Kerajaan Gowa, yang berpusat di wilayah pesisir barat daya Sulawesi Selatan, merupakan salah satu kerajaan maritim paling kuat di Indonesia bagian timur pada abad ke-16 hingga 17. Letaknya yang strategis di jalur pelayaran antara Jawa, Maluku, Kalimantan, dan Filipina menjadikannya pusat perdagangan regional yang ramai dan terbuka terhadap interaksi budaya, agama, dan komoditas dari berbagai penjuru Asia. Pelabuhan Makassar, sebagai jantung ekonomi kerajaan, menjadi tempat berkumpulnya saudagar-saudagar lokal, Melayu, Arab, India, bahkan Eropa. Dalam konteks ini, Gowa memainkan peran penting sebagai simpul konektivitas ekonomi dan budaya di antara kawasan-kawasan penting Nusantara bagian timur.
Selain sebagai pusat perdagangan, Gowa juga berkembang menjadi kerajaan Islam yang tangguh. Islam mulai diterima secara resmi sejak awal abad ke-17, dan sejak itu menjadi fondasi moral dan spiritual dalam pemerintahan serta kehidupan rakyatnya. Dengan dukungan armada laut yang besar, kekuatan militer yang terorganisir, dan jaringan diplomasi yang luas, Gowa menjelma menjadi kekuatan regional yang tidak hanya dihormati, tetapi juga ditakuti. Kekuasaan Gowa mencakup wilayah yang luas, termasuk kerajaan-kerajaan Bugis lain di daratan Sulawesi, sebagian Maluku, dan wilayah pesisir Kalimantan.
Namun, kemajuan dan kemandirian Kerajaan Gowa tidak sejalan dengan kepentingan kolonial Belanda, khususnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), yang sejak abad ke-17 berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dan menguasai jalur niaga strategis di Nusantara. VOC memandang Gowa sebagai hambatan besar terhadap ambisi kolonialnya. Gowa menolak tunduk pada monopoli dagang Belanda, menolak menutup pelabuhan Makassar untuk bangsa lain, dan tetap membuka jalur niaga bebas yang menguntungkan para saudagar lokal dan internasional. Sikap independen ini menimbulkan ketegangan yang makin tajam antara Gowa dan VOC.
Konflik pun tidak terhindarkan. Di tengah situasi ini, tampil sosok pemimpin muda yang kelak dikenal luas sebagai pejuang gigih anti-kolonial: Sultan Hasanuddin. Naik takhta pada usia muda, Hasanuddin membawa semangat pembaruan, keberanian, dan religiusitas yang kuat ke dalam pemerintahan Gowa. Ia bukan hanya seorang raja dalam arti administratif, tetapi juga pemimpin spiritual, komandan militer, dan simbol keteguhan melawan dominasi asing. Ia menolak mentah-mentah tekanan VOC, dan memilih mempertahankan kedaulatan Gowa walau harus membayar mahal dengan peperangan besar.
Perang Makassar yang pecah pada tahun 1666 hingga 1669 bukanlah konflik kecil, melainkan salah satu perang besar antara kerajaan lokal dan kekuatan kolonial di Nusantara. Perang ini mempertemukan dua kekuatan besar: kerajaan Islam maritim yang percaya pada kemerdekaan berdagang dan harga diri bangsa, melawan kekuatan kolonial Eropa yang mengusung dominasi monopoli dan kekuasaan militer. Dalam skala regional, Perang Makassar mengguncang struktur politik di Sulawesi dan mempercepat perluasan kekuasaan VOC ke wilayah timur.
Tulisan ini bertujuan untuk menelaah secara komprehensif latar belakang, jalannya peperangan, serta dampak dari Perang Makassar. Lebih dari sekadar narasi pertempuran, bagian ini mengungkap bagaimana perang ini merupakan bentuk nyata dari perlawanan anti-kolonial maritim, dipimpin oleh tokoh lokal yang visinya melampaui zamannya. Sultan Hasanuddin dan rakyat Gowa, dalam semangatnya mempertahankan kedaulatan, telah mewariskan kisah perjuangan yang tak lekang oleh waktu—kisah tentang keberanian, pengorbanan, dan martabat bangsa di tengah arus kolonialisme global abad ke-17.
Latar Belakang Konflik
1. Posisi Gowa dalam Jaringan Dagang antara Maluku, Jawa, dan Filipina
Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Gowa telah menjelma menjadi kekuatan ekonomi dan maritim yang sangat dominan di kawasan Indonesia bagian timur. Terletak di pesisir barat daya Sulawesi Selatan, Gowa memiliki pelabuhan Makassar yang ramai dan kosmopolitan. Kota pelabuhan ini menjadi hub utama bagi jalur pelayaran antara Maluku (pusat rempah-rempah), Jawa (pusat kerajaan besar dan produksi beras), serta Filipina dan Asia Timur. Kapal-kapal dari berbagai bangsa—Arab, Melayu, Tionghoa, India, hingga Eropa—bersandar di Makassar untuk berdagang dengan bebas.
