Kesultanan Palembang Darussalam menempati posisi yang sangat strategis di kawasan Sumatra bagian selatan. Terletak di tepian Sungai Musi yang lebar dan dapat dilayari hingga ke pedalaman, Palembang berkembang sebagai kota pelabuhan penting dan pusat perdagangan regional sejak abad ke-17. Jalur sungai ini tidak hanya menjadi nadi pergerakan barang dan manusia dari wilayah pedalaman ke pesisir, tetapi juga menghubungkan Palembang secara langsung dengan jaringan dagang internasional melalui Selat Bangka dan Laut Jawa.
Kekayaan alam yang melimpah, terutama hasil hutan, emas, dan komoditas utama seperti lada dan rempah-rempah, menjadikan Palembang target utama bagi kepentingan dagang kolonial, terutama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie). Sejak pertengahan abad ke-17, VOC mulai menunjukkan minat besar terhadap Palembang karena potensinya sebagai pusat distribusi dan sumber lada berkualitas. Namun, ambisi VOC untuk memonopoli perdagangan dan menguasai pelabuhan tidak diterima begitu saja oleh Kesultanan.
Perlawanan Palembang terhadap VOC dan, kemudian, Inggris bukanlah peristiwa insidental, tetapi bagian dari perjuangan panjang mempertahankan kedaulatan ekonomi dan politik lokal di tengah ekspansi kekuasaan kolonial yang terus menguat. Seperti Aceh di utara, Palembang juga menolak tunduk terhadap sistem monopoli yang memiskinkan rakyat dan menghapuskan hak berdagang bebas yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Tulisan ini akan membahas dua fase utama dari perlawanan Kesultanan Palembang. Fase pertama terjadi pada tahun 1659, saat Sultan Palembang melakukan perlawanan langsung terhadap pos dagang VOC yang mencoba memaksakan kontrol di wilayahnya. Fase kedua terjadi lebih dari satu setengah abad kemudian, pada tahun 1811–1812, di bawah kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin II, ketika Palembang menghadapi kekuatan Inggris yang mewarisi kepentingan VOC setelah pembubaran perusahaan dagang tersebut. Kedua fase ini menunjukkan kesinambungan semangat perlawanan, sekaligus pergeseran strategi dan tantangan yang dihadapi oleh Kesultanan Palembang di bawah tekanan kolonialisme global.
Konteks Geopolitik dan Ekonomi
1. Letak Palembang di Jalur Perdagangan Sungai dan Selat Bangka
Kesultanan Palembang berdiri di lokasi yang secara geografis sangat strategis: di muara Sungai Musi, yang panjang dan lebar, serta dapat dilayari hingga jauh ke pedalaman Sumatra bagian selatan. Sungai ini menjadi jalur utama mobilitas ekonomi, sosial, dan militer. Tidak hanya itu, Palembang juga memiliki akses langsung ke Selat Bangka, yang menghubungkan Laut Jawa dengan Selat Malaka—dua jalur perdagangan maritim utama di Asia Tenggara.
Kawasan ini menjadikan Palembang sebagai simpul perdagangan regional dan internasional yang ramai disinggahi oleh kapal-kapal dagang dari Jawa, Bugis, Malaka, Kalimantan, hingga India dan Tiongkok. Dengan jalur sungai yang terhubung dengan hulu-hilir komoditas, dan pelabuhan laut yang terbuka ke jaringan Asia, Kesultanan Palembang menjadi pusat distribusi yang penting bagi aliran lada, rotan, damar, timah, dan hasil hutan lainnya.
Letak ini bukan hanya menguntungkan dalam perdagangan, tetapi juga dalam pertahanan. Sungai yang berkelok dan penuh anak cabang memungkinkan Palembang mengembangkan sistem pertahanan alami, yang sangat berguna dalam perlawanan terhadap musuh-musuh asing yang tidak mengenal lanskap setempat.
2. Pentingnya Komoditas Lada dan Rempah di Pasar Global
Sejak abad ke-16, lada dan rempah-rempah menjadi komoditas paling dicari dalam perdagangan dunia. Permintaan tinggi dari pasar Eropa membuat harga lada meroket dan menjadikannya sebagai “emas hitam” pada masa itu. Sumatra, termasuk daerah Palembang dan pedalaman Musi, merupakan salah satu penghasil lada terbaik di Asia Tenggara.
Kesultanan Palembang memanfaatkan potensi ini dengan menjalin hubungan dagang bebas dengan berbagai mitra, termasuk pedagang Bugis, Tionghoa, Jawa, dan asing. Tidak seperti VOC yang memaksakan sistem monopoli, Palembang menjaga sistem perdagangan terbuka dan kompetitif yang menguntungkan penguasa maupun masyarakat.
Kepentingan VOC terhadap Palembang semakin besar karena kerajaan ini dianggap sebagai penghalang dalam upaya menguasai jalur distribusi lada dari pedalaman Sumatra ke laut. Upaya VOC untuk masuk dan mengontrol pasar lada Palembang berujung pada konfrontasi langsung, karena akan berarti penghapusan kedaulatan ekonomi lokal yang selama ini dijaga dengan keras.
3. Persaingan Antar Kekuatan Asing (VOC, Inggris, Lokal)
Kawasan Palembang tidak hanya menjadi arena konflik antara kerajaan lokal dan VOC, tetapi juga medan persaingan antara berbagai kekuatan asing, terutama VOC dan Inggris, yang saling berlomba menguasai pelabuhan dan jalur dagang strategis di Nusantara. Pada awalnya, VOC berhasil membangun beberapa pos dagang dan memperluas pengaruh di Sumatra selatan, tetapi mereka mendapat perlawanan dari penguasa lokal yang menolak monopoli dagang.
