkan hasil dari proses panjang infiltrasi politik dan dominasi ekonomi, yang secara sistematis melemahkan institusi internal Banten sambil memperkuat pengaruh kolonial di pusat-pusat kekuasaan. Ketika perang akhirnya meletus, VOC sudah berada dalam posisi strategis—baik secara politik maupun militer—untuk mengambil alih kendali atas salah satu kerajaan terbesar dan paling berdaulat di barat Nusantara.


Tokoh-Tokoh Utama

a. Sultan Ageng Tirtayasa (Sebagai Latar Historis Sebelumnya)

Sultan Ageng Tirtayasa (berkuasa 1651–1682) adalah figur sentral dalam sejarah Kesultanan Banten dan salah satu tokoh pelopor perlawanan terhadap kolonialisme VOC di Nusantara. Ia bukan hanya seorang sultan, tetapi juga negarawan reformis yang berupaya memodernisasi sistem pemerintahan Banten, memperkuat ekonomi rakyat, dan mempertahankan kedaulatan penuh kerajaan dari intervensi asing.

Pada masa pemerintahannya, Banten mencapai puncak kejayaan baik dari segi militer, ekonomi, maupun diplomasi. Ia memperkuat angkatan laut, memperluas relasi dagang hingga ke Timur Tengah dan Asia Selatan, serta membuka pelabuhan Banten sebagai pusat perdagangan bebas internasional, menyaingi dominasi Batavia dan VOC. Sultan Ageng memandang bahwa kedaulatan ekonomi adalah fondasi dari kemerdekaan politik, sehingga kebijakan monopolistik VOC dianggap sebagai ancaman langsung terhadap eksistensi kerajaan.

Sikap kerasnya terhadap VOC mencapai puncak dalam perang terbuka pada tahun 1680-an, ketika ia menolak pengaruh Belanda dalam urusan internal istana. Konflik itu memuncak dalam perpecahan antara Sultan Ageng dan putranya, Sultan Haji, yang justru meminta bantuan VOC untuk merebut tahta. Peristiwa ini menjadi awal dari fragmentasi internal istana yang kelak berkembang menjadi konflik berkepanjangan hingga pertengahan abad ke-18.

Meskipun pada akhirnya Sultan Ageng kalah secara militer dan ditangkap oleh VOC (1683), gagasan dan warisannya terus hidup. Ia dikenang oleh banyak kalangan bangsawan dan rakyat sebagai simbol kedaulatan, keadilan, dan perlawanan terhadap kolonialisme. Para pangeran dan tokoh politik generasi berikutnya—termasuk mereka yang terlibat dalam konflik tahun 1750-an—tetap membawa bayang-bayang ideologi Sultan Ageng, baik sebagai inspirasi maupun sebagai beban sejarah.

Ketegangan antara faksi-faksi pro-Ageng dan pro-VOC di dalam istana Banten tidak pernah benar-benar surut. Justru, warisan konflik ini memperdalam polaritas antara mereka yang ingin mempertahankan semangat kemerdekaan Ageng dan mereka yang pragmatis serta bersedia berkompromi dengan kekuasaan kolonial.

Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa bukan hanya tokoh masa lalu, tetapi landasan historis dan ideologis dari banyak peristiwa besar dalam sejarah Banten, termasuk Perang Banten 1750-an. Untuk memahami dinamika konflik yang terjadi, mengingat dan menelusuri jejak Ageng menjadi kunci utama untuk memahami bagaimana perpecahan internal bisa muncul dan bagaimana kolonialisme berhasil mengeksploitasinya.


b. Sultan Haji dan Warisan Politik Pro-VOC

Sultan Haji, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa, adalah tokoh kunci dalam peristiwa-peristiwa yang secara langsung memicu keterpecahan internal Kesultanan Banten dan membuka pintu bagi intervensi VOC. Naiknya Sultan Haji ke tampuk kekuasaan bukan melalui proses suksesi damai, melainkan melalui kudeta yang didukung oleh kekuatan eksternal—sebuah fakta yang membekas dalam memori kolektif Banten sebagai pengkhianatan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan kerajaan.

Konflik antara Sultan Ageng dan Sultan Haji bermula dari perbedaan pandangan mengenai kebijakan luar negeri dan hubungan dengan VOC. Sultan Ageng bersikap tegas menolak segala bentuk campur tangan asing dalam urusan internal Banten. Sebaliknya, Sultan Haji, yang lebih muda dan berorientasi praktis, memilih jalur kompromi dan diplomasi, bahkan ketika itu berarti menyerahkan sebagian kedaulatan kepada VOC.

Ketika konflik memuncak pada awal 1680-an, Sultan Haji mengepung istana ayahnya di Tirtayasa dan secara aktif meminta bantuan militer kepada VOC di Batavia untuk mengalahkan pasukan Sultan Ageng. Dalam perjanjian yang dibuat dengan VOC, Sultan Haji bersedia memberikan konsesi besar, termasuk hak monopoli perdagangan, pembatasan pelabuhan, dan pengawasan terhadap kebijakan kerajaan, sebagai imbalan atas dukungan militer. Tindakan ini menjadi titik balik dalam sejarah Banten, karena untuk pertama kalinya dalam sejarah kesultanan, seorang sultan memperoleh kekuasaan dengan mengorbankan kedaulatan kepada kekuatan asing.

