Perlawanan Sultan Agung (Mataram) terhadap VOC tahun 1628–1629

Pada awal abad ke-17, Kesultanan Mataram muncul sebagai kekuatan politik dan militer paling dominan di Pulau Jawa. Di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613–1645), Mataram tidak hanya memperluas wilayah kekuasaannya melalui penaklukan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi juga membangun struktur kekuasaan yang kuat, berlandaskan pada sistem birokrasi, adat Jawa, dan Islam. Mataram bergerak menuju cita-cita politik besar: menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah satu otoritas tunggal.

Namun di tengah ekspansi tersebut, muncul ancaman baru dari luar, yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau Kompeni Belanda. Setelah merebut dan menghancurkan Jayakarta pada tahun 1619, VOC mendirikan Batavia sebagai pusat kekuasaan dagang dan militer mereka di Asia Tenggara. Keberadaan VOC di ujung barat Jawa bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga mengganggu kedaulatan lokal, terutama bagi Sultan Agung yang memandang seluruh Jawa sebagai wilayah sah Kesultanan Mataram.

Kedua kekuatan ini memiliki visi kekuasaan yang saling bertentangan: Mataram hendak menyatukan Jawa berdasarkan legitimasi tradisional dan religius, sementara VOC ingin menciptakan jalur monopoli dagang melalui dominasi militer dan aliansi politik. Ketegangan antara dua visi ini akhirnya memuncak dalam dua kali ekspedisi militer besar-besaran dari Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629.

Tulisan ini bertujuan untuk mengulas secara mendalam perlawanan Sultan Agung terhadap VOC, dengan menelusuri latar belakang konflik, strategi militer yang dijalankan Mataram, tokoh-tokoh kunci yang terlibat, jalannya pertempuran yang menentukan, serta dampaknya dalam lanskap sejarah politik dan militer Nusantara. Selain itu, tulisan ini juga mengkaji bagaimana perlawanan tersebut membentuk warisan simbolik yang terus dikenang dalam narasi kebangsaan Indonesia hari ini.


Latar Belakang Konflik

a. Kebangkitan Kesultanan Mataram

Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaannya di bawah pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang naik tahta pada tahun 1613. Dalam waktu singkat, Sultan Agung mengubah Mataram dari kerajaan agraris di pedalaman menjadi kekuatan militer dan politik paling dominan di Jawa. Sejak awal pemerintahannya, Sultan Agung menetapkan agenda politik yang tegas: menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram, tidak hanya untuk memperluas wilayah, tetapi juga untuk mengonsolidasikan stabilitas dan kewibawaan kekuasaan Jawa asli.

Ekspansi Mataram berlangsung agresif dan sistematis. Wilayah-wilayah pesisir seperti Tegal, Jepara, Tuban, dan Gresik berhasil ditaklukkan, mengakhiri dominasi lokal dan memperluas akses Mataram ke jalur perdagangan maritim. Di bagian barat, kerajaan-kerajaan seperti Cirebon dan Banten menjadi sasaran tekanan diplomatik maupun militer. Sementara di bagian timur, kerajaan Surabaya, Madura, dan Pasuruan ditaklukkan satu per satu dalam serangkaian kampanye militer yang panjang dan melelahkan, namun menunjukkan keuletan kekuasaan Mataram.

Lebih dari sekadar ekspansi geografis, kebijakan Sultan Agung mencerminkan visi politik dan spiritual untuk menjadikan Mataram sebagai penerus Majapahit dalam hal kesatuan Nusantara. Ia tidak hanya memerintah sebagai raja, tetapi juga menampilkan diri sebagai pemegang “wahyu keprabon” — mandat ilahi dan kultural yang menjadikan dirinya sebagai pusat tata dunia Jawa. Kesatuan politik yang dibayangkan bukan sekadar administratif, melainkan ideologis, yang menyatukan rakyat melalui agama, budaya, dan loyalitas pada satu pusat kekuasaan.

Namun, di tengah upaya penyatuan ini, muncul VOC sebagai kekuatan asing baru yang mendirikan Batavia di barat Jawa (1619). Keberadaan VOC bukan hanya merupakan batu sandungan dalam ekspansi Mataram, tetapi juga dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap tatanan Jawa yang sakral. Bagi Sultan Agung, kehadiran Belanda bukanlah sekadar ancaman militer, melainkan tanda terganggunya keharmonisan politik dan spiritual Jawa oleh kekuatan asing yang tidak memiliki legitimasi budaya atau religius.

Dengan demikian, konflik antara Mataram dan VOC bukan hanya konflik kekuasaan, tetapi juga pertarungan antara kedaulatan lokal yang bercorak tradisional–spiritual dan kolonialisme modern berbasis kapitalisme serta dominasi militer. Di sinilah akar perlawanan Mataram terhadap VOC mulai tumbuh: dari cita-cita penyatuan Jawa menuju pertahanan terhadap infiltrasi kekuasaan asing di tanah sendiri.

b. VOC dan Kepentingannya di Batavia

Kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Nusantara sejak awal abad ke-17 menandai fase baru dalam sejarah kolonialisme Eropa di Asia Tenggara. Didirikan pada tahun 1602 oleh pemerintah Belanda sebagai perusahaan dagang bersenjata, VOC dibekali hak istimewa untuk memiliki tentara sendiri, membentuk perjanjian, memungut pajak, dan bahkan mendirikan benteng atau kota. Ini menjadikan VOC bukan sekadar korporasi dagang, tetapi juga aktor politik dan militer yang otonom dari negara induknya.

Pada tahun 1619, VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen berhasil merebut dan menghancurkan kota pelabuhan Jayakarta, yang saat itu berada di bawah pengaruh Kesultanan Banten. Di atas reruntuhan Jayakarta, VOC mendirikan kota baru bernama Batavia, yang segera dijadikan sebagai markas pusat kegiatan dagang dan militer Belanda di Asia. Batavia dirancang sebagai kota benteng kolonial, lengkap dengan sistem pertahanan, pelabuhan internasional, dan jalur distribusi logistik yang efisien.

Kehadiran VOC di Batavia bukan semata-mata sebagai pelaku perdagangan bebas. Sejak awal, tujuannya adalah monopoli atas komoditas dagang strategis, terutama rempah-rempah dari Maluku, beras dan gula dari Jawa, serta hasil bumi lainnya dari berbagai wilayah kepulauan. Untuk mencapai ambisi ini, VOC menggunakan berbagai cara, mulai dari perjanjian diplomatik, tekanan ekonomi, hingga intervensi militer dan penciptaan aliansi lokal yang menguntungkan pihaknya.

Di Pulau Jawa, keberadaan VOC di Batavia mulai dianggap mengganggu tatanan kekuasaan politik yang telah lama terbentuk. Mereka menjalin hubungan langsung dengan kerajaan-kerajaan pesisir yang sering kali berseberangan dengan kekuatan pedalaman seperti Mataram. Hal ini menjadi masalah serius bagi Sultan Agung yang sedang menjalankan program penyatuan Jawa. VOC bukan hanya menolak tunduk pada otoritas Mataram, tetapi juga secara aktif memperkuat kedudukannya sebagai kekuatan independen di jantung wilayah yang dianggap berada dalam pengaruh Mataram.