Masuknya Inggris pada awal abad ke-19 melalui East India Company (EIC) menambah kompleksitas geopolitik. Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799, Inggris mengambil alih banyak aset dan kepentingan Belanda, termasuk di wilayah Palembang. Dalam konteks inilah, perlawanan Palembang tidak hanya ditujukan pada satu kekuatan asing, melainkan terhadap sistem kolonial yang berganti tangan, tetapi tetap membawa agenda dominasi ekonomi dan politik.
Selain itu, terdapat juga persaingan dengan kelompok-kelompok dagang lokal, seperti komunitas Bugis dan kelompok niaga Tionghoa, yang memiliki kepentingan tersendiri. Dalam situasi penuh kompetisi ini, Palembang berusaha memainkan peran sebagai kekuatan mandiri yang tidak dapat didikte oleh satu kekuatan saja.
4. Kemandirian Ekonomi Palembang dan Keberadaan Pengrajin Senjata Lokal
Salah satu kekuatan utama Kesultanan Palembang dalam menghadapi ancaman asing adalah kemandirian ekonominya. Selain dari hasil dagang lada dan komoditas hutan, Palembang juga memiliki komunitas pengrajin senjata dan logam yang cukup maju. Di kawasan ulu Sungai Musi, terdapat industri logam tradisional yang mampu memproduksi meriam, senapan lokal, tombak, dan peluru secara mandiri, meskipun dalam jumlah terbatas.
Produksi senjata ini menjadikan Palembang tidak terlalu tergantung pada impor persenjataan dari luar, sebagaimana banyak kerajaan lain di Nusantara. Selain itu, ekonomi lokal yang berbasis pada agroforestri, sungai, dan perdagangan antar-daerah membuat Palembang cukup tahan terhadap tekanan blokade ekonomi yang dilakukan oleh VOC maupun Inggris.
Keunggulan ini menjadikan Palembang sebagai salah satu sedikit kerajaan di Sumatra selatan yang mampu bertahan cukup lama dari tekanan kolonial, dan bahkan melancarkan perlawanan bersenjata yang serius terhadap kekuatan Eropa, terutama pada awal abad ke-19.
Konteks geopolitik dan ekonomi inilah yang membentuk dasar dari perlawanan Kesultanan Palembang. Bukan sekadar reaksi spontan, tetapi bagian dari strategi panjang untuk mempertahankan hak berdagang, kedaulatan politik, dan keberlanjutan sistem ekonomi lokal dari tekanan kekuatan kolonial asing.
Profil Kesultanan Palembang
1. Struktur Pemerintahan dan Sistem Kesultanan
Kesultanan Palembang Darussalam merupakan kerajaan Islam yang memiliki struktur pemerintahan bercorak monarki absolut, dengan Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bidang politik, militer, dan keagamaan. Namun, kekuasaan ini dijalankan dengan mempertimbangkan masukan dari kelompok elite, termasuk keluarga bangsawan, ulama istana, dan panglima militer.
Struktur administrasi kerajaan terbagi ke dalam beberapa wilayah kekuasaan yang disebut ulak atau marga, dipimpin oleh kepala adat atau pejabat setempat yang tunduk pada perintah Sultan. Di pusat pemerintahan, terdapat Majelis Istana, tempat sultan berkonsultasi dengan pejabat tinggi kerajaan, termasuk Temenggung (panglima militer), Mufti (penasehat agama), dan Bendahara (pengelola keuangan dan logistik).
Pemerintahan berjalan berdasarkan perpaduan antara hukum Islam, hukum adat, dan dekret kesultanan, yang disahkan melalui pengadilan dan diumumkan lewat sistem komunikasi lisan dan tertulis. Sistem ini menjadikan Palembang sebagai kerajaan Islam yang relatif stabil dan adaptif, terutama dalam menghadapi tantangan eksternal dari kolonialisme Eropa.
2. Jaringan Perdagangan dan Hubungan Luar (Bugis, Melayu, Tionghoa)
Sebagai pusat perdagangan di Sumatra bagian selatan, Kesultanan Palembang membangun jaringan dagang yang luas dan kosmopolitan. Pedagang dari Bugis, Melayu Riau, Tionghoa, Jawa, dan Kalimantan menjadikan Palembang sebagai tempat singgah dan berdagang berbagai komoditas, seperti lada, emas, damar, rotan, dan hasil hutan lainnya.
Komunitas Tionghoa, khususnya, memiliki peran penting dalam sektor keuangan, logistik, dan perdagangan barang-barang konsumsi dan kerajinan. Banyak di antara mereka diberi izin menetap dan membangun permukiman serta kelenteng, selama mereka tunduk pada otoritas kesultanan.
Sementara itu, pedagang Bugis berperan besar dalam aktivitas niaga maritim dan distribusi barang ke wilayah-wilayah pesisir lainnya. Mereka juga sering terlibat dalam penyediaan jasa militer sebagai pelaut dan prajurit bayaran.
Jaringan ini memperkuat posisi Palembang sebagai kekuatan ekonomi yang independen, tidak sepenuhnya bergantung pada satu kelompok atau bangsa, serta memiliki fleksibilitas dalam beradaptasi terhadap tekanan monopoli perdagangan dari VOC maupun Inggris.
