Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap VOC (Abad ke-17)

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan salah satu kekuatan maritim paling menonjol di Asia Tenggara pada abad ke-16 hingga ke-17. Terletak di ujung barat Pulau Sumatra, Aceh memegang kendali atas jalur pelayaran strategis di Selat Malaka—salah satu nadi utama perdagangan global pada masa itu. Posisi geografis ini menjadikan Aceh sebagai simpul penting dalam jaringan perdagangan internasional yang menghubungkan Timur Tengah, India, Tiongkok, dan Eropa, terutama dalam komoditas lada, emas, dan rempah-rempah.

Kemakmuran dan kekuatan Aceh tidak hanya menarik minat pedagang asing, tetapi juga mengundang rivalitas dari kekuatan-kekuatan kolonial Eropa. Setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511, Aceh muncul sebagai pesaing utama dalam menguasai jalur rempah. Namun, mulai awal abad ke-17, ancaman yang lebih sistematis datang dari VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), kongsi dagang Belanda yang tidak hanya berdagang, tetapi juga menjalankan strategi kolonial dengan membangun benteng, menciptakan monopoli, dan menundukkan kekuatan-kekuatan lokal di Nusantara.

Perlawanan Kesultanan Aceh terhadap VOC bukanlah sekadar persaingan dagang. Ia mencerminkan sebuah pertarungan multidimensional—antara kedaulatan dan dominasi asing, antara Islam lokal dengan kekuatan kolonial Kristen-Eropa, serta antara tatanan ekonomi maritim tradisional dengan sistem monopoli korporatis ala Eropa. Di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh besar seperti Sultan Iskandar Muda (1607–1636) dan Sultanah Safiatuddin (1636–1675), Kesultanan Aceh menjalankan strategi yang kompleks: ekspansi militer, penguatan ekonomi, jaringan diplomasi, dan perang ideologi.

Tulisan ini akan mengupas secara menyeluruh konteks munculnya konflik antara Aceh dan VOC, dinamika perlawanan yang terjadi sepanjang abad ke-17, serta dampak dan warisan sejarah dari salah satu benteng terakhir perlawanan maritim di ujung barat Nusantara.


Konteks Historis dan Geopolitik Awal

1. Posisi Strategis Aceh di Jalur Pelayaran Internasional

Letak geografis Kesultanan Aceh Darussalam memberikan keuntungan strategis yang luar biasa dalam peta pelayaran dunia. Terletak di ujung barat Pulau Sumatra, Aceh menjadi pintu gerbang pertama bagi kapal-kapal dari Samudra Hindia yang akan memasuki Selat Malaka—jalur laut sempit namun krusial yang menghubungkan kawasan Barat (Timur Tengah, India, dan Afrika) dengan Timur (Tiongkok, Nusantara, dan Jepang).

Pada masa sebelum dan sesudah runtuhnya Kesultanan Malaka akibat invasi Portugis pada tahun 1511, Aceh dengan cepat mengambil alih peran sebagai simpul perdagangan dan pusat kekuasaan maritim di kawasan barat Nusantara. Banyak pelabuhan-pelabuhan penting seperti Banda Aceh, Meulaboh, dan Barus berkembang menjadi titik sandar utama bagi kapal-kapal dagang dari Gujarat, Persia, Arab, bahkan Tiongkok. Di wilayah pedalaman, jalur-jalur distribusi barang dari pedagang Minangkabau, Batak, dan wilayah pedalaman Sumatra lainnya diarahkan menuju pelabuhan Aceh untuk diekspor.

Dalam peta maritim regional, posisi Aceh sangat menguntungkan karena memungkinkan kerajaan ini menjadi “penyaring” dan pengendali lalu lintas perdagangan dunia. Setiap kapal dagang yang berlayar dari arah barat menuju timur, maupun sebaliknya, hampir tidak memiliki alternatif lain selain melewati wilayah laut yang dikontrol oleh Aceh. Hal ini memberi pengaruh ekonomi, politik, dan militer yang besar, sekaligus menjadikan Aceh sasaran utama bagi kekuatan-kekuatan kolonial Eropa yang hendak menguasai rute rempah-rempah dan jalur pelayaran utama dunia.

Tak hanya itu, posisi strategis Aceh juga menjadikannya sebagai pusat penyebaran Islam yang vital. Ulama-ulama dari Timur Tengah, India, dan Asia Tengah sering singgah atau menetap di Aceh untuk mengajarkan ilmu agama, menjadikannya sebagai pusat intelektual Islam di wilayah barat Nusantara. Hubungan keagamaan ini memperkuat legitimasi politik Aceh dan membedakannya dari kerajaan-kerajaan lain yang lebih sekuler atau bercorak Hindu-Buddha.

Posisi strategis Aceh bukan hanya soal geografi, tetapi menyatu erat dengan kekuatan ekonomi, kekuasaan politik, dan pengaruh ideologis yang membuatnya tampil sebagai kekuatan yang tak mudah dikalahkan. Dan justru karena posisi ini pula, Aceh menjadi target perebutan dominasi oleh VOC, yang menyadari bahwa selama Aceh masih berdiri kuat di ujung barat, ambisi monopoli jalur dagang mereka belum akan pernah benar-benar tercapai.

2. Dinamika Geopolitik Abad ke-16–17 di Asia Tenggara

Abad ke-16 hingga ke-17 merupakan periode transformasi besar dalam geopolitik Asia Tenggara, yang ditandai oleh masuknya kekuatan-kekuatan kolonial Eropa ke dalam arena politik dan ekonomi lokal. Perubahan ini memicu ketegangan dan persaingan yang tajam antara kerajaan-kerajaan pribumi dan kekuatan asing, dengan implikasi mendalam terhadap stabilitas regional.

Salah satu tonggak awal yang mengguncang tatanan kawasan adalah jatuhnya Kesultanan Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511. Malaka, yang sebelumnya menjadi pusat dagang dan penyebaran Islam di Asia Tenggara, direbut oleh Alfonso de Albuquerque dengan kekuatan militer laut yang unggul. Sejak saat itu, Portugis menguasai benteng dan pelabuhan utama, mengontrol arus dagang di Selat Malaka, dan memonopoli perdagangan rempah-rempah, lada, dan barang-barang mewah dari Timur. Penaklukan ini memicu efek domino: para pedagang Muslim dan elite pribumi bermigrasi ke wilayah-wilayah alternatif, termasuk Aceh, yang kemudian mengambil alih sebagian peran Malaka sebagai simpul baru perdagangan dan kekuasaan maritim Islam.

Memasuki awal abad ke-17, muncul kekuatan baru dari Eropa yang lebih agresif dan terorganisasi: VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau Kongsi Dagang Belanda. Didirikan pada tahun 1602, VOC bukan sekadar perusahaan dagang, melainkan instrumen politik kolonial yang dibekali wewenang untuk membentuk tentara, membuat perjanjian, mendirikan benteng, dan bahkan menyatakan perang. VOC tidak hanya bersaing dengan Portugis, tetapi juga secara aktif berupaya menaklukkan kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara guna mengamankan jalur monopoli dan logistik dagangnya. Mereka menerapkan taktik blokade, penguasaan pelabuhan, dan persekutuan paksa dengan penguasa setempat.

Aceh melihat hadirnya VOC bukan hanya sebagai pesaing dagang, tetapi sebagai ancaman langsung terhadap kemerdekaan dan eksistensi kerajaan-kerajaan lokal. Sementara Portugis lebih fokus pada penguasaan pelabuhan tertentu dan penyebaran agama Katolik, VOC menjalankan imperialisme ekonomi dengan kekuatan militer dan politik yang jauh lebih sistematis.

