Perang Majapahit Dan Kerajaan Sunda (Perang Bubat)

SejarahPerang Bubat (1357 M), yaitu konflik berdarah antara Majapahit dan Kerajaan Sunda yang bermula dari insiden diplomatik saat rencana pernikahan Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka. Tulisan akan mencakup latar belakang politik, peran Gajah Mada, kronologi tragedi Bubat, serta dampaknya terhadap hubungan antar kerajaan dan identitas budaya masing-masing.

Latar Belakang Politik dan Perjodohan Majapahit–Sunda

Pada pertengahan abad ke-14, dua kerajaan besar bersisian di Pulau Jawa: Majapahit di Jawa Timur dan Sunda–Galuh di Jawa Barat. Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk (berkuasa 1350–1389 M) sedang mencapai puncak kejayaannya, menguasai sebagian besar Jawa dan luar Jawa. Sementara itu Sunda dipimpin Maharaja Linggabuana (pada sumber Sunda sering disebut sebagai Prabu Lingga Buana), yang berkuasa di pusat Pajajaran (sekarang Bogor dan sekitarnya). Hubungan antara kedua kerajaan sesungguhnya pernah hangat; ada mitos tradisional bahwa Raden Wijaya, pendiri Majapahit, pernah menikahi putri Sunda, walaupun kebenarannya diperselisihkan. Dalam situasi politik itu, muncul niat untuk mengukuhkan persaudaraan lewat pernikahan.

Rencana pernikahan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi – putri Linggabuana – muncul dari inisiatif Hayam Wuruk sendiri. Ia dikisahkan menuruti kabar tentang kecantikan Pitaloka yang sudah tersohor seantero Jawa. Untuk mencari calon permaisuri, Hayam Wuruk mengutus beberapa pelukis keliling kerajaan bawahan dan tetangga, dengan harapan menemukan putri cantik untuk dijadikan istri. Seorang pelukis istana, Sungging Prabangkara, pun dikirim ke Sunda untuk melukis wajah Pitaloka. Lukisan sang putri tersebut membuat Hayam Wuruk jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan restu keluarga keraton Majapahit, Hayam Wuruk kemudian mengirim utusan bernama Madhu ke Pasundan menyampaikan lamaran tersebut. Selain itu, utusan itu membawa undangan agar seluruh keluarga dan bangsawan istana Sunda datang ke Majapahit untuk merayakan pernikahan. Maharaja Linggabuana pun menyetujui lamaran ini demi mempererat ikatan persahabatan dan kekerabatan antar kedua kerajaan, serta menjaga martabat kejayaan kedua wangsa besar itu.

Kepentingan Mahapatih Gajah Mada dan Konflik yang Muncul

Meskipun perjodohan ini sebenarnya dimaksudkan sebagai aliansi setara, Mahapatih Gajah Mada – perdana menteri sekaligus panglima besar Majapahit – melihat peluang tersendiri. Gajah Mada dikenal dengan Sumpah Palapanya yang sakral: mempersatukan nusantara di bawah Majapahit. Dalam pandangan Gajah Mada, kedatangan raja dan putri Sunda ke Majapahit bukan sekadar kunjungan persahabatan, tetapi harus dianggap sebagai penyerahan diri. Menurut sejarawan Agus Aris Mundandar, “Bubat bisa dianggap sebagai titik balik karier Mahapatih Gajah Mada. Ketika Sumpah Palapanya hampir sempurna dibuktikan, Gajah Mada justru menggagalkannya sendiri”.

Ketika rombongan Sunda berlayar menuju Majapahit, rombongan itu justru membawa armada Jong Mongol – kapal besar yang biasa dipakai untuk angkatan laut pasukan Dinasti Ming (Yuan), musuh lama Majapahit. Hal ini menimbulkan kecurigaan mendalam di pihak Majapahit. Begitu tiba di pesanggrahan Lapangan Bubat (utara Trowulan, ibu kota Majapahit), Linggabuana dan Pitaloka beserta rombongan diterima namun justru menunggu sambutan resmi dari Raja Majapahit. Menurut beberapa naskah (misalnya Kidung Sunda), Hayam Wuruk sebenarnya bersikap terbuka menerima kunjungan, namun Gajah Mada melarang penyambutan yang biasa diadakan untuk tamu agung, dengan alasan hal itu menghina martabat Majapahit. Keadaan mulai memanas ketika Gajah Mada menyatakan bahwa kedatangan putri Sunda bukan untuk menikah, melainkan sebagai tanda penyerahan kekuasaan Sunda. Dia menuntut agar Pitaloka diserahkan kepada Majapahit sebagai upeti, bukan sebagai calon ratu.

Tindakan ini dianggap sangat menghina oleh rombongan Sunda. Maharaja Linggabuana, yang datang dengan niat menjalin pernikahan setara, menolak menganggap putrinya sebagai upeti. Dyah Pitaloka, sendiri dikenal memiliki kebijaksanaan dan kehormatan tinggi, juga menolak diperlakukan sebagai tanda penyerahan kekuasaan. Penolakan keras ini membuat situasi tidak lagi dapat didamaikan. Gajah Mada menggerakkan pasukan Majapahit (termasuk unit Bhayangkara) mengepung kediaman sementara rombongan Sunda di Bubat. Konfrontasi pun tak terelakkan.

Kronologi Tragedi di Lapangan Bubat

Berikut urutan kronologis peristiwa Perang Bubat berdasarkan sumber-sumber yang ada:

  • Kedatangan dan penempatan rombongan Sunda. Menjelang tahun 1357 M, Sang Raja Linggabuana beserta istri dan putri tercinta Dyah Pitaloka Citraresmi, beserta para patih dan beberapa prajurit pengawal, tiba di alun-alun pesanggrahan Bubat untuk pelaksanaan pernikahan. Mereka membawa persembahan dan hadiah sebagai tanda penghormatan. Rombongan ini awalnya disambut dengan baik; Istana Majapahit menyediakan tempat peristirahatan di Lapangan Bubat, lapangan terbuka luas di utara kota.
  • Tuntutan Gajah Mada. Tak lama setelah itu, Gajah Mada mengajukan tuntutan kontroversial: alih-alih memperlakukan Pitaloka sebagai calon permaisuri, Pitaloka harus diakui sebagai penyerahan kekuasaan Sunda kepada Majapahit. Hal ini berarti Pitaloka dianggap simbol penyerahan diri, bukan istri yang setara bagi raja Jawa. Gajah Mada bahkan melarang Hayam Wuruk menyambut rombongan dengan upacara meriah, karena menurutnya sambutan agung justru merendahkan martabat Majapahit.
  • Penolakan dan negosiasi gagal. Maharaja Linggabuana marah atas tuntutan itu. Ia menegaskan bahwa tujuan kedatangannya murni untuk pernikahan yang bermartabat, bukan penaklukan. Dyah Pitaloka pun menolak diklaim sebagai tanda penyerahan. Kesalahpahaman ini memperburuk suasana. Menurut manuskrip kuno Kidung Sunda, terjadi upaya perundingan yang kisruh, sampai rombongan Sunda merasa dikhianati.
  • Pecahnya perang di Bubat (1357 M). Karena negosiasi memanas dan tak ada titik temu, Gajah Mada memutuskan menggunakan kekerasan. Ia memerintahkan pasukan Majapahit menyerbu rombongan kecil Sunda yang tidak siap berperang. Pertempuran di alun-alun Bubat pun terjadi dengan sangat tragis. Rombongan Sunda, yang hanya didampingi pasukan kehormatan kecil (sekitar beberapa ratus prajurit), terdesak oleh kekuatan besar Majapahit. Sesuai naskah Kidung Sunda, pertempuran berlangsung cepat dan brutal: hampir seluruh bangsawan, patih, dan prajurit Sunda gugur di medan pertempuran.
    • Akhir para pemimpin Sunda: Prabu Linggabuana tewas terbunuh di medan laga. Menteri-menteri tinggi dan seluruh pasukan laki-laki ikut gugur dalam pembantaian.
    • Keberanian Dyah Pitaloka: Setelah pasukan ayahnya kalah dan semuanya tewas, Dyah Pitaloka melakukan bela pati – bunuh diri demi kehormatan – agar kehormatan keluarga kerajaan Sunda terjaga. Tindakan ini sesuai tradisi ksatriya, di mana seorang putri istana menceburkan diri ketimbang hidup hina setelah suaminya (atau pihaknya) kalah perang. Kidung Sunda menggambarkan Pitaloka memilih mati demi menjunjung harkat diri.
    • Kesedihan Hayam Wuruk: Raja Hayam Wuruk yang sedianya datang untuk acara pernikahan terpaksa terlambat mengetahui kejadian ini. Ketika tiba di Bubat, yang ditemuinya hanyalah