Lebih dari itu, pembangunan Batavia dan dominasi VOC atas perdagangan menciptakan sistem ekonomi kolonial awal yang bertentangan dengan pola distribusi dan kontrol sumber daya lokal. Wilayah-wilayah yang sebelumnya memiliki kebebasan berdagang secara mandiri mulai mengalami pembatasan akses pasar dan eksploitasi harga oleh VOC. Hal ini menimbulkan keresahan bukan hanya di kalangan elite lokal, tetapi juga di kalangan rakyat biasa yang bergantung pada perdagangan antarwilayah.

Bagi Sultan Agung, VOC tidak hanya mengancam stabilitas politik Jawa, tetapi juga merusak kedaulatan ekonomi dan budaya Nusantara. Oleh sebab itu, penyerbuan ke Batavia bukan semata aksi militer, melainkan bagian dari agenda besar menghapus keberadaan kekuasaan asing dari tanah Jawa.

c. Konfrontasi Dua Kepentingan

Pertemuan antara Kesultanan Mataram dan VOC di tanah Jawa bukanlah sekadar konflik antara dua kekuatan yang berebut wilayah, melainkan benturan fundamental antara dua sistem kekuasaan dan pandangan dunia yang sangat berbeda. Di satu sisi, Sultan Agung memandang dirinya sebagai pemimpin sah tanah Jawa—penerus Majapahit yang berkewajiban menyatukan dan melindungi seluruh wilayahnya dari kekuatan luar. Di sisi lain, VOC melihat Jawa sebagai sumber daya ekonomi yang harus dikendalikan demi keuntungan dagang Belanda di kawasan Asia.

Bagi Sultan Agung, kehadiran VOC di Batavia adalah ancaman langsung terhadap konsep “wahyu keprabon”—mandat spiritual dan politik untuk memimpin seluruh tanah Jawa. VOC adalah kekuatan asing yang bukan saja tidak menghormati struktur kekuasaan lokal, tetapi juga mengintervensi politik Jawa melalui diplomasi, aliansi militer, dan kontrol atas jalur ekonomi penting. Oleh karena itu, VOC dianggap sebagai bentuk kolonialisme awal, jauh sebelum konsep “penjajahan” populer secara global.

Sementara itu, dari sudut pandang VOC, Mataram dilihat sebagai kekuatan besar yang berbahaya bagi stabilitas dagang dan monopoli rempah yang sedang mereka bangun. Upaya Sultan Agung untuk memperluas wilayah hingga pesisir utara Jawa mengancam jaringan pelabuhan dan sekutu dagang VOC. Akibatnya, VOC menolak mengakui otoritas Sultan Agung dan justru memperkuat posisinya dengan menjalin aliansi strategis bersama kerajaan-kerajaan pesisir dan rival-rival Mataram, seperti Banten dan Surabaya, yang memiliki sejarah panjang konflik dengan kekuasaan pedalaman.

Konfrontasi ini pun menjadi semakin tak terhindarkan ketika Sultan Agung berusaha memaksa VOC untuk tunduk dan meninggalkan Batavia, sementara VOC terus mengerahkan kekuatan militer dan politik untuk mempertahankan benteng dagangnya. Dalam situasi seperti ini, kompromi hampir mustahil: VOC menuntut otonomi penuh atas wilayah dagangnya, sedangkan Mataram menolak keberadaan kekuasaan asing di tanah Jawa.

Ketegangan ini akhirnya berkembang menjadi konflik berskala besar: ekspedisi militer Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629. Kedua pihak bersiap menghadapi perang terbuka, bukan hanya demi mempertahankan wilayah, tetapi juga demi mempertahankan identitas politik dan eksistensi masing-masing. Perang ini akan menjadi momen penting dalam sejarah Nusantara—bukan hanya karena skala dan strateginya, tetapi juga karena simbolisme benturan antara kekuasaan lokal dan kolonialisme asing yang baru tumbuh.


Tokoh Sentral: Sultan Agung Hanyakrakusuma

a. Biografi

Sultan Agung Hanyakrakusuma—yang nama lahirnya diperkirakan sebagai Raden Mas Rangsang—lahir sekitar tahun 1593, sebagai putra dari Prabu Hanyokrowati, raja kedua Kesultanan Mataram. Lahir dalam lingkungan bangsawan istana, ia sejak muda mendapat pendidikan politik, militer, dan spiritual Jawa yang berpadu dengan nilai-nilai Islam. Karier politiknya mulai menanjak setelah ayahnya wafat, dan pada tahun 1613, Raden Mas Rangsang naik tahta menjadi raja ketiga Mataram, bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Ngabdurrahman.

Sebagai pemimpin, Sultan Agung dikenal memiliki karisma yang sangat kuat, serta kemampuan menggalang dukungan dari para bangsawan, ulama, dan rakyat. Ia bukan hanya pemimpin administratif, tetapi juga figur simbolik yang dianggap membawa “wahyu keprabon”—mandat ilahi dalam budaya Jawa untuk memimpin dunia (Jawa) secara adil dan sakral. Karismanya terbangun dari perpaduan kekuatan militer, kebijaksanaan budaya, dan kehendak kuat menyatukan wilayah-wilayah Jawa yang tercerai-berai pasca keruntuhan Majapahit.

Sejak awal pemerintahannya, Sultan Agung menyusun visi politik besar: menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Ia memandang bahwa Jawa tidak boleh dikuasai oleh kekuatan-kekuatan kecil atau asing, karena hal itu akan memecah integritas tanah leluhur dan merusak tatanan kosmologis-politik Jawa. Dengan semangat ini, ia memimpin serangkaian ekspedisi militer untuk menaklukkan wilayah-wilayah pesisir dan kerajaan-kerajaan rival seperti Surabaya, Tuban, Madura, dan Cirebon.

Kepemimpinannya juga ditandai oleh reformasi birokrasi, penguatan sistem administrasi, dan kebijakan sentralisasi kekuasaan yang memperluas pengaruh Mataram hingga ke sebagian besar wilayah Jawa. Ia juga memperkenalkan sistem penanggalan baru—Kalender Jawa Islam yang merupakan hasil sinkretisme antara kalender Islam Hijriah dan kalender Saka Hindu-Jawa—yang memperkuat posisi Sultan Agung sebagai pemimpin spiritual dan temporal sekaligus.

Namun dalam konteks hubungan luar negeri, terutama terhadap kekuatan asing seperti VOC, Sultan Agung bersikap tegas dan keras. Ia melihat VOC bukan sekadar pedagang, tetapi sebagai ancaman terhadap kedaulatan politik dan integritas budaya Jawa. Karena itu, ketika diplomasi gagal dan VOC terus memperluas pengaruhnya di Batavia, Sultan Agung mengambil keputusan besar: mengusir VOC dengan kekuatan militer.