Di tengah dominasi dua kekuatan besar ini—Portugis dan VOC—muncul pula saingan dagang lain seperti Inggris dan Spanyol, yang berupaya masuk ke pasar Asia melalui pendekatan komersial dan diplomatik. Inggris, melalui East India Company (EIC), mulai menjalin kontak dagang dengan kerajaan-kerajaan seperti Banten, Aceh, dan Johor. Meski tidak seagresif VOC pada tahap awal, kehadiran Inggris menjadi alat tawar politik penting bagi kerajaan-kerajaan lokal yang ingin menyeimbangkan kekuatan Eropa.

Di Asia Tenggara bagian barat, terutama Sumatra dan Semenanjung Malaya, kompetisi antara kekuatan asing ini menciptakan medan geopolitik yang kompleks. Setiap kerajaan harus memilih: tunduk, bersekutu, atau melawan. Kesultanan Aceh memilih jalan perlawanan, dengan keyakinan bahwa kekuatan militer dan posisi strategisnya mampu menahan laju kolonialisme.

Situasi ini membentuk konteks geopolitik yang akan mendasari perlawanan panjang Kesultanan Aceh terhadap VOC sepanjang abad ke-17: sebuah babak dalam sejarah Nusantara yang memperlihatkan pertarungan antara imperium global dan kedaulatan lokal, antara perdagangan bebas dan monopoli kolonial, antara dunia Islam maritim dan kekuatan Eropa yang sedang bangkit.

3. Aceh sebagai Pusat Kekuatan Islam dan Rempah

Seiring keruntuhan Malaka akibat invasi Portugis dan memudarnya pengaruh beberapa kerajaan Melayu di Semenanjung, Kesultanan Aceh Darussalam bangkit sebagai kekuatan baru yang memadukan dominasi ekonomi dan spiritual. Di satu sisi, Aceh menguasai sebagian besar jalur distribusi komoditas strategis seperti lada, emas, kapur barus, dan rempah-rempah, yang sangat dibutuhkan pasar Eropa, Timur Tengah, dan Asia Timur. Di sisi lain, Aceh berkembang menjadi pusat penyebaran Islam, pendidikan agama, serta jaringan ulama internasional yang berpengaruh di wilayah barat Nusantara.

Wilayah barat Sumatra, terutama Aceh Besar, Pidie, dan pesisir barat seperti Meulaboh dan Singkil, menjadi ladang lada yang sangat produktif. Komoditas ini diangkut melalui pelabuhan-pelabuhan utama Aceh, kemudian diperdagangkan ke pedagang Gujarat, Arab, Persia, dan Tiongkok. Aceh bahkan menjalin hubungan dagang langsung dengan kekaisaran Ottoman di Turki dan Kesultanan Mughal di India. Hasil rempah dan emas Aceh menjadi salah satu sumber devisa utama kerajaan, dan memperkuat kemampuan militer serta diplomatiknya.

Namun kekuatan Aceh tidak hanya terletak pada ekonomi. Ia juga menjadi poros penting kebangkitan Islam di kawasan barat Nusantara. Sejak masa Sultan Ali Mughayat Syah hingga Sultan Iskandar Muda, Kesultanan Aceh menjadikan Islam sebagai fondasi hukum, pemerintahan, dan pendidikan. Banyak ulama besar dari Yaman, Hijaz, Persia, dan Asia Tengah datang ke Aceh, mengajar di masjid-masjid, madrasah, dan pusat keilmuan. Ulama-ulama seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili menulis karya-karya penting yang menjadi rujukan Islam klasik di wilayah Melayu hingga abad ke-19.

Aceh juga mengembangkan peran sebagai pusat intelektual Islam. Naskah-naskah keagamaan ditulis dalam bahasa Melayu dan Arab, mencakup fikih, tasawuf, tafsir, hingga filsafat. Ini menjadikan Aceh tidak hanya kuat secara ekonomi, tetapi juga berwibawa dalam ranah intelektual dan moral di mata dunia Islam.

Perpaduan antara kekayaan sumber daya, kekuatan dagang, dan pusat keilmuan Islam menjadikan Aceh lebih dari sekadar kerajaan lokal. Ia adalah kekuatan regional yang memiliki legitimasi religius, diplomasi global, dan kepentingan ekonomi strategis. Maka tidak mengherankan jika VOC dan kekuatan asing lain memandang Aceh bukan hanya sebagai saingan dagang, melainkan juga rival ideologis dan politik yang harus disingkirkan demi keberlangsungan monopoli kolonial.

Kekuatan ganda Aceh—di bidang rempah dan Islam—menjadi fondasi utama perlawanan terhadap VOC yang akan memuncak pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda dan dilanjutkan oleh Sultanah Safiatuddin. Kombinasi inilah yang menjadikan perlawanan Aceh begitu berkarakter: bukan hanya perlawanan fisik, tetapi juga perlawanan nilai, identitas, dan kemerdekaan budaya.


Berikut adalah narasi lengkap untuk bagian B. Profil Kesultanan Aceh, yang membahas empat aspek utama yang menjadi fondasi kekuatan dan identitas Kesultanan Aceh Darussalam:


Profil Kesultanan Aceh

1. Struktur Pemerintahan dan Sistem Kesultanan

Kesultanan Aceh Darussalam memiliki struktur pemerintahan yang terorganisir dan kompleks, mencerminkan kematangan politik serta kesadaran akan pentingnya tata kelola negara dalam menjaga stabilitas dan supremasi. Di puncak kekuasaan terdapat Sultan, pemimpin tertinggi yang memiliki otoritas politik, militer, dan keagamaan. Sultan tidak hanya berperan sebagai kepala negara, tetapi juga sebagai khalifah yang menegakkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat.

Sistem pemerintahan Aceh terbagi menjadi tiga lapisan utama:

  • Balai Raja atau pusat kekuasaan istana, yang mengatur urusan kenegaraan, diplomasi, dan strategi militer.
  • Uleebalang (penguasa lokal) yang mengelola wilayah-wilayah setingkat kabupaten dan menjalankan hukum serta pajak di bawah pengawasan sultan.
  • Imum mukim dan teungku dayah, tokoh agama dan pemimpin masyarakat yang bertugas menjaga syariat Islam dan pendidikan keagamaan di akar rumput.

Hubungan antara pusat dan daerah dijalin melalui sistem feodal yang berbasis kesetiaan kepada sultan, namun tetap memberi ruang bagi kekuatan adat dan ulama untuk memainkan peran penting dalam pengambilan kebijakan lokal. Hal ini menjadikan pemerintahan Aceh bersifat sentralistik dalam urusan militer dan perdagangan, namun fleksibel dalam urusan sosial dan agama.


2. Hubungan Dagang Luas dengan Timur Tengah, India, Tiongkok, dan Eropa

Sejak awal kemunculannya, Aceh memainkan peran kunci dalam jaringan perdagangan global. Dengan pelabuhan-pelabuhan yang ramai seperti Banda Aceh, Lamuri, Barus, dan Singkil, Aceh menjalin hubungan dagang dengan berbagai kekuatan dunia. Kapal-kapal dari Gujarat, Benggala, Arab, Persia, dan Tiongkok sering bersandar di pelabuhan Aceh untuk mengambil lada, kapur barus, emas, dan rempah lainnya.

Aceh tidak hanya menjadi penghubung antara Nusantara dan dunia Islam, tetapi juga membangun relasi dengan kekuatan Eropa. Terdapat bukti hubungan dagang dan diplomatik antara Aceh dengan Inggris, Prancis, bahkan Belanda, meskipun dalam konteks VOC, hubungan ini akhirnya berubah menjadi permusuhan. Melalui hubungan ini, Aceh mendapatkan akses terhadap senjata api, meriam, kapal besar, serta berbagai teknologi baru dari Eropa dan India.

