Perang Majapahit melawan Kerajaan Bali pada tahun 1343 M. Latar belakang politik ekspansi Majapahit, peran Gajah Mada dalam mengirim ekspedisi ke Bali, perlawanan raja-raja Bali seperti Sri Astasura Ratnabumi Banten, hingga dampak penaklukan Bali terhadap struktur kekuasaan dan budaya lokal.
Latar Belakang Ekspansi Majapahit
Pada abad ke-14, Kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi (dan selanjutnya putranya, Hayam Wuruk) sebagai penguasa sah, serta Mahapatih Gajah Mada sebagai pemegang kekuasaan militer. Gajah Mada terkenal dengan Sumpah Palapa, yaitu tekadnya untuk tidak “beramal kepah” (menikmati kenikmatan) sebelum menyatukan seluruh Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit. Sumpah ini diucapkannya setelah berangkat dalam ekspedisi Pamalayu dan dipahami sebagai visi membangun kemaharajaan yang meliputi Jawa, Sumatera, Kalimantan, hingga wilayah timur seperti Bali dan Maluku. Sejarawan Slamet Muljana menegaskan bahwa Bali, sebagai pulau terdekat dari Jawa, memang menjadi target pertama penyerbuan Majapahit ke luar Jawa setelah Sumpah Palapa tersebut. Menurutnya, sejak Gajah Mada diangkat sebagai Patih Amangkubhumi (1334 M), rencana perluasan kerajaan baru dijalankan secara nyata mulai tahun 1343 M dengan penundukan Bali. Sebelumnya Majapahit baru menguasai Jawa Timur dan Madura saja, serta baru meluaskan wilayah ke pesisir Jawa (Sadeng, Keta) pada awal 1330-an. Dengan terpusatnya kekuatan penuh Majapahit di era Hayam Wuruk, langkah menyatukan nusantara melalui penaklukan kekuasaan lokal pun diintensifkan. Bali, yang sejak masa Dinasti Warmadewa (prasasti Blanjong 914 M) memiliki tradisi kerajaan tersendiri, lalu menjadi sasaran ekspansi ini.
Negarakretagama (kakawin pujian era Majapahit) dan sumber-sumber tradisional Bali (Babad) sepakat bahwa ekspedisi militer Majapahit menyerbu Bali terjadi pada Saka 1265 atau tahun 1343 M. Dalam literatur Jawa maupun lontar Bali disebutkan Gajah Mada memimpin langsung angkatan perang Majapahit, didampingi Wakil Patih Arya Damar (dan sejumlah perwira arya lainnya), menyerbu Kerajaan Bedahulu di Bali utara. Sebelum mendarat di Bedulu (kini Gianyar), pasukan Majapahit terlebih dahulu menetralisir dua tokoh militer Bali: Patih Kebo Iwa dan Patih Agung Ki Pasunggrigis, yang diakui sebagai benteng pertahanan terakhir kerajaan Bedahulu. Karo Blanjong dan prasasti-prasasti Bedahulu bahkan menyebut Sri Astasura Ratna Bhumi Banten sebagai raja Bali terakhir dari dinasti Warmadewa yang berkuasa sekitar 1337 M. Astasura (dikenal pula sebagai Dalem Bedahulu) dikenal bijaksana oleh sumber lokal, tetapi dalam Negarakretagama ia dicap “raja yang hina dan nista” karena menentang Majapahit. Situasi ini memicu latihan tempur lengkap Majapahit, sebagai realisasi sumpah menyatukan seluruh Pulau Dewata ke dalam wilayah kekuasaan Majapahit.
Penyerbuan dan Pertempuran di Bali (1343 M)
Pada tahun 1343 M, armada Majapahit menyeberang Selat Bali menuju pulau Bali. Menurut sumber tradisi Jawa, ada beberapa titik pendaratan dan serbuan simultan. Gajah Mada memimpin induk pasukan yang mendarat di pesisir timur Bali, sementara Arya Damar bersama 20.000 prajurit dari Palembang mendarat di pesisir utara. Pasukan dari daerah Jawa Barat (dipimpin Adipati Takung) mendarat di barat Bali, dan enam perwira Majapahit (termasuk Arya Kenceng, Arya Sentong, Arya Bleteng, Arya Belog, Arya Pengalasan, Arya Kanuruhan) mendarat di selatan pulau. Tujuan utamanya adalah benteng kekuasaan Sri Astasura di Bedahulu (Gianyar).
Pertempuran besar pun terjadi di Bedahulu. Pasukan Majapahit menyerang dari berbagai arah, sedangkan pasukan Bali dibawah pimpinan Dalem Bedahulu dan Patih Agung Ki Pasunggrigis mencoba bertahan. Rakyat Bali tampaknya terbagi dukungan – banyak penduduk yang muak dengan kebijakan Astasura dan bersimpati kepada Majapahit. Dalam kondisi kacau tersebut, Patih Kebo Iwa (panglima andalan Bali) tewas lebih dulu di tangan Majapahit. Menyusul itu, pasukan Majapahit yang dipimpin Gajah Mada bersama Arya Damar menerobos pertahanan Bedulu. “Raja Bali yang hina dan jahat diperangi bala tentara Majapahit dan semua binasa,” demikian yang dicatat Mpu Prapanca dalam Kakawin Negarakretagama tentang nasib raja Astasura. Sesudah perang sengit, Astasura dan putranya tewas di medan laga, sehingga tidak ada lagi penguasa tunggal di Bali. Patih Agung Ki Pasunggrigis yang menggantikan pemerintahan Bedahulu akhirnya menyerah di desa Tengkulak, mengakui kekalahan dan dibawa ke Majapahit. Dengan demikian, Bali benar-benar berada di bawah kekuasaan Majapahit.
Penguasa Bali Saat Itu dan Bentuk Perlawanan
Kerajaan Bali Bedahulu (Dinasti Warmadewa) saat itu dipimpin oleh Sri Astasura Ratna Bhumi Banten. Ia menjabat raja merdekasejak wafatnya Jayapangus (sekitar 1330-an) dan dibantu Patih Kebo Iwa dan Patih Agung Ki Pasunggrigis. Menurut prasasti Patapan Langgahan (1337 M) Sri Astasura adalah raja termuda dari keluarga dinasti Warmadewa. Dalam kitab-kitab sejarah Bali (Babad Dalem), Sri Astasura digambarkan sebagai penguasa yang memisahkan dirinya dari Majapahit. Ketidaksanggupan Astasura untuk tunduk kepada Majapahit dipandang sebagai punca permusuhan. Pada gilirannya, terjadi perlawanan gigih dari pihak Bali, khususnya pedukuhan Bali Aga (penduduk asli pegunungan) yang sempat melakukan pemberontakan setelah penaklukan utama 1343. Sumber tradisional mencatat bahwa Bali Aga (dipimpin Ki Tunjung, Ki Pasung Giri, dsb.) bangkit menentang kekuasaan Jawa pada 1345–1347 M, memaksa Majapahit mengirim ekspedisi tambahan demi mengamankan pulau. Namun dalam pertempuran 1343, perlawanan utama datang dari Kebo Iwa dan Ki Pasunggrigis. Kekalahan dan kematian para pemimpin militer Bali ini, serta rendahnya dukungan rakyat kepada Astasura, membuat perlawanan Bali mudah dipatahkan.
Integrasi Bali ke Kekuasaan Majapahit
Setelah berhasil menundukkan kerajaan Bedahulu, Majapahit langsung mengambil alih pemerintahan Bali dengan penempatan orang-orang terpilih dari Jawa. Gajah Mada bahkan mengangkat seorang bangsawan Jawa bernama Sri Aji Kresna Kepakisan (keturunan Brahmana Majapahit) untuk menjadi Adipati atau raja bawahan di Bali. Sekalipun belum dikorbankan sebagai penguasa tunggal, Sri Kresna mulai memegang posisi tinggi di Samprangan (pusat militer Majapahit di Bedahulu lama). Di samping itu, Majapahit menempatkan sejumlah arya (mantan perwira Jawa) sebagai kepala daerah (setara adipati kecil) di wilayah-wilayah strategis Bali. Misalnya, Arya Kenceng ditunjuk memerintah Tabanan di selatan, Arya Sentong di Pacung (barat DPsar), Arya Belog di Kaba-Kaba (Gianyar), dan Arya Kutawaringin di Gelgel (Klungkung). Dengan pengangkatan para arya ini, Majapahit membentuk “kelas bangsawan baru” di Bali yang loyal kepada pusat. Pembagian wilayah dan tata pemerintahan Bali pada masa itu dilakukan langsung di bawah kendali Majapahit pusat. Sebagai catatan, sebagian tokoh arya lain juga disebut-sebut (seperti Arya Kiyayi di Besakih, Arya Dalancang di Kapal, dsb.), namun yang utama dalam sumber-sumber tertulis adalah nama-nama di atas.
Pada masa pasca-kekalahan tersebut, sistem administrasi Bali turut berubah. Gelar raja tradisional digantikan dengan titel bawahan Majapahit (contohnya Adipati atau Dalem untuk Sri Kresna, Patih dan Arya untuk para wakilnya). Pemerintahan dibentuk ala Jawa dengan majelis penasihat (terinspirasi wakil panglima dan brahmana Majapahit), serta sistem pembagian daerah langsung di bawah Majapahit. Mpu Prapanca, penulis Negarakretagama, dengan tegas mencatat bahwa penaklukan Bali terjadi dan penguasa Bali lalu dianggap durhaka, menunjukkan perubahan signifikan struktur kekuasaan. Selain itu, keberhasilan Majapahit di Bali juga didokumentasikan oleh Babad-Babad Bali (misalnya Babad Dalem, Babad Arya Tabanan, Babad Arya Kutawaringin) yang menggambarkan penempatan penguasa baru di Samprangan oleh Gajah Mada. Dengan demikian, Bali resmi menjadi wilayah bawahan Majapahit setelah 1343 M.
Dampak Militer, Budaya, dan Administratif Penaklukan Bali
Penaklukan Bali oleh Majapahit pada 1343 membawa dampak luas bagi pulau tersebut. Dari sisi militer, kekalahan Bedahulu dan pendudukan Majapahit mengakhiri status Bali sebagai kerajaan merdeka yang pernah kuat. Bali lantas dijaga oleh pasukan Majapahit dan tokoh arya yang ditugaskan, sehingga ancaman militer eksternal berkurang. Selama beberapa dekade berikutnya, Bali tetap dalam pengaruh Majapahit meskipun sempat ada pemberontakan lokal (pemberontakan Bali Aga 1345–1347 M) yang pada akhirnya dipadamkan. Keberadaan tentara dan utusan Jawa di Bali juga menandakan bahwa Majapahit menganggap pulau ini penting untuk pertahanan nusantara timur. Penaklukan ini sekaligus memperluas “lapangan operasi” Majapahit ke seluruh nusantara, memenuhi Sumpah Palapa untuk mengamankan Bali dari jalur laut selatan.
Dari sisi budaya, pengaruh Majapahit menjadi sangat terasa di Bali. Para bangsawan Jawa yang ditempatkan membawa tradisi Jawa ke Bali. Misalnya, struktur keagamaan Bali banyak dipengaruhi ritual Majapahit. Bukti nyata adalah diperkenalkannya upacara tertentu dalam ajaran Hindu yang dibawa Majapahit. Babad Tabanan mencatat bahwa Arya Kenceng (sepupu penguasa Bali) memperoleh hak khusus melaksanakan upacara Jawa seperti Bandusa, Nagabanda, dan Bade bertingkat sebelas — upacara kremasi raja yang khas Majapahit. Tradisi upacara ini masih dipelihara sampai sekarang di Bali. Selain itu, arsitektur pura dan candi mengalami akulturasi Jawa-Bali. Contohnya, Pura Maospahit di Denpasar dibangun dengan gaya Majapahit (seperti candi-candi di Jawa Timur) sebagai warisan arsitektur pascamerger sebagai pusat pemerintahan baru. Pergeseran pusat pemerintahan ke Gelgel juga menghasilkan Pura Dalem sebagai salah satu pura besar dengan gaya Jawa Majapahit. Pembauran budaya Jawa ini melengkapi ciri khas Bali yang menyerap elemen Majapahit (misalnya penggunaan bahasa sastra Jawa Kuno dalam lontar ritual tertentu, kesenian wayang dan gamelan, serta sistem adat terstruktur ala Jawa) walau tetap mempertahankan akar lokal Bali.
Secara administratif, Majapahit memperkenalkan sistem pemerintahan terpusat yang lebih kompleks di Bali. Penguasa lokal harus mengandalkan struktur aristokrasi baru dari Jawa sebagai pilar pemerintahannya. Pendirian kantor pusat pemerintahan di Samprangan oleh Sri Kresna Kepakisan adalah contoh langsung pengaruh Majapahit. Dalam sistem ini, Balai Dewan Penasihat (pakaran-kiran) dipimpin oleh arya-arunawa (jabatan adat) yang diresmikan oleh Majapahit. Arus kekuasaan bersifat vertikal sesuai pola Majapahit: raja (adipati) di Samprangan memerintahkan arya-arya di bawahnya. Ciri lain seperti pembagian desa menjadi desa adat (dihadiri pemangku, prajuru) dan wewenang kepala desa (jro hio, jero patih), meski berakar lokal, kian dilembagakan dengan model Jawa.
Sekalipun begitu, Majapahit juga menggunakan pendekatan diplomasi. Sri Kresna Kepakisan dikirim ke Bali dengan legitimasi bahwa ia masih memiliki darah Bali Aga. Hal ini bertujuan meredam resistensi penduduk asli. Namun dalam prakteknya, raja-raja selanjutnya di Bali (Samprangan dan seterusnya) adalah keturunan Jawa Brahmana (Kresna Kepakisan dan keturunannya) yang menikah dengan kalangan lokal. Administrasi Majapahit secara keseluruhan meninggalkan jejak berupa istilah-istilah baru di Bali, seperti Dalem (untuk raja kerajaan Klungkung nantinya), Dewa Agung, dan berbagai gelar seni kecil di istana. Singkatnya, penaklukan ini menyatukan Bali ke dalam tata-negara Majapahit dan menciptakan fondasi baru pemerintahan yang bercampur adat Jawa dan Bali.
Warisan Majapahit dalam Pemerintahan Bali Sesudahnya
Penaklukan Majapahit 1343 meninggalkan warisan jangka panjang dalam struktur politik Bali. Setelah Majapahit runtuh (1527 M), pemerintahan di Bali tetap diwariskan melalui dinasti-dinasti keturunan Jawa-Majapahit. Raja pertama pasca-penaklukan, Sri Aji Kresna Kepakisan, dianggap sebagai pendiri Dinasti Kepakisan di Samprangan (penerusnya dikenal sebagai Dinasti Gelgel). Ayahnya, Sri Soma Kepakisan, adalah brahmana Majapahit, sehingga kedekatan darah inilah yang digunakan Majapahit untuk mengangkat Kresna di Bali. Setelah Sri Kresna dan putranya (Dalem Samprangan) wafat, kekuasaan bergeser ke Gelgel, lalu ke Klungkung sekitar abad ke-17. Gelgel dan Klungkung memang terus menobatkan penguasa bergelar Dalem (penerus gelar Majapahit), hingga akhir abad ke-19.
Salah satu penguasa lokal yang paling menonjol sebagai warisan Majapahit adalah Arya Kenceng di Tabanan. Ia adalah arya Jawa yang ditempatkan dan menikah dengan putri Majapahit, sehingga menantu dan ipar raja Bali. Babad Tabanan dan catatan Belanda menggambarkan Arya Kenceng sebagai pemimpin yang bijaksana; Majapahit bahkan memberinya hak khusus untuk menetapkan hukuman dan melaksanakan upacara kebesaran (termasuk kremasi Bade sebelas tingkat) yang biasanya diperuntukkan raja. Gelar Nararya Anglurah Tabanan (setingkat adipati) yang disandang Arya Kenceng, serta keberlangsungannya menjadi garis keturunan prabu Tabanan, adalah contohnya. Dengan demikian, sistem monarki Bali baru lahir dari garis keturunan Majapahit – seperti Ayu Gerang, Arya Ngurah Tabanan, dan seterusnya.
Warisan dinasti Majapahit terlihat pula pada pengaturan desa dan gelar bangsawan Bali setelahnya. Banyak pura samprangan atau istana pura di Bali didirikan oleh keturunan Majapahit. Di sisi ekonomi, sistem perkebunan masyarakat Bali (subak) tetap berjalan, namun kepemilikan tanah mulai melibatkan bangsawan baru berkaitan dengan pembagian wilayah Majapahit. Sementara itu, budaya lisan Bali yang mengenang zaman Majapahit tetap lestari lewat Babad dan cerita rakyat. Secara keseluruhan, Bali pascapenaklukan Majapahit menjadi perpaduan unik ajaran Hindu Bali asli dengan perangkat pemerintahan Jawa. Meski Majapahit secara politik berakhir pada pertengahan abad ke-16, warisannya—dalam istilah Sejarah Nagarakretagama—menjadi “kendali pemerintahan” di Bali yang masih terasa hingga generasi berikutnya.
📚 DAFTAR REFERENSI
🔸 Sumber Primer dan Naskah Kuno
- Negarakretagama – Mpu Prapanca (1365 M). Kakawin istana Majapahit yang mencatat ekspedisi ke Bali, transliterasi dan terjemahan oleh Pigeaud (1960).
- Kidung Harsawijaya – Naskah kidung Jawa yang menyebut ekspedisi Majapahit ke Bali dan peran Gajah Mada.
- Babad Dalem – Lontar sejarah tradisional Bali yang mencatat jatuhnya Kerajaan Bedahulu dan pendirian pemerintahan Sri Kresna Kepakisan.
- Babad Arya Tabanan, Babad Arya Kutawaringin, Babad Pasek – Lontar-lontar silsilah bangsawan Bali pasca-Majapahit.
- Prasasti Patapan Langgahan (1337 M) – Menyebut nama Sri Astasura Ratna Bhumi Banten sebagai raja Bedahulu sebelum penaklukan.
- Prasasti Blanjong (914 M) – Referensi asal mula dinasti Warmadewa sebagai leluhur kerajaan Bedahulu.
🔸 Buku & Karya Akademik
- Muljana, Slamet. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS, 2005.
- Zoetmulder, P. J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan, 1974.
- Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
- Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia since c.1200. Palgrave Macmillan, 2001.
- Geertz, Clifford. Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton University Press, 1980.
- Runa, Ida Bagus. Babad Bali dan Interpretasi Sejarah Lokal. Denpasar: Udayana Press, 1995.
🔸 Artikel Ilmiah & Kajian Modern
- Cœdès, George. The Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: University of Hawaii Press, 1968.
- Wirawan, I Nyoman. “Sistem Pemerintahan Bali Kuno dalam Lontar Babad Dalem.” Jurnal Humaniora UGM, Vol. 23 No. 2, 2011.
- Pigeaud, Theodore G. Th. Java in the 14th Century: A Study in Cultural History. The Hague: Martinus Nijhoff, 1960.
🔸 Artikel & Ensiklopedia Populer
- Wikipedia Bahasa Indonesia:
- Kompas.com – Artikel “Ekspedisi Gajah Mada ke Bali”, 2020.
- Historia.id – “Bali dalam Bayang-Bayang Majapahit”, 2021.