Meski berhasil menyingkirkan Sultan Ageng, kekuasaan Sultan Haji tidak pernah sepenuhnya sah di mata sebagian elite dan rakyat. Ia dipandang sebagai “sultan boneka” VOC, dan kebijakan-kebijakannya yang menguntungkan Belanda memperkuat persepsi tersebut. Di masa pemerintahannya (1683–1687), kontrol VOC atas pelabuhan, perdagangan lada, dan keputusan politik Banten semakin intensif. Banyak bangsawan, ulama, dan penguasa lokal yang kecewa, memilih untuk menarik diri atau bahkan membentuk oposisi pasif maupun aktif.

Warisan politik Sultan Haji berlanjut bahkan setelah kematiannya. Jejak kekuasaannya meninggalkan pola ketergantungan struktural antara Banten dan VOC, serta mewariskan pola kepemimpinan yang permisif terhadap dominasi kolonial. Faksi-faksi istana yang dulunya mendukung Haji atau mendapat keuntungan dari aliansi dengan VOC kemudian menjadi kelompok dominan, dan mewarisi model kekuasaan pro-kolonial yang pragmatis, yang mengutamakan stabilitas dan keuntungan jangka pendek dibandingkan kedaulatan jangka panjang.

Warisan ini menjadi akar dari konflik yang kembali memanas pada pertengahan abad ke-18. Pangeran-pangeran muda dan kelompok-kelompok nasionalis yang masih memegang teguh semangat Sultan Ageng memandang sistem politik hasil kompromi Sultan Haji sebagai penyebab utama kemerosotan Banten. Sementara itu, kelompok pro-VOC mempertahankan bahwa stabilitas dan hubungan dagang dengan Belanda adalah satu-satunya jalan mempertahankan Banten dari kehancuran total.

Dengan demikian, konflik Ageng vs Haji tidak berhenti pada dua sosok itu saja, tetapi membentuk poros ideologis yang terus hidup dalam tubuh Kesultanan Banten hingga pecahnya Perang Banten 1750-an. Sultan Haji, dalam sejarah Banten, bukan hanya raja, tetapi juga simbol dari kompromi yang berujung pada kehilangan martabat dan kemerdekaan.


c. Pangeran Adipati dan Para Penantang Tahta

Memasuki pertengahan abad ke-18, Kesultanan Banten berada dalam kondisi politik yang rapuh akibat warisan konflik internal dan ketergantungan terhadap VOC. Di tengah lemahnya otoritas sultan yang berkuasa, muncullah sejumlah pangeran dan bangsawan istana yang mencoba merebut atau memulihkan kekuasaan dengan membawa agenda baru, terutama semangat anti-VOC yang berakar dari warisan Sultan Ageng Tirtayasa.

Salah satu tokoh penting dalam dinamika ini adalah Pangeran Adipati, figur karismatik dari garis keturunan istana yang tampil sebagai simbol perlawanan terhadap dominasi kolonial dan pemerintahan boneka pro-VOC. Pangeran Adipati dikenal memiliki jaringan luas di kalangan elite lokal dan rakyat pesisir yang kecewa terhadap kekuasaan sultan yang dianggap terlalu tunduk pada kepentingan Belanda. Ia tampil bukan semata sebagai penantang kekuasaan, tetapi juga sebagai representasi gagasan alternatif tentang pemulihan kedaulatan Banten.

Selain Pangeran Adipati, terdapat pula sejumlah pangeran muda dan bangsawan daerah yang membentuk faksi tersendiri di luar lingkaran kekuasaan resmi. Mereka banyak beroperasi di wilayah-wilayah yang tidak sepenuhnya berada di bawah kendali VOC, seperti daerah pedalaman atau kawasan pesisir yang masih mempertahankan otonomi terbatas. Faksi-faksi ini sering kali menggalang kekuatan berbasis keluarga bangsawan, jaringan dagang lokal, dan simpati rakyat yang muak terhadap tekanan ekonomi serta pajak tinggi yang diberlakukan atas nama stabilitas oleh pihak istana pro-Belanda.

Pertarungan antar faksi ini tidak selalu bersifat terbuka dalam bentuk perang saudara langsung, tetapi lebih sering berlangsung dalam bentuk manuver politik, sabotase administratif, serta perebutan dukungan militer dan spiritual. Beberapa faksi menjalin hubungan diam-diam dengan kekuatan luar seperti sisa-sisa kerajaan di Sumatra atau pesisir utara Jawa yang juga resisten terhadap VOC, sementara lainnya mencoba merebut posisi strategis dalam pemerintahan dengan mendekati tokoh-tokoh agama, pasukan istana, atau pemimpin komunitas dagang.

Situasi ini menjadikan istana Banten sebagai arena politik yang kompleks dan terpecah, di mana setiap faksi bersaing bukan hanya untuk merebut tahta, tetapi untuk menentukan arah ideologis masa depan kerajaan: apakah Banten akan menjadi kerajaan merdeka seperti pada masa Sultan Ageng, atau terus menjadi entitas yang dikendalikan oleh kepentingan VOC melalui pemerintahan simbolik.

Ketika Perang Banten meletus pada 1750-an, faksi-faksi yang telah lama menunggu momentum tersebut segera bergerak. Pangeran Adipati dan kelompok oposisi bersatu dalam perlawanan bersenjata, membentuk kekuatan tandingan terhadap sultan yang saat itu didukung VOC. Mereka tidak hanya menyerang posisi-posisi strategis, tetapi juga berusaha merebut legitimasi publik dan religius sebagai pemulih kedaulatan Banten yang sejati.

