Pada awal abad ke-18, Dinasti Mataram mengalami krisis politik yang menandai awal kemunduran kekuasaan kerajaan Jawa terbesar pasca-Sultan Agung. Setelah wafatnya Sultan Amangkurat I pada 1677, suksesi kerajaan tidak pernah lagi stabil. Pengganti-penggantinya menghadapi gejolak internal yang semakin tajam, ditambah dengan meningkatnya intervensi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang telah mengakar kuat di pesisir utara Jawa, terutama sejak mendirikan Batavia pada 1619.
Takhta Mataram, yang dahulu menjadi simbol otoritas tunggal atas seluruh Jawa, kini menjadi objek perebutan kekuasaan antara pangeran-pangeran istana yang saling mencurigai, bersekutu, dan bersaing demi legitimasi politik. Dalam konteks inilah Perang Jawa I meletus, melibatkan dua figur sentral dari keluarga kerajaan: Amangkurat III, putra Amangkurat II yang naik takhta secara formal; dan Pangeran Puger, adik Amangkurat II, yang menolak legitimasi raja baru dan kemudian naik takhta dengan gelar Pakubuwana I setelah didukung oleh VOC.
Perang yang berlangsung antara tahun 1704 hingga 1708 ini tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan internal Mataram, tetapi juga menjadi momentum penting bagi VOC untuk memperluas dominasi politiknya atas kerajaan-kerajaan lokal di Jawa. VOC, yang sebelumnya lebih dikenal sebagai kekuatan dagang, secara aktif mulai menggunakan taktik militer dan diplomasi politik dalam konflik ini—menyokong Pakubuwana I dan pada akhirnya menanamkan pengaruh langsung di dalam jantung kekuasaan Mataram.
Tulisan ini bertujuan untuk menelusuri akar konflik yang melahirkan Perang Jawa I, mengupas tokoh-tokoh utama yang terlibat, menjelaskan jalannya peperangan dan manuver politik di sekitarnya, serta menilai dampak besar yang ditinggalkan oleh perang ini terhadap struktur kekuasaan di Jawa dan awal dari kolonialisme terselubung oleh VOC. Dengan menelusuri peristiwa ini, kita dapat melihat bagaimana perpecahan internal bisa membuka jalan bagi dominasi asing—pelajaran penting yang tetap relevan hingga masa kini.
Latar Belakang Konflik
a. Krisis Suksesi dalam Dinasti Mataram
Setelah wafatnya Amangkurat II pada tahun 1703, Kesultanan Mataram kembali menghadapi krisis suksesi yang mengguncang stabilitas politik internalnya. Putranya, Raden Mas Sutikna, naik takhta dengan gelar Amangkurat III, namun kenaikannya tidak diterima secara bulat oleh kalangan bangsawan, keluarga besar kerajaan, maupun para bupati daerah. Inilah yang menjadi titik awal dari meletusnya Perang Takhta Mataram—sebuah konflik saudara yang kemudian dimanfaatkan oleh kekuatan asing, terutama VOC.
Amangkurat III mewarisi takhta dari ayahnya secara legal, namun legitimasi politiknya dipertanyakan. Banyak kalangan istana memandang bahwa ia tidak memiliki kapasitas kepemimpinan yang kuat dan terlalu bergantung pada klik dalam istana, terutama kalangan ibu suri dan penasihat pribadi. Di sisi lain, Pangeran Puger, saudara dari Amangkurat II sekaligus paman dari Amangkurat III, memandang bahwa dirinya lebih layak menjadi raja berdasarkan pengalaman, dukungan aristokrat, serta hubungan baiknya dengan VOC.
Situasi menjadi semakin kompleks karena istana Kartasura, pusat pemerintahan Mataram saat itu, berada dalam tekanan berbagai faksi politik. Sebagian bangsawan mendukung Amangkurat III karena garis keturunan langsung dari raja sebelumnya. Namun sebagian besar bupati di wilayah pesisir utara Jawa, yang memiliki kepentingan dagang dan hubungan strategis dengan VOC, merasa tidak puas dengan arah pemerintahan baru dan mulai mendekat ke kubu Pangeran Puger.
Krisis ini mencerminkan rapuhnya sistem suksesi Mataram yang tidak memiliki prosedur tertulis yang kuat, sehingga membuka peluang konflik terbuka setiap kali terjadi pergantian raja. Di masa sebelumnya, hal serupa juga terjadi dalam transisi dari Sultan Agung ke Amangkurat I, dan kemudian ke Amangkurat II—selalu disertai ketegangan, perang saudara, atau kudeta tersembunyi.
Dalam kasus Amangkurat III, krisis tidak hanya bersifat politik internal, tetapi telah memunculkan potensi destabilisasi militer, karena kedua belah pihak mulai memobilisasi pasukan dan membangun aliansi. Ketegangan inilah yang membuka celah bagi VOC untuk masuk lebih dalam ke konflik domestik Jawa, bukan lagi sebagai penonton atau pedagang, tetapi sebagai aktor militer dan penentu arah kekuasaan.
b. Ketegangan Internal Istana
Krisis takhta yang melanda Mataram pasca wafatnya Amangkurat II tidak dapat dilepaskan dari ketegangan internal istana yang telah lama berkembang. Struktur kekuasaan Mataram pada awal abad ke-18 mengalami fragmentasi yang parah akibat persaingan antar-pangeran, konflik antar-kelompok bangsawan, serta campur tangan tokoh-tokoh istana seperti permaisuri, selir, dan ibu suri. Dalam sistem kerajaan Jawa yang masih bersifat patrimonial dan tidak memiliki sistem suksesi formal, pertarungan kekuasaan menjadi hal yang nyaris tak terelakkan setiap kali terjadi perubahan kepemimpinan.
Amangkurat III, meskipun telah dinobatkan secara sah, mendapat tantangan dari dalam keluarganya sendiri. Ia dianggap sebagai raja yang lemah secara politik dan mudah dipengaruhi oleh lingkaran istana, terutama oleh ibunya, Ratu Amangkurat, yang memainkan peran besar dalam mengatur jaringan patronase dalam keraton. Di sisi lain, Pangeran Puger, sebagai tokoh senior dan mantan penguasa wilayah yang memiliki banyak loyalis di kalangan prajurit dan bupati, mulai menarik simpati dari faksi-faksi yang tidak puas dengan situasi di Kartasura.
Konflik ini diperparah dengan ketegangan antara pusat dan daerah. Banyak bupati-bupati pesisir—terutama dari daerah Semarang, Jepara, dan Surabaya—merasa tidak diakomodasi dalam pemerintahan Amangkurat III. Mereka melihat pemerintahan baru sebagai lanjutan dari kekuasaan yang eksklusif dan tertutup, di mana akses terhadap keputusan politik dan ekonomi hanya dimiliki oleh segelintir elite keraton. Ketidakpuasan ini membuat para bupati tersebut lebih bersedia bekerja sama dengan VOC, yang menawarkan stabilitas dan insentif dagang.