3. Peran Istana dan Elite Ulama dalam Membentuk Identitas Politik
Identitas politik Kesultanan Palembang dibentuk oleh simbiosis erat antara istana dan ulama. Sejak masa awal berdirinya, sultan-sultan Palembang menampilkan diri sebagai pelindung agama Islam dan penegak syariat. Ulama diberikan posisi penting di lingkungan istana, baik sebagai penasehat (mufti), hakim agama (qadhi), maupun pendidik (pengasuh dayah atau surau kerajaan).
Peran elite ulama tidak hanya bersifat keagamaan, tetapi juga mengakar dalam pembentukan ideologi perlawanan. Ketika tekanan kolonial meningkat, para ulama mendukung sultan dalam memobilisasi rakyat, mengeluarkan fatwa untuk menolak monopoli, serta memperkuat nilai-nilai keislaman sebagai dasar kedaulatan dan keadilan sosial.
Identitas Islam inilah yang membentuk daya tahan moral dan ideologis Kesultanan Palembang. Dalam situasi politik yang menekan, agama berfungsi bukan sekadar ritual, tetapi menjadi landasan politik anti-kolonial dan pengikat solidaritas sosial antar lapisan rakyat.
4. Basis Militer dan Pertahanan di Sepanjang Sungai Musi
Kesultanan Palembang mengembangkan sistem pertahanan yang khas, memanfaatkan kondisi geografis Sungai Musi dan anak-anak sungainya. Wilayah ini dipenuhi rawa, cabang sungai, dan hutan yang sulit diakses oleh kekuatan asing, namun dikenali baik oleh rakyat Palembang. Ini memungkinkan strategi pertahanan yang fleksibel dan adaptif, mirip pola gerilya.
Basis militer utama terletak di sekitar Kuto Besak, benteng batu besar di tepi Sungai Musi yang berfungsi sebagai istana sekaligus pertahanan terakhir. Selain itu, terdapat benteng-benteng kecil, pos jaga, dan jalur logistik tersembunyi di sepanjang sungai yang memungkinkan komunikasi cepat dan penyebaran pasukan ke berbagai titik.
Palembang juga memiliki tradisi militer lokal yang kuat, dengan pasukan reguler yang dilengkapi senjata api lokal, senapan lontak, dan meriam buatan pandai besi kerajaan. Mobilisasi rakyat secara sukarela juga menjadi bagian dari strategi pertahanan: penduduk sekitar dilatih untuk menghadang musuh lewat perang semak, jebakan air, dan sabotase jalur suplai musuh.
Sistem pertahanan ini terbukti ampuh dalam menghalangi kemajuan pasukan VOC dan Inggris pada fase-fase awal konfrontasi. Gabungan medan sulit dan loyalitas lokal menjadikan Palembang sebagai benteng terakhir kekuatan lokal di Sumatra bagian selatan, hingga akhirnya runtuh di bawah tekanan kolonial modern pada awal abad ke-19.
Bagian ini menunjukkan bahwa Kesultanan Palembang bukanlah kerajaan lemah yang pasif terhadap kolonialisme, tetapi sebuah entitas politik, ekonomi, dan militer yang tangguh dan berdaulat. Inilah fondasi yang memungkinkan mereka melawan VOC secara langsung pada tahun 1659 dan kembali bangkit dalam perlawanan besar pada 1811–1812.
Perlawanan Tahun 1659: Bentrok Awal dengan VOC
1. Awal Penetrasi VOC ke Wilayah Sumatra Selatan
Pada pertengahan abad ke-17, VOC mulai memperluas jangkauan kekuasaannya ke wilayah Sumatra bagian selatan. Setelah menguasai sebagian besar pelabuhan strategis di Jawa dan Maluku, serta memperkuat cengkeramannya atas perdagangan lada di wilayah barat Sumatra (seperti di Padang dan Tiku), VOC memandang Palembang sebagai target penting berikutnya. Kota ini dipandang strategis karena menjadi pusat distribusi lada dari pedalaman Sumatra ke jalur laut internasional.
VOC membuka loji dagang (kantor perdagangan) di Palembang sebagai awal dari penetrasi ekonominya. Langkah ini tidak dilakukan dengan kekuatan militer langsung, melainkan lewat negosiasi dan perjanjian dagang yang menyamarkan tujuan sebenarnya: memaksakan monopoli perdagangan dan mengurangi ruang gerak para pedagang lokal dan asing non-Belanda.
Kehadiran loji ini segera memunculkan ketegangan, karena Kesultanan Palembang telah terbiasa menjalankan sistem perdagangan terbuka yang memberi ruang luas kepada pedagang Bugis, Tionghoa, dan India. Masuknya VOC membawa ancaman terhadap sistem ini dan dianggap sebagai bentuk infiltrasi kolonial yang mengancam kedaulatan ekonomi kerajaan.
2. Upaya Monopoli Lada dan Tekanan terhadap Penguasa Lokal
Setelah menancapkan posisinya lewat loji dagang, VOC secara bertahap mulai memberlakukan tekanan agar Kesultanan Palembang tunduk pada sistem monopoli. Dalam skema VOC, semua hasil panen lada dari wilayah Sumatra Selatan hanya boleh dijual kepada mereka dengan harga tetap yang ditentukan di Batavia (Jakarta). VOC juga menuntut agar sultan melarang perdagangan langsung antara rakyatnya dan para pedagang dari pihak lain, termasuk Inggris, Bugis, dan Tionghoa.
Tekanan ini semakin kuat ketika VOC mengancam akan menggunakan kekuatan militer bila kesultanan tidak memenuhi syarat dagang tersebut. Bagi Kesultanan Palembang, ini merupakan bentuk pemaksaan yang tidak dapat diterima. Lada bukan sekadar komoditas, melainkan tulang punggung ekonomi kerajaan dan masyarakatnya. Menyerahkan penguasaan atas perdagangan lada berarti mengorbankan kedaulatan ekonomi dan membuka jalan bagi kolonialisme penuh.