Dengan demikian, para penantang tahta seperti Pangeran Adipati bukan hanya figur perebut kekuasaan, tetapi juga representasi dari kerinduan rakyat dan elite lokal akan kebebasan dan harga diri yang hilang. Mereka menjelma menjadi faktor penting dalam meletusnya konflik terbuka yang disebut sebagai Perang Banten, dan menandai babak baru dalam perjuangan melawan kolonialisme melalui jalur internal dinasti dan perlawanan bersenjata.


Jalannya Perang Banten

a. Ketegangan Istana dan Meletusnya Konflik

Menjelang meletusnya Perang Banten pada pertengahan abad ke-18, suasana di dalam istana Kesultanan Banten telah lama dipenuhi dengan ketegangan politik. Perebutan pengaruh antara elite istana dan bangsawan daerah menciptakan kondisi rawan yang mudah disulut menjadi konfrontasi terbuka. Di satu sisi, terdapat kelompok istana yang berkuasa dan cenderung kooperatif dengan VOC demi menjaga status quo. Di sisi lain, muncul kekuatan oposisi yang dipimpin oleh pangeran-pangeran muda seperti Pangeran Adipati, yang secara terbuka mengkritik dominasi Belanda dan menyerukan kembalinya kedaulatan penuh kerajaan.

Ketegangan ini makin diperuncing oleh pengaruh ekonomi VOC yang kian dalam, di mana perdagangan di pelabuhan Banten semakin dikendalikan oleh kepentingan Belanda. Pedagang lokal mengeluhkan pemerasan dan pajak tinggi, sementara bangsawan daerah yang kehilangan otonomi atas wilayahnya mulai merapat ke poros oposisi. Dukungan terhadap gerakan perlawanan pun mengalir dari berbagai kalangan, mulai dari ulama, pedagang, hingga rakyat pesisir yang hidupnya tergantung pada perdagangan bebas.

Menanggapi meningkatnya ketegangan, VOC tidak tinggal diam. Mereka mulai mengirim pasukan ke Banten dengan dalih sebagai “pengaman” atau “penjaga stabilitas” atas permintaan pihak istana. Namun di balik alasan diplomatik tersebut, langkah ini merupakan strategi klasik VOC untuk menancapkan dominasi militer secara de facto. Kehadiran garnisun VOC di sekitar istana dan pelabuhan utama menjadi bentuk tekanan nyata terhadap kelompok-kelompok oposisi dan pesan politik bahwa VOC tidak akan membiarkan perubahan kekuasaan tanpa campur tangan mereka.

Situasi pun berubah menjadi genting ketika terjadi serangkaian bentrokan antara pengawal istana dan pasukan pendukung Pangeran Adipati di beberapa titik strategis. Beberapa sumber mencatat bahwa ada upaya sabotase administratif, penyitaan gudang persenjataan lokal, serta perebutan akses terhadap pusat logistik kerajaan. Ketegangan yang awalnya bersifat politik berubah menjadi eskalasi bersenjata, dan pada titik inilah Perang Banten secara resmi dimulai.

VOC, yang sejak awal menginginkan kontrol penuh atas Banten, menjadikan konflik internal ini sebagai alasan sah untuk intervensi langsung. Mereka mendukung penuh sultan yang loyal terhadap kebijakan VOC dan mengerahkan pasukan tambahan dari Batavia. Gerakan militer mulai diarahkan untuk menghancurkan kekuatan oposisi secara sistematis, sementara diplomasi dilakukan untuk melemahkan potensi aliansi lokal yang mendukung perlawanan.

Dengan cepat, konflik dinasti berubah menjadi perang kolonial terselubung, di mana VOC bertindak bukan hanya sebagai “penjaga keamanan” istana, tetapi sebagai aktor utama dalam merancang, mengarahkan, dan menyudahi konflik sesuai dengan kepentingan dagangnya. Rakyat Banten yang menyaksikan hancurnya kedaulatan kerajaan mereka pun mulai menyadari bahwa yang terjadi bukan sekadar perselisihan istana, melainkan awal dari penjajahan langsung di jantung kerajaan mereka.


b. Intervensi Militer VOC dan Perpecahan Internal

Setelah ketegangan internal di Kesultanan Banten berubah menjadi konflik terbuka, VOC memanfaatkan momen tersebut untuk melakukan intervensi militer secara langsung. Dengan dalih menjaga keamanan dan mendukung “pemerintahan sah,” VOC secara eksplisit memihak kepada sultan dan kelompok elite istana yang bersedia tunduk pada kebijakan mereka. Dukungan ini bukan semata dalam bentuk diplomatik, tetapi berupa pengerahan pasukan bersenjata dari Batavia, lengkap dengan logistik, artileri, dan pengawalan kapal perang di wilayah perairan Banten.

Langkah VOC ini memperdalam perpecahan internal di dalam tubuh Kesultanan. Faksi-faksi bangsawan yang sebelumnya masih bersikap netral mulai terbelah: sebagian memilih tetap setia kepada istana karena tekanan militer VOC, sementara sebagian lain berpihak pada pangeran-pangeran oposisi yang menyerukan perlawanan terhadap dominasi kolonial. Beberapa bangsawan bahkan diam-diam memberikan dukungan logistik kepada kubu perlawanan di luar kota, mengindikasikan bahwa loyalitas politik telah terfragmentasi secara drastis.