Langkah ini menunjukkan tidak hanya keberanian, tetapi juga komitmen terhadap visi kebangsaan Nusantara yang mandiri—jauh sebelum konsep “nasionalisme” muncul di kemudian hari. Perang melawan VOC pada tahun 1628–1629 menjadi manifestasi paling monumental dari kepemimpinan Sultan Agung sebagai raja Jawa yang menolak tunduk pada kolonialisme.

b. Visi Politik dan Budaya

Kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma tidak hanya dibentuk oleh strategi militer dan ambisi politik, tetapi juga oleh fondasi budaya dan spiritual yang sangat kuat. Dalam kebudayaan Jawa, seorang raja bukan sekadar pemimpin administratif, melainkan juga tokoh kosmologis yang dianggap sebagai poros dunia (axis mundi)—penghubung antara langit, bumi, dan masyarakat. Sultan Agung secara sadar membentuk identitas kepemimpinannya dengan menggabungkan kekuasaan duniawi dengan wahyu kejawen, yakni keyakinan bahwa kekuasaan sejati datang dari tatanan adikodrati yang diwariskan kepada raja sejati.

Konsep “wahyu keprabon”, yang menjadi landasan spiritual raja-raja Jawa, dijadikan Sultan Agung sebagai legitimasi kekuasaan absolutnya. Ia tidak hanya mengklaim kekuasaan atas wilayah Mataram secara fisik, tetapi juga secara ideologis dan spiritual atas seluruh Tanah Jawa. Maka dari itu, program penyatuan Jawa bukan sekadar proyek ekspansi, melainkan ritual kenegaraan untuk mengembalikan harmoni kosmos yang dianggap telah terganggu sejak runtuhnya Majapahit.

Dalam visi politiknya, Sultan Agung memadukan nilai-nilai tradisional Jawa dengan unsur Islam. Ia memperkuat struktur birokrasi Mataram, mendirikan pusat-pusat kekuasaan baru, dan menyusun sistem administrasi yang terpusat. Wilayah-wilayah taklukan tidak hanya dikendalikan secara militer, tetapi juga diintegrasikan secara budaya melalui upacara, penetapan pejabat lokal, serta penyebaran simbol-simbol kekuasaan Mataram.

Salah satu simbol penting dari visinya adalah reformasi sistem penanggalan, yakni penyatuan kalender Islam Hijriah dengan kalender Saka Hindu-Jawa, yang menghasilkan sistem Kalender Jawa Islam pada tahun 1633. Ini adalah langkah simbolik dan politis untuk menunjukkan bahwa Mataram adalah pusat sinkretisme budaya dan religius, sekaligus bentuk dominasi budaya terhadap semua elemen masyarakat Jawa, tanpa menghapuskan warisan lokal.

Dari sisi militer, Sultan Agung menyusun strategi pembangunan kekuatan angkatan bersenjata yang besar dan terorganisir. Ia membangun jalan, memperkuat pertahanan wilayah, dan memusatkan komando militer di bawah kendalinya. Kesadaran bahwa ancaman bukan hanya dari dalam, tetapi juga dari luar—seperti VOC—mendorong Mataram untuk meningkatkan produksi senjata, menyusun logistik jangka panjang, dan mengembangkan jalur komunikasi militer yang mendukung gerakan besar-besaran.

Sultan Agung juga sangat memahami pentingnya perang simbolik dan propaganda. Ia menggambarkan VOC sebagai kekuatan luar yang tidak memiliki tempat dalam kosmologi Jawa. Dalam banyak narasi, kehadiran bangsa Eropa di Batavia dianggap mencemari tatanan spiritual dan sosial Jawa. Oleh karena itu, perang terhadap VOC bukan hanya soal politik dan ekonomi, tetapi juga perang suci demi memulihkan tatanan kosmos Jawa yang sah.

Dengan demikian, visi politik dan budaya Sultan Agung merupakan perpaduan unik antara ambisi kekuasaan, kepercayaan tradisional, dan strategi kenegaraan modern. Di balik setiap langkah militernya, terdapat lapisan ideologis dan simbolik yang memperkuat legitimasi serta memperluas pengaruhnya sebagai raja terbesar di tanah Jawa sebelum datangnya dominasi kolonial penuh.

c. Pandangan terhadap VOC dan Asing

Bagi Sultan Agung, kehadiran bangsa asing di tanah Jawa—terutama dalam bentuk kekuatan politik dan militer seperti VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)—adalah sesuatu yang tidak dapat diterima secara ideologis, politis, maupun spiritual. Dalam kerangka berpikir politik Jawa tradisional, tidak ada ruang bagi entitas asing untuk berdaulat atau mandiri di tengah wilayah kekuasaan raja. Tanah Jawa dipandang sebagai satu kesatuan yang sakral, dan hanya boleh diperintah oleh seorang raja yang memperoleh wahyu keprabon, bukan oleh pendatang yang tidak memiliki legitimasi kultural dan kosmologis.

VOC, yang mendirikan Batavia pada tahun 1619, dipandang Sultan Agung bukan sebagai sekadar pedagang asing, tetapi sebagai kekuatan kolonial yang mencoba mendirikan negara dalam negara. Ini sangat bertentangan dengan cita-cita Mataram yang sedang membangun integrasi politik Jawa. VOC memperlihatkan gejala-gejala yang sangat berbahaya bagi stabilitas tatanan lokal: membangun benteng, mempersenjatai diri, menguasai pelabuhan, menjalin persekutuan dengan kerajaan-kerajaan pesisir yang melawan Mataram, dan yang paling utama, menolak mengakui otoritas Mataram sebagai penguasa sah pulau Jawa.

Penolakan Sultan Agung terhadap VOC bukanlah sikap xenofobia buta. Dalam banyak kasus, Mataram tetap menjalin hubungan dengan pedagang asing, termasuk bangsa Asia seperti Gujarat, Persia, dan Melayu. Namun, yang ditentang oleh Sultan Agung adalah model kekuasaan asing yang ingin beroperasi secara independen dan menciptakan dominasi atas tanah Jawa. VOC tidak tunduk pada sistem pajak lokal, tidak menghormati otoritas raja, dan beroperasi dengan gaya kolonial modern yang asing bagi tata politik Jawa.

Oleh sebab itu, Sultan Agung memandang perlu mengusir VOC dari Batavia dan tanah Jawa secara keseluruhan. Serangan militer yang dilancarkan pada tahun 1628 dan 1629 bukanlah keputusan pragmatis semata, melainkan langkah simbolik dan strategis untuk membersihkan tanah Jawa dari kekuatan kolonial yang dianggap mencemari kesucian kosmos Jawa. Ia berharap, dengan jatuhnya Batavia, seluruh kekuatan pesisir dan kerajaan-kerajaan kecil akan kembali tunduk di bawah Mataram, serta jalur perdagangan dan politik akan kembali dikendalikan oleh kekuatan lokal.

Lebih dari itu, upaya mengusir VOC adalah bagian dari ambisi kedaulatan dan independensi Nusantara dari pengaruh asing, jauh sebelum istilah anti-kolonialisme dikenal dalam wacana modern. Dalam konteks ini, Sultan Agung tampil sebagai pelopor pemimpin pribumi yang sadar penuh akan bahaya kolonialisme, dan bersedia mengambil langkah militer besar untuk menanggulanginya.