Gowa menjadi pembela kuat sistem perdagangan bebas (free trade) di kawasan ini. Raja-raja Gowa secara tegas menolak pembatasan atas siapa yang boleh dan tidak boleh berdagang di pelabuhan mereka. Kebijakan ini tidak hanya menguntungkan saudagar-saudagar kecil dan besar, tetapi juga memperkuat posisi politik Gowa sebagai pelindung kebebasan berdagang di tengah gempuran dominasi kolonial.
Dengan basis ekonomi yang kuat, Gowa juga menjalin relasi diplomatik dan militer yang luas. Mereka memiliki armada laut yang tangguh, serta hubungan politik dengan berbagai kerajaan di Maluku, Kalimantan, hingga Filipina Selatan. Posisi strategis ini menjadikan Gowa bukan hanya kerajaan regional, tetapi aktor geopolitik penting yang mempengaruhi keseimbangan kekuasaan di Nusantara bagian timur.
2. VOC dan Ambisi Monopoli Rempah-rempah dari Maluku hingga Makassar
Sementara itu, Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sejak awal abad ke-17, telah membangun kekuatan kolonial yang agresif di wilayah Indonesia. Tujuan utamanya adalah menguasai produksi dan distribusi rempah-rempah, terutama cengkeh, pala, dan fuli dari Kepulauan Maluku. Untuk mewujudkan ambisi ini, VOC berusaha mengendalikan setiap mata rantai distribusi rempah, mulai dari tempat tumbuhnya di Ternate dan Banda, hingga jalur pengangkutan dan pelabuhan-pelabuhan besar seperti Ambon dan Makassar.
Namun, keberadaan Gowa sebagai pelabuhan netral yang menolak monopoli VOC merupakan ancaman langsung terhadap strategi dagang dan dominasi ekonomi Belanda. Makassar membuka pintu bagi saudagar non-Belanda, termasuk bangsa Inggris, Portugis, dan pedagang swasta lokal yang membeli rempah-rempah di luar kontrol VOC. Akibatnya, sistem monopoli VOC menjadi bocor, dan keuntungan perusahaan pun terancam.
Dalam pandangan VOC, selama Gowa tidak ditundukkan, sistem monopoli tidak akan pernah sempurna. Maka, VOC mulai memandang Gowa bukan hanya sebagai pesaing ekonomi, tetapi juga sebagai musuh politik dan militer yang harus ditaklukkan.
3. Upaya VOC Memaksa Gowa Tunduk pada Perjanjian Dagang Eksklusif
Untuk mengamankan dominasinya, VOC mengirimkan berbagai utusan ke Gowa sejak pertengahan abad ke-17, menawarkan perjanjian dagang eksklusif yang akan melarang pelabuhan Makassar menerima kapal dari bangsa selain Belanda. Dalam perjanjian itu, VOC menuntut agar semua kegiatan ekspor dan impor dikendalikan melalui jalur resmi yang disetujui oleh mereka. Dengan kata lain, VOC hendak memaksa Gowa masuk ke dalam jaringan monopoli dagang yang telah mereka terapkan di Ambon, Banda, dan Ternate.
Namun, pemerintah Gowa, terutama di bawah Sultan Hasanuddin, menolak keras tawaran dan tekanan tersebut. Bagi Gowa, tunduk pada perjanjian seperti itu berarti kehilangan kemerdekaan, bukan hanya dalam perdagangan, tetapi juga dalam kedaulatan politik. Sultan Hasanuddin memahami bahwa monopoli VOC bukan sekadar urusan ekonomi, melainkan mekanisme penjajahan terselubung yang akan menghancurkan kemandirian kerajaan.
Upaya diplomasi VOC yang gagal akhirnya bergeser menjadi kebijakan militerisasi. VOC mulai mempersiapkan konfrontasi bersenjata, menyusun aliansi dengan kerajaan-kerajaan pesaing Gowa seperti Bone dan Ternate, serta mengirimkan armada dari Batavia untuk memulai invasi penuh ke Sulawesi Selatan.
4. Penolakan Gowa terhadap Dominasi Belanda: Pertahanan atas Kedaulatan dan Kebebasan Berdagang
Sikap Gowa terhadap tekanan Belanda bukan hanya reaksi spontan, tetapi berakar pada prinsip-prinsip mendalam tentang kebebasan dan kedaulatan. Pelabuhan Makassar merupakan simbol kemerdekaan ekonomi dan politik, dan menyerahkannya kepada kendali asing berarti menyerahkan nasib bangsa kepada penjajah. Oleh karena itu, Sultan Hasanuddin memilih jalan perlawanan meski sadar akan risiko besar yang akan dihadapi.