Sultan Palembang menolak keras tekanan ini, dan hubungan antara kedua pihak memburuk dengan cepat. Ketegangan diplomatik berubah menjadi konfrontasi terbuka.
3. Serangan Kesultanan Palembang terhadap Loji Dagang VOC
Sebagai bentuk penolakan terhadap tekanan VOC, Kesultanan Palembang melancarkan serangan langsung terhadap loji dagang Belanda yang berada di wilayah kota pelabuhan. Serangan ini berlangsung pada tahun 1659, dan dilakukan secara terkoordinasi oleh pasukan kesultanan yang telah disiagakan sejak hubungan dagang mulai memburuk.
Dalam serangan tersebut, loji VOC dibakar, gudang dirampas, dan sebagian besar personel Belanda melarikan diri atau ditawan. Aksi ini menjadi sinyal tegas dari pihak Palembang bahwa mereka tidak akan membiarkan kekuatan asing mendikte jalur perdagangan dan kebijakan dalam negeri mereka.
Serangan terhadap loji VOC di Palembang menjadi salah satu insiden paling signifikan yang dilakukan oleh kerajaan lokal terhadap fasilitas Belanda di Sumatra selama abad ke-17. Hal ini menunjukkan bahwa Palembang bukan hanya defensif, tetapi juga mampu melakukan tindakan ofensif untuk mempertahankan kedaulatan.
4. VOC Gagal Menaklukkan Palembang secara Langsung
Sebagai respons atas serangan tersebut, VOC menyusun rencana pembalasan. Mereka mengirim kapal-kapal bersenjata dari Batavia dengan tujuan menghukum Kesultanan Palembang dan mendirikan kendali militer langsung. Namun, upaya ini gagal. Pasukan Belanda menghadapi tantangan besar di medan Sungai Musi yang penuh liku, rawa, dan pertahanan lokal yang tidak mudah ditembus.
Selain itu, dukungan rakyat Palembang terhadap sultan sangat kuat, dan mereka menolak kerja sama dengan VOC. Kekuatan militer lokal memanfaatkan pengetahuan medan dan strategi perlawanan berbasis benteng sungai, sehingga serangan balasan VOC tidak menghasilkan kemenangan strategis apa pun.
VOC akhirnya menarik diri dan menunda ambisinya untuk menundukkan Palembang secara langsung. Kekalahan ini menjadi bukti nyata bahwa sistem perlawanan lokal yang terorganisir dapat menghalangi ekspansi kekuatan kolonial yang bersenjata lengkap.
5. Dampak Perlawanan: VOC Berhati-hati, Pengaruh Terbatas Selama Dekade Berikutnya
Perlawanan tahun 1659 berdampak besar pada sikap VOC terhadap Palembang. Setelah kegagalan mereka, VOC menjadi lebih berhati-hati dalam berurusan dengan kerajaan ini. Mereka tidak lagi mencoba mendirikan loji dagang secara terbuka atau memaksakan monopoli dengan kekuatan militer dalam waktu dekat.
Sebaliknya, selama beberapa dekade berikutnya, pengaruh VOC di Palembang menjadi sangat terbatas. Mereka lebih memilih menjaga hubungan dagang secara tidak langsung, melalui perantara atau pelabuhan sekunder, dan menunggu kondisi politik berubah secara alami agar bisa kembali masuk.
Bagi Kesultanan Palembang, keberhasilan ini menjadi legitimasi politik dan moral yang penting, memperkuat posisi sultan di mata rakyat dan sekutu regionalnya. Namun kemenangan ini juga bersifat sementara, karena dalam jangka panjang, kekuatan kolonial terus tumbuh dan mencari celah untuk kembali menancapkan pengaruhnya.
Perlawanan tahun 1659 menjadi tonggak pertama perlawanan aktif Palembang terhadap kolonialisme Belanda. Ia menunjukkan bahwa kekuatan lokal, dengan penguasaan medan dan dukungan rakyat, mampu menolak kolonialisme—meskipun kemenangan itu tidak dapat bertahan selamanya di hadapan arus global imperialisme yang terus membesar.
Perlawanan Tahun 1811–1812: Sultan Mahmud Badaruddin II Melawan VOC dan Inggris
1. Naiknya Sultan Mahmud Badaruddin II dan Konsolidasi Kekuasaan
Sultan Mahmud Badaruddin II naik takhta pada awal abad ke-19, dalam suasana politik yang mulai bergeser secara global dan regional. Dunia sedang berada dalam bayang-bayang konflik besar antara Prancis dan Inggris, yang ikut mengubah peta kekuasaan di Nusantara. VOC sendiri sudah dalam kondisi bangkrut dan dibubarkan secara resmi oleh pemerintah Belanda pada tahun 1799, meninggalkan warisan kolonial yang kini beralih ke tangan kekuasaan negara Belanda dan kemudian sementara diambil alih oleh Inggris.
Di tengah ketidakstabilan itu, Sultan Mahmud Badaruddin II mengkonsolidasikan kekuasaan dengan cepat dan efektif. Ia memperkuat kedudukan istana, memulihkan otoritas terhadap wilayah-wilayah pinggiran di sepanjang Sungai Musi, dan membangun ulang pertahanan kota. Sosoknya dikenal tegas, cakap dalam memimpin, dan sangat menolak dominasi asing atas pelabuhan dan perdagangan Kesultanan Palembang.