Dengan demikian, pandangan Sultan Agung terhadap VOC dan bangsa asing secara umum bersumber dari visi besar kekuasaan lokal yang berdaulat, serta dari kesadaran budaya bahwa tatanan Jawa harus dijaga dari intervensi kekuatan luar yang membawa sistem dan nilai yang bertentangan dengan struktur lokal. Ini menjadikannya sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah awal perlawanan terhadap kolonialisme di Nusantara.

Jalannya Perang Mataram–VOC (1628–1629)

a. Persiapan Serangan Pertama (1628)

Perang melawan VOC bukanlah keputusan yang diambil secara gegabah oleh Sultan Agung. Serangan besar pertama ke Batavia pada tahun 1628 merupakan hasil dari perencanaan militer berskala besar yang melibatkan logistik, infrastruktur, dan mobilisasi pasukan dalam jumlah sangat besar. Ini menjadi salah satu kampanye militer terbesar di Jawa pada abad ke-17, mencerminkan tekad Sultan Agung untuk benar-benar menghapus eksistensi VOC dari tanah Jawa.

Salah satu prioritas utama dalam persiapan perang adalah pembangunan jalur logistik. Mengingat jauhnya jarak antara pusat kekuasaan Mataram di Kotagede (Yogyakarta) dengan Batavia, dibutuhkan sarana transportasi dan suplai yang mampu menopang pergerakan ribuan pasukan. Untuk itu, Sultan Agung memerintahkan pembangunan jalan-jalan besar dari wilayah pedalaman menuju pantai utara Jawa, termasuk rute-rute menuju daerah pantai utara seperti Tegal, Cirebon, dan Karawang, yang menjadi titik transit pasukan dan logistik.

Selain jalan darat, disiapkan pula armada perahu dan kapal pengangkut yang digunakan untuk membawa bahan pangan, senjata, serta alat-alat pengepungan. Meskipun Mataram bukan kekuatan maritim, namun untuk menghadapi Batavia yang dikelilingi benteng dan kanal, diperlukan kombinasi logistik laut dan darat secara simultan. Perahu-perahu ini dibuat dan dikumpulkan dari berbagai daerah pesisir yang sebelumnya telah ditaklukkan Mataram, seperti Jepara dan Demak.

Persiapan senjata pun ditingkatkan. Meriam-meriam, tombak, dan senjata api lokal diproduksi di bengkel-bengkel militer Mataram. Meskipun tidak setara secara teknologi dengan artileri VOC, namun kekuatan jumlah dan moral menjadi andalan utama. Untuk menopang keberlangsungan operasi, Sultan Agung juga menyusun sistem distribusi bahan pangan dan logistik cadangan yang dikoordinasikan dari titik-titik wilayah penyangga.

Pasukan yang dikirim ke Batavia berjumlah ribuan orang, terdiri dari prajurit infanteri, kavaleri, serta pasukan elit dari berbagai daerah taklukan. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima kepercayaan Sultan Agung, yaitu Tumenggung Bahurekso, bupati Kendal yang terkenal akan keberanian dan kesetiaannya. Bahurekso menjadi komandan utama dalam ekspedisi pertama ini, membawa serta pasukan dari Kendal dan daerah sekitar untuk memimpin pengepungan terhadap Batavia.

Secara keseluruhan, persiapan ini menunjukkan bahwa Sultan Agung bukan hanya bertindak reaktif, tetapi melakukan perencanaan militer strategis dalam skala besar dan berjangka panjang. Ia tidak memandang VOC sebagai lawan kecil, tetapi sebagai musuh besar yang perlu dihancurkan dengan kekuatan penuh. Sayangnya, meskipun persiapan teknis telah dilakukan secara serius, ada kelemahan dalam koordinasi, penguasaan medan asing, serta ketahanan logistik yang kemudian terbukti menjadi titik lemah dalam jalannya ekspedisi.


Jalannya Perang Mataram–VOC (1628–1629)

a. Persiapan Serangan Pertama (1628)

Perang melawan VOC bukanlah keputusan yang diambil secara gegabah oleh Sultan Agung. Serangan besar pertama ke Batavia pada tahun 1628 merupakan hasil dari perencanaan militer berskala besar yang melibatkan logistik, infrastruktur, dan mobilisasi pasukan dalam jumlah sangat besar. Ini menjadi salah satu kampanye militer terbesar di Jawa pada abad ke-17, mencerminkan tekad Sultan Agung untuk benar-benar menghapus eksistensi VOC dari tanah Jawa.

Salah satu prioritas utama dalam persiapan perang adalah pembangunan jalur logistik. Mengingat jauhnya jarak antara pusat kekuasaan Mataram di Kotagede (Yogyakarta) dengan Batavia, dibutuhkan sarana transportasi dan suplai yang mampu menopang pergerakan ribuan pasukan. Untuk itu, Sultan Agung memerintahkan pembangunan jalan-jalan besar dari wilayah pedalaman menuju pantai utara Jawa, termasuk rute-rute menuju daerah pantai utara seperti Tegal, Cirebon, dan Karawang, yang menjadi titik transit pasukan dan logistik.

Selain jalan darat, disiapkan pula armada perahu dan kapal pengangkut yang digunakan untuk membawa bahan pangan, senjata, serta alat-alat pengepungan. Meskipun Mataram bukan kekuatan maritim, namun untuk menghadapi Batavia yang dikelilingi benteng dan kanal, diperlukan kombinasi logistik laut dan darat secara simultan. Perahu-perahu ini dibuat dan dikumpulkan dari berbagai daerah pesisir yang sebelumnya telah ditaklukkan Mataram, seperti Jepara dan Demak.

Persiapan senjata pun ditingkatkan. Meriam-meriam, tombak, dan senjata api lokal diproduksi di bengkel-bengkel militer Mataram. Meskipun tidak setara secara teknologi dengan artileri VOC, namun kekuatan jumlah dan moral menjadi andalan utama. Untuk menopang keberlangsungan operasi, Sultan Agung juga menyusun sistem distribusi bahan pangan dan logistik cadangan yang dikoordinasikan dari titik-titik wilayah penyangga.

Pasukan yang dikirim ke Batavia berjumlah ribuan orang, terdiri dari prajurit infanteri, kavaleri, serta pasukan elit dari berbagai daerah taklukan. Pasukan ini dipimpin oleh seorang panglima kepercayaan Sultan Agung, yaitu Tumenggung Bahurekso, bupati Kendal yang terkenal akan keberanian dan kesetiaannya. Bahurekso menjadi komandan utama dalam ekspedisi pertama ini, membawa serta pasukan dari Kendal dan daerah sekitar untuk memimpin pengepungan terhadap Batavia.