Kejelian Aceh dalam memanfaatkan posisi geografis dan kebutuhan pasar global menjadikan kerajaan ini sebagai pusat distribusi regional, tempat di mana komoditas dari berbagai penjuru Nusantara dikumpulkan sebelum dikirim ke dunia luar. Jaringan dagang ini juga memperkuat posisi tawar Aceh dalam menghadapi tekanan asing, karena ia tidak bergantung pada satu mitra dagang saja.


3. Peran Ulama, Intelektual, dan Syariat Islam dalam Pemerintahan

Kesultanan Aceh bukan hanya pusat politik dan ekonomi, tetapi juga mercusuar keilmuan dan keagamaan di dunia Melayu-Islam. Para sultan, sejak masa Sultan Alauddin al-Kahhar hingga Sultan Iskandar Muda, menjadikan Islam sebagai fondasi utama dalam membangun identitas dan legitimasi kekuasaan. Hal ini tercermin dalam keberadaan ulama-ulama besar yang bukan hanya mengajar, tetapi juga memegang posisi penting dalam pemerintahan.

Salah satu ulama paling berpengaruh adalah Syekh Abdurrauf as-Singkili, penulis kitab-kitab tasawuf dan fikih dalam bahasa Melayu yang menjadi rujukan di seluruh Asia Tenggara. Di bawah pemerintahannya, Aceh mengembangkan sistem pendidikan berbasis dayah (pesantren) yang tersebar dari kota hingga pedalaman. Ulama dan intelektual ini juga aktif dalam pengadilan syariat, penulisan naskah-naskah hukum Islam, serta memberikan fatwa dalam kebijakan kerajaan.

Syariat Islam dijalankan dalam berbagai aspek kehidupan: hukum waris, pernikahan, kriminal, hingga ekonomi. Ini menjadikan Aceh sebagai model pemerintahan Islam yang berpijak pada ilmu pengetahuan, etika, dan legitimasi agama. Hal ini juga menjadi pembeda utama Aceh dari kekuatan kolonial Eropa yang umumnya berasaskan ekspansi kekuasaan dan kapitalisme.


4. Kekuatan Militer Laut dan Darat, serta Teknologi Persenjataan Aceh

Salah satu aspek yang menjadikan Aceh begitu disegani adalah kekuatan militernya yang tangguh, baik di darat maupun di laut. Di bawah Sultan Iskandar Muda, Aceh membangun armada laut yang mengesankan: terdiri atas puluhan kapal perang besar (galleys, ghurab, dan lancharas), dipersenjatai dengan meriam besar, dan diawaki oleh pelaut serta prajurit dari berbagai etnis.

Kapal-kapal ini digunakan untuk ekspedisi ke Johor, Pahang, Aru, dan Deli, serta untuk menghadang armada Portugis dan VOC di Selat Malaka. Sementara itu, kekuatan darat Aceh terdiri dari pasukan berkuda, infanteri, serta korps elit penjaga istana. Persenjataan mereka meliputi pedang, tombak, bedil, dan meriam buatan lokal maupun impor.

Aceh juga membangun benteng-benteng pertahanan di sepanjang pesisir dan kota-kota pelabuhan, untuk menangkal serangan laut dari armada asing. Produksi mesiu dan senjata api dilakukan secara lokal dengan bantuan teknisi dari Gujarat dan Timur Tengah. Kekuatan militer ini tidak hanya bersifat defensif, tetapi juga ofensif dalam upaya menjaga jalur perdagangan dan menaklukkan wilayah strategis.

Kesultanan Aceh Darussalam merupakan kerajaan maritim yang memiliki sistem pemerintahan kuat, basis keilmuan dan keagamaan yang solid, serta kekuatan ekonomi dan militer yang mampu menandingi kekuatan kolonial Eropa pada zamannya. Inilah fondasi kokoh yang menjadi latar belakang munculnya perlawanan sengit terhadap VOC, yang akan dibahas dalam bagian-bagian berikutnya.

Munculnya Ancaman VOC

1. Kebijakan Monopoli VOC atas Perdagangan Lada dan Rempah

Sejak didirikan pada tahun 1602, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) tampil bukan sekadar sebagai perusahaan dagang, melainkan sebagai lengan kolonial Belanda di kawasan Asia. Berbekal hak istimewa dari Staten-Generaal (Parlemen Belanda), VOC memiliki wewenang untuk menyatakan perang, menjalin perjanjian, membangun benteng, dan mencetak uang sendiri. Tujuan utamanya: mendominasi perdagangan rempah-rempah, khususnya cengkeh, pala, dan lada, dengan sistem monopoli ketat demi menjamin keuntungan maksimal bagi pemegang saham di Eropa.

Bagi Aceh, kebijakan monopoli VOC atas lada merupakan ancaman langsung terhadap kedaulatan ekonominya. Lada adalah salah satu komoditas utama yang menopang perdagangan internasional Aceh dan menjadi sumber devisa untuk memperkuat militer, pendidikan, dan kehidupan istana. Upaya VOC memaksa para pedagang untuk hanya menjual kepada mereka dengan harga tetap, serta melarang perdagangan bebas, bertentangan langsung dengan prinsip dagang Aceh yang terbuka kepada siapa saja: Gujarat, Turki, Tiongkok, Arab, Inggris, bahkan Portugis.

Aceh menolak tunduk pada sistem monopoli VOC karena hal itu berarti melepaskan kendali atas komoditas vital dan jalur perdagangan internasionalnya, sesuatu yang dianggap sebagai bentuk penjajahan ekonomi terselubung. Ketegangan pun mulai membara sejak awal abad ke-17, saat VOC berusaha menanamkan pengaruhnya di sepanjang pesisir barat Sumatra.


2. Upaya VOC Membangun Benteng dan Pos Dagang di Pesisir Barat Sumatra

Untuk memperkuat cengkeramannya di kawasan barat Nusantara, VOC mengadopsi strategi militer-ekonomis yang khas: membangun benteng dan pos dagang di pelabuhan-pelabuhan strategis. Di sepanjang pantai barat Sumatra, VOC mulai menanamkan pengaruhnya di kota-kota seperti Padang, Tiku, Pariaman, dan Barus, yang sebelumnya berada dalam lingkup pengaruh Kesultanan Aceh.

Benteng-benteng ini bukan hanya berfungsi sebagai gudang atau tempat persinggahan kapal, tetapi juga sebagai pusat kendali militer dan simbol dominasi VOC. Dari benteng tersebut, VOC mengatur harga komoditas, membatasi perdagangan dengan mitra non-Belanda, serta melakukan pengawasan ketat terhadap arus barang dan manusia. VOC juga memperkuat pertahanan maritim dengan patroli laut bersenjata untuk menghentikan kapal yang tidak mematuhi aturan dagangnya.

Aceh memandang pembangunan pos-pos VOC ini sebagai perampasan kedaulatan wilayah dan gangguan serius terhadap jaringan dagang tradisional yang selama ini mereka kuasai. Beberapa pelabuhan sekutu Aceh mengalami tekanan untuk berpihak kepada VOC, sementara kapal dagang Aceh sering dihadang atau diblokade saat berlayar ke utara Selat Malaka atau ke pesisir barat Sumatra.


3. Ketegangan Diplomatik dan Konflik Awal antara VOC dan Aceh

Hubungan antara Aceh dan VOC pada awalnya masih bersifat diplomatis, meski penuh ketegangan. Kedua pihak beberapa kali mencoba menjalin kesepakatan dagang, namun selalu gagal karena VOC bersikeras memonopoli perdagangan, sementara Aceh menuntut hak untuk berdagang secara bebas dengan siapa pun.