Lebih dari sekadar membela kepentingan ekonominya, Gowa memperjuangkan hak rakyat dan saudagar lokal untuk berdagang secara bebas, serta mempertahankan hubungan diplomatik yang adil dengan bangsa mana pun. Dalam pandangan Sultan Hasanuddin, setiap bangsa berhak berdagang dan berinteraksi tanpa harus tunduk pada kuasa asing yang ingin mengontrol dunia atas nama “perdagangan yang diatur”.
Dengan semangat itu, Gowa mempersiapkan diri menghadapi perang besar. Mereka membentengi kota, memperkuat angkatan laut, dan mempersatukan kekuatan internal menghadapi serangan yang tak terelakkan. Dari konflik dagang, Perang Makassar tumbuh menjadi perang kemerdekaan maritim, dan Gowa berdiri sebagai benteng terakhir perdagangan bebas di kawasan timur Nusantara.
Profil Sultan Hasanuddin
1. Nama Lengkap: Sultan Hasanuddin (Lahir I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang)
Sultan Hasanuddin, nama yang kini abadi dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, lahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang. Ia berasal dari keluarga bangsawan Kerajaan Gowa, dan merupakan anak dari Sultan Malikussaid, raja Gowa sebelumnya. Nama “Hasanuddin” disandangnya setelah naik takhta dan mencerminkan identitas Islam yang kuat dalam kepemimpinannya.
Sebagaimana tradisi kerajaan Islam di Nusantara pada masa itu, gelar keagamaan dan nama Arab seperti “Hasanuddin” adalah simbol dari legitimasi spiritual, sekaligus pernyataan afiliasi kepada dunia Islam yang lebih luas. Nama itu mengandung makna “kebaikan agama”, menggambarkan karakter pribadi sang sultan yang religius dan sekaligus reformis.
2. Latar Belakang Bangsawan Bugis-Makassar, Dilantik sebagai Raja Gowa pada Usia Muda
Sultan Hasanuddin dilahirkan dalam lingkungan istana yang sarat dengan nilai-nilai kepemimpinan, diplomasi, dan ketahanan budaya Bugis-Makassar. Sejak muda, ia dididik untuk menjadi pewaris takhta. Pendidikan keagamaannya sangat kuat, termasuk dalam ilmu fikih dan tata pemerintahan Islam, namun ia juga menguasai seni perang dan strategi politik, menjadikannya sosok pemimpin yang utuh—rohani dan duniawi.
Ia naik takhta sebagai Raja Gowa pada usia relatif muda, sekitar awal dua puluhan, setelah wafatnya ayahnya. Kenaikannya ke tampuk kekuasaan tidak disambut sebagai simbol keturunan belaka, tetapi juga harapan baru bagi rakyat Gowa yang berada di tengah gelombang krisis akibat tekanan ekonomi dan politik dari Belanda.
Sejak awal pemerintahannya, Sultan Hasanuddin menunjukkan karakter berbeda. Ia menolak kompromi yang melemahkan martabat kerajaan, memperkuat sistem pertahanan, dan menjaga pelabuhan Makassar tetap terbuka bagi pedagang dari berbagai bangsa.
3. Karakter Kepemimpinan: Religius, Berani, Visioner, dan Anti-Penjajahan
Kepemimpinan Sultan Hasanuddin dibangun di atas fondasi keberanian moral dan politik. Ia dikenal sebagai pemimpin yang religius—taat dalam menjalankan syariat Islam, dekat dengan para ulama, dan menerapkan prinsip keadilan dalam pemerintahan. Namun, di saat yang sama, ia juga dikenal sebagai pemimpin yang tegas, disiplin, dan tidak gentar menghadapi ancaman luar.
Keberaniannya menghadapi VOC bukan sekadar keputusan politik, melainkan sikap prinsipil terhadap penjajahan dan ketidakadilan. Ia melihat bahwa monopoli dagang VOC bukan hanya merugikan ekonomi rakyat Gowa, tetapi juga merupakan bentuk penindasan struktural terhadap kemerdekaan bangsa.
Sultan Hasanuddin juga memiliki visi luas tentang peran Gowa dalam dunia Islam dan dunia perdagangan Asia Tenggara. Ia ingin mempertahankan Gowa sebagai kerajaan maritim yang mandiri, terbuka, dan berdaulat, serta menjadikan Makassar sebagai pusat peradaban Islam dan perdagangan bebas di kawasan timur Nusantara. Dalam hal ini, ia adalah pemimpin yang tidak hanya reaktif, tetapi memiliki wawasan jauh ke depan.