Secara keseluruhan, persiapan ini menunjukkan bahwa Sultan Agung bukan hanya bertindak reaktif, tetapi melakukan perencanaan militer strategis dalam skala besar dan berjangka panjang. Ia tidak memandang VOC sebagai lawan kecil, tetapi sebagai musuh besar yang perlu dihancurkan dengan kekuatan penuh. Sayangnya, meskipun persiapan teknis telah dilakukan secara serius, ada kelemahan dalam koordinasi, penguasaan medan asing, serta ketahanan logistik yang kemudian terbukti menjadi titik lemah dalam jalannya ekspedisi.

b. Serangan Pertama ke Batavia

Pada pertengahan tahun 1628, setelah berbagai persiapan logistik dan pengerahan pasukan dari berbagai wilayah Mataram, ekspedisi militer besar pertama menuju Batavia diluncurkan. Pasukan dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso, seorang bupati Kendal yang dikenal loyal dan tangguh. Pasukan Mataram bergerak dalam formasi besar menyusuri jalur darat dan sungai, melewati wilayah utara Jawa, hingga mencapai perbatasan wilayah Batavia.

Strategi utama Mataram dalam serangan ini adalah pengepungan. Mereka berusaha mendekati Batavia dari sisi timur dan selatan dengan tujuan memutus jalur logistik dan akses keluar masuk kota benteng. Pasukan Mataram membangun pos-pos perkemahan dan serangan di sepanjang pinggiran Batavia, termasuk mendirikan parit dan barikade untuk mempersempit ruang gerak lawan. Beberapa serangan frontal pun dilancarkan terhadap dinding pertahanan VOC.

Namun sejak awal, pasukan Mataram menghadapi berbagai kesulitan serius. Salah satu kendala utama adalah lemahnya sistem suplai dan logistik. Jarak yang sangat jauh dari pusat Mataram di Yogyakarta membuat pengiriman bahan pangan, air bersih, dan amunisi menjadi tersendat. Jalur distribusi sering terganggu oleh serangan kecil dari pasukan sekutu VOC atau hambatan alam. Pasukan pun mulai mengalami kelaparan, kelelahan, dan wabah penyakit di tengah-tengah pengepungan yang berkepanjangan.

VOC di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memanfaatkan kelemahan ini dengan cerdik. Mereka bertahan di balik dinding pertahanan Batavia yang tebal, sambil menunggu pasukan Mataram kehabisan logistik. Serangan balik secara teratur juga dilakukan oleh pasukan VOC yang lebih modern dan terlatih. Mereka menggunakan meriam, senjata api, dan kavaleri ringan untuk memukul mundur pasukan Mataram yang mulai terkikis moral dan kekuatannya.

Dalam salah satu serangan besar pada bulan Oktober 1628, Tumenggung Bahurekso gugur di medan pertempuran. Kematian panglima utama ini memberikan pukulan besar terhadap semangat juang pasukan Mataram. Kepemimpinan yang terpecah, disertai kelelahan dan logistik yang kritis, membuat serangan pertama ini gagal mencapai tujuannya.

Pengepungan pun akhirnya dibatalkan dan pasukan Mataram mundur, sebagian dengan kerugian besar. Meskipun semangat perjuangan masih tinggi, Sultan Agung harus mengakui bahwa serangan pertama tidak berhasil menjatuhkan Batavia. Namun, alih-alih menyerah, kegagalan ini justru mendorong perencanaan ulang untuk serangan kedua yang jauh lebih besar pada tahun berikutnya.

c. Serangan Kedua (1629)

Tidak gentar oleh kegagalan sebelumnya, Sultan Agung segera mempersiapkan serangan kedua ke Batavia pada tahun 1629. Belajar dari pengalaman tahun sebelumnya, ia menyusun strategi yang lebih kompleks dan matang, termasuk pengiriman pasukan dalam dua front besar: darat dan laut. Tujuan utama tetap sama—menghancurkan VOC dan mengusir mereka dari tanah Jawa—tetapi kali ini, pendekatannya lebih sistematis.

Pasukan darat disiapkan kembali dalam jumlah besar, dipimpin oleh komandan-komandan baru dari berbagai wilayah taklukan. Di sisi lain, armada laut Mataram dipersiapkan untuk menyerang Batavia dari sisi pantai dan menutup akses pelabuhan dari lautan. Armada ini mengandalkan perahu-perahu dari Jepara, Demak, dan pesisir utara lainnya. Sultan Agung juga membangun sistem logistik yang lebih luas, dengan gudang-gudang pangan dan senjata di Karawang dan Cirebon sebagai basis distribusi.

Namun VOC, yang telah memperkirakan adanya serangan balasan, melancarkan serangan preemptif yang menghancurkan jalur suplai Mataram. Pasukan Belanda berhasil menyerbu dan membakar gudang logistik utama di Karawang dan Cirebon, yang menyebabkan hilangnya bahan pangan, amunisi, dan perbekalan vital untuk kelangsungan pasukan Mataram. Tanpa suplai yang stabil, kekuatan pasukan Mataram kembali mengalami krisis serupa seperti tahun sebelumnya.

Ketika pasukan utama Mataram tiba di sekitar Batavia, mereka kembali melakukan pengepungan. Namun kali ini, VOC sudah memperkuat pertahanannya, termasuk memperluas kanal-kanal pertahanan, mendatangkan bala bantuan dari Maluku dan Batavia hinterland, serta memperbarui persenjataan berat di bentengnya. Meskipun beberapa serangan frontal dilakukan dengan heroik oleh pasukan Mataram, tidak satu pun berhasil menembus pertahanan Batavia.

Situasi memburuk ketika wabah penyakit, kelaparan, dan kelelahan mulai melanda pasukan Mataram. Medan yang basah dan rawa-rawa di sekitar Batavia, ditambah musim hujan dan sanitasi buruk, mempercepat penyebaran penyakit. Banyak prajurit yang jatuh bukan karena peluru musuh, tetapi karena kekurangan makanan, air bersih, dan perawatan.

Sementara itu, VOC terus menekan dengan serangan balik kecil namun efektif, memanfaatkan keunggulan senjata api dan artileri berat. Dalam beberapa pekan, posisi pasukan Mataram mulai goyah. Tanpa pasokan, tanpa dukungan medis, dan kehilangan komando yang solid, pasukan Mataram akhirnya dipaksa mundur untuk kedua kalinya, membawa pulang luka fisik maupun psikologis dari perang yang belum membuahkan hasil.

Meskipun serangan kedua pada tahun 1629 juga berakhir dengan kegagalan, perlawanan Sultan Agung ini tetap tercatat sebagai upaya militer paling serius dalam sejarah Nusantara melawan kekuatan kolonial Eropa pada masa itu. Dua ekspedisi besar ke Batavia, meskipun gagal secara taktis, telah memperlihatkan skala tekad dan kemampuan logistik Kesultanan Mataram serta niat tegas untuk tidak membiarkan kekuasaan asing bercokol di Jawa.


d. Evaluasi Taktis

Perang Mataram–VOC pada tahun 1628–1629 merupakan salah satu ekspedisi militer terbesar yang pernah dilakukan oleh kekuatan lokal Nusantara terhadap kekuatan kolonial asing. Dari sudut pandang taktis, kampanye ini mengungkap kekuatan dan kelemahan strategi militer Mataram, serta memberikan pelajaran penting tentang dinamika perang antarperadaban pada masa pra-modern di Asia Tenggara.