Beberapa insiden terjadi di laut, di mana kapal-kapal VOC menghadang kapal dagang Aceh atau melakukan penyitaan barang. Sebaliknya, armada Aceh pun melakukan serangan terhadap kapal-kapal Belanda yang dianggap melanggar batas wilayahnya. Situasi ini berulang hingga akhirnya berubah menjadi konflik terbuka berskala kecil, terutama di kawasan Barus dan pesisir barat Sumatra. Aceh juga memandang dukungan VOC terhadap kerajaan-kerajaan kecil di Sumatra sebagai bentuk intervensi yang mengancam keutuhan wilayahnya.

Ketegangan ini diperparah oleh perbedaan ideologi dan sistem kekuasaan. Bagi Aceh yang berlandaskan Islam dan hukum syariat, keberadaan VOC yang mewakili kekuatan Kristen Eropa dengan agenda ekspansi ekonomi dan politik adalah bentuk penjajahan terselubung yang tidak dapat diterima.


4. VOC Menggunakan Taktik Adu Domba dengan Kerajaan-Kerajaan Pesisir Lainnya

Salah satu strategi paling efektif yang digunakan VOC untuk melemahkan Aceh adalah politik adu domba (divide et impera). VOC menyadari bahwa secara militer langsung, mereka akan kesulitan menghadapi kekuatan laut dan benteng Aceh yang solid. Maka mereka memilih taktik diplomatik yang memecah aliansi dan kesatuan politik lokal di Sumatra.

VOC menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya berada dalam orbit kekuasaan Aceh, seperti Deli, Aru, dan beberapa kerajaan Minangkabau pesisir, dengan menjanjikan perlindungan dan keuntungan dagang. Mereka juga memanfaatkan ketegangan lokal, konflik suksesi, atau perpecahan etnis dan agama sebagai alat untuk menciptakan ketidakstabilan internal di wilayah kekuasaan Aceh.

Akibat taktik ini, pengaruh Aceh mulai terdesak secara perlahan dari wilayah-wilayah luar, meskipun pusat kekuasaan di Banda Aceh masih bertahan kuat. Ini menjadi tantangan berat bagi Kesultanan Aceh: menghadapi musuh yang tidak hanya menyerang secara militer, tetapi juga melumpuhkan jaringan pengaruhnya melalui diplomasi yang licin dan korupsi politik.

VOC bukan hanya musuh dagang, tetapi juga kekuatan kolonial yang mengancam keberadaan Aceh sebagai negara merdeka. Dari sini, perlawanan Aceh pun mulai memasuki fase yang lebih keras dan terbuka—sebuah babak pertempuran yang akan mencapai intensitas tertingginya pada masa Sultan Iskandar Muda.


Masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636)

1. Konsolidasi Kekuasaan Internal dan Pembenahan Birokrasi

Naiknya Sultan Iskandar Muda ke tampuk kekuasaan pada tahun 1607 menandai dimulainya era keemasan Kesultanan Aceh. Pada usia muda, ia telah menunjukkan kecakapan luar biasa dalam politik dan militer. Langkah pertama yang diambilnya adalah melakukan konsolidasi kekuasaan internal. Ia menata ulang struktur birokrasi kerajaan, mengurangi dominasi kaum bangsawan feodal yang sebelumnya memiliki kekuasaan besar di wilayah mukim-mukim, dan memperkuat posisi pusat melalui loyalis yang diangkat langsung dari kalangan militer dan ulama.

Iskandar Muda juga membentuk sistem pengawasan administratif yang lebih efektif. Ia mengatur kembali pajak, mengembangkan sistem hukum berdasarkan syariat Islam, serta memajukan pendidikan agama dengan membangun dayah (pesantren) yang lebih sistematis. Konsolidasi ini memperkuat kontrol sultan atas wilayah kekuasaan yang luas dan menjadi fondasi bagi mobilisasi militer dan ekonomi dalam menghadapi ancaman eksternal, termasuk dari VOC.


2. Ekspedisi Militer ke Wilayah Deli, Aru, Johor, dan Pahang

Dalam kerangka memperluas dan mempertahankan dominasi Aceh atas jalur perdagangan barat Sumatra dan Selat Malaka, Sultan Iskandar Muda melakukan sejumlah ekspedisi militer besar-besaran ke wilayah tetangga. Tujuannya adalah untuk mengamankan pelabuhan strategis, mencegah intervensi VOC dan Portugis, serta memastikan loyalitas kerajaan-kerajaan kecil.

Wilayah Deli dan Aru di pantai timur Sumatra berhasil ditundukkan, memperkuat pengaruh Aceh atas jalur rempah dan emas di pedalaman. Ekspedisi ke Johor pada tahun 1613 dan 1615 merupakan salah satu yang paling spektakuler. Johor, yang saat itu menjadi sekutu Portugis, diserang dan ibu kotanya berhasil diduduki. Sultan Johor ditawan, dan sejumlah besar senjata serta kapal dirampas. Ekspedisi ini tidak hanya menunjukkan kekuatan militer Aceh, tetapi juga memberi peringatan keras kepada kerajaan-kerajaan lain yang mencoba bersekutu dengan kekuatan Eropa.

Pahang, yang juga berada di bawah pengaruh Johor, menjadi sasaran selanjutnya. Dengan menaklukkan wilayah-wilayah ini, Aceh memperluas pengaruhnya hingga ke Semenanjung Malaya dan menjadikan dirinya sebagai kekuatan dominan di kawasan barat Nusantara.


3. Penguatan Armada Laut dan Pembangunan Sistem Benteng Pertahanan

Sadar bahwa kekuatan maritim adalah kunci untuk mempertahankan dominasi di kawasan Selat Malaka, Sultan Iskandar Muda berinvestasi besar dalam penguatan armada laut Aceh. Ia membangun puluhan kapal perang besar, seperti ghurab, lancharas, dan jung Aceh, yang dilengkapi meriam dan awak terlatih. Beberapa catatan asing menyebutkan bahwa kapal-kapal Aceh saat itu dapat menyaingi bahkan melampaui ukuran kapal-kapal Portugis.

Selain armada, Sultan juga membangun sistem pertahanan berbasis benteng di pelabuhan-pelabuhan utama, termasuk di Banda Aceh, Lamuri, dan pesisir barat. Benteng-benteng ini diperkuat dengan meriam besar, sebagian hasil produksi lokal, sebagian lagi diperoleh dari Gujarat, Ottoman, dan kontak dagang lainnya. Pelatihan militer diperketat, dan korps elit penjaga istana (Hulubalang) diperkuat secara disiplin dan taktik.

Penguatan militer ini tidak hanya bertujuan untuk bertahan dari serangan VOC atau Portugis, tetapi juga untuk mengendalikan jalur dagang dan memproyeksikan kekuatan Aceh ke seluruh Selat Malaka.


4. Konfrontasi Terbuka dengan VOC: Pengepungan, Blokade, dan Serangan Laut

Ketegangan antara Aceh dan VOC pada akhirnya meledak menjadi konflik terbuka. VOC yang terus berusaha memperluas jaringan monopoli dagangnya dan membangun pos-pos di wilayah pengaruh Aceh, dipandang sebagai ancaman eksistensial oleh Iskandar Muda. Sebagai respons, Aceh melakukan sejumlah aksi militer langsung terhadap armada dan pos dagang VOC.