Tak hanya konflik antar-pria istana, peran permaisuri, ibu suri, dan para selir juga signifikan. Dalam struktur kekuasaan Mataram, mereka sering kali mengelola jejaring pengaruh di dalam keraton, memengaruhi penunjukan pejabat, aliansi politik, dan bahkan penentuan arah kebijakan istana. Persaingan antar-blok perempuan istana turut memperkeruh suasana, menciptakan ketidakstabilan internal yang mudah dimanfaatkan oleh kekuatan luar.
Dengan kondisi internal yang rapuh dan legitimasi Amangkurat III yang goyah, Kesultanan Mataram saat itu ibarat kapal besar yang kehilangan arah di tengah badai kekuasaan. Perselisihan yang awalnya hanya terbatas di lingkungan istana berkembang menjadi konflik terbuka yang menjalar ke wilayah-wilayah Mataram, menciptakan polarisasi antara loyalis Amangkurat III dan para pendukung Pangeran Puger.
Ketegangan ini menjadi bahan bakar utama pecahnya Perang Jawa I, dan menjadi momen emas bagi VOC untuk memposisikan diri sebagai penengah yang pada akhirnya berubah menjadi penguasa bayangan atas kerajaan Jawa.
c. Peran VOC dan Kepentingannya
Dalam konflik internal Kesultanan Mataram pada awal abad ke-18, VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) tidak lagi berperan sebagai sekadar pedagang asing, melainkan telah menjadi aktor politik dan militer aktif yang turut membentuk arah kekuasaan kerajaan-kerajaan lokal di Jawa. Ketika krisis suksesi antara Amangkurat III dan Pangeran Puger (yang kelak menjadi Pakubuwana I) pecah, VOC melihatnya sebagai peluang strategis untuk memperluas pengaruhnya secara langsung di jantung Jawa.
Sejak mendirikan Batavia pada 1619 dan memperkuat pos-pos dagang di sepanjang pesisir utara Jawa, VOC menyadari bahwa stabilitas dan arah kekuasaan Mataram sangat memengaruhi keberhasilan proyek dagang mereka. VOC memandang raja-raja Mataram yang kuat dan otonom sebagai ancaman terhadap kebebasan dagang dan jalur distribusi rempah. Sebaliknya, konflik internal atau dualisme kekuasaan dalam kerajaan besar seperti Mataram akan melemahkan daya tawar istana dan membuat para elite lokal lebih bergantung pada kekuatan luar—termasuk VOC.
Dalam krisis kali ini, VOC memilih mendukung Pangeran Puger, karena ia dipandang lebih “rasional” dan terbuka terhadap kerja sama politik-dagang dengan VOC dibanding Amangkurat III, yang lebih tertutup dan defensif terhadap kehadiran asing. Pangeran Puger juga memiliki banyak simpatisan di wilayah pesisir dan di antara elite yang frustrasi dengan arah pemerintahan sebelumnya. Dukungan VOC tidak hanya bersifat moral atau simbolik, tetapi juga militer: VOC menyuplai senjata, logistik, dan pasukan bantuan untuk mendukung upaya Puger menggulingkan keponakannya dari takhta.
Lebih dari sekadar mengambil sisi dalam konflik dinasti, tindakan VOC mencerminkan strategi jangka panjang: memecah belah kekuatan lokal (divide et impera) untuk menciptakan ketergantungan struktural. Dengan memihak salah satu faksi dalam konflik Mataram dan membantunya naik takhta, VOC menciptakan ikatan politik yang kuat. Raja yang naik dengan bantuan VOC akan merasa terutang budi, sehingga lebih mudah dikendalikan atau ditekan dalam kebijakan.
VOC juga menjadikan konflik ini sebagai ajang untuk memperkuat kehadiran militernya di daratan Jawa. Mereka menempatkan pasukan, membangun garnisun, dan ikut serta dalam pertempuran sebagai aktor utama. Ini merupakan transisi penting dari peran mereka sebagai kekuatan maritim ke kekuatan teritorial yang secara langsung memengaruhi dinamika politik dalam negeri kerajaan-kerajaan lokal.
Dengan demikian, Perang Takhta Mataram tidak dapat dipisahkan dari kalkulasi politik dan ekonomi VOC. Di balik konflik antar-pangeran ini, tersembunyi upaya sistematis kekuatan kolonial untuk mereduksi kedaulatan kerajaan dan membuka jalan menuju dominasi yang lebih dalam atas tanah Jawa.
Tokoh-Tokoh Sentral
a. Amangkurat III
Setelah wafatnya Amangkurat II pada tahun 1703, putranya, Raden Mas Sutikna, dinobatkan sebagai raja baru Mataram dengan gelar Amangkurat III. Penobatannya secara formal dilakukan di Kartasura dan didukung oleh sebagian kalangan istana, terutama faksi ibu suri dan para pejabat yang sebelumnya loyal kepada mendiang raja. Namun, dari awal pemerintahannya, Amangkurat III menghadapi ketegangan politik yang serius, baik dari dalam keraton maupun dari luar istana.
Secara karakter, Amangkurat III digambarkan dalam berbagai sumber kolonial maupun lokal sebagai raja yang lemah, kurang karismatik, dan cenderung paranoid. Ia diduga tidak memiliki kecakapan diplomatik seperti ayahnya, serta terlalu bergantung pada kelompok kecil penasihat istana yang bersifat tertutup. Dalam situasi kerajaan yang tengah menghadapi berbagai tantangan internal dan tekanan eksternal, sikap seperti ini dinilai tidak produktif, terutama oleh para bangsawan pesisir dan elite daerah yang menginginkan raja yang kuat dan komunikatif.
Basis dukungan utama Amangkurat III berasal dari lingkaran dalam keraton dan sebagian pasukan pengawal istana yang masih loyal kepada garis keturunan langsung Amangkurat II. Ia juga memiliki pengaruh di beberapa daerah pedalaman Jawa Tengah, tetapi kurang memiliki dukungan dari wilayah pesisir utara—daerah yang sangat strategis secara ekonomi dan politik, dan tempat di mana kekuatan VOC sangat dominan.
Dari sisi kebijakan, masa awal pemerintahan Amangkurat III ditandai oleh keputusan-keputusan yang konservatif dan defensif. Ia berusaha mempertahankan otoritas kerajaan dengan memperkuat peran tradisional keraton, namun gagal membangun jaringan kekuasaan yang lebih luas. Penolakannya terhadap dominasi VOC, meski dari sudut pandang nasionalisme dapat dianggap positif, justru menyebabkan alienasi dari kelompok-kelompok yang melihat VOC sebagai mitra dagang atau kekuatan penyeimbang terhadap elite keraton.