Salah satu keunggulan utama Mataram adalah kapasitas mobilisasi massal. Sultan Agung berhasil menggerakkan puluhan ribu prajurit dari berbagai daerah taklukan, mempersiapkan logistik dalam skala besar, serta membangun jalur distribusi yang membentang dari Yogyakarta ke pesisir utara Jawa. Ini menandakan keberhasilan Mataram dalam membangun sistem komando militer terpusat serta kemampuan administratif yang jarang ditemui pada kerajaan-kerajaan lokal sezamannya.

Dari sisi semangat juang dan motivasi, pasukan Mataram juga memiliki moral yang tinggi. Serangan terhadap Batavia tidak hanya dilandasi oleh ambisi politik, tetapi juga oleh ideologi perlawanan terhadap kekuasaan asing. Hal ini membuat prajurit Mataram bertempur dengan semangat patriotik dan legitimasi ideologis yang kuat. Kematian panglima seperti Tumenggung Bahurekso bahkan tidak memadamkan semangat, melainkan memperkuat tekad perlawanan.

Namun di balik itu, kelemahan utama Mataram terletak pada aspek logistik dan adaptasi strategi di luar wilayah intinya, yakni Jawa Tengah. Dua ekspedisi besar menunjukkan bahwa pasukan Mataram tidak mampu menjaga suplai bahan pangan, senjata, dan perbekalan secara berkelanjutan dalam kondisi perang jarak jauh. Gudang logistik yang terlalu terpusat dan minimnya sistem distribusi cadangan menyebabkan kerentanan terhadap serangan musuh, sebagaimana terjadi saat VOC menghancurkan depot di Karawang dan Cirebon.

Selain itu, pasukan Mataram tidak terbiasa menghadapi medan pertempuran seperti Batavia, yang merupakan kota benteng dengan kanal-kanal air, rawa, dan sistem pertahanan modern. Kelemahan dalam peralatan artileri, ketidaksiapan menghadapi perang pengepungan jangka panjang, dan minimnya kemampuan maritim menjadi faktor penyebab kekalahan. Armada laut Mataram yang dikirim dari Jepara dan Demak, meskipun besar, tidak memiliki pengalaman tempur yang setara dengan armada VOC yang sudah teruji dalam konflik laut internasional.

Terakhir, kurangnya intelijen dan koordinasi medan tempur di wilayah musuh menyebabkan banyak keputusan militer bersifat reaktif. Mataram tidak memiliki peta medan yang lengkap, tidak mampu menyesuaikan taktik dengan kondisi lokal, dan gagal menyusup ke dalam jaringan aliansi VOC yang tersebar di pesisir utara Jawa.

Meskipun dari sisi simbolik dan niat perlawanan ekspedisi ini sangat monumental, secara taktis Sultan Agung menghadapi keterbatasan teknologi, strategi, dan logistik yang menjadi pelajaran penting dalam sejarah militer Nusantara.

Strategi dan Politik Sultan Agung

Perang besar Mataram melawan VOC di Batavia tidak hanya menjadi ujian kekuatan militer, tetapi juga mencerminkan cara pandang Sultan Agung terhadap kekuasaan, ruang, dan lawan politiknya. Strategi yang dibangun mencerminkan keunggulan dalam visi kebangsaan dan mobilisasi kekuatan, namun pada saat yang sama juga memperlihatkan keterbatasan sistem politik tradisional Jawa dalam menghadapi model kolonial Eropa yang berbeda secara fundamental.

Sultan Agung mengusung strategi darat besar-besaran, dengan menitikberatkan pada kekuatan jumlah pasukan dan pembangunan infrastruktur logistik. Ini tampak dalam pembangunan jalur-jalur darat dari pusat Mataram menuju utara, pengerahan ribuan prajurit dari berbagai daerah taklukan, hingga pengadaan kapal dan perahu untuk menyeberangi sungai dan mendekati Batavia melalui pantai. Strategi ini secara teknis menunjukkan skala organisasi militer yang sangat maju untuk ukuran kerajaan lokal pada abad ke-17.

Namun, strategi ini memiliki kelemahan inheren, yakni koordinasi logistik dan informasi jarak jauh yang belum memadai. Komunikasi antara pusat komando di Yogyakarta dan pasukan di garis depan Batavia sering tertunda atau bahkan terputus. Dalam perang modern—bahkan di masa itu—kendali waktu nyata atas medan tempur sangat vital, sedangkan Sultan Agung masih bergantung pada utusan dan jalur darat yang lambat. Kelemahan ini mempersulit penyesuaian strategi dan menurunkan responsivitas terhadap dinamika di lapangan.

Kelemahan paling mencolok adalah ketidakmampuan pasukan Mataram menembus sistem pertahanan Batavia. VOC telah membangun kota benteng modern dengan teknologi militer Eropa: benteng berbatu bata tebal, menara pengawas, kanal pertahanan, dan artileri berat. Pasukan Mataram, yang sebagian besar mengandalkan senjata konvensional seperti tombak, panah, dan meriam ringan, tidak memiliki alat untuk melakukan pengepungan secara efektif atau menghancurkan dinding benteng. Hal ini menunjukkan kesenjangan teknologi militer dan konsep pertahanan antara dua peradaban.

Lebih dalam lagi, kegagalan ini mencerminkan perbedaan mendasar antara konsep kekuasaan “mandala” dalam tradisi politik Jawa dengan model kolonial Eropa. Dalam sistem mandala, kekuasaan bersifat konsentris—semakin dekat dengan pusat (keraton), semakin besar otoritasnya, dan semakin jauh, semakin lemah pengaruhnya, tetapi tetap dalam orbit simbolik. Konsep ini berbasis pada relasi personal, penghormatan, dan legitimasi kosmologis. Sementara itu, VOC membawa model kekuasaan berbasis dominasi fisik, teritori tetap, dan kontrol administratif total—sesuatu yang asing dan bertentangan dengan struktur mandala Mataram.

Dalam kerangka ini, Sultan Agung mungkin memandang VOC sebagai kekuatan lokal pemberontak, yang secara spiritual dan politis wajib ditaklukkan seperti kerajaan pesisir lainnya. Namun, VOC tidak bermain dalam sistem politik Jawa—mereka membangun negara kecil dengan sistem militer dan ekonomi mandiri, serta aliansi transregional. Di sinilah benturan besar terjadi: tatanan lokal kosmologis bertemu dengan sistem kolonial kapitalistik.

Kegagalan militer Sultan Agung menunjukkan bahwa perlawanan terhadap kolonialisme tidak cukup hanya dengan kekuatan moral dan jumlah pasukan, melainkan juga pemahaman mendalam atas taktik musuh, teknologi militer, dan geopolitik global. Meskipun gagal secara militer, strategi dan semangat Sultan Agung menjadi simbol awal perlawanan terhadap kolonialisme asing yang kelak akan terus membara dalam sejarah Nusantara.

Dampak dan Implikasi Perang

a. Bagi Kesultanan Mataram

Meskipun dua ekspedisi militer besar Kesultanan Mataram ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 mengalami kegagalan taktis, dampaknya terhadap struktur internal dan legitimasi politik Sultan Agung justru menunjukkan ketangguhan Mataram sebagai kekuatan utama di tanah Jawa pada abad ke-17.