Beberapa serangan laut dilancarkan ke kapal-kapal dagang Belanda yang melewati perairan Aceh tanpa izin. Bahkan, dalam beberapa kasus, Aceh mengepung dan menyerang benteng VOC di wilayah pesisir seperti Barus dan Tiku. Serangan-serangan ini bersifat taktis: menghancurkan logistik musuh, mengintimidasi sekutu lokal VOC, dan mengacaukan arus perdagangan Belanda di wilayah barat.

Konfrontasi ini menunjukkan bahwa Iskandar Muda tidak bersedia melakukan kompromi terhadap kedaulatan Aceh. Ia menjadikan laut sebagai arena perlawanan, dan memanfaatkan keunggulan geografis serta armada maritimnya untuk memblokade dan mengintervensi jalur-jalur utama VOC di sepanjang barat Sumatra.


5. Hubungan Diplomatik dengan Kesultanan Utsmani, Gujarat, dan Kerajaan Islam Lainnya

Sultan Iskandar Muda juga memahami bahwa perlawanan terhadap VOC tidak dapat dilakukan sendirian. Karena itu, ia menjalin hubungan diplomatik aktif dengan kekuatan Islam dunia, terutama Kesultanan Utsmani (Ottoman), Kesultanan Gujarat, dan pusat-pusat kekuasaan Islam di India dan Timur Tengah.

Dari Utsmani, Aceh memperoleh dukungan moral, politik, dan teknis, termasuk bantuan dalam bentuk persenjataan dan pelatihan militer. Hubungan ini juga memperkuat legitimasi Aceh sebagai bagian dari dunia Islam global yang menghadapi kolonialisme Kristen-Eropa. Surat-surat diplomatik antara Sultan Aceh dan Khalifah Utsmani memperlihatkan semangat solidaritas Islam dalam menghadapi penjajahan.

Hubungan dengan Gujarat sangat penting dalam jalur perdagangan dan pasokan senjata. Gujarat menjadi mitra dagang dan pelabuhan transito bagi barang-barang dari dunia Arab yang akan menuju Aceh, dan sebaliknya.

Jaringan ini memungkinkan Aceh untuk tetap bertahan secara ekonomi dan militer, bahkan ketika diisolasi oleh kekuatan Eropa.


6. Strategi Isolasi terhadap VOC dan Proteksi Jalur Perdagangan Aceh

Menghadapi tekanan dari VOC, Sultan Iskandar Muda menerapkan strategi isolasi terhadap kepentingan dagang Belanda di wilayah pengaruh Aceh. Ia melarang pelabuhan-pelabuhan di bawah kekuasaannya untuk menjual lada kepada VOC, serta menutup jalur distribusi lokal yang biasa digunakan oleh pedagang Belanda. Kapal-kapal yang terindikasi berafiliasi dengan VOC dihadang atau dirampas.

Sebagai gantinya, Aceh memperkuat kerja sama dengan pedagang Muslim dari India dan Timur Tengah, serta menjalin kesepakatan dagang langsung dengan Inggris dan Prancis. Strategi ini bertujuan untuk melemahkan ekonomi VOC secara bertahap, sekaligus menjaga Aceh tetap terhubung dengan pasar internasional di luar kontrol Belanda.

Melalui langkah-langkah ini, Sultan Iskandar Muda menjadikan Kesultanan Aceh sebagai salah satu dari sangat sedikit kerajaan Nusantara yang tidak hanya menolak dominasi VOC, tetapi juga aktif melawannya dengan kekuatan penuh—secara militer, ekonomi, dan ideologis.


Masa pemerintahan Iskandar Muda menandai puncak kejayaan Aceh dan titik balik dalam eskalasi konflik dengan VOC. Ia membangun fondasi kekuatan yang akan menjadi warisan bagi penerusnya, terutama Sultanah Safiatuddin, yang akan menghadapi tantangan berbeda dalam konteks perlawanan yang berubah arah.

Masa Sultanah Safiatuddin (1636–1675)

1. Transisi Kekuasaan ke Kepemimpinan Perempuan dan Stabilisasi Politik

Setelah wafatnya Sultan Iskandar Muda pada tahun 1636, tampuk kekuasaan Kesultanan Aceh beralih kepada putrinya, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Transisi ini menandai perubahan signifikan, tidak hanya karena Aceh dipimpin oleh seorang perempuan, tetapi juga karena berlangsung dalam masa genting, ketika kekuatan militer dan dominasi dagang Aceh mulai mengalami tekanan dari luar.

Meski sempat dipertanyakan oleh sebagian kalangan, terutama dari elite bangsawan dan militer, kepemimpinan Sultanah Safiatuddin berjalan relatif stabil. Ia berhasil mempertahankan legitimasi kekuasaan dengan cara memperkuat hubungan dengan kalangan ulama dan mempromosikan nilai-nilai keagamaan sebagai fondasi pemerintahan. Stabilisasi ini penting untuk menjaga kesinambungan negara setelah masa ekspansi besar di era ayahandanya.

Dalam sejarah Islam Nusantara, kemunculan Sultanah Safiatuddin menjadi preseden unik, karena menunjukkan bagaimana perempuan dapat memegang tampuk kekuasaan tertinggi dalam kerangka kerajaan Islam tanpa menanggalkan identitas syariah, adat, dan etika politik lokal.


2. Perubahan Strategi: Dari Militeristik Menjadi Diplomatis dan Defensif

Berbeda dengan gaya pemerintahan Iskandar Muda yang agresif dan ekspansionis, Sultanah Safiatuddin mengadopsi pendekatan yang lebih diplomatis dan defensif. Faktor utama dari perubahan ini adalah melemahnya kapasitas militer Aceh akibat biaya perang yang besar, hilangnya wilayah pendukung strategis, serta meningkatnya tekanan dari kekuatan kolonial, terutama VOC.

Alih-alih melanjutkan ekspedisi militer ke luar, Sultanah lebih fokus pada konsolidasi internal dan pemulihan ekonomi. Perdagangan internasional tetap dijalankan, tetapi dengan kompromi tertentu terhadap realitas kekuatan VOC. Diplomasi menjadi sarana utama untuk mempertahankan eksistensi politik Aceh, sekaligus untuk membuka peluang negosiasi yang menguntungkan secara jangka panjang.

Meski tidak sepopuler ayahandanya dalam medan perang, kebijakan Sultanah justru menyelamatkan Aceh dari kehancuran total, karena ia mampu menavigasi tekanan kolonial dengan cara-cara yang adaptif dan penuh perhitungan.


3. Pemberdayaan Elite Lokal dan Penguatan Syariat Islam sebagai Stabilisator Sosial

Dalam menghadapi tantangan internal dan eksternal, Sultanah Safiatuddin menggandeng elite lokal, termasuk uleebalang, para ulama, dan pemimpin komunitas, untuk memperkuat kohesi sosial-politik di wilayah kekuasaan Aceh. Ia memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada pemimpin daerah, dengan syarat tetap menjaga kesetiaan kepada pusat.

Di sisi lain, syariat Islam kembali ditegaskan sebagai dasar hukum dan moral masyarakat, namun kali ini lebih ditekankan sebagai alat stabilisasi, bukan mobilisasi militer. Pengajaran agama, pembentukan lembaga pendidikan dayah, dan pelaksanaan hukum Islam dijadikan sebagai perekat antara rakyat dan negara.

Langkah ini terbukti efektif dalam meredam potensi perpecahan, menjaga legitimasi sultanah sebagai pemimpin perempuan, dan memperkuat daya tahan masyarakat Aceh di tengah tekanan eksternal.