Dalam situasi yang penuh konflik, Amangkurat III bersikap keras terhadap para penantangnya, termasuk Pangeran Puger. Namun alih-alih menyatukan kekuatan kerajaan, kebijakan ini justru mempercepat polarisasi politik, dan membuka peluang bagi VOC untuk masuk lebih jauh dalam konflik. Ketika perang pecah secara terbuka, Amangkurat III bertahan dengan kekuatan terbatas dan akhirnya terdesak oleh koalisi antara Pakubuwana I dan VOC.
Meskipun akhirnya kalah dan diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka), Amangkurat III tetap menjadi simbol dari penguasa Mataram terakhir yang mencoba mempertahankan takhta tanpa tunduk langsung kepada kekuatan kolonial. Namun kegagalannya dalam membangun konsolidasi politik internal membuatnya kehilangan dukungan dan membuka jalan bagi kekuasaan yang lebih tunduk pada pengaruh asing.
b. Pangeran Puger / Pakubuwana I
Pangeran Puger, saudara tiri dari Amangkurat II dan paman dari Amangkurat III, merupakan salah satu tokoh sentral dalam Perang Jawa I yang kemudian naik takhta sebagai Pakubuwana I. Dalam konteks politik Mataram pada awal abad ke-18, Pangeran Puger mewakili alternatif kekuasaan yang dianggap lebih stabil dan akomodatif oleh banyak kalangan elite istana dan, yang paling penting, oleh VOC.
Sebagai putra dari Sultan Amangkurat I dan saudara Amangkurat II, Pangeran Puger memiliki garis keturunan langsung dari dinasti utama, yang memberinya legitimasi untuk mengklaim tahta bila terjadi ketidaksepakatan dalam suksesi. Ketika Amangkurat III dinobatkan pada 1703, Pangeran Puger menolak mengakui pemerintahan keponakannya, dan justru menyatakan dirinya sebagai pemegang hak sah atas takhta Mataram. Klaim ini bukan sekadar ambisi pribadi, melainkan didukung oleh sejumlah elite istana dan bupati daerah yang merasa tidak puas dengan kepemimpinan Amangkurat III.
Kekuatan utama Pangeran Puger tidak hanya terletak pada silsilahnya, tetapi juga pada kemampuannya membangun koalisi, termasuk dengan kekuatan asing. Ia melihat VOC sebagai sekutu strategis dalam usahanya merebut takhta. Dalam pandangan VOC, Pangeran Puger adalah sosok rasional, dapat diajak berunding, dan tidak memiliki kecenderungan konfrontatif seperti lawannya. VOC pun memberikan dukungan politik, logistik, dan militer secara terbuka kepada Pangeran Puger, menjadikan ia sebagai calon penguasa boneka yang menjanjikan kestabilan bagi kepentingan dagang mereka di Jawa.
Manuver politik Pangeran Puger sangat terampil. Ia mendekati para bupati pesisir, menawarkan stabilitas, dan menjanjikan kompromi politik yang lebih terbuka dibanding pemerintahan tertutup Amangkurat III. Ia juga aktif dalam melakukan diplomasi dengan pejabat-pejabat VOC, menyusun aliansi taktis, dan menjadikan konflik takhta ini sebagai momentum untuk mengukuhkan posisinya sebagai pemimpin “yang dikehendaki” oleh sebagian besar pihak berkepentingan.
Pada puncaknya, setelah berhasil menggulingkan Amangkurat III dengan dukungan VOC, Pangeran Puger dinobatkan sebagai Pakubuwana I pada 1705. Ini merupakan peristiwa penting karena menandai mulainya era raja-raja Mataram yang bergantung pada kekuatan asing untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Meskipun secara formal tetap menjadi penguasa, kekuasaan Pakubuwana I sudah berada di bawah bayang-bayang pengaruh VOC. Perjanjian-perjanjian yang ia tandatangani mempersempit kedaulatan Mataram dan membuka jalan bagi intervensi VOC yang lebih dalam dalam urusan internal kerajaan.
Namun demikian, dalam sejarah, Pakubuwana I juga dipandang sebagai pemimpin pragmatis yang memahami realitas politik zamannya. Ia berhasil mempertahankan stabilitas kerajaan dalam situasi yang genting, sekalipun harus mengorbankan sebagian kedaulatan Mataram. Sosoknya mencerminkan dilema besar penguasa lokal Nusantara pada masa kolonial awal: bertahan dengan harga kemerdekaan yang dikompromikan.
c. VOC sebagai Aktor Militer-Politik
Dalam Perang Jawa I (1704–1708), VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) tidak lagi sekadar berperan sebagai pedagang asing yang mengandalkan diplomasi dagang, melainkan telah bertransformasi menjadi aktor militer-politik utama dalam dinamika kekuasaan di Jawa. Konflik antara Amangkurat III dan Pangeran Puger menjadi momen penting bagi VOC untuk menegaskan posisinya sebagai penentu takhta kerajaan, sekaligus memperluas pengaruhnya secara langsung ke dalam sistem pemerintahan lokal.
Sikap VOC terhadap konflik ini pada awalnya bersifat berhitung dan oportunistik. Mereka tidak serta-merta terlibat, melainkan menilai siapa yang paling dapat diandalkan untuk menjamin stabilitas dan kelancaran perdagangan. Ketika melihat bahwa Amangkurat III memiliki kecenderungan konfrontatif dan tidak kooperatif, sementara Pangeran Puger membuka peluang kerja sama, VOC dengan cepat mengalihkan dukungan ke kubu Puger. Bagi VOC, stabilitas kekuasaan di Jawa bukan ditentukan oleh legitimasi genealogis atau moral, melainkan oleh kepatuhan terhadap kepentingan dagang dan politik mereka.
Sebagai respons terhadap eskalasi konflik, VOC menjalankan kebijakan intervensi militer terbuka. Mereka mengerahkan pasukan dari Batavia ke wilayah-wilayah Mataram, membantu pengepungan kota-kota penting, dan menempatkan penasihat militer di dekat kubu Puger. Peran ini melampaui posisi netral: VOC menjadi kekuatan penentu kemenangan, menyediakan senjata, logistik, bahkan perencanaan operasi militer bagi faksi yang mereka dukung. Dalam proses ini, mereka juga menyebarkan propaganda politik yang menggambarkan Pangeran Puger sebagai penguasa yang sah dan visioner, sementara Amangkurat III dicitrakan sebagai tiran yang tidak layak memimpin.