Pertama, gagalnya pengepungan Batavia tidak serta-merta melemahkan Kesultanan Mataram secara struktural. Setelah mundur dari medan perang, Sultan Agung tetap mempertahankan kontrol atas wilayah-wilayah taklukan di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Kekuatan administratif dan militer Mataram masih mampu menjalankan sistem perpajakan, pengawasan pejabat lokal, dan ekspansi budaya hingga ke pelosok kerajaan. Hal ini menunjukkan bahwa VOC belum memiliki kekuatan nyata untuk menaklukkan Mataram secara langsung, dan wilayah pengaruh Mataram tetap dominan secara lokal.

Kedua, meskipun gagal secara militer, Sultan Agung justru memperoleh peningkatan legitimasi politik dan simbolik. Bagi rakyat dan bangsawan Jawa, keberanian Sultan Agung dalam menantang VOC—kekuatan asing bersenjata modern—dipandang sebagai bentuk kepahlawanan dan pembelaan terhadap martabat tanah Jawa. Ia tidak dianggap kalah, tetapi dihormati sebagai raja yang berani bertindak dalam mempertahankan kedaulatan.

Citra ini diperkuat oleh narasi-narasi budaya dan sastra keraton yang menggambarkan perang tersebut sebagai perjuangan suci melawan kekuatan asing yang mencemari tatanan kosmos Jawa. Dalam beberapa babad, Sultan Agung bahkan digambarkan sebagai ratu adil atau utusan wahyu ilahi yang melindungi bumi Jawa dari kehancuran spiritual akibat intervensi asing. Legitimasi simbolik ini kemudian memperkuat posisi Sultan Agung dalam sistem sosial-politik Jawa, bahkan setelah kematiannya.

Selain itu, perang ini juga mendorong konsolidasi internal di tubuh pemerintahan Mataram. Setelah perang, Sultan Agung memusatkan kekuatan politik di tangan keraton, merombak struktur pemerintahan, memperkuat pengawasan terhadap bupati-bupati daerah, dan meningkatkan produksi pertanian serta sistem irigasi untuk menopang ekonomi kerajaan. Dalam banyak hal, kekalahan di Batavia dijadikan momentum untuk memperkuat fondasi domestik Mataram dan menstabilkan tatanan sosial internal.

Dengan demikian, dampak perang terhadap Mataram bersifat paradoksal: secara militer, Mataram gagal merebut Batavia; namun secara politik dan budaya, Sultan Agung justru mengukuhkan diri sebagai penguasa besar dan simbol perlawanan lokal terhadap kolonialisme. Inilah yang membuat Kesultanan Mataram tetap menjadi aktor dominan di Jawa selama beberapa dekade berikutnya, dan nama Sultan Agung terus hidup dalam memori sejarah sebagai tokoh nasionalis awal dalam konteks Nusantara.

b. Bagi VOC

Perang melawan Kesultanan Mataram pada tahun 1628–1629 memberikan dampak strategis yang sangat penting bagi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Meski VOC berhasil mempertahankan Batavia dari dua serangan besar, perang tersebut membuka mata para petinggi kompeni akan potensi ancaman serius dari kekuatan lokal yang mampu mengorganisasi perang skala besar.

Salah satu konsekuensi utama adalah kesadaran akan kerentanan posisi Batavia. Sebelum serangan Mataram, VOC lebih berfokus pada keuntungan dagang dan pengamanan pelabuhan, namun setelah mengalami dua kali pengepungan besar, mereka mulai memandang pertahanan militer sebagai prioritas utama. Dalam waktu singkat, VOC mengalokasikan lebih banyak sumber daya untuk memperkuat tembok-tembok benteng Batavia, memperluas kanal pertahanan, membangun menara pengawas, dan memperkuat persenjataan artileri. Batavia pasca-1629 mengalami transformasi menjadi benteng kota yang lebih lengkap, disiplin, dan siaga terhadap serangan luar.

Selain itu, VOC mulai mengubah pendekatan strateginya terhadap kerajaan-kerajaan lokal, tidak lagi semata mengandalkan perjanjian dagang, tapi juga aktif membentuk aliansi militer dengan kerajaan kecil yang bermusuhan dengan kekuatan besar seperti Mataram. Politik divide et impera diperkuat—VOC berusaha memecah aliansi di antara kerajaan lokal dan memperluas pengaruhnya melalui infiltrasi politik serta perdagangan monopoli. Dari pengalaman menghadapi Mataram, VOC menyadari bahwa penguasaan ekonomi saja tidak cukup; pengaruh militer dan politik secara langsung menjadi kebutuhan mendesak.

Perang ini juga membuat VOC mewaspadai kebangkitan raja-raja besar lainnya di Nusantara, terutama mereka yang memiliki basis ideologi dan militer kuat. Hal ini mendorong penguatan garnisun di berbagai daerah seperti Maluku, Makassar, dan Sumatra bagian timur. VOC semakin aktif mencegah pembentukan kekuatan lokal yang terintegrasi, karena pengalaman dengan Mataram menunjukkan bahwa aliansi lokal bisa menjadi sangat berbahaya bila dipimpin oleh figur karismatik seperti Sultan Agung.

Akhirnya, meskipun VOC memenangkan pertempuran secara teknis, mereka juga menderita kerugian besar dalam hal sumber daya, waktu, dan kestabilan operasi dagang. Serangan Mataram menunjukkan bahwa meskipun memiliki teknologi dan benteng, VOC tidak kebal terhadap tekanan militer besar dari daratan. Hal ini membuat mereka lebih konservatif dan berhati-hati dalam melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah yang memiliki kekuatan militer lokal yang signifikan.

Dengan demikian, dampak perang terhadap VOC bersifat defensif dan transformasional. Batavia menjadi benteng yang lebih kuat, kebijakan luar negeri VOC menjadi lebih agresif dan politis, serta persepsi terhadap kekuatan lokal berubah dari sekadar “penghalang dagang” menjadi ancaman militer serius. VOC tidak lagi sekadar berdagang; mereka mulai bertindak sebagai entitas negara kolonial dengan militer yang aktif di Nusantara.

c. Bagi Jawa dan Nusantara

Kegagalan Kesultanan Mataram dalam merebut Batavia tidak sekadar berdampak pada dua pihak yang berperang, tetapi juga memberi dampak luas bagi perkembangan politik dan kolonialisme di seluruh tanah Jawa dan wilayah-wilayah lain Nusantara. Perang ini menjadi titik balik dalam sejarah hubungan antara kekuatan lokal dan kekuatan kolonial Eropa di kepulauan ini.

Pertama, meskipun secara militer Mataram gagal mengusir VOC dari Batavia, perlawanan Sultan Agung meninggalkan warisan simbolik dan psikologis yang kuat bagi generasi selanjutnya. Dua ekspedisi besar terhadap kekuatan asing menjadi bukti bahwa kerajaan pribumi memiliki kapasitas dan keberanian untuk menantang kekuasaan kolonial. Semangat perlawanan terhadap penjajahan yang ditanamkan Sultan Agung kemudian menjadi inspirasi tidak langsung bagi berbagai gerakan resistensi lain—baik di Jawa, Bali, Sumatra, hingga Maluku—yang muncul dalam kurun waktu setelahnya.