4. Perjanjian-Perjanjian Dagang dengan VOC dan Pengaruhnya terhadap Wilayah Kekuasaan

Dalam rangka mempertahankan hubungan dagang dan menghindari konfrontasi terbuka yang merugikan, Sultanah Safiatuddin menjalin beberapa perjanjian dagang dengan VOC. Isi perjanjian tersebut umumnya meliputi pengakuan VOC atas kedaulatan Aceh, izin berdagang di pelabuhan tertentu, dan pembatasan wilayah pengaruh dagang Aceh di beberapa daerah strategis.

Meskipun perjanjian ini membuka jalur diplomatik yang relatif damai, konsekuensinya cukup besar. Aceh secara perlahan kehilangan kontrol atas sejumlah pelabuhan penting di pesisir barat Sumatra, seperti Barus, Tiku, dan Padang. Pelabuhan-pelabuhan tersebut jatuh ke tangan VOC atau beralih ke pengaruh kerajaan lain yang bersekutu dengan Belanda.

Kendati demikian, Sultanah berhasil memastikan bahwa pusat kekuasaan Aceh, termasuk Banda Aceh dan wilayah pedalaman inti, tetap berada dalam kendali kesultanan, dan tidak jatuh ke tangan kolonial.


5. Penyusutan Wilayah dan Kemunduran Kekuatan Politik-Militer Aceh secara Bertahap

Meskipun pemerintahan Sultanah berlangsung dalam suasana relatif damai, wilayah kekuasaan Aceh mengalami penyusutan yang signifikan. Daerah-daerah yang dahulu berada di bawah pengaruh militer Aceh, terutama di pesisir barat dan timur Sumatra, serta beberapa bagian Semenanjung Malaya, secara bertahap melepaskan diri atau beralih kesetiaan ke VOC dan sekutu lokalnya.

Kekuatan militer laut Aceh juga mengalami kemunduran, baik dari segi jumlah armada maupun daya tempur. Keterbatasan sumber daya, kerugian perang sebelumnya, dan pengalihan fokus ke dalam negeri menyebabkan militer Aceh tak lagi mampu mempertahankan dominasi regionalnya seperti pada masa Iskandar Muda.

Namun demikian, meskipun mengalami kemunduran secara teritorial dan militer, Kesultanan Aceh di bawah Sultanah Safiatuddin berhasil bertahan sebagai entitas politik merdeka. Ia tetap diakui sebagai kerajaan berdaulat oleh kekuatan asing dan kerajaan-kerajaan lain di Sumatra hingga akhir masa pemerintahannya.


Masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin merupakan fase transisi yang penting: dari era kejayaan militer ke masa pertahanan diplomatis. Ia berhasil menjaga eksistensi Aceh di tengah arus besar kolonialisme yang terus menguat, dan mewariskan tradisi kepemimpinan yang stabil, religius, dan penuh ketahanan—sebuah prestasi besar yang kerap luput dari perhatian dalam narasi sejarah dominan yang berfokus pada perang.

Taktik dan Strategi Perlawanan

1. Perang Laut Terbuka: Blokade Jalur VOC, Penghadangan Kapal Dagang, dan Serangan Mendadak

Sebagai kekuatan maritim utama di barat Nusantara, Aceh menempatkan pertempuran laut sebagai ujung tombak perlawanan terhadap VOC. Dalam beberapa dekade pertama abad ke-17, di bawah Sultan Iskandar Muda, armada laut Aceh melakukan blokade terhadap jalur-jalur dagang VOC di pesisir barat Sumatra dan Selat Malaka. Tujuannya adalah menghambat suplai logistik dan membatasi akses kapal Belanda ke pelabuhan-pelabuhan strategis.

Kapal-kapal dagang VOC sering menjadi sasaran penghadangan, terutama yang berusaha menembus wilayah pengaruh Aceh tanpa izin. Serangan mendadak juga dilakukan terhadap pos dagang VOC dan pelabuhan yang mulai bersekutu dengan Belanda, menciptakan ketidakstabilan dan ketegangan tinggi di perairan regional.

Strategi ini memperlihatkan keunggulan Aceh dalam memanfaatkan geografisnya yang strategis: menjadikan laut bukan hanya sebagai jalur perdagangan, tetapi juga medan pertempuran utama. Meski kekuatan armada Aceh menurun pada masa Sultanah Safiatuddin, taktik ini tetap digunakan dalam skala lebih kecil sebagai bentuk penolakan terhadap dominasi VOC.


2. Dukungan terhadap Pelabuhan-Pelabuhan yang Menolak Monopoli VOC

Aceh tidak hanya berperang untuk mempertahankan wilayahnya sendiri, tetapi juga bertindak sebagai pelindung bagi pelabuhan-pelabuhan lain di Sumatra barat dan sekitarnya yang menolak tunduk pada monopoli VOC. Pelabuhan seperti Barus, Tiku, dan Pariaman, yang sebelumnya berada dalam orbit kekuasaan Aceh, kerap menjadi titik resistensi terhadap ekspansi Belanda.

Kesultanan Aceh menyuplai dukungan berupa pasukan, senjata, dan logistik kepada penguasa lokal yang menunjukkan kesetiaan kepada Aceh. Di saat yang sama, Aceh berupaya menjaga kelangsungan perdagangan mereka dengan menjamin kebebasan berniaga dan akses pasar yang tidak dikekang oleh monopoli.

Langkah ini mencerminkan strategi soft power Aceh dalam mempertahankan pengaruh: dengan melindungi pelabuhan lain, Aceh memperluas jejaring perlawanan kolektif terhadap VOC, sekaligus memperkuat posisinya sebagai pemimpin maritim yang masih relevan di tengah gejolak kolonial.


3. Diplomasi Tiga Arah: Membentuk Aliansi dengan Inggris, Gujarat, dan Kekuatan Anti-VOC Lainnya

Kesultanan Aceh menyadari bahwa perlawanan terhadap VOC tidak dapat dilakukan secara unilateral. Oleh karena itu, sejak awal, Aceh menerapkan diplomasi tiga arah dengan membangun aliansi strategis bersama pihak-pihak yang juga bersaing dengan VOC. Di antaranya:

  • Inggris, melalui East India Company (EIC), yang juga berkepentingan membuka pasar di Nusantara dan menolak monopoli VOC. Aceh memberikan hak berdagang kepada Inggris dan bahkan menjalin kerja sama militer terbatas di beberapa kesempatan.
  • Gujarat dan India Barat, sebagai mitra dagang dan pemasok senjata serta logistik. Kota pelabuhan seperti Surat dan Cambay menjadi titik transit penting bagi barang-barang dari Aceh menuju Timur Tengah, dan sebaliknya.
  • Kesultanan Utsmani, yang memberikan dukungan simbolik dan persenjataan. Koneksi dengan Utsmani bukan hanya soal politik, tetapi juga spiritual, menguatkan posisi Aceh sebagai bagian dari jaringan dunia Islam global.

Dengan strategi diplomasi ini, Aceh tidak terisolasi secara geopolitik, dan mampu menciptakan blok perlawanan non-VOC yang cukup berpengaruh di kawasan barat Nusantara.


4. Operasi Intelijen, Penguasaan Jalur Distribusi, Sabotase Ekonomi VOC

Selain taktik militer dan diplomatik, Aceh menjalankan operasi intelijen dan sabotase ekonomi untuk melemahkan dominasi VOC. Mata-mata Aceh disebar ke pelabuhan dan pusat dagang yang telah dikuasai VOC guna memantau pergerakan kapal, harga barang, dan kebijakan kolonial.

Salah satu strategi utama Aceh adalah menguasai jalur distribusi lada dan rempah, bukan hanya dari wilayahnya sendiri, tetapi juga dari pedalaman Minangkabau dan pantai timur Sumatra. Dengan menghalangi jalur suplai ke pelabuhan-pelabuhan VOC, Aceh mencoba mengganggu rantai pasokan dan menyebabkan kerugian ekonomi pada Belanda.