Dengan pengalaman panjang kerajaan ini dalam menghadapi kekuatan Eropa, Sultan Mahmud Badaruddin II memahami bahwa kemandirian politik harus dibarengi dengan kekuatan militer dan keteguhan diplomasi. Maka dari itu, ia melanjutkan garis perlawanan yang telah diwariskan oleh pendahulunya.
2. Inggris (East India Company) Menggantikan VOC Sementara di Sumatra
Ketika Belanda takluk kepada Prancis di Eropa, Inggris melalui East India Company (EIC) mengambil alih banyak wilayah kekuasaan Belanda di Asia Tenggara, termasuk beberapa bekas pos VOC di Sumatra. Hal ini terjadi dalam konteks Perang Napoleon, di mana Inggris berusaha mengamankan jalur dagang mereka dari kekuasaan sekutu Prancis (termasuk Belanda pada saat itu).
Di Palembang, Inggris menduduki posisi yang sebelumnya dikelola VOC. Meskipun awalnya pendekatan Inggris lebih lunak, mereka tetap membawa ambisi untuk mengontrol pelabuhan strategis, memperluas pengaruh dagang, dan menaklukkan pusat-pusat kekuasaan lokal. Hal ini bertentangan langsung dengan prinsip Sultan Mahmud Badaruddin II yang menolak intervensi asing dalam urusan dagang dan militer dalam negerinya.
Kondisi ini menciptakan ketegangan baru antara Kesultanan Palembang dan kekuatan kolonial yang kini berubah wajah—bukan lagi VOC, tetapi kekuatan kolonial Inggris yang jauh lebih terorganisir dan agresif.
3. Penolakan Kesultanan Palembang terhadap Kontrol Pelabuhan dan Hasil Bumi
Inggris menginginkan kontrol atas pelabuhan utama di Palembang dan hak eksklusif atas perdagangan lada, timah, dan hasil hutan lainnya. Mereka juga mulai mengintervensi sistem internal kerajaan, termasuk dalam urusan pengangkatan pejabat dan pengawasan peredaran senjata. Semua ini dipandang oleh Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai bentuk kolonialisme terselubung.
Sultan menolak keras permintaan Inggris dan menyatakan bahwa semua kegiatan dagang harus mengikuti hukum dan aturan Kesultanan, bukan hukum kolonial. Ia juga menolak keras kehadiran garnisun asing di wilayahnya, dan memperkuat pertahanan di sekitar Kuto Besak, istana sekaligus benteng utama Palembang.
Penolakan ini memicu kecurigaan dan ketegangan militer. Inggris menganggap Palembang sebagai ancaman terhadap rencana mereka menguasai seluruh pesisir timur Sumatra dan Selat Bangka yang kaya timah. Situasi pun memanas menuju konfrontasi terbuka.
4. Serangan terhadap Benteng Belanda-Inggris di Palembang (1811)
Menjelang akhir tahun 1811, ketegangan antara Kesultanan Palembang dan kekuatan kolonial memuncak. Sultan Mahmud Badaruddin II memerintahkan penyerangan terhadap benteng Belanda-Inggris yang masih berdiri di sekitar kawasan pelabuhan Palembang. Serangan ini merupakan tindakan pre-emptive (pendahuluan) untuk menggagalkan rencana Inggris mendirikan kontrol militer permanen di wilayah tersebut.
Pasukan Palembang yang terdiri dari tentara kerajaan, para hulubalang, serta sukarelawan rakyat, menyerbu dan menghancurkan posisi-posisi kolonial, menghancurkan gudang senjata, serta memutus jalur suplai logistik mereka. Serangan ini berhasil mengejutkan kekuatan kolonial, dan untuk sementara memaksa mereka mundur ke laut.
Aksi ini menjadi titik puncak perlawanan Palembang di bawah Sultan Mahmud Badaruddin II, dan menggemakan kembali semangat anti-kolonial yang telah hidup sejak masa sebelumnya.
5. Serangan Balasan Besar oleh Pasukan Inggris di bawah Letnan Kolonel Gillespie (1812)
Namun keberhasilan ini memancing reaksi besar dari Inggris. Pada pertengahan tahun 1812, mereka mengirim ekspedisi militer besar-besaran dari Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel Robert Rollo Gillespie, seorang perwira yang terkenal keras dan efektif.
Pasukan Inggris dilengkapi dengan artileri berat, kapal perang, dan marinir profesional, jauh lebih unggul dibanding pasukan lokal dari segi persenjataan dan teknologi. Gillespie menyusun rencana pengepungan menyeluruh, menyerang dari laut dan mendesak melalui Sungai Musi untuk langsung menuju jantung kota Palembang.
Pertempuran sengit pun terjadi di sekitar Kuto Besak dan sepanjang jalur sungai. Meskipun pasukan Palembang bertempur dengan gigih, perbedaan kekuatan militer sangat mencolok. Benteng utama akhirnya jatuh, dan pasukan Inggris berhasil menduduki sebagian besar wilayah kota.
6. Jatuhnya Benteng, Penarikan Mundur Sultan, dan Kehancuran Sebagian Kota
Dengan jatuhnya benteng utama dan masuknya pasukan Inggris ke pusat kota, Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa menarik diri ke pedalaman. Ia tidak menyerah, tetapi mundur untuk menyusun kembali kekuatan dari luar kota. Sementara itu, sebagian besar kota Palembang hancur, baik akibat pertempuran maupun aksi pembakaran oleh pasukan kolonial.
Setelah menguasai kota, Inggris menempatkan penguasa boneka yang lebih bersedia bekerja sama dengan mereka, serta membentuk struktur pemerintahan kolonial yang memperkuat dominasi mereka atas pelabuhan dan hasil bumi.