Namun dominasi VOC tidak semata-mata dilakukan melalui senjata. Mereka juga mengandalkan diplomasi pecah-belah yang canggih, dengan memanfaatkan perpecahan internal dalam istana dan di antara para bupati daerah. Dalam banyak kasus, VOC menjanjikan perlindungan, konsesi dagang, atau pengakuan politik kepada penguasa lokal yang bersedia berpihak kepada mereka. Kebijakan ini efektif melemahkan solidaritas Mataram dan mempercepat runtuhnya loyalitas terhadap Amangkurat III.
Dengan kemenangan Pangeran Puger dan pengangkatannya sebagai Pakubuwana I, VOC berhasil mencapai dua tujuan strategis sekaligus: mengganti pemimpin Mataram dengan figur yang loyal, serta memperluas legitimasi kekuasaannya melalui pengaruh tak langsung di pusat kerajaan Jawa. Meskipun secara formal kerajaan tetap berdiri, namun sejak saat itu pengaruh VOC semakin dalam dan sistematis, menandai fase baru dalam sejarah kolonialisme Belanda di Nusantara.
Dengan demikian, dalam konteks Perang Jawa I, VOC bukan sekadar pihak luar yang mengambil keuntungan dari konflik, melainkan aktor aktif yang mengatur ulang struktur kekuasaan lokal demi kepentingan kolonial jangka panjang mereka.
Jalannya Perang (1704–1708)
a. Meletusnya Perang Takhta
Konflik yang telah lama membara di dalam istana Mataram akhirnya memuncak pada tahun 1704, ketika Pangeran Puger secara terbuka menyatakan klaim atas takhta Mataram dan mendeklarasikan dirinya sebagai raja tandingan dengan gelar Pakubuwana I. Deklarasi ini tidak hanya merupakan pernyataan politik internal, tetapi juga dimaksudkan untuk menarik dukungan eksternal, terutama dari VOC, yang saat itu telah menyatakan keberpihakan mereka secara eksplisit.
Deklarasi tersebut dengan cepat disusul oleh respon militer, baik dari pasukan loyalis Amangkurat III di Kartasura maupun dari barisan pendukung Pakubuwana I yang mulai mendapatkan bantuan logistik dan militer dari VOC. VOC segera mengirimkan pasukan bersenjata dari Batavia ke wilayah pesisir utara Jawa sebagai penguatan. Mereka menempatkan garnisun dan mendirikan pos-pos strategis, sekaligus membuka jalur suplai dari laut menuju pedalaman, tempat basis utama konflik berada.
Bentrokan pertama pecah di sekitar Kartasura, pusat pemerintahan Mataram. Amangkurat III mengerahkan kekuatan inti keraton untuk mempertahankan ibu kota, sementara pasukan Pakubuwana I dan VOC melancarkan serangan ke daerah-daerah sekitarnya, seperti Prambanan, Sukoharjo, dan Klaten, guna mengisolasi Kartasura secara bertahap. Tujuan utama serangan ini adalah melemahkan pengaruh politik dan logistik Amangkurat III, sekaligus menggoyahkan dukungan dari para bupati yang masih setia padanya.
Perang ini tidak hanya berlangsung dalam bentuk pertempuran terbuka, tetapi juga dalam bentuk sabotase politik dan pengalihan aliansi. Banyak bupati yang sebelumnya berada dalam posisi netral akhirnya beralih mendukung Pakubuwana I, karena tekanan politik, janji perlindungan dari VOC, atau ketidakpercayaan pada kemampuan Amangkurat III mempertahankan kekuasaan.
Peristiwa ini menjadi pembuka dari perang saudara yang berkepanjangan, di mana konflik dinasti di Mataram telah berubah menjadi konflik struktural yang melibatkan kekuatan kolonial. Dalam waktu singkat, peperangan menyebar dari pusat istana ke berbagai wilayah kekuasaan Mataram, memperlihatkan bahwa krisis takhta telah menjelma menjadi pertempuran nasib kerajaan itu sendiri.
b. Strategi Militer dan Dukungan Daerah
Perang Takhta Mataram antara Amangkurat III dan Pakubuwana I bukan hanya pertarungan dua figur kerajaan, tetapi juga ujian terhadap struktur militer dan jaringan kekuasaan lokal yang menopang masing-masing pihak. Kedua kubu memiliki strategi dan kekuatan yang berbeda, dipengaruhi oleh latar belakang, aliansi, dan akses terhadap logistik maupun teknologi perang.
Amangkurat III, sebagai raja yang sedang berkuasa, mengandalkan kekuatan inti prajurit keraton Kartasura, serta loyalis dari daerah pedalaman Jawa Tengah. Ia memobilisasi kekuatan tradisional kerajaan, termasuk pasukan berkuda dan prajurit bersenjata tombak serta panah. Namun, dari sisi teknologi dan logistik, kekuatan ini tidak mampu menandingi persenjataan modern VOC, seperti senapan lontak, meriam ringan, dan artileri lapangan.
Sementara itu, Pakubuwana I dan VOC membentuk aliansi militer yang jauh lebih fleksibel dan modern. Pasukan gabungan ini terdiri atas:
- Tentara bayaran VOC dari berbagai bangsa (Eropa, Ambon, Bugis, dan Bali),
- Laskar lokal dari wilayah pesisir utara Jawa, terutama Semarang, Jepara, dan Demak, yang berpihak kepada Puger,
- dan pasukan elit VOC yang membawa sistem pertahanan berbasis barisan senjata api dan taktik pengepungan gaya Eropa.
Strategi Pakubuwana I dan VOC berfokus pada pengepungan bertahap dan isolasi politik. Mereka tidak terburu-buru merebut Kartasura, tetapi memilih menggoyang fondasi dukungan Amangkurat III dari pinggiran, dengan merebut wilayah kunci dan membujuk bupati-bupati untuk berpindah kubu. Banyak bupati mengubah kesetiaan mereka setelah menerima tekanan dari VOC, atau karena melihat potensi kekalahan kubu Amangkurat III.
Peran para bupati sangat menentukan. Di wilayah pesisir seperti Surabaya, Tuban, dan Rembang, para penguasa lokal mulai menjauh dari Amangkurat III karena kecewa pada pemerintahannya yang tertutup dan represif. Di sisi lain, para bupati daerah pegunungan dan pedalaman cenderung lebih setia, meskipun kekuatan mereka secara geografis lebih terisolasi dan sulit dikoordinasikan.
Sikap rakyat sendiri terpecah. Di satu sisi, rakyat banyak yang resah karena perang membawa beban ekonomi dan penderitaan. Di sisi lain, sebagian rakyat memihak kubu yang menjanjikan keamanan dan stabilitas—yang dalam banyak kasus ditawarkan oleh VOC. Meskipun banyak rakyat Jawa memiliki simpati kepada kekuasaan sah Amangkurat III, tekanan hidup akibat perang dan blokade membuat mereka pragmatis dalam menyikapi konflik yang berkepanjangan ini.