4. Julukan “Ayam Jantan dari Timur” oleh Belanda karena Keberaniannya Melawan VOC
Karakter perlawanan Sultan Hasanuddin yang luar biasa membuat pihak VOC terpaksa mengakui kekuatan dan ketangguhannya. Ia tidak hanya mempertahankan wilayahnya dengan gagah berani, tetapi juga memberikan perlawanan militer yang sengit dan cerdas selama bertahun-tahun.
Belanda, yang kerap meremehkan kekuatan lokal, akhirnya menjuluki Sultan Hasanuddin sebagai “De Han van het Oosten” atau “Ayam Jantan dari Timur”. Julukan ini diberikan sebagai pengakuan atas keberaniannya yang menyerupai ayam jantan yang pantang mundur, selalu melawan dengan gigih meskipun dalam situasi terjepit. Bagi rakyat Gowa dan Indonesia pada umumnya, julukan itu menjadi lambang keberanian dan kegigihan seorang pemimpin lokal dalam menghadapi kekuatan kolonial yang jauh lebih besar secara militer dan logistik.
Sultan Hasanuddin bukan hanya seorang pemimpin kerajaan, tetapi telah menjelma menjadi ikon perlawanan maritim dan simbol harga diri bangsa, yang menolak tunduk pada sistem kolonialisme yang hendak menghapus kedaulatan lokal.
Jalannya Perang Makassar (1666–1669)
1. VOC Mengirim Armada Besar di Bawah Cornelis Speelman dari Batavia
Perang Makassar dimulai ketika VOC memutuskan untuk melakukan operasi militer besar-besaran guna menundukkan Kerajaan Gowa dan menguasai pelabuhan Makassar yang strategis. Pada tahun 1666, armada besar dikirim dari Batavia di bawah pimpinan Cornelis Speelman, seorang perwira VOC yang telah memiliki pengalaman militer di berbagai wilayah Nusantara. Ekspedisi ini tidak hanya berisi pasukan Belanda, tetapi juga melibatkan pasukan bayaran dan sekutu lokal dari Ambon dan wilayah lain yang telah ditaklukkan sebelumnya.
Speelman membawa tujuan yang jelas: memaksa Gowa menandatangani perjanjian monopoli, atau bila gagal, merebut Makassar dengan kekuatan senjata. Armada VOC membawa meriam besar, kapal perang, serta logistik untuk perang berkepanjangan. Pendaratan pertama dilakukan di wilayah pesisir yang relatif jauh dari pusat kota, untuk membentuk basis operasi dan mengevaluasi kekuatan militer Gowa.
2. Perang Laut dan Darat antara Pasukan Gowa dan Pasukan VOC-Ternate-Bone
Setelah kedatangan armada VOC, konflik bersenjata langsung meletus di laut dan darat. Gowa, yang telah bersiap menghadapi serangan ini, mengerahkan kekuatan angkatan lautnya—termasuk perahu-perahu pinisi dan kora-kora bersenjata. Bentrokan pertama terjadi di perairan dekat Makassar, namun keunggulan meriam dan kapal besar VOC membuat pasukan laut Gowa kesulitan memberikan perlawanan terbuka di laut lepas.
VOC juga menjalin aliansi strategis dengan Kesultanan Ternate dan Kerajaan Bone, dua kekuatan lokal yang memiliki rivalitas lama dengan Gowa. Koalisi VOC-Ternate-Bone memperbesar tekanan terhadap Gowa dari berbagai arah: Bone menyerang dari daratan Sulawesi, sementara VOC dan Ternate mendesak dari laut dan kepulauan sekitar.
Namun, pasukan Gowa tidak gentar. Mereka melakukan perlawanan sengit di medan darat, menggunakan medan rawa, hutan, dan sungai sebagai perlindungan alami. Strategi perang gerilya dan pertahanan benteng dijalankan dengan efektif, memperlambat kemajuan pasukan VOC.
3. Perlawanan Sengit dari Gowa dan Sekutu Lokal terhadap Invasi Belanda
Sultan Hasanuddin memimpin langsung pertahanan kerajaan dengan keberanian luar biasa. Ia menggalang pasukan dari berbagai wilayah kekuasaannya—termasuk pasukan dari wilayah Bugis yang masih loyal, serta masyarakat lokal di sekitar Makassar yang menolak kolonialisme. Benteng-benteng pertahanan diperkuat, terutama Benteng Somba Opu, yang menjadi pusat komando dan simbol pertahanan Gowa.
Dalam berbagai pertempuran, Gowa menunjukkan kemampuan tempur dan strategi bertahan yang mengesankan. Bahkan ketika pasukan VOC berhasil merebut wilayah pesisir atau benteng luar, pasukan Gowa sering kali melakukan serangan balik yang tak terduga. Pertempuran ini berlangsung secara bergelombang selama lebih dari dua tahun, menimbulkan korban besar di kedua belah pihak.