Peristiwa tahun 1812 ini menjadi titik balik sejarah Palembang. Kesultanan kehilangan kendali atas pusat kekuasaannya, dan meskipun sultan dan sisa pasukannya terus melakukan perlawanan dari luar kota, struktur pemerintahan lokal telah dipecah dan dikendalikan oleh kekuatan asing.
Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1811–1812 merupakan salah satu puncak perlawanan lokal terhadap kekuatan kolonial Eropa di Sumatra bagian selatan. Meski berakhir dengan kekalahan militer, perlawanan ini menjadi simbol keberanian, martabat, dan keteguhan mempertahankan kedaulatan dalam menghadapi tekanan global imperialisme yang kian menggila.
Taktik Perlawanan dan Strategi Kesultanan
1. Pertahanan Berbasis Benteng di Sungai Musi dan Anak-Anaknya
Kesultanan Palembang memanfaatkan keunggulan geografisnya untuk mengembangkan sistem pertahanan berbasis sungai dan benteng. Sungai Musi, bersama puluhan anak-anak sungainya seperti Sungai Ogan dan Komering, membentuk jaringan alami yang tidak hanya penting secara ekonomi tetapi juga secara strategis dalam pertahanan.
Benteng utama Kesultanan adalah Kuto Besak, yang dibangun dari batu bata dan kapur dengan desain arsitektur yang menggabungkan unsur lokal dan teknik militer tradisional. Letaknya di tepi Sungai Musi memungkinkan pasukan Palembang mengendalikan jalur pergerakan musuh dari laut ke darat. Selain itu, beberapa benteng kecil dan pos jaga dibangun di sepanjang sungai untuk memberikan peringatan dini dan memperlambat laju pasukan musuh.
Benteng-benteng ini bukan hanya struktur pertahanan, tetapi juga simbol kedaulatan, tempat berkumpulnya pasukan dan pusat koordinasi selama pertempuran. Strategi ini terbukti efektif menahan serangan awal VOC maupun Inggris, meskipun akhirnya runtuh oleh kekuatan teknologi militer modern yang dibawa kolonial.
2. Mobilisasi Rakyat dan Aliansi dengan Kelompok Bugis dan Pedagang Lokal
Kesultanan Palembang menyadari bahwa kekuatan militer reguler saja tidak cukup untuk menghadapi ancaman kolonial yang memiliki persenjataan dan logistik unggul. Oleh karena itu, strategi pertahanan kerajaan sangat bergantung pada mobilisasi rakyat dan pembentukan aliansi lokal.
Sultan Mahmud Badaruddin II secara aktif melibatkan masyarakat sipil, pemuda kampung, petani, nelayan, dan pedagang dalam pertahanan kota. Mereka diberi pelatihan dasar, senjata sederhana, dan peran dalam sistem komunikasi serta logistik perlawanan. Semangat bela negara yang dibangun berbasis keagamaan dan kehormatan lokal membuat rakyat terlibat bukan sebagai pasukan bayaran, tetapi sebagai pembela tanah air.
Selain itu, Kesultanan menjalin aliansi dengan kelompok Bugis, yang terkenal sebagai pelaut dan pejuang tangguh. Banyak dari mereka menjadi panglima atau prajurit dalam struktur militer Palembang. Para pedagang Tionghoa dan Melayu juga terlibat dalam penyediaan senjata, makanan, serta informasi intelijen tentang pergerakan musuh.
Aliansi lintas komunitas ini memperkuat jaringan perlawanan dan menciptakan rasa solidaritas lintas etnis dan profesi, yang menjadi kekuatan sosial tersendiri dalam menghadapi kolonialisme.
3. Serangan Kejutan terhadap Instalasi Dagang VOC
Salah satu strategi militer yang digunakan secara efektif oleh Kesultanan Palembang adalah serangan kejutan (raids) terhadap pos dagang, gudang logistik, dan instalasi militer VOC. Serangan dilakukan dengan taktik cepat dan tepat sasaran, sering kali pada malam hari atau saat kondisi cuaca menguntungkan.
Pasukan Palembang tidak mengandalkan pertempuran terbuka yang frontal, melainkan menggunakan taktik hit-and-run untuk merusak dan menghambat aktivitas dagang VOC. Serangan-serangan ini tidak hanya bersifat destruktif secara fisik, tetapi juga memberikan tekanan psikologis dan menimbulkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi pihak kolonial.
Tindakan ini memperlihatkan bahwa perlawanan Kesultanan tidak sekadar bersifat defensif, tetapi juga proaktif dalam menyerang jantung kelemahan ekonomi lawan.
4. Penggunaan Medan Rawa dan Sungai untuk Strategi Gerilya
Salah satu keunggulan besar Kesultanan Palembang adalah kemampuan mereka menguasai medan. Wilayah di sekitar Palembang penuh dengan rawa, sungai bercabang, dan hutan tropis, yang menjadi penghalang alami sekaligus alat strategis untuk perang gerilya.
Pasukan Palembang menggunakan perahu-perahu kecil (ketek, jukung, bidar) untuk bermanuver cepat di sungai-sungai sempit yang tak dikenal oleh pasukan kolonial. Mereka melakukan penyergapan, jebakan air, dan penguasaan jalur suplai, serta berpindah dengan cepat dari satu titik ke titik lain tanpa terdeteksi.
Sungai-sungai kecil menjadi jalur distribusi senjata, informasi, dan bahan makanan bagi pasukan yang bergerak secara tersembunyi. Saat kekuatan kolonial mencoba masuk ke pedalaman, mereka sering kali terjebak dalam medan berlumpur, serangan dari balik semak, dan rute yang menyesatkan.