Situasi memanas saat terjadi pertempuran bersenjata di dalam kota Banten, termasuk di sekitar kompleks istana dan pelabuhan. Pasukan VOC bersama pasukan istana loyalis melancarkan operasi untuk menangkap dan menyingkirkan tokoh-tokoh oposisi, terutama Pangeran Adipati dan para pendukungnya. Bentrokan berlangsung sengit dan menimbulkan korban di kedua belah pihak, termasuk dari kalangan rakyat sipil. Banyak rumah dan gudang dagang terbakar, dan kegiatan ekonomi di pusat kota lumpuh total.

Sebagai bagian dari strategi militernya, VOC juga melakukan blokade terhadap Selat Sunda, jalur pelayaran utama yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Jawa. Blokade ini bertujuan memutus akses logistik dan bantuan luar kepada pasukan oposisi, sekaligus memastikan bahwa hanya kapal-kapal dagang yang bekerja sama dengan VOC yang dapat melintasi perairan tersebut. Langkah ini bukan hanya bersifat militer, tetapi juga merupakan alat tekanan ekonomi yang menghancurkan sisa-sisa independensi perdagangan Banten.

Dalam waktu singkat, VOC berhasil menempatkan Banten dalam posisi terkepung, baik secara fisik maupun politik. Faksi-faksi yang masih bertahan terpaksa bergerak ke daerah-daerah pedalaman, membangun basis perlawanan baru. Namun, keberadaan VOC di pusat kota dan pelabuhan membuat sistem administrasi dan perdagangan Banten praktis jatuh ke tangan VOC, meskipun secara simbolis kesultanan masih eksis.

Perpecahan internal yang awalnya bersifat politis kini menjelma menjadi keterpecahan struktural dalam tubuh negara, di mana sultan menjadi simbol semata tanpa otonomi, dan kelompok perlawanan dipaksa berjuang di luar kerangka pemerintahan. VOC bukan hanya “mendukung” satu pihak, melainkan telah mengatur ulang lanskap kekuasaan Banten, memastikan bahwa semua jalur kekuasaan, ekonomi, dan informasi bermuara pada kepentingan kolonial Belanda.

Dengan kata lain, intervensi militer VOC bukan sekadar intervensi taktis, tetapi merupakan pengambilalihan bertahap atas negara yang sedang retak, memanfaatkan perpecahan internal untuk memuluskan kolonialisasi yang sah secara de facto, namun disamarkan sebagai “bantuan.”

c. Kejatuhan Kedaulatan Banten

Puncak dari konflik bersenjata dan intervensi sistematis VOC dalam Kesultanan Banten pada 1750-an adalah runtuhnya kedaulatan politik yang selama berabad-abad menjadi kebanggaan kerajaan maritim ini. Setelah pertempuran demi pertempuran di dalam kota dan blokade ekonomi yang berlangsung selama beberapa waktu, gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Pangeran Adipati dan faksi-faksi anti-VOC mengalami kegagalan. Kurangnya persatuan, terbatasnya persenjataan, dan kekuatan VOC yang lebih unggul dalam hal logistik dan taktik membuat oposisi kehilangan momentum dan dukungan publik secara bertahap.

Setelah berhasil memukul mundur kekuatan oposisi dan menguasai pusat-pusat kekuatan politik dan ekonomi Banten, VOC secara resmi mengambil alih fungsi pengawasan administratif dan militer. Meskipun secara formal Kesultanan Banten masih dipertahankan sebagai simbol kekuasaan lokal, pada kenyataannya semua kebijakan strategis—terutama yang menyangkut perdagangan, peradilan, dan keamanan—berada di bawah kendali langsung pejabat VOC. Kesultanan dijadikan kerajaan boneka, di mana sultan hanya bertindak sebagai wakil upacara yang tunduk pada instruksi pihak kolonial.

Langkah VOC berikutnya adalah menyingkirkan semua elemen yang dianggap membahayakan dominasi mereka. Para pemimpin perlawanan seperti Pangeran Adipati, serta bangsawan, ulama, dan tokoh masyarakat yang terlibat atau dicurigai mendukung pemberontakan, ditangkap, diasingkan, atau bahkan dieksekusi secara diam-diam. Sebagian besar dari mereka dibuang ke daerah-daerah terpencil di luar Jawa, termasuk ke Ambon, Ternate, atau wilayah koloni lain yang dikuasai VOC. Pengasingan ini bukan hanya untuk menghukum, tetapi juga untuk menghapus simbol-simbol perlawanan yang bisa menjadi pemicu kebangkitan rakyat.

Sementara itu, struktur birokrasi Banten dirombak. VOC menempatkan penasehat Belanda dalam posisi-posisi kunci pemerintahan, mengawasi setiap keputusan istana, serta memastikan bahwa tidak ada kebijakan yang bertentangan dengan kepentingan dagang dan politik kolonial. Pelabuhan-pelabuhan utama Banten pun dikontrol penuh oleh VOC, dan sistem pajak yang sebelumnya dikelola oleh kerajaan kini disesuaikan dengan mekanisme kolonial.

Runtuhnya kedaulatan Banten pada dekade ini menandai berakhirnya era kebebasan penuh kerajaan-kerajaan pesisir besar di barat Nusantara. Tidak hanya secara militer Banten takluk, tetapi juga secara ideologis dan administratif, kerajaan yang pernah menyaingi Batavia dan Malaka itu kini berubah menjadi subordinat dalam tatanan kolonial VOC.