Namun secara geopolitik, kegagalan Mataram membuka peluang lebih besar bagi VOC untuk memperluas pengaruh politiknya di Jawa. Setelah memastikan Batavia tetap aman, VOC perlahan memperluas intervensinya ke wilayah-wilayah pantai utara Jawa, seperti Cirebon, Jepara, Semarang, dan Surabaya. Kota-kota pelabuhan ini, yang sebelumnya berada dalam orbit Mataram, mulai menjadi wilayah-wilayah klien atau mitra dagang VOC, dan sering dijadikan titik tumpu untuk menyeimbangkan kekuatan Mataram di pedalaman.

Di sisi lain, pasca-perang, VOC memperdalam politik adu domba antar-kerajaan lokal, memanfaatkan perpecahan internal di kalangan bangsawan dan elite daerah. Di berbagai wilayah, mereka mendukung pihak-pihak yang mau bekerja sama dengan kepentingan dagang VOC, sambil melemahkan kelompok yang anti-kolonial. Pola ini tidak hanya terjadi di Jawa, tetapi juga menjalar ke wilayah-wilayah seperti Makassar, Banjarmasin, dan Ambon.

Dengan demikian, konsekuensi dari kegagalan militer Sultan Agung membuka babak baru kolonialisme terselubung, di mana VOC tidak langsung menaklukkan kerajaan-kerajaan lokal, tetapi mengendalikannya secara politik, ekonomi, dan militer secara bertahap. Jawa, yang sebelumnya berada di bawah dominasi kerajaan-kerajaan pribumi yang kuat seperti Mataram dan Pajang, mulai mengalami proses fragmentasi politik yang dipicu oleh masuknya logika kolonial modern yang bertentangan dengan sistem kekuasaan tradisional.

Namun begitu, perlawanan Sultan Agung tetap berdiri sebagai salah satu momen monumental dalam sejarah perjuangan bangsa. Ia memperlihatkan bahwa penjajahan tidak pernah diterima begitu saja, dan bahwa di balik kekalahan, ada narasi kedaulatan dan keberanian yang terus hidup dalam memori kolektif Nusantara.

Catatan Sejarah Perlawanan Sultan Agung

Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC tidak hanya tercatat sebagai peristiwa militer, tetapi juga sebagai tonggak penting dalam narasi kebangsaan dan kesadaran politik Nusantara. Meski gagal menaklukkan Batavia, jejak Sultan Agung hidup dalam berbagai bentuk: dari pemikiran politik, warisan budaya, hingga simbol perjuangan anti-kolonial.

Sebagai pemimpin terbesar Kesultanan Mataram, Sultan Agung dikenang sebagai simbol nasionalisme awal, jauh sebelum istilah “nasionalisme” dikenal dalam konteks modern. Keberaniannya menentang kekuatan asing mencerminkan kesadaran akan pentingnya kedaulatan dan harga diri bangsa. Perang melawan VOC menjadi simbol penolakan terhadap penjajahan, dan menjadikannya sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia, yang secara resmi diakui oleh negara pada masa kemerdekaan.

Warisan Sultan Agung tidak hanya dalam medan perang, tetapi juga dalam budaya dan struktur sosial-politik Jawa. Salah satu warisan terkenalnya adalah penciptaan Kalender Jawa, yang merupakan hasil sintesis antara sistem kalender Islam dan tradisi Hindu-Jawa. Ini adalah bagian dari proyek besar Sultan Agung dalam mengislamkan budaya Jawa tanpa mencabut akar lokalnya, sebuah pendekatan sinkretik yang berhasil menjaga kontinuitas budaya sekaligus memperluas basis legitimasi kerajaan.

Sultan Agung juga menjadi tokoh penting dalam upaya penyatuan budaya Jawa, baik secara politik maupun spiritual. Ia memposisikan diri sebagai raja dunia sekaligus pemimpin yang menerima wahyu ilahiah (raja yang paripurna), menggabungkan peran raja sebagai simbol tatanan kosmis dan penguasa duniawi. Konsep ini menanamkan nilai penting dalam struktur sosial Jawa, sekaligus menciptakan identitas kebudayaan yang kuat dan berakar panjang.

Dalam konteks masa kini, warisan Sultan Agung tetap relevan sebagai cermin ketahanan budaya dan politik lokal terhadap kekuatan global. Di tengah tekanan globalisasi, neoliberalisme, dan dominasi budaya asing, semangat Sultan Agung mengingatkan kita pada pentingnya mempertahankan jati diri bangsa, memperkuat institusi lokal, dan menolak intervensi eksternal yang merusak kedaulatan.

Selain itu, perjuangannya juga mengajarkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan bukan hanya melalui senjata, tetapi juga melalui pembangunan sistem sosial, budaya, dan spiritual yang tangguh. Ia tidak hanya memimpin perlawanan fisik, tetapi juga membangun fondasi budaya Jawa yang masih terasa hingga hari ini.

Sultan Agung bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga milik masa kini dan masa depan—sebagai simbol perlawanan, pemersatu budaya, dan penjaga martabat Nusantara dalam menghadapi tekanan dunia luar.


Warisan Perlawanan, Api yang Tak Padam

Perlawanan Sultan Agung terhadap VOC pada tahun 1628–1629 merupakan salah satu babak paling penting dalam sejarah awal perlawanan terhadap kolonialisme di Nusantara. Meskipun dua kali serangan besar ke Batavia berakhir dengan kegagalan militer, peristiwa ini menjadi tonggak monumental dalam perjalanan kesadaran politik lokal menghadapi kekuatan asing. Sultan Agung tidak sekadar memimpin pasukan, tetapi mewakili semangat kedaulatan, martabat, dan kebebasan yang tidak mudah tunduk pada dominasi luar.

Dari peristiwa ini, kita memperoleh banyak refleksi nilai-nilai penting: tentang arti kedaulatan sebagai hak untuk menentukan masa depan sendiri; tentang kesatuan, baik dalam wilayah maupun dalam budaya, sebagai fondasi kekuatan bangsa; dan tentang ketegasan untuk menolak subordinasi, sebagai bentuk harga diri dan semangat merdeka.

Perlawanan Sultan Agung juga mengajarkan bahwa sejarah bukan hanya soal kemenangan atau kekalahan di medan perang, tetapi juga soal warisan visi, kepemimpinan, dan identitas. Dalam konteks Indonesia modern, perjuangan Sultan Agung memberi inspirasi strategis dan moral untuk membangun bangsa yang mandiri, tangguh, dan berakar pada kekuatan lokal.

Oleh karena itu, memahami strategi perlawanan lokal seperti yang dilakukan Sultan Agung bukanlah sekadar mengenang masa lalu, tetapi merupakan langkah sadar dalam menyusun arah masa depan. Dengan menggali pelajaran dari tokoh-tokoh seperti beliau, kita dapat membangun ketahanan budaya, kemandirian politik, dan solidaritas nasional yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global hari ini dan esok.

About administrator