Sabotase dilakukan dengan cara mendorong para petani dan pedagang lokal agar menolak menjual hasil panen mereka ke VOC, serta menyebarkan desas-desus untuk mengguncang stabilitas harga di pasar yang dikuasai Belanda. Dalam beberapa kasus, kapal dagang yang bekerja sama dengan VOC dibajak atau dibakar sebagai peringatan kepada pelabuhan-pelabuhan lain agar tidak tunduk pada sistem monopoli.


5. Perlawanan Ideologis: Menjadikan Islam sebagai Pijakan Kedaulatan Melawan Kolonialisme Kristen-Eropa

Lebih dari sekadar perang militer atau konflik dagang, perlawanan Aceh terhadap VOC juga memiliki dimensi ideologis yang sangat kuat. Dalam banyak catatan sejarah Aceh, VOC tidak hanya dipandang sebagai musuh ekonomi, tetapi juga sebagai wakil dari peradaban Kristen-Eropa yang hendak menguasai negeri-negeri Muslim.

Dalam narasi ini, Islam menjadi simbol perlawanan, moralitas, dan kemerdekaan. Pemerintah Aceh, ulama, dan penguasa daerah menyebarkan pemahaman bahwa mempertahankan kedaulatan dari kekuatan asing adalah bagian dari jihad fi sabilillah — perjuangan suci untuk mempertahankan agama, tanah air, dan kehormatan.

Institusi keagamaan seperti dayah dan masjid menjadi tempat pengajaran tidak hanya ilmu agama, tetapi juga nilai-nilai patriotisme dan penolakan terhadap kolonialisme. Dalam konteks ini, perang melawan VOC diposisikan sebagai perang melawan tatanan dunia yang zalim dan merampas hak umat.

Perlawanan ideologis inilah yang membuat Aceh tetap bersikap keras terhadap segala bentuk dominasi asing, meskipun tekanan ekonomi dan militer terus meningkat. Islam bukan hanya menjadi identitas, tetapi juga strategi kultural dan moral untuk menjaga semangat perjuangan di tengah keterbatasan logistik dan kekuatan.


Dengan perpaduan strategi militer, diplomatik, ekonomi, dan ideologis, Kesultanan Aceh menunjukkan kapasitas sebagai negara yang tidak hanya reaktif terhadap kolonialisme, tetapi juga proaktif dalam merancang perlawanan multiaspek. Inilah yang menjadikan Aceh sebagai salah satu kekuatan paling tangguh dalam menghadapi ekspansi VOC di Nusantara.


Hasil Perlawanan dan Dampaknya

1. VOC Gagal Menaklukkan Aceh secara Militer hingga Akhir Abad ke-17

Salah satu capaian penting dari perlawanan Kesultanan Aceh terhadap VOC adalah gagalnya Belanda menaklukkan Aceh secara militer, bahkan pada puncak kekuatannya. Meskipun VOC berhasil menguasai banyak pelabuhan dan kerajaan pesisir lain di Sumatra, Aceh tetap mempertahankan kemerdekaannya sebagai kekuatan politik berdaulat sepanjang abad ke-17.

Beberapa ekspedisi VOC untuk menekan Aceh secara langsung tidak pernah berujung pada pendudukan ibu kota atau penghancuran struktur politik kerajaan. Perlawanan maritim Aceh, benteng pertahanan di darat, serta kejelian diplomasi Sultan Iskandar Muda dan Sultanah Safiatuddin berhasil menjaga agar pusat kekuasaan tidak jatuh.

Kegagalan VOC ini menunjukkan bahwa Aceh bukan kerajaan yang dapat ditundukkan dengan cara konvensional. Kekuatan militer yang tangguh, keunggulan geografis, dan legitimasi keagamaan menjadikan Aceh terlalu berisiko untuk dijadikan target pendudukan langsung oleh Belanda.


2. Tekanan Ekonomi dan Diplomatik Perlahan Mengurangi Pengaruh Aceh di Pelabuhan-Pelabuhan Sekutunya

Meskipun tidak berhasil merebut Aceh secara militer, VOC tetap berhasil melemahkan pengaruh Aceh secara perlahan melalui strategi ekonomi dan diplomasi agresif. Pelabuhan-pelabuhan strategis di pesisir barat Sumatra seperti Barus, Tiku, Padang, dan Pariaman, yang sebelumnya berada dalam pengaruh Aceh, secara bertahap jatuh ke tangan VOC.

Hal ini terjadi melalui kombinasi perjanjian dagang sepihak, dukungan kepada penguasa lokal yang pro-Belanda, serta tekanan blokade terhadap jalur perdagangan yang menguntungkan Aceh. Jaringan sekutu dagang Aceh terkikis, dan banyak kerajaan kecil memilih menjalin hubungan langsung dengan VOC demi stabilitas dan keuntungan jangka pendek.

Sebagai akibatnya, kawasan pengaruh Aceh menyusut, dan Kesultanan mulai kehilangan akses langsung ke pelabuhan-pelabuhan vital yang sebelumnya menjadi sumber kekuatan ekonomi dan militer mereka.


3. Meningkatnya Ketergantungan pada Kompromi Diplomatik untuk Mempertahankan Wilayah Inti

Menghadapi kekuatan VOC yang semakin agresif, serta hilangnya banyak wilayah sekunder, Kesultanan Aceh mulai bergantung pada diplomasi sebagai strategi utama untuk mempertahankan wilayah intinya, terutama Banda Aceh dan daerah-daerah sekitar.

Perjanjian-perjanjian dagang yang ditandatangani pada masa Sultanah Safiatuddin menunjukkan realitas kompromi politik: Aceh tidak bisa lagi memainkan peran hegemonik di Sumatra, tetapi masih bisa menjaga kedaulatan dalam batas-batas wilayah yang tersisa.

Kompromi ini bukanlah bentuk kekalahan total, melainkan strategi bertahan di tengah situasi yang tidak menguntungkan secara militer maupun ekonomi. Pemerintah Aceh masih memiliki ruang untuk menjalankan hukum Islam, sistem pemerintahan sendiri, dan otonomi politik—sesuatu yang tidak dimiliki oleh banyak kerajaan lain yang telah sepenuhnya berada di bawah kontrol VOC.


4. Aceh Tetap Menjadi Simbol Kedaulatan Lokal yang Tangguh dan Tak Tunduk Sepenuhnya

Terlepas dari kemunduran wilayah dan pengaruh ekonomi, Aceh tetap bertahan sebagai simbol perlawanan dan kedaulatan lokal yang tak pernah benar-benar tunduk pada kekuasaan kolonial Eropa. Di saat kerajaan-kerajaan lain memilih jalan kompromi total atau bahkan kolaborasi aktif, Aceh terus mempertahankan prinsip bahwa hak berdagang, berdaulat, dan mengatur wilayahnya sendiri adalah hal yang tak bisa dinegosiasikan sepenuhnya.

Karakter Aceh sebagai kerajaan Islam yang independen menjadikannya panutan bagi kekuatan-kekuatan lokal lain yang masih ingin menjaga kedaulatan. Bahkan hingga abad ke-19 dan awal abad ke-20, semangat perlawanan yang tertanam sejak masa Iskandar Muda tetap hidup dan menjadi fondasi bagi Perang Aceh yang meletus pada masa kolonial Belanda selanjutnya.