Secara keseluruhan, keunggulan Pakubuwana I dan VOC terletak pada:
- Superioritas logistik dan teknologi senjata,
- Aliansi yang luas dengan penguasa lokal,
- serta kemampuan VOC dalam menyuplai dan mengatur strategi pengepungan.
Sebaliknya, kubu Amangkurat III unggul dalam kedekatan budaya dan loyalitas simbolik terhadap tradisi kekuasaan Jawa, tetapi gagal mengimbangi kekuatan militer modern dan tekanan politik eksternal.
c. Serangan dan Pengepungan
Setelah kekuatan militer gabungan Pakubuwana I dan VOC mulai memperoleh keunggulan strategis melalui serangkaian kemenangan lokal, fase serangan langsung dan pengepungan terhadap wilayah-wilayah kekuasaan Amangkurat III dimulai. Target utama adalah menguasai kota-kota dan benteng yang menjadi basis pertahanan dan pusat logistik loyalis Amangkurat.
VOC, dengan keunggulan taktik militer dan persenjataan modern, menggunakan pola operasi pengepungan bertahap. Mereka tidak hanya mengandalkan kekuatan frontal, tetapi juga taktik sistematis: mengisolasi wilayah lawan, memblokir jalur suplai, dan menempatkan garnisun secara permanen di wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai.
Beberapa kota penting di sekitar Kartasura dan daerah pesisir utara Jawa—seperti Semarang, Demak, Kudus, dan Surabaya—menjadi basis logistik dan titik serangan ke wilayah pedalaman. Dari titik-titik inilah pasukan VOC dan sekutu-sekutunya mulai menekan ke jantung kekuasaan Amangkurat III. Serangan tidak hanya dilakukan dari satu arah, tetapi dari beberapa penjuru secara serentak, untuk memecah konsentrasi pertahanan pasukan keraton.
VOC secara aktif menempatkan garnisun di kota-kota yang direbut, lengkap dengan pasukan tetap, logistik, serta sistem pengawasan terhadap elite lokal. Hal ini mencerminkan perubahan besar dalam strategi VOC: dari pedagang bersenjata menjadi kekuatan kolonial yang menanamkan kekuasaan administratif dan militer langsung. Dengan demikian, serangan bukan sekadar operasi militer, melainkan juga mekanisme awal kolonialisasi wilayah-wilayah kunci Mataram.
Amangkurat III, yang mulai kehilangan banyak wilayah pendukungnya, terpaksa memindahkan pusat pertahanan ke arah selatan dan timur, mencari perlindungan di daerah-daerah yang masih setia. Namun, dengan jalur logistik terputus dan tekanan politik yang semakin kuat, kemampuan bertahannya melemah drastis. Setiap wilayah yang jatuh ke tangan VOC tidak hanya merugikan secara geografis, tetapi juga menggerus legitimasi simbolik kekuasaan raja.
Perang berubah menjadi pengepungan panjang dan sistematis terhadap sisa-sisa kekuasaan Amangkurat III, dengan VOC mengatur suplai makanan, logistik senjata, dan sistem komunikasi jarak jauh—semua hal yang tidak dapat ditandingi oleh kubu lawan. Dengan pergerakan lambat namun pasti, Pakubuwana I dan VOC berhasil menguasai Jawa Tengah bagian utara dan bagian barat Mataram, membuat posisi Amangkurat III semakin terpojok.
Dengan situasi yang semakin terdesak, pertahanan terakhir Amangkurat III runtuh secara bertahap, membuka jalan bagi kemenangan penuh Pakubuwana I dan pengakuan resmi dari VOC atas dirinya sebagai raja sah Mataram.
d. Akhir Perang: Penangkapan dan Pengasingan
Setelah mengalami kekalahan beruntun dan kehilangan kendali atas wilayah-wilayah strategis di Mataram, Amangkurat III akhirnya terdesak ke wilayah timur Jawa, mencoba menyelamatkan sisa kekuasaannya dan mencari dukungan dari kekuatan lokal yang masih loyal. Namun, dengan dukungan militer dan politik yang terus menyusut serta kekuatan lawan yang semakin kuat, perjuangan Amangkurat III mencapai titik akhir.
Pada tahun 1708, pasukan gabungan Pakubuwana I dan VOC berhasil memutus jalur pertahanan terakhirnya dan menangkap Amangkurat III setelah pertempuran kecil di daerah pelarian. Ia kemudian ditawan oleh VOC dan diputuskan untuk diasingkan keluar dari Jawa. Tempat pengasingan yang dipilih adalah Pulau Ceylon (kini Sri Lanka), yang saat itu berada dalam kendali Belanda dan telah digunakan sebagai tempat eksil bagi tokoh-tokoh Nusantara yang dianggap membahayakan kekuasaan kolonial.
Pengasingan Amangkurat III menandai berakhirnya Perang Jawa I secara formal dan simbolik. Tidak hanya berarti kekalahan satu figur dalam perebutan takhta, tetapi juga akhir dari era independensi dinasti Mataram dalam menentukan suksesi tanpa campur tangan asing. VOC kini memegang kendali atas siapa yang boleh naik takhta dan dengan syarat-syarat apa.
Setelah kemenangan tersebut, Pakubuwana I secara resmi dinobatkan sebagai Raja Mataram, dengan upacara kerajaan yang didampingi dan difasilitasi oleh VOC. Pengangkatannya diakui secara luas—bukan hanya oleh elite keraton yang tersisa, tetapi juga oleh para bupati dan pemimpin daerah yang telah menjalin kesepakatan dengan pihak Belanda.
Namun, kemenangan Pakubuwana I bukan tanpa konsekuensi. Sebagai imbalan atas dukungan VOC, kerajaan Mataram harus menerima berbagai perjanjian baru yang membatasi kedaulatan politik dan ekonominya. VOC memperoleh hak pengawasan terhadap urusan internal kerajaan, penguasaan atas jalur perdagangan tertentu, serta kebebasan menempatkan garnisun di wilayah strategis.
Dengan demikian, akhir Perang Jawa I bukan hanya penobatan seorang raja baru, tetapi juga dimulainya babak kolonialisasi sistemik terhadap Mataram. Penobatan Pakubuwana I menjadi titik balik penting yang menunjukkan bahwa sejak saat itu, takhta kerajaan Jawa tidak lagi bebas dari pengaruh kekuatan kolonial, dan bahwa kemenangan dalam perebutan kekuasaan kini bergantung pada relasi dengan kekuatan asing, bukan semata-mata pada legitimasi darah atau dukungan rakyat.