Ketangguhan ini membuat VOC menyadari bahwa perang terhadap Gowa tidak bisa dimenangkan hanya dengan kekuatan militer. Mereka mulai menggunakan strategi tekanan diplomatik dan provokasi terhadap sekutu-sekutu Gowa, yang dianggap sebagai titik lemah.
4. Strategi Pengepungan dan Pemaksaan Blokade oleh VOC terhadap Benteng Somba Opu
Karena serangan langsung ke pusat kota tidak membuahkan hasil cepat, Speelman mengubah strategi menjadi pengepungan total terhadap Benteng Somba Opu—benteng utama pertahanan Kerajaan Gowa yang terletak di dekat pelabuhan. VOC menggunakan kekuatan lautnya untuk memblokade Makassar dari akses luar, menghentikan arus perdagangan, suplai makanan, dan bantuan dari wilayah luar Sulawesi.
Pengepungan ini berlangsung selama berbulan-bulan. Pasukan Gowa yang terkurung di dalam benteng mulai kekurangan logistik, amunisi, dan makanan. Dalam kondisi ini, moral pasukan tetap dijaga oleh Sultan Hasanuddin, namun tekanan fisik dan psikologis mulai terasa.
Blokade ini menjadi bagian dari strategi kelelahan: memaksa Gowa menyerah bukan dengan serangan frontal, tetapi dengan kelaparan dan kehancuran bertahap. Strategi ini terbukti efektif dalam jangka panjang, karena lambat laun kekuatan militer Gowa melemah meskipun semangat perlawanan tetap tinggi.
5. Tekanan Militer dan Diplomasi Memecah Sekutu Gowa
Di tengah tekanan militer yang berat, VOC melancarkan strategi devide et impera—politik pecah belah yang telah mereka terapkan di banyak wilayah. Mereka mulai merayu atau mengintimidasi sekutu-sekutu Gowa agar berbalik arah. Beberapa bangsawan lokal di wilayah Bugis mulai mempertimbangkan untuk menarik dukungan mereka terhadap Gowa demi keselamatan wilayahnya masing-masing.
Diplomasi VOC juga menyasar kalangan elite istana Gowa sendiri. Walaupun Sultan Hasanuddin tetap teguh, friksi internal mulai muncul di kalangan bangsawan dan panglima perang yang frustrasi oleh pengepungan dan kesulitan logistik. Keadaan ini membuat pertahanan Gowa mulai rapuh dari dalam.
Dengan tekanan terus-menerus dan upaya diplomasi yang agresif, VOC akhirnya berhasil mendorong perundingan damai—yang nantinya akan dituangkan dalam Perjanjian Bungaya. Namun meskipun perjanjian ditandatangani, semangat perlawanan Sultan Hasanuddin tidak padam, dan konflik akan terus berlanjut hingga jatuhnya Benteng Somba Opu pada tahun 1669.
Perjanjian Bungaya dan Akhir Perang
1. Isi Pokok Perjanjian Bungaya (1667)
Setelah pengepungan panjang dan tekanan militer yang berat, Sultan Hasanuddin akhirnya menyetujui untuk berunding dengan VOC. Hasilnya adalah Perjanjian Bungaya, yang ditandatangani pada 18 November 1667 di sebuah daerah bernama Bungaya, di wilayah Gowa. Perjanjian ini menandai kekalahan diplomatik sementara Kerajaan Gowa, dan menjadi salah satu kesepakatan paling merugikan bagi kerajaan lokal dalam sejarah kolonial awal Indonesia.
Isi pokok Perjanjian Bungaya mencakup:
- Pengakuan atas kedaulatan Gowa yang terbatas, artinya Sultan Hasanuddin tetap diakui sebagai penguasa, tetapi hanya dalam lingkup wilayah sempit dan dengan pengawasan ketat VOC.
- Pelabuhan Makassar ditutup bagi bangsa lain selain VOC, secara efektif menjadikan perdagangan di Gowa sebagai monopoli Belanda. Saudagar Inggris, Portugis, dan Melayu tidak lagi diizinkan berdagang di sana.
- Pembubaran armada laut Gowa dan penyerahan benteng-benteng penting, termasuk Benteng Somba Opu, kepada VOC. Ini merupakan pukulan telak bagi identitas Gowa sebagai kerajaan maritim, karena kekuatan lautnya selama ini adalah simbol kebebasan dan pengaruh regional.
Perjanjian ini menandai puncak kekuasaan VOC di Sulawesi Selatan, namun bukan akhir dari perlawanan Gowa.