Lebih jauh lagi, tragedi ini memberi pelajaran penting tentang bagaimana keretakan internal, ketergantungan ekonomi, dan kompromi elite dapat menghancurkan sebuah negara dari dalam, bahkan sebelum peluru musuh dilepaskan. Peristiwa ini menjadi cermin bagi kehancuran kedaulatan lokal di berbagai wilayah Nusantara, dan membuka jalan bagi kolonialisasi yang lebih luas dan sistematis di Jawa dan sekitarnya.


5. Dampak Politik dan Sosial

a. Akhir Kedaulatan Penuh Kesultanan Banten

Setelah kekalahan faksi-faksi perlawanan dan berhasilnya VOC mengamankan posisi politik di Banten, Kesultanan Banten secara de facto kehilangan kedaulatannya sebagai kerajaan merdeka. Meskipun secara simbolik institusi kesultanan tetap dipertahankan untuk menjaga legitimasi lokal, namun segala bentuk pengambilan keputusan yang bersifat strategis dan administratif telah sepenuhnya dikendalikan oleh VOC.

Kesultanan Banten resmi menjadi wilayah klien (client state) VOC—yakni entitas politik yang masih tampak mandiri di permukaan, namun semua urusan pentingnya berada dalam pengawasan kekuatan kolonial. Sultan yang berkuasa hanya memiliki wewenang dalam hal-hal seremonial dan adat lokal, sementara kebijakan perdagangan, pengangkatan pejabat, sistem perpajakan, dan hubungan luar negeri ditentukan oleh pejabat tinggi VOC yang ditempatkan secara tetap di Banten.

Untuk memastikan dominasi secara menyeluruh, VOC membentuk semacam Dewan Pengawas di dalam istana, yang terdiri dari perwira tinggi VOC dan penasihat lokal yang loyal terhadap kebijakan Belanda. Dewan ini memiliki kekuasaan untuk menyetujui atau menolak keputusan Sultan, dan bahkan berwenang memveto keputusan yang dianggap bertentangan dengan kepentingan VOC. Dalam praktiknya, fungsi Dewan ini adalah mengendalikan birokrasi lokal sambil mengamankan jalur perdagangan dan kestabilan politik yang menguntungkan VOC.

Selain itu, sistem militer kerajaan pun turut direduksi. VOC hanya mengizinkan jumlah pasukan terbatas yang setia kepada Sultan, sementara pertahanan utama di wilayah-wilayah strategis seperti pelabuhan, jalan dagang, dan gudang lada dipegang langsung oleh garnisun Belanda. Panglima-panglima istana yang pernah terlibat dalam perlawanan diberhentikan atau diasingkan, dan diganti dengan orang-orang yang bisa dikendalikan atau telah dilatih melalui sistem militer VOC.

Dengan kondisi seperti ini, kedaulatan penuh Kesultanan Banten secara resmi berakhir. Kerajaan yang pada abad ke-17 mampu berdiri sejajar dengan kekuatan-kekuatan besar Asia dan Eropa, kini hanya menjadi bayangan dari kebesarannya sendiri—simbol kejayaan yang dikekang oleh kekuasaan kolonial yang sistematis dan licin.

Transformasi ini juga menjadi preseden penting dalam sejarah kolonialisme di Jawa dan Nusantara, karena menunjukkan bahwa pengambilalihan kekuasaan tidak selalu harus melalui aneksasi langsung. Cukup dengan melemahkan dari dalam, membentuk faksi loyal, dan menguasai keputusan politik, maka sebuah negara bisa dijadikan alat untuk kepentingan asing tanpa perlu membubarkannya secara resmi.


b. Pergeseran Struktur Sosial dan Ekonomi

Setelah kekuasaan Kesultanan Banten beralih ke dalam kendali VOC, terjadi pergeseran besar dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat Banten, terutama di kalangan pedagang, petani, dan elite lokal. VOC tidak hanya memegang kendali politik, tetapi juga secara sistematis merombak tatanan ekonomi yang selama ini menopang kemakmuran dan kebebasan wilayah Banten.

Salah satu perubahan paling signifikan adalah penguasaan total VOC atas pelabuhan-pelabuhan utama, terutama Pelabuhan Banten Lama yang sebelumnya merupakan simpul perdagangan bebas internasional. VOC memberlakukan kebijakan monopoli perdagangan lada dan hasil bumi lainnya, yang secara langsung mematikan kegiatan ekspor oleh pedagang lokal. Seluruh komoditas yang bernilai strategis seperti lada, cengkeh, dan beras hanya boleh dijual kepada VOC dengan harga yang ditentukan sepihak, sementara jalur ekspor ke pedagang asing (India, Timur Tengah, Tiongkok) ditutup secara paksa.

Kebijakan ini menyebabkan turunnya pendapatan drastis di kalangan saudagar dan pengusaha lokal, yang sebelumnya tumbuh pesat berkat sistem pasar bebas dan koneksi dagang regional. Banyak saudagar lama kehilangan kapal, gudang, bahkan tanah yang sebelumnya mereka kelola untuk mendukung aktivitas ekspor-impor. Beberapa di antara mereka bangkrut atau meninggalkan Banten untuk mencari pelabuhan alternatif yang masih terbuka, seperti di wilayah pesisir utara Jawa atau Sumatra.