Strategi dan Politik VOC
Perang Jawa I menjadi momen krusial yang menunjukkan secara terang-terangan bagaimana VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) tidak lagi sekadar entitas dagang, melainkan telah menjadi kekuatan kolonial yang terlibat aktif dalam urusan politik dalam negeri kerajaan Jawa. Dalam konflik antara Amangkurat III dan Pakubuwana I, VOC mempraktikkan strategi kompleks yang mencakup intervensi militer langsung, diplomasi manipulatif, dan pembentukan pemerintahan boneka demi memperluas pengaruh dan mengamankan kepentingan dagangnya.
Pola Campur Tangan dalam Konflik Internal
VOC menyadari bahwa keretakan internal istana Mataram adalah peluang besar untuk memperkuat cengkeramannya di Jawa. Mereka tidak menciptakan konflik, tetapi dengan lihai menunggangi krisis suksesi, memilih untuk mendukung figur yang lebih mudah dikendalikan dan berorientasi kompromi terhadap kepentingan dagang mereka. Dalam hal ini, Pangeran Puger (kelak Pakubuwana I) dianggap sebagai kandidat ideal dibanding Amangkurat III yang berwatak keras dan tidak dapat diprediksi.
Pola ini akan menjadi preseden bagi intervensi VOC selanjutnya, yakni memanfaatkan konflik internal lokal untuk membenarkan campur tangan dan kemudian menegakkan sistem kekuasaan baru yang berutang secara politis dan militer kepada mereka.
Diplomasi VOC: Hadiah, Tekanan Militer, dan Perjanjian Rahasia
Strategi diplomasi VOC tidak hanya mengandalkan kekuatan militer, tetapi juga teknik pecah-belah melalui diplomasi personal dan kelembagaan. Mereka memberikan hadiah, gelar kehormatan, bahkan konsesi dagang kepada para bupati dan elite lokal yang bersedia mendukung Pakubuwana I. Di sisi lain, VOC juga menggunakan tekanan militer, ancaman blokade ekonomi, dan pemutusan akses perdagangan bagi pihak-pihak yang menentang mereka.
Selain itu, banyak perjanjian rahasia atau tidak transparan dibuat antara VOC dan penguasa-penguasa lokal. Isi perjanjian tersebut umumnya membatasi hak Mataram dalam:
- menjalin hubungan diplomatik luar negeri,
- menentukan pajak dan distribusi sumber daya,
- serta melakukan mobilisasi militer tanpa persetujuan VOC.
Dengan kata lain, VOC secara sistematis mengendalikan fondasi pemerintahan dari balik layar.
Pembentukan Sistem Raja Boneka dan Pelemahan Kedaulatan Mataram
Salah satu warisan utama dari strategi VOC dalam Perang Jawa I adalah terbentuknya sistem “raja boneka”—yakni penguasa lokal yang secara formal diakui sebagai raja, tetapi bergantung penuh kepada kekuatan kolonial untuk mempertahankan kekuasaannya. Pakubuwana I, meskipun memiliki legitimasi darah dan dukungan elite, menjadi simbol dari pergeseran model kekuasaan Mataram: dari raja merdeka ke raja yang berada di bawah pengaruh asing.
Seiring waktu, Mataram mengalami erosi kedaulatan politik dan ekonomi. VOC menguasai pelabuhan-pelabuhan penting, menarik pajak, dan menempatkan garnisun militer di titik-titik strategis. Raja tidak lagi bebas mengambil kebijakan luar negeri atau militer tanpa campur tangan mereka.
Strategi politik VOC ini menjadi cetak biru kolonialisasi Jawa secara sistemik, dan membentuk struktur kekuasaan yang bertahan bahkan hingga masa Hindia Belanda. Mereka menciptakan stabilitas semu, namun pada kenyataannya memperkuat posisi kolonialisme dan memperlemah daya tawar kerajaan-kerajaan lokal.
Dampak dan Warisan Perang Jawa I
a. Bagi Kesultanan Mataram
Perang Jawa I membawa dampak besar dan jangka panjang bagi Kesultanan Mataram, bukan hanya dalam aspek politik kekuasaan, tetapi juga dalam dimensi sosial, budaya, dan spiritual. Konflik antara Amangkurat III dan Pakubuwana I, yang dibungkus sebagai perebutan takhta, sesungguhnya menjadi titik awal keruntuhan otonomi kerajaan dan permulaan dominasi kolonial VOC secara langsung terhadap kerajaan terbesar di Jawa.
Pecahnya Kekuasaan Mataram: Awal Ketergantungan pada VOC
Salah satu dampak paling nyata dari perang ini adalah resminya ketergantungan Kesultanan Mataram pada VOC. Dengan naiknya Pakubuwana I ke takhta melalui bantuan militer dan legitimasi politik VOC, dinamika kekuasaan di Mataram berubah total: dari kerajaan merdeka menjadi entitas politik yang berada di bawah bayang-bayang kekuatan kolonial.
Meskipun secara simbolik Mataram masih memiliki raja, namun keputusan-keputusan penting harus dikonsultasikan dengan VOC, termasuk soal suksesi, kebijakan luar negeri, dan pengelolaan wilayah. Ini menciptakan ketergantungan struktural yang terus membesar pada dekade-dekade berikutnya.
Perang ini juga membuka jalan bagi VOC untuk:
- menempatkan garnisun di wilayah Mataram,
- menandatangani perjanjian politik dan dagang yang menguntungkan Belanda,
- dan menetapkan batas kekuasaan raja secara lebih ketat dan formal.
Berkurangnya Otoritas Spiritual dan Politik Raja di Mata Rakyat
Dampak lain yang tak kalah penting adalah tergerusnya otoritas raja Mataram sebagai figur spiritual dan politik tertinggi di mata rakyat. Dalam tradisi Jawa, raja dipandang sebagai titisan wahyu ilahi, pengayom rakyat, dan penjaga tatanan kosmis. Namun ketika proses naik takhtanya melibatkan kekuatan asing, dan terlebih ketika keputusan-keputusannya dikendalikan oleh pihak luar, wibawa raja mulai dipertanyakan.
Bagi rakyat, keterlibatan VOC dalam urusan takhta merusak legitimasi moral kerajaan. Banyak lapisan masyarakat melihat raja bukan lagi sebagai pemimpin sakral yang mandiri, tetapi sebagai boneka kekuasaan kolonial. Kepercayaan terhadap kekuasaan keraton mulai melemah, dan ini turut membuka celah bagi pemberontakan lokal, gerakan keagamaan, dan resistensi rakyat di kemudian hari.
Di sisi internal istana, elite keraton pun mulai terpolarisasi. Sebagian mendekat ke VOC demi keamanan dan keuntungan politik, sementara yang lain merasa dikhianati oleh sistem baru yang tidak lagi mencerminkan tradisi dan tatanan Jawa sejati. Ketegangan ini menjadi awal dari fragmentasi istana yang akan terus berlanjut hingga terbentuknya pecahan kerajaan seperti Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta beberapa dekade kemudian.