2. Gowa Melanggar Isi Perjanjian, Perang Kembali Pecah
Walaupun telah ditandatangani, Perjanjian Bungaya tidak mencerminkan kehendak hati Sultan Hasanuddin dan rakyat Gowa. Banyak di antara elite kerajaan dan pasukan yang tidak menerima isi perjanjian, terutama karena pembatasan perdagangan dan penghinaan terhadap martabat kerajaan. Bahkan dalam pandangan Hasanuddin, perjanjian itu adalah taktik sementara untuk menyelamatkan rakyatnya dari kehancuran total, bukan bentuk penyerahan sejati.
Tak lama setelah perjanjian ditandatangani, Sultan Hasanuddin mulai menggalang kembali kekuatan secara diam-diam. Armada laut Gowa yang dibubarkan mulai dibentuk kembali dalam bentuk kecil-kecilan. Benteng-benteng yang telah diserahkan diperbaiki dan disiapkan untuk digunakan kembali. Kontak diplomatik pun dijalin kembali dengan pihak-pihak yang memusuhi VOC.
Tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran serius oleh VOC, yang menuduh Gowa melanggar kesepakatan damai. Ketegangan meningkat, dan VOC merespons dengan mengirimkan ekspedisi militer baru dari Batavia. Perang kembali pecah secara terbuka pada awal tahun 1668.
3. Serangan Lanjutan VOC dan Jatuhnya Benteng Somba Opu (1669)
VOC memanfaatkan momentum ketidakstabilan pasca-perjanjian untuk melancarkan serangan pamungkas terhadap Gowa. Kali ini, Speelman dibekali dengan kekuatan lebih besar, termasuk pasukan sekutu dari Bone yang telah menjadi mitra VOC dalam menghancurkan dominasi Gowa di Sulawesi Selatan.
Serangan diarahkan langsung ke Benteng Somba Opu, pusat pertahanan terakhir dan simbol kekuasaan Gowa. Pertempuran yang berlangsung pada tahun 1669 merupakan salah satu pertempuran paling dahsyat di masa awal kolonial. Pasukan Gowa bertahan dengan gagah berani, namun dalam kondisi yang sudah lemah karena kehabisan sumber daya, dan minimnya dukungan dari sekutu-sekutu luar yang telah terpecah.
Akhirnya, Benteng Somba Opu jatuh ke tangan VOC, dan ini menandai kekalahan militer total bagi Kerajaan Gowa. Banyak bagian benteng dihancurkan, prajurit ditawan, dan sebagian wilayah inti Gowa diduduki oleh pasukan Belanda dan Bone.
4. Gowa Resmi Kalah; Kekuatan Maritim dan Politiknya Dilumpuhkan
Dengan jatuhnya Somba Opu, Kerajaan Gowa secara resmi dinyatakan kalah dalam Perang Makassar. VOC segera mengambil langkah-langkah untuk melumpuhkan kekuatan maritim dan politik Gowa secara permanen:
- Pelabuhan Makassar sepenuhnya dikuasai dan dijadikan pusat kontrol dagang VOC di Sulawesi.
- Armada Gowa dilarang dibangun kembali. Semua kapal perang dihancurkan atau disita.
- Wilayah Gowa dipersempit secara administratif dan militer. Pengaruhnya atas kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi dicabut.
- Sultan Hasanuddin mengundurkan diri dari takhta beberapa bulan setelah kekalahan, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral.
Setelah perang, Gowa tidak lagi menjadi kekuatan dominan di kawasan timur Nusantara. Perannya sebagai pusat perdagangan bebas digantikan oleh pelabuhan VOC yang dikendalikan penuh oleh Belanda. Kekalahan ini sekaligus menandai berakhirnya era kemerdekaan maritim di Sulawesi Selatan, dan awal dari dominasi kolonial yang lebih sistematis di wilayah timur Indonesia.
Namun, semangat dan keberanian Sultan Hasanuddin tidak pernah benar-benar mati. Kisah perlawanan Gowa tetap hidup dalam ingatan rakyat sebagai simbol keberanian mempertahankan kedaulatan dan hak berdagang secara adil, bahkan dalam menghadapi kekuatan kolonial terbesar pada zamannya.
Dampak dan Konsekuensi
1. Berakhirnya Dominasi Gowa sebagai Kekuatan Maritim Utama di Timur Nusantara
Kekalahan Kerajaan Gowa dalam Perang Makassar secara definitif mengakhiri era kejayaan maritim Sulawesi Selatan. Sebelum perang, Gowa merupakan kerajaan yang disegani dan memiliki pengaruh luas dari pesisir Kalimantan hingga Maluku dan Filipina Selatan. Armada lautnya mendominasi jalur pelayaran, dan pelabuhan Makassar menjadi pusat perdagangan bebas yang terbuka untuk semua bangsa.