5. Perlawanan Aceh Menjadi Titik Tolak Pecahnya Dominasi Tunggal Aceh di Wilayah Barat Sumatra dan Mengawali Era Fragmentasi Politik di Kawasan Tersebut

Ironisnya, keberhasilan Aceh mempertahankan kemerdekaan internal tidak mampu mencegah pecahnya dominasi regionalnya di barat Sumatra. Kekuatan yang dulu bersifat sentralistik mulai terfragmentasi akibat tekanan eksternal dari VOC dan ketegangan internal antar elite lokal.

Kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya menjadi sekutu atau bawahan Aceh mulai menyusun ulang posisi politik mereka—sebagian membentuk otonomi lokal, sebagian lain jatuh dalam pengaruh VOC. Akibatnya, struktur geopolitik Sumatra barat berubah dari dominasi tunggal menjadi kawasan yang penuh dengan kekuatan-kekuatan kecil yang saling bersaing, sering kali dimanfaatkan oleh kekuatan kolonial untuk memperluas pengaruh mereka.

Era fragmentasi ini membuka jalan bagi Belanda untuk lebih mudah menerapkan strategi divide et impera, yang kelak akan menjadi tulang punggung kolonialisme VOC dan Hindia Belanda di Sumatra.


Secara keseluruhan, perlawanan Aceh terhadap VOC merupakan salah satu contoh paling kompleks dalam sejarah perlawanan lokal di Nusantara. Ia bukan hanya tentang pertarungan senjata, tetapi juga tentang diplomasi, pertahanan budaya, dan semangat ideologis yang membentang jauh melampaui medan tempur fisik. Warisan inilah yang menjadikan Aceh tidak sekadar bagian dari sejarah regional, tetapi pilar penting dalam narasi besar perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme.


Warisan Sejarah Perlawanan Aceh

1. Kesultanan Aceh sebagai Kerajaan Maritim Terakhir yang Mempertahankan Kedaulatan Penuh di Tengah Tekanan Kolonialisme Eropa

Di tengah gempuran kolonialisme Eropa yang semakin sistematis pada abad ke-17, Kesultanan Aceh berdiri sebagai salah satu kerajaan terakhir di Asia Tenggara yang mampu mempertahankan kemerdekaannya secara penuh. Tidak seperti banyak kerajaan maritim lain yang terjerembab dalam cengkeraman monopoli VOC atau jatuh ke tangan Portugis dan Spanyol, Aceh tetap bertahan sebagai entitas politik yang merdeka, berdaulat, dan mandiri secara ekonomi serta militer.

Kekuatan Aceh terletak pada perpaduan antara kekuatan laut yang tangguh, legitimasi Islam yang kuat, serta keluwesan dalam membaca perubahan zaman. Meskipun wilayahnya menyusut, Aceh tidak pernah benar-benar tunduk secara militer maupun politik kepada kekuatan Eropa. Bahkan, hingga akhir abad ke-17, Aceh masih memainkan peran penting dalam lalu lintas perdagangan internasional dan jaringan intelektual Islam.


2. Sultan Iskandar Muda Dikenang sebagai Simbol Kekuatan, Visi Politik Islam, dan Perlawanan Maritim

Kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607–1636) meninggalkan jejak yang mendalam dalam sejarah Nusantara. Ia tidak hanya dikenang sebagai raja besar yang membawa Aceh ke puncak kejayaannya secara teritorial, tetapi juga sebagai simbol perlawanan terhadap imperialisme asing, arsitek pemerintahan Islam yang kuat, dan pelopor diplomasi maritim global.

Iskandar Muda mengintegrasikan kekuatan militer, ekonomi, dan ideologi menjadi satu sistem kekuasaan yang tangguh. Ia berhasil menaklukkan wilayah-wilayah strategis, membangun armada laut yang besar, serta menghubungkan Aceh dengan kekuatan Islam dunia seperti Utsmani dan Gujarat. Sosoknya menjadi legenda dalam kesusastraan dan memori kolektif bangsa Aceh sebagai pemimpin ideal: gagah, cerdas, dan tak kenal kompromi dalam urusan kedaulatan.


3. Sultanah Safiatuddin Mewariskan Diplomasi Cerdas dalam Menghadapi Tekanan Kolonial dengan Pendekatan Non-Konfrontatif

Berbeda dengan ayahandanya, Sultanah Safiatuddin (1636–1675) menunjukkan bahwa perlawanan tidak selalu harus berbentuk perang terbuka. Ia mengadopsi pendekatan diplomasi cerdas, strategi defensif, dan stabilisasi internal untuk mempertahankan eksistensi Aceh dalam kondisi yang penuh tekanan.

Dalam suasana pascaperang, Sultanah menavigasi Kesultanan Aceh agar tetap berdaulat meski kehilangan sejumlah wilayah penting. Ia mengelola elite lokal, memperkuat peran ulama dan syariat Islam sebagai stabilisator sosial, serta menjalin perjanjian dengan VOC yang meskipun kompromistis, tetap mempertahankan inti kedaulatan Aceh.

Kepemimpinannya menjadi bukti bahwa perempuan dapat memainkan peran krusial dalam sejarah Islam dan politik di Nusantara, dan bahwa diplomasi adalah alat penting dalam menghadapi kekuatan kolonial yang superior secara militer.


4. Warisan Hukum, Pendidikan Islam, Arsitektur, dan Budaya Aceh pada Abad ke-17 Masih Bertahan Hingga Kini

Abad ke-17 menjadi tonggak kebudayaan penting bagi Aceh. Di masa ini, berkembang sistem hukum berbasis syariat yang tertulis, lembaga-lembaga pendidikan Islam (dayah), karya-karya ulama besar seperti Syekh Abdurrauf as-Singkili, serta arsitektur monumental seperti Masjid Baiturrahman yang menjadi ikon Aceh hingga kini.

Warisan ini bukan hanya simbol masa lalu, tetapi struktur hidup yang terus dijalankan dalam kehidupan masyarakat Aceh modern. Tradisi literasi Islam, adat keislaman, dan semangat kolektif dalam mempertahankan identitas kultural menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan perlawanan melawan VOC dan kolonialisme.

Kebudayaan Aceh pada abad ke-17 memperlihatkan bahwa peradaban lokal tidak hanya mampu bertahan dalam tekanan global, tetapi juga melahirkan sistem sosial yang berakar kuat dan bernilai tinggi.


5. Perlawanan Aceh terhadap VOC Menjadi Bab Penting dalam Sejarah Perlawanan Lokal Nusantara terhadap Imperialisme Asing, dan Memberikan Inspirasi bagi Perjuangan di Era Kolonial Berikutnya

Perlawanan Aceh terhadap VOC bukan hanya sejarah lokal, tetapi bagian dari narasi besar perjuangan Nusantara melawan imperialisme. Apa yang dilakukan Aceh pada abad ke-17—dengan segala kompleksitas militer, diplomasi, dan ideologi—telah memberi teladan awal tentang pentingnya mempertahankan kedaulatan dan identitas dalam menghadapi hegemoni asing.

Spirit ini terus hidup dalam generasi berikutnya, terbukti dalam Perang Aceh (1873–1904) melawan kolonial Belanda, yang menjadi salah satu perang terlama dan paling berdarah di Indonesia. Nilai-nilai keberanian, keteguhan, dan kecintaan terhadap kemerdekaan yang diwariskan dari masa Iskandar Muda dan Sultanah Safiatuddin menjadi pondasi psikologis dan moral bagi perlawanan rakyat Aceh di masa modern.

Perlawanan Aceh terhadap VOC bukan hanya kisah tentang satu kerajaan, tetapi epos panjang tentang bangsa yang menolak tunduk, dan tentang kebudayaan yang memilih bermartabat dalam gelombang zaman.

About administrator