Dengan demikian, Perang Jawa I menandai awal dari periode panjang kemunduran kekuasaan Mataram, baik secara politik, spiritual, maupun simbolik. Sejak saat itu, Mataram tidak lagi menjadi kekuatan yang sepenuhnya berdaulat, melainkan kerajaan besar yang dipangkas kekuasaannya secara sistematis oleh kolonialisme Belanda.
b. Bagi VOC
Perang Jawa I menjadi titik balik penting dalam konsolidasi kekuasaan VOC di tanah Jawa, khususnya dalam wilayah Kesultanan Mataram yang sebelumnya masih menjaga batas otonominya. Jika sebelum perang VOC lebih sering berperan sebagai mitra dagang atau kekuatan eksternal yang berjarak, maka setelah kemenangan Pakubuwana I, VOC menjelma menjadi aktor politik utama yang ikut menentukan arah pemerintahan kerajaan.
Meningkatnya Dominasi VOC dalam Urusan Internal Kerajaan Jawa
Kemenangan pihak yang didukung VOC dalam perang ini memberi Belanda akses langsung dan formal ke dalam jantung kekuasaan Mataram. VOC tidak lagi hanya memberikan “dukungan dari luar,” tetapi secara aktif terlibat dalam:
- pengangkatan dan pengesahan raja,
- penyusunan struktur kekuasaan internal,
- dan pengendalian wilayah strategis.
Dominasi ini bersifat sistemik dan berkelanjutan. VOC berhasil mengikat Pakubuwana I melalui berbagai perjanjian politik dan ekonomi yang melemahkan kedaulatan kerajaan. Raja tidak dapat mengambil keputusan penting—termasuk dalam hal perang, pajak, atau diplomasi luar—tanpa persetujuan VOC. Bahkan dalam beberapa kasus, VOC mengirimkan penasihat tetap yang berfungsi sebagai pengawas istana dan “penjamin” kesetiaan kerajaan kepada kepentingan dagang Belanda.
Dominasi VOC juga diwujudkan secara fisik melalui pendirian garnisun militer di daerah-daerah penting, pengawasan pelabuhan, dan monopoli atas perdagangan komoditas utama seperti beras dan rempah.
Awal dari Politik Sistematis Intervensi dan Pengawasan Istana
Perang Jawa I memperlihatkan kepada VOC bahwa kekuatan politik lokal di Jawa dapat dikendalikan melalui pendekatan intervensi selektif. Ini menjadi model permanen bagi strategi VOC selanjutnya: campur tangan dalam konflik internal kerajaan untuk mempertahankan stabilitas yang menguntungkan posisi mereka.
VOC mulai mengembangkan politik sistematis “divide et impera”—memecah elite istana, menyeimbangkan kekuasaan antara pangeran-pangeran dan bupati, dan menciptakan ketergantungan yang berkepanjangan terhadap kekuatan kolonial.
Akibatnya, kerajaan-kerajaan Jawa secara bertahap kehilangan kendali atas proses politik mereka sendiri. Bahkan ketika tidak terjadi perang, VOC tetap memainkan peran sebagai wasit kekuasaan, memastikan bahwa setiap keputusan politik, suksesi, dan pemberontakan lokal sesuai dengan garis kepentingan Belanda.
Dalam jangka panjang, strategi intervensi pasca-Perang Jawa I menjadi fondasi utama dari sistem kolonial Belanda di Indonesia. VOC tidak hanya memenangi perang, tetapi juga menangkap struktur politik Jawa dan membentuknya ulang menjadi sistem kerajaan klien, yang tetap digunakan bahkan setelah VOC dibubarkan dan digantikan oleh pemerintahan Hindia Belanda.
c. Bagi Jawa dan Nusantara
Dampak dari Perang Jawa I meluas jauh melampaui istana Kartasura atau dinamika internal Kesultanan Mataram. Konflik ini menjadi precedent penting dalam transformasi politik Nusantara, khususnya di Jawa, dari tatanan kerajaan berdaulat menuju fragmentasi kekuasaan dan dominasi kolonial terselubung. Akibat langsung maupun tidak langsung dari perang ini memicu gelombang perubahan yang terus bergaung dalam sejarah Indonesia hingga abad ke-20.
Membuka Jalan ke Perang Jawa II (Perang Geger Pacinan, 1740–1743)
Perang Jawa I menciptakan struktur kekuasaan yang rapuh dan sangat bergantung pada dukungan kolonial. Naiknya Pakubuwana I melalui tangan VOC menimbulkan ketegangan sosial dan politik, baik di kalangan elite bangsawan maupun rakyat. Banyak tokoh militer dan pejabat lokal yang merasa dipinggirkan atau dikhianati oleh sistem baru yang terbentuk. Dalam dua dekade berikutnya, ketegangan ini tumbuh subur, memperbesar ketidakpuasan yang akhirnya meledak menjadi Perang Jawa II atau Geger Pacinan.
Perang itu bukan hanya konflik antara kelompok Tionghoa dan Belanda, tetapi juga menjadi konflik besar antara rakyat Jawa dan kekuasaan VOC, yang telah merusak tatanan kerajaan dan memarjinalkan kekuatan-kekuatan lokal. Dengan kata lain, akar konflik sosial yang meledak pada 1740-an sudah tertanam dalam Perang Jawa I, ketika legitimasi raja dan struktur kekuasaan mulai kehilangan kepercayaan rakyat.
Awal dari Dekade-Dekade Fragmentasi Kekuasaan dan Kolonialisme Terselubung
Perang Jawa I juga menjadi gerbang menuju fragmentasi kekuasaan kerajaan di Jawa. Dengan VOC sebagai penentu politik, kekuasaan raja tidak lagi bersifat tunggal dan sentral, melainkan terpecah dan dikendalikan oleh kekuatan luar. Dalam beberapa dekade setelah perang ini:
- kekuasaan Mataram makin menyusut,
- wilayah-wilayah pinggiran mulai dikuasai langsung oleh VOC,
- dan akhirnya pada 1755, Mataram pecah menjadi dua kerajaan: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta melalui Perjanjian Giyanti—hasil rekayasa VOC untuk membagi dan melemahkan pusat kekuasaan.
Fenomena ini tidak terbatas di Jawa. Di berbagai wilayah Nusantara lain, model yang sama mulai diterapkan: dukungan kolonial terhadap elite lokal tertentu, penciptaan kerajaan klien, dan intervensi dalam konflik internal. Hal ini membentuk kolonialisme terselubung, yaitu dominasi asing yang disamarkan dalam bentuk dukungan terhadap struktur kekuasaan tradisional.