Namun setelah kekalahan tahun 1669, kekuatan maritim Gowa dilucuti secara sistematis. Armada perang dibubarkan, kapal-kapal dagang besar dihancurkan atau disita VOC, dan semua aktivitas pelayaran di bawah kontrol ketat pihak kolonial. Benteng-benteng pertahanan dihancurkan atau diduduki. Pelabuhan Makassar, yang semula menjadi simbol keterbukaan ekonomi, diubah menjadi pelabuhan tertutup di bawah otoritas Belanda.
Dengan ini, Gowa kehilangan identitasnya sebagai kerajaan pelaut dan terpaksa menutup lembaran sebagai kekuatan otonom yang bebas menentukan arah dagangnya. Setelah perang, Gowa menjadi kerajaan yang secara politik dan ekonomi bergantung pada kebijakan kolonial, dan pengaruhnya di wilayah sekitarnya menghilang hampir sepenuhnya.
2. VOC Semakin Memperkuat Pengaruh di Sulawesi dan Maluku
Kemenangan VOC atas Gowa merupakan tonggak penting dalam ekspansi kolonial Belanda di Indonesia bagian timur. Sebelumnya, pengaruh VOC banyak terbatas di Ambon dan sebagian wilayah Maluku. Namun setelah perang, VOC berhasil memperluas cengkeramannya ke Sulawesi Selatan, dan secara strategis menguasai pelabuhan Makassar yang menjadi simpul utama perdagangan antarpulau.
Dengan kontrol atas Makassar, VOC kini dapat mengawasi lebih efektif jalur pelayaran antara Maluku, Kalimantan, dan Jawa, serta memutus akses pedagang asing non-Belanda ke pusat rempah-rempah di Maluku. Perdagangan rempah kini sepenuhnya diarahkan ke jalur-jalur yang menguntungkan VOC secara eksklusif.
Selain aspek ekonomi, VOC juga menanamkan struktur pemerintahan kolonial di wilayah Gowa, termasuk pengangkatan residen, pejabat pengawas, serta penerapan pajak dan sistem hukum baru. Dengan ini, VOC mengubah wilayah yang sebelumnya merdeka menjadi bagian dari tata kelola kolonial yang terkonsolidasi.
3. Bone Naik sebagai Kekuatan Lokal yang Disokong VOC
Dalam konteks geopolitik lokal, salah satu dampak besar dari perang ini adalah naiknya Kerajaan Bone sebagai kekuatan baru di Sulawesi Selatan. Bone, yang sejak lama bersaing dengan Gowa, mengambil kesempatan emas dengan bersekutu bersama VOC untuk menjatuhkan rival utamanya.
Setelah kemenangan atas Gowa, Bone mendapat imbalan politik dan wilayah. Raja Bone diakui oleh VOC sebagai sekutu resmi dan diberikan otonomi yang lebih besar, bahkan diberi hak untuk mengawasi sebagian wilayah bekas kekuasaan Gowa. Dengan dukungan VOC, Bone menjadi pemain dominan dalam politik lokal, meskipun posisinya tetap di bawah bayang-bayang kolonial.
Aliansi Bone-VOC menjadi preseden penting dalam strategi VOC membentuk kekuatan lokal yang pro-kolonial, sehingga Belanda tidak perlu selalu hadir langsung di lapangan, tetapi dapat mengendalikan wilayah melalui perpanjangan tangan penguasa lokal.
4. Perubahan Geopolitik Perdagangan dan Struktur Kekuasaan Lokal Pasca-Perang
Secara menyeluruh, Perang Makassar menciptakan perubahan besar dalam lanskap politik dan ekonomi kawasan timur Nusantara. Sebelum perang, kekuasaan bersifat multisentris—dengan kerajaan-kerajaan seperti Gowa, Ternate, Bacan, dan Tidore memiliki otoritas tersendiri dan menjalin hubungan dagang yang relatif merdeka. Namun setelah perang, kekuasaan dan arus perdagangan menjadi terpusat dan termonopoli di tangan VOC.
Perubahan ini juga menimbulkan pergeseran dalam tatanan sosial dan hubungan antarkerajaan. Banyak kerajaan kecil yang sebelumnya berpihak pada Gowa kehilangan proteksi dan terpaksa tunduk pada Bone atau langsung pada VOC. Relasi patron-klien tradisional tergantikan oleh relasi kolonial yang berbasis eksploitasi dan kontrol administratif.
Di sisi lain, masyarakat lokal yang terbiasa hidup dalam sistem perdagangan bebas kini harus menyesuaikan diri dengan aturan ketat, pajak tinggi, dan pembatasan perdagangan yang diberlakukan Belanda. Situasi ini melahirkan ketegangan sosial dan ekonomi baru, serta memperkuat bibit-bibit perlawanan yang kelak meletus di masa-masa mendatang.
Dengan kata lain, Perang Makassar adalah batas antara dunia lama yang relatif merdeka dengan dunia baru yang dikendalikan kolonialisme. Dampaknya tidak hanya mengubah nasib Gowa, tetapi juga membentuk arah sejarah Indonesia bagian timur selama lebih dari dua abad berikutnya.