Strategi ini memperlihatkan bagaimana keunggulan lokal dalam memahami medan mampu mengimbangi keterbatasan persenjataan dan jumlah pasukan. Gerilya sungai dan rawa menjadi senjata utama Palembang dalam memperpanjang perlawanan meskipun pusat kota telah jatuh.
Taktik dan strategi perlawanan yang dijalankan Kesultanan Palembang adalah contoh penting dari bagaimana kekuatan lokal Nusantara tidak pasrah pada kekuatan kolonial, tetapi justru mampu meresponsnya dengan pendekatan militer yang cerdas, adaptif, dan berbasis kearifan lokal.
Hasil Akhir dan Dampak
1. Palembang Berhasil Menolak VOC dalam Jangka Pendek (1659, 1811)
Kesultanan Palembang menunjukkan kapasitas perlawanan yang luar biasa terhadap kekuatan kolonial Eropa, khususnya VOC dan Inggris. Pada tahun 1659, ketika VOC berupaya mendirikan monopoli dagang dan pos militer di Palembang, sultan dan pasukannya berhasil menghancurkan loji dagang VOC dan memaksa mereka mundur. Ini menjadi salah satu momen langka ketika kekuatan lokal mampu mengusir langsung kekuatan kolonial bersenjata.
Begitu pula pada tahun 1811, ketika Sultan Mahmud Badaruddin II kembali menolak dominasi kolonial, Palembang sempat mengusir pasukan Belanda-Inggris dari kota dan menghancurkan instalasi mereka. Kedua peristiwa ini menunjukkan bahwa Kesultanan Palembang tidak hanya reaktif, tetapi juga mampu mengambil inisiatif militer untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Namun, kemenangan tersebut bersifat sementara, karena kekuatan kolonial tidak berhenti hanya karena satu kekalahan.
2. Namun pada 1812, Kekuasaan Kolonial Akhirnya Memaksa Pengunduran Sultan
Perlawanan gigih Sultan Mahmud Badaruddin II menghadapi batasnya ketika pada tahun 1812, pasukan Inggris di bawah Letkol Robert Gillespie melakukan serangan balasan besar-besaran. Dengan kekuatan artileri, pasukan marinir, dan armada sungai, mereka berhasil menaklukkan benteng pertahanan utama Palembang (Kuto Besak) dan menduduki pusat kota.
Sultan Mahmud Badaruddin II terpaksa mundur ke pedalaman, melanjutkan perlawanan dalam bentuk gerilya. Meskipun tidak menyerah secara resmi, ia kehilangan kendali atas ibu kota dan sistem pemerintahan formal.
Kekalahan ini menandai berakhirnya fase kedaulatan efektif Kesultanan Palembang, dan menjadi simbol betapa kekuatan kolonial yang terintegrasi secara global sulit dilawan dengan hanya kekuatan lokal tanpa dukungan internasional yang sepadan.
3. Inggris Menempatkan Penguasa Boneka, Melemahkan Kedaulatan Politik
Setelah menduduki Palembang, Inggris menempatkan penguasa baru yang lebih patuh terhadap kebijakan kolonial. Pemerintahan sultan yang independen secara politik digantikan oleh struktur kolonial yang mengontrol keputusan politik, hubungan luar negeri, dan sebagian besar urusan administrasi internal.
Penguasa boneka ini diangkat bukan melalui tradisi istana, melainkan berdasarkan kepentingan kolonial. Ini melemahkan legitimasi politik tradisional, memecah kesetiaan internal dalam istana, dan menciptakan jurang antara elite lama dan sistem kolonial baru.
Masyarakat Palembang pun mulai mengalami fragmentasi sosial dan kultural, akibat penggantian simbol-simbol kekuasaan lokal dengan struktur kekuasaan kolonial yang asing secara budaya, hukum, dan nilai.
4. Kehilangan Kendali atas Ekonomi Lada dan Pelabuhan
Salah satu dampak paling nyata dari kekalahan militer Palembang adalah hilangnya kendali atas ekonomi lokal, khususnya pada komoditas utama seperti lada, serta atas pelabuhan dan jalur distribusi Sungai Musi. Inggris dan kemudian Belanda mengambil alih sistem pemungutan hasil bumi dan perdagangan internasional, mengganti sistem bebas kerajaan dengan sistem dagang monopoli dan kontrol harga.
Kawasan pelabuhan yang sebelumnya menjadi titik konektivitas regional berubah menjadi pos kolonial, di mana kapal-kapal asing bebas masuk tanpa kendali penuh dari pihak kerajaan. Para pedagang lokal, termasuk Bugis dan Tionghoa, mulai dikenai pembatasan, pajak tinggi, atau dipaksa menjual hanya kepada pihak kolonial.
Dampak ekonomi ini berujung pada kemunduran kesejahteraan rakyat Palembang, hilangnya lapangan kerja tradisional, serta meningkatnya ketimpangan sosial di bawah sistem kolonial yang meminggirkan kepentingan lokal demi akumulasi modal kolonial.
5. Awal dari Kontrol Kolonial Penuh atas Sumatra Bagian Selatan
Kekalahan Palembang menandai dimulainya babak baru kolonialisme langsung di Sumatra bagian selatan. Jika sebelumnya VOC hanya memiliki pengaruh terbatas di wilayah ini, maka sejak 1812, Inggris dan kemudian Belanda berhasil menancapkan kontrol administratif dan militer secara penuh.