Tak hanya kalangan pedagang, rakyat pesisir dan petani pun terdampak secara langsung. Rantai distribusi yang sebelumnya dikelola oleh pengusaha lokal dan komunitas-komunitas dagang kecil kini sepenuhnya dikuasai VOC melalui sistem pachter (penyewa pajak) dan koperasi paksa. Dalam sistem ini, hasil panen petani dipungut oleh agen VOC dan dijual kembali dengan harga tinggi, sedangkan petani sendiri menerima keuntungan minimal. Akibatnya, kesenjangan sosial meningkat, dan banyak komunitas rakyat kecil terjerumus dalam kemiskinan atau pindah ke daerah pedalaman.

Secara sosial, perubahan tatanan kekuasaan juga memunculkan kelas kolaborator baru, yakni elite-elite lokal yang memperoleh keuntungan dari kerja sama dengan VOC. Mereka mendapatkan akses pada kekuasaan administratif, tanah, dan izin dagang terbatas sebagai imbalan atas kesetiaan politik. Sebaliknya, para bangsawan dan ulama yang dahulu kritis terhadap VOC kehilangan pengaruhnya, atau dipinggirkan dari struktur sosial resmi.

Dengan demikian, struktur sosial-ekonomi Banten pasca-perang mengalami transformasi dari sistem yang relatif mandiri dan terbuka menjadi sistem kolonial yang terkonsentrasi dan tertutup, dikendalikan oleh segelintir elite komprador dan kekuasaan asing. Rakyat banyak kehilangan kontrol atas tanah, hasil panen, dan kebebasan berdagang, sementara ruang sosial untuk bergerak semakin sempit di bawah pengawasan sistem kolonial.

Pergeseran ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi mengubah relasi kuasa, arah pembangunan, dan identitas masyarakat Banten. Kerajaan yang dahulu dikenal sebagai pusat niaga yang kosmopolitan berubah menjadi daerah administratif yang dikendalikan oleh kepentingan monopoli asing, meninggalkan luka sejarah yang kelak menjadi bahan bakar perlawanan generasi berikutnya.


c. Penurunan Peran Banten sebagai Pusat Maritim

Salah satu dampak paling nyata dari jatuhnya kedaulatan Kesultanan Banten dan pengambilalihan kontrol oleh VOC adalah merosotnya posisi Banten sebagai pusat maritim dan pelabuhan dagang utama di barat Nusantara. Sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-18, Banten dikenal sebagai pelabuhan internasional yang ramai, terbuka untuk berbagai bangsa—Arab, Persia, Gujarat, Tionghoa, bahkan Eropa—dengan sistem perdagangan yang dinamis dan mandiri. Namun, setelah VOC memonopoli seluruh jalur dagang dan melumpuhkan kebebasan niaga lokal, fungsi maritim Banten perlahan mengalami stagnasi dan penurunan.

VOC secara sengaja memarginalkan Banten demi memperkuat posisi Batavia sebagai pusat dagang dan administratif utama di bawah kendali penuh Belanda. Semua kapal dagang asing diarahkan untuk berlabuh di Batavia, bukan lagi di Banten. Dengan diberlakukannya sistem blokade dan izin dagang yang ketat, pelabuhan Banten kehilangan daya tarik dan fungsinya sebagai hub jalur rempah dan perdagangan antarbangsa. Akibatnya, arus barang, modal, dan manusia yang dahulu menghidupi kota ini secara bertahap berpindah ke kota-kota lain seperti Batavia, Semarang, atau Surabaya.

Migrasi besar-besaran para pedagang, pelaut, dan keluarga niaga turut mempercepat kemunduran Banten. Banyak komunitas dagang Tionghoa, India, dan Arab yang sebelumnya menjadikan Banten sebagai basis usaha utama, memilih pindah ke Batavia atau ke pelabuhan alternatif yang masih memberikan peluang perdagangan bebas. Sebagian lainnya berpindah ke jalur perdagangan pesisir utara Jawa yang belum sepenuhnya dikendalikan oleh VOC.

Di saat yang sama, pengaruh politik Banten di wilayah barat Nusantara juga menyusut drastis. Dahulu, Kesultanan Banten memiliki hubungan kuat dengan daerah-daerah pesisir Lampung, Palembang, hingga pesisir Sumatra bagian selatan. Namun pasca intervensi VOC, hubungan ini terputus atau diambil alih langsung oleh kekuasaan kolonial. Wilayah yang dulu berada dalam pengaruh Banten secara bertahap dimasukkan ke dalam sistem kontrol terpisah di bawah struktur VOC yang lebih terpusat.

Dengan merosotnya peran ekonomi dan politik ini, Banten mengalami penurunan status secara regional. Dari yang semula menjadi pusat perniagaan dan diplomasi yang disegani, Banten berubah menjadi wilayah administratif sekunder, yang keberadaannya lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan logistik VOC ketimbang oleh dinamika lokal.

Penurunan ini bukan semata akibat kekalahan perang, melainkan hasil dari desain kolonial VOC yang secara sistematis mematikan potensi pelabuhan-pelabuhan non-Batavia. Dalam konteks lebih luas, peristiwa ini menjadi gambaran awal dari konsolidasi sistem kolonial berbasis kota pelabuhan tunggal, yang menjadi ciri utama pemerintahan Belanda di Hindia Belanda pada abad-abad berikutnya.

Analisis Strategi dan Politik

Perang Banten pada pertengahan abad ke-18 mencerminkan benturan antara strategi kolonial modern berbasis kontrol struktural dan kelemahan internal sistem politik lokal yang terpecah. Dalam konteks ini, strategi VOC dan kegagalan elite lokal Banten harus dipahami secara bersamaan untuk mengungkap mengapa sebuah kerajaan besar yang pernah berdaulat penuh bisa jatuh begitu dalam tanpa invasi kolonial besar-besaran.