Warisan Sejarah Sultan Hasanuddin
1. Dikenang sebagai Simbol Perlawanan Bugis-Makassar terhadap Kolonialisme
Sultan Hasanuddin tidak hanya dikenang sebagai raja Kerajaan Gowa, tetapi sebagai simbol abadi perlawanan Bugis-Makassar terhadap dominasi asing. Keberaniannya melawan VOC, bahkan dalam kondisi militer yang tidak seimbang, menunjukkan tekad luar biasa dalam mempertahankan kedaulatan, kebebasan berdagang, dan kehormatan bangsanya. Ia tampil sebagai pemimpin yang tidak mau mengorbankan prinsip dan martabat demi kompromi politik yang timpang.
Dalam memori kolektif masyarakat Sulawesi Selatan dan Indonesia secara umum, Hasanuddin adalah lambang dari kejujuran, keberanian, dan keteguhan hati. Ia menolak menjadi penguasa boneka dan memilih berjuang hingga titik akhir meskipun mengetahui risiko kehancuran yang mengintai. Perlawanan Gowa di bawah komandonya menjadi salah satu bentuk paling nyata dari perlawanan terorganisir terhadap kolonialisme Eropa pada abad ke-17.
2. Dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia (1973)
Atas jasa-jasanya yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan dan harga diri bangsa dari penjajahan asing, Sultan Hasanuddin secara resmi dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada tahun 1973. Pengakuan ini menegaskan bahwa perjuangannya bukan hanya milik masyarakat Sulawesi Selatan, tetapi juga bagian dari narasi besar kebangkitan dan pembelaan bangsa Indonesia terhadap kolonialisme.
Sebagai pahlawan nasional, nama dan kisah perjuangan Sultan Hasanuddin kini diajarkan di sekolah-sekolah, dikenang dalam buku sejarah, dan menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda. Ia sejajar dengan tokoh besar lainnya seperti Sultan Agung di Jawa, Tuanku Imam Bonjol di Sumatra, dan Pattimura di Maluku, yang juga berjuang mempertahankan tanah air dari penjajahan.
3. Namanya Diabadikan dalam Universitas, Jalan, dan Bandara di Sulawesi Selatan
Warisan Sultan Hasanuddin tidak hanya hidup dalam buku sejarah, tetapi juga secara nyata hadir dalam ruang publik di Sulawesi Selatan dan Indonesia. Namanya diabadikan dalam Universitas Hasanuddin (UNHAS)—salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia yang berlokasi di Makassar. Universitas ini tidak hanya menjadi pusat pendidikan tinggi, tetapi juga simbol kebanggaan intelektual dan kultural masyarakat Bugis-Makassar.
Selain itu, Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Maros menjadi pintu gerbang utama ke Sulawesi Selatan, menyambut ribuan orang setiap hari dengan nama pahlawan besar dari tanah Bugis. Banyak jalan, sekolah, dan institusi publik di seluruh Indonesia juga mengabadikan namanya sebagai bentuk penghormatan nasional atas jasa-jasanya.
Melalui penamaan ini, masyarakat diingatkan bahwa tanah yang mereka injak dan udara yang mereka hirup pernah dipertahankan dengan darah dan nyawa oleh tokoh yang tak gentar menghadapi kekuatan imperium dunia.
4. Inspirasi Semangat Keberanian dan Pertahanan Harga Diri Bangsa
Lebih dari sekadar tokoh sejarah, Sultan Hasanuddin adalah inspirasi moral dan karakter kebangsaan. Ia mengajarkan bahwa keberanian bukan berarti menang dalam segala hal, tetapi berani mempertahankan prinsip, bahkan dalam keadaan kalah. Ia menunjukkan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan adalah harga yang layak dibayar demi kehormatan, dan bahwa cinta tanah air bukan sekadar retorika, melainkan tindakan nyata.
Bagi generasi modern, warisan Sultan Hasanuddin menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tidak pernah datang tanpa pengorbanan, dan bahwa mempertahankan kedaulatan, baik secara politik, budaya, maupun ekonomi, adalah perjuangan yang harus terus dilanjutkan. Keberanian, kejujuran, dan tekad kuat yang ditunjukkan Hasanuddin menjadi nilai-nilai yang tetap relevan di tengah dinamika zaman.
Perang Makassar dan sosok Sultan Hasanuddin bukan hanya bagian dari sejarah lokal Sulawesi, tetapi merupakan bab penting dalam sejarah bangsa Indonesia—sebuah kisah tentang perlawanan terhadap kolonialisme, tentang kepemimpinan yang berlandaskan prinsip, dan tentang semangat untuk mempertahankan harga diri di tengah ancaman imperium global.