Palembang, yang dulunya menjadi kekuatan regional dengan kebijakan luar negeri dan militernya sendiri, berubah menjadi wilayah taklukan kolonial, bagian dari sistem kontrol yang lebih besar di bawah Hindia Belanda. Hal ini membuka jalan bagi penjajahan Sumatra Selatan selama lebih dari satu abad berikutnya.
Perlawanan heroik yang terjadi selama dua abad—dari 1659 hingga 1812—akhirnya berakhir dengan pendudukan dan asimilasi paksa ke dalam sistem kolonial. Namun demikian, memori tentang perlawanan ini tidak hilang. Ia menjadi sumber inspirasi gerakan kemerdekaan di kemudian hari, dan nama Sultan Mahmud Badaruddin II tetap dikenang sebagai salah satu tokoh besar dalam sejarah perjuangan anti-kolonial Nusantara.
Warisan Sejarah
1. Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai Simbol Perjuangan Sumatra Selatan
Sultan Mahmud Badaruddin II tidak hanya dikenang sebagai raja Palembang terakhir yang memimpin perlawanan terbuka melawan kekuatan kolonial, tetapi juga sebagai simbol perjuangan dan keteguhan Sumatra bagian selatan dalam mempertahankan kedaulatan dan martabat bangsanya. Sikapnya yang tegas menolak dominasi ekonomi dan intervensi militer asing menjadikannya figur yang dihormati, tidak hanya di Palembang, tetapi juga di seluruh wilayah Sumatra dan Nusantara secara umum.
Melalui keteguhannya, Sultan Mahmud Badaruddin II menginspirasi generasi berikutnya, termasuk para pemimpin pergerakan nasional, bahwa perlawanan terhadap kolonialisme bukan hanya mungkin, tetapi juga harus dilakukan dengan kehormatan dan harga diri.
2. Perlawanan Palembang Memperlihatkan Dinamika Perlawanan Lokal terhadap Kolonialisme yang Adaptif
Perlawanan Kesultanan Palembang bukanlah bentuk oposisi yang kaku, melainkan diperankan secara adaptif dan kontekstual. Di satu sisi, mereka membangun benteng dan pasukan, di sisi lain menggalang diplomasi dan koalisi lintas etnis dan agama. Ini mencerminkan bahwa strategi perlawanan lokal tidaklah sederhana atau terbelakang, melainkan sarat kalkulasi politik dan militer.
Kesultanan mampu memanfaatkan geografi, kearifan sosial, jaringan dagang, serta solidaritas rakyat dalam membangun sistem perlawanan yang tahan lama. Ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara memiliki kemampuan strategis yang sebanding dengan kekuatan kolonial, meski akhirnya kalah oleh superioritas logistik dan teknologi modern dari Eropa.
3. Jejak Arsitektur Benteng, Senjata, dan Naskah Sejarah Palembang sebagai Sumber Penting
Salah satu warisan yang masih tersisa dari masa perlawanan adalah jejak material dan intelektual dari Kesultanan Palembang. Benteng Kuto Besak, meski tak lagi menjadi markas militer kesultanan, masih berdiri sebagai saksi bisu dari perlawanan berskala besar yang pernah terjadi.
Selain itu, koleksi senjata lokal—seperti tombak, senapan lontak, meriam buatan pandai besi istana—dan naskah-naskah sejarah dalam aksara Jawi dan Arab Melayu menjadi sumber penting bagi studi sejarah militer dan politik Sumatra.
Jejak ini menjadi bukti bahwa perlawanan bukanlah dongeng atau legenda, melainkan bagian dari realitas historis yang terdokumentasi dengan baik dan masih dapat ditelusuri hingga kini.
4. Nama Sultan Mahmud Badaruddin II Diabadikan dalam Berbagai Institusi dan Bandara
Sebagai penghargaan atas perjuangannya, nama Sultan Mahmud Badaruddin II telah diabadikan dalam berbagai bentuk: mulai dari Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin II di Palembang, hingga monumen, nama jalan, sekolah, museum, dan institusi kebudayaan.
Pengabadian ini tidak hanya sekadar mengenang, tetapi juga menegaskan bahwa nilai perjuangan dan nasionalisme lokal merupakan bagian integral dari identitas bangsa Indonesia. Ia menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini, serta pengingat bahwa sejarah tidak dibangun di atas kompromi terhadap penjajahan.
5. Perlawanan Ini Memberi Pelajaran tentang Pentingnya Strategi Lokal dan Perlawanan Terorganisir dalam Menghadapi Hegemoni Global
Dari sudut pandang sejarah strategis, perlawanan Palembang mengajarkan bahwa kekuatan lokal yang terorganisir, memahami medan, memobilisasi masyarakat, dan menjalin aliansi luas memiliki peluang untuk bertahan bahkan melawan kekuatan global sekalipun.
Meski kalah secara militer, perjuangan Kesultanan Palembang menunda dominasi kolonial langsung selama puluhan tahun, memberikan waktu dan ruang bagi rakyat untuk membangun kesadaran akan pentingnya kedaulatan. Perlawanan ini juga memperlihatkan bahwa hegemoni global tidak selalu menang mutlak—ada ruang perlawanan, negosiasi, bahkan inspirasi.
Warisan sejarah Kesultanan Palembang bukan hanya tentang kekalahan atau kehancuran, tetapi juga tentang dignitas, daya tahan, dan warisan perlawanan yang tak lekang oleh waktu. Dalam narasi besar sejarah Nusantara, Palembang menegaskan bahwa perjuangan lokal merupakan bagian vital dalam mosaik pembentukan kesadaran nasional Indonesia.