Strategi VOC dalam Memecah Belah Kekuasaan Lokal

VOC tidak menguasai Banten dengan serangan frontal semata, tetapi dengan pendekatan bertahap dan manipulatif. Strategi utama mereka adalah politik pecah belah (divide et impera), di mana konflik internal Banten—baik dalam bentuk sengketa suksesi, friksi antara generasi penguasa, maupun ketegangan antara pusat dan daerah—dijadikan celah untuk menyusupkan pengaruh.

VOC dengan cerdik memihak kepada faksi-faksi istana yang bersedia bekerja sama, memberikan dukungan logistik dan militer, lalu mengamankan konsesi ekonomi dan politik sebagai imbalan. Mereka tampil sebagai “penengah” atau “penjaga kestabilan,” namun pada kenyataannya mereka adalah aktor utama yang mendorong fragmentasi kekuasaan. Setiap perpecahan yang terjadi di tubuh Kesultanan Banten menjadi peluang bagi VOC untuk menguatkan kendali tanpa harus menanggung biaya perang skala penuh.

Strategi VOC juga memanfaatkan dominasi informasi, penguasaan jalur logistik, dan kontrol atas pelabuhan, menjadikan mereka bukan hanya sebagai kekuatan tempur, tetapi juga sebagai penentu tatanan ekonomi dan sosial. Ini adalah bentuk kolonialisme baru yang tidak selalu terlihat dari luar, tetapi sangat efektif merusak kedaulatan dari dalam.

Kegagalan Elite Banten dalam Membangun Kesatuan Politik

Di sisi lain, kegagalan elite Banten dalam membangun kesatuan politik menjadi faktor penentu melemahnya daya tahan kerajaan. Persaingan antar pangeran, tidak adanya solidaritas yang kuat antara bangsawan pusat dan daerah, serta keengganan untuk bersatu dalam menghadapi ancaman eksternal menjadikan Kesultanan Banten mudah ditaklukkan secara politis meski belum secara formal dikalahkan secara militer.

Tidak ada kepemimpinan kolektif yang kuat untuk melanjutkan semangat perlawanan Sultan Ageng. Sebaliknya, yang muncul adalah ambisi individual yang mudah digoda oleh kekuasaan dan dukungan asing, membuat VOC leluasa memainkan peran sebagai “penentu raja.” Kekosongan visi jangka panjang dan lemahnya perencanaan strategis membuat para penantang tahta justru saling menjatuhkan alih-alih bersatu untuk mempertahankan kedaulatan Banten sebagai sebuah entitas politik mandiri.

Kontras antara Politik Ekspansif Sultan Ageng dan Kompromistis Sultan Haji

Salah satu kontras ideologis paling menonjol yang menjadi benih dari krisis politik Banten adalah perbedaan tajam antara politik ekspansif dan berdaulat Sultan Ageng Tirtayasa dengan pendekatan kompromistis dan subordinatif Sultan Haji.

Sultan Ageng adalah simbol perlawanan dan nasionalisme awal. Ia membangun kekuatan militer maritim, membuka perdagangan bebas, dan menolak keras campur tangan asing. Pandangannya sangat strategis dan visioner: mempertahankan otonomi Banten bukan hanya sebagai kerajaan, tapi sebagai pusat kekuatan regional.

Sebaliknya, Sultan Haji lebih pragmatis. Dalam situasi tekanan internal dan eksternal, ia memilih bekerja sama dengan VOC dan bahkan menggadaikan kedaulatan demi kekuasaan pribadi. Pandangan ini kemudian diwariskan kepada generasi penerus yang cenderung kompromi terhadap kekuasaan kolonial, dan menyebabkan penurunan semangat kemandirian politik dalam tubuh kerajaan.

Perbedaan ini bukan sekadar soal kepribadian, tetapi konflik paradigma politik: antara menjaga kehormatan dan risiko perlawanan, atau memilih stabilitas semu di bawah bayang-bayang kolonial. Pada akhirnya, politik kompromi membawa Banten kepada kehilangan identitas politiknya sendiri.


Dengan demikian, Perang Banten bukan hanya kisah tentang kekalahan militer atau intervensi asing, tetapi juga studi tentang strategi kolonial dan dinamika kekuasaan lokal. Ia mengajarkan pentingnya kesatuan, visi strategis, dan keberanian mempertahankan kedaulatan dalam menghadapi kekuatan yang jauh lebih terorganisir dan sistematis.

Warisan Sejarah dan Relevansi

Perang Banten pada abad ke-18 bukan sekadar catatan konflik dinasti atau bentrokan antar elite lokal—ia merupakan cerminan mendalam dari bagaimana kolonialisme modern bekerja secara struktural, melalui manipulasi politik, ekonomi, dan sosial. Lebih dari itu, tragedi ini meninggalkan warisan penting bagi sejarah Nusantara dan membuka ruang refleksi bagi masyarakat masa kini.

Pelajaran dari Konflik Internal dan Kolonialisasi Terselubung

Salah satu pelajaran paling mencolok dari Perang Banten adalah bahaya laten konflik internal dalam menghadapi ancaman eksternal. VOC tidak mengalahkan Banten melalui invasi besar-besaran, tetapi dengan menyusup ke dalam tubuh kekuasaan yang sudah rapuh, memanfaatkan ambisi kekuasaan pangeran, serta memperalat elite yang pragmatis dan haus pengaruh.

Kolonialisasi dalam kasus Banten terjadi secara terselubung, melalui kendali atas perdagangan, sistem birokrasi, dan pengaruh terhadap keputusan politik istana. Proses ini jauh lebih halus dibandingkan penjajahan bersenjata, namun jauh lebih mengakar dan destruktif dalam jangka panjang, karena menghancurkan sendi-sendi kedaulatan dari dalam—tanpa perlawanan terbuka yang masif, dan tanpa kesadaran kolektif yang cukup kuat untuk menolaknya.

Banten sebagai Contoh Klasik Keruntuhan Kerajaan Karena Perpecahan Internal

Kesultanan Banten adalah salah satu kerajaan besar Nusantara yang memiliki posisi strategis dan sejarah kejayaan panjang. Namun, perpecahan internal di tubuh kerajaan menjadi faktor utama kejatuhannya. Persaingan antar-pangeran, lemahnya koordinasi antara pusat dan daerah, serta hilangnya arah politik kolektif, membuka jalan lebar bagi dominasi kekuatan asing.

Banten menjadi contoh klasik tentang bagaimana kerajaan yang gagal menyatukan elite-elite internalnya akan runtuh bukan oleh kekuatan musuh, tetapi oleh kebingungan dari dalam. Perang Banten mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa kesatuan dan visi berdaulat hanyalah wadah kosong yang mudah diperalat.

Relevansi bagi Wacana Kedaulatan dan Kolonialisme Modern

Dalam konteks masa kini, kisah Perang Banten tetap memiliki relevansi penting. Banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, masih menghadapi tantangan yang mirip—campur tangan asing dalam bentuk ekonomi, investasi, teknologi, dan bahkan budaya. Kolonialisme modern bukan lagi dalam bentuk kapal perang atau senjata, tetapi melalui utang, kendali sumber daya, dan pengaruh atas kebijakan nasional.

Peristiwa seperti Perang Banten mengajarkan bahwa kedaulatan sejati tidak hanya bergantung pada kekuasaan formal, melainkan pada kemampuan internal suatu bangsa untuk bersatu, mengendalikan sumber dayanya sendiri, dan menolak dominasi asing dalam bentuk apa pun.

Konflik internal, politik transaksional, dan pengabaian terhadap sejarah perjuangan masa lalu hanya akan membuka pintu bagi bentuk kolonialisasi baru—lebih halus, lebih berbahaya.


Dengan demikian, warisan sejarah Perang Banten adalah warisan peringatan. Ia tidak hanya mengingatkan kita pada kejayaan masa silam dan kehancuran yang menyusul, tetapi juga menyerukan pentingnya kesadaran sejarah, persatuan politik, dan ketahanan terhadap infiltrasi kolonial dalam segala bentuknya.


Banten dan Kolonialisme: Awal Penjajahan Terselubung

Perang Banten pada pertengahan abad ke-18 merupakan titik balik tragis dalam sejarah Kesultanan Banten, dari sebuah kerajaan maritim yang merdeka dan disegani, menuju entitas politik yang berada di bawah bayang-bayang kekuasaan kolonial VOC. Konflik ini bukan hanya soal perebutan tahta atau kepentingan lokal semata, melainkan bagian dari drama besar kolonialisasi Nusantara, di mana kekuatan asing berhasil menancapkan dominasi melalui strategi yang sistematis dan memanfaatkan kelemahan internal kerajaan.

Melalui peperangan ini, kita melihat bagaimana perpecahan elite, absennya visi kolektif, dan kompromi terhadap kepentingan luar dapat menghancurkan sebuah negara dari dalam. VOC tidak datang dengan kekuatan militer besar semata, melainkan dengan pemahaman mendalam tentang dinamika istana dan ketidakharmonisan sosial-politik lokal—dan memanfaatkannya secara maksimal. Sejak saat itu, Banten tidak lagi menjadi pusat perdagangan bebas dan kekuatan diplomatik regional, melainkan berubah menjadi pos administratif dalam jaringan kepentingan kolonial Belanda.

Dari kisah ini, kita dapat merefleksikan nilai-nilai penting seperti persatuan dalam menghadapi tekanan luar, arti penting dari kedaulatan politik dan ekonomi, serta kewaspadaan terhadap bentuk kolonialisme baru yang bisa hadir dalam wujud diplomatik, ekonomi, atau ideologis. Sejarah Perang Banten mengajarkan bahwa kekuasaan tanpa fondasi ideologis yang kuat dan solidaritas internal hanya akan menjadi sasaran manipulasi kekuatan eksternal.

Lebih dari sekadar tragedi masa lalu, Perang Banten adalah warisan yang seharusnya diangkat dalam pendidikan nasional sebagai bagian dari kesadaran sejarah kolektif bangsa. Banten adalah contoh nyata betapa pentingnya menjaga identitas politik dan maritim Nusantara, sekaligus pelajaran tentang risiko kehilangan arah dalam dunia yang penuh persaingan geopolitik. Mengangkat sejarah Banten berarti merawat ingatan akan keberanian, kebesaran, sekaligus kewaspadaan terhadap kolonialisasi yang merampas masa depan.

Dengan mengenang Perang Banten, kita tidak hanya menilik kegagalan masa lalu, tetapi juga menegaskan komitmen untuk membangun masa depan yang lebih berdaulat, bersatu, dan berakar pada warisan kemandirian Nusantara.

About administrator