Dalam jangka panjang, identitas politik Nusantara pun terkikis. Raja dan bangsawan yang dahulu menjadi simbol kemerdekaan dan penentu arah negeri, perlahan bergeser menjadi pelaksana kebijakan kolonial. Hubungan rakyat dengan kerajaan pun berubah: dari loyalitas terhadap simbol budaya dan spiritual, menjadi hubungan transaksional dan penuh kekecewaan terhadap institusi yang tak lagi sepenuhnya berdiri di pihak rakyat.
Dengan demikian, Perang Jawa I adalah titik balik sejarah, yang menandai berakhirnya masa kekuasaan raja yang sepenuhnya mandiri, dan awal dari era kolonialisme yang beroperasi lewat kontrol politik, aliansi strategis, dan penghancuran legitimasi lokal.
Warisan Sejarah dan Relevansi Masa Kini
Perang Jawa I bukan hanya peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau, tetapi juga cermin dari dinamika kekuasaan, manipulasi politik, dan bentuk kolonialisme yang halus namun merusak. Warisan dari perang ini terus mempengaruhi struktur kekuasaan di Jawa dan membentuk relasi antara penguasa lokal dan kekuatan asing dalam sejarah panjang Nusantara. Dalam konteks modern, kisah ini menyimpan pelajaran penting mengenai politik kekuasaan, identitas, dan kedaulatan bangsa.
Perang Takhta sebagai Contoh Klasik “Divide et Impera” Kolonial
Salah satu warisan paling mencolok dari Perang Jawa I adalah bagaimana VOC berhasil menerapkan strategi klasik penjajahan: “divide et impera” atau politik pecah-belah. Alih-alih menguasai kerajaan lewat perang terbuka yang mahal dan berisiko, VOC mengadu elite satu sama lain, lalu memihak kubu yang paling menguntungkan kepentingannya. Dalam hal ini, dukungan VOC terhadap Pakubuwana I menjadi alat efektif untuk menghancurkan kemandirian politik Mataram dari dalam.
Strategi seperti ini terbukti jauh lebih ampuh dan tahan lama daripada invasi langsung. VOC tidak hanya memenangkan pertempuran militer, tetapi juga menancapkan pengaruh ideologis dan struktural dalam sistem kekuasaan lokal, menjadikan kerajaan sebagai perpanjangan tangan kekuasaan kolonial. Model ini kemudian digunakan secara sistematis dalam berbagai konflik di Nusantara, dari Bali hingga Minangkabau, dari Sulawesi hingga Maluku.
Pelajaran tentang Pentingnya Persatuan Elite Lokal dalam Menghadapi Kekuatan Asing
Salah satu sebab utama keberhasilan VOC dalam mengintervensi Mataram adalah ketidakharmonisan di antara elite lokal. Persaingan, ambisi pribadi, dan ketiadaan visi kolektif untuk kedaulatan membuka celah bagi kekuatan asing untuk masuk dan memainkan peran sebagai penentu kekuasaan. Jika para bangsawan dan keluarga kerajaan bersatu mempertahankan kemandirian politik mereka, maka dominasi VOC tidak akan semudah itu terjadi.
Dari sini, sejarah mengajarkan bahwa persatuan politik lokal adalah syarat utama dalam menjaga kedaulatan. Perpecahan elite bukan hanya persoalan internal, melainkan ancaman nasional. Relevansi pelajaran ini tetap hidup hingga kini, ketika bangsa Indonesia menghadapi tantangan globalisasi, intervensi ekonomi asing, dan tekanan politik dari luar negeri.
Relevansi Sejarah dalam Memahami Bentuk Kolonialisme Non-Militer
Perang Jawa I juga menunjukkan bahwa penjajahan tidak selalu datang dengan senjata dan pasukan, tetapi bisa hadir melalui politik, diplomasi, dan pengaruh ekonomi. Kolonialisme yang terjadi melalui perjanjian, “bantuan” militer, atau dukungan terhadap kandidat tertentu justru sering kali lebih membekas dan berjangka panjang. Dalam kasus Mataram, kedaulatan yang hilang tidak disadari secara langsung, karena dibungkus dalam simbol-simbol tradisional yang tetap dibiarkan berdiri.
Dalam dunia modern, bentuk-bentuk baru kolonialisme—sering disebut sebagai “neo-kolonialisme”—masih terjadi, bukan lagi lewat VOC atau senjata, tapi melalui utang luar negeri, intervensi kebijakan ekonomi, teknologi, dan dominasi budaya. Mempelajari Perang Jawa I memungkinkan kita memahami akar sejarah dari praktik-praktik ini, serta pentingnya kesadaran politik dan solidaritas bangsa dalam menjaga kemandirian sejati.
Perang Takhta, Politik Pecah-Belah: Awal dari Kerajaan Boneka
Perang Jawa I (1704–1708) bukan sekadar konflik suksesi dalam istana Mataram, tetapi mencerminkan sebuah krisis internal yang dimanfaatkan secara sistematis oleh kekuatan kolonial VOC untuk menanamkan pengaruhnya di pusat kekuasaan Jawa. Perang ini menandai perubahan besar dalam sejarah politik Nusantara: dari kekuasaan raja yang (relatif) mandiri menjadi sistem kerajaan klien yang dikendalikan dari luar melalui jaringan perjanjian, militer, dan diplomasi terselubung.
Konflik antara Amangkurat III dan Pakubuwana I memberi pelajaran penting tentang betapa rapuhnya kekuasaan lokal ketika tidak disertai legitimasi yang kuat dan persatuan elite. Ketika ambisi pribadi lebih dikedepankan daripada kepentingan bersama, dan ketika pihak luar diberi ruang untuk menjadi penentu, maka kekuasaan internal menjadi boneka yang dikendalikan dari balik layar.
VOC tidak hanya memenangkan konflik ini secara militer, tetapi juga berhasil mengubah struktur kekuasaan politik lokal—dari dalam. Peristiwa ini menjadi awal dari praktik kolonialisme gaya baru: bukan lagi melalui penaklukan langsung, melainkan melalui infiltrasi ke dalam sistem kekuasaan tradisional.
Oleh karena itu, Perang Jawa I perlu dikaji dan dipahami secara mendalam, tidak hanya sebagai bagian dari sejarah kerajaan Mataram, tetapi juga sebagai peringatan akan pola dominasi halus yang terus berulang dalam sejarah. Dari pengalaman ini, kita diajak untuk meneguhkan kembali nilai-nilai kedaulatan, memperkuat solidaritas internal, dan menumbuhkan kewaspadaan terhadap bentuk-bentuk penjajahan baru yang tidak selalu datang dengan kekerasan, tetapi dengan tipu muslihat dan kekuatan ekonomi-politik.
Dengan merefleksikan peristiwa ini, kita tidak hanya mengenang masa lalu, tetapi juga memperkuat fondasi kesadaran bangsa terhadap ancaman terhadap kedaulatan di masa kini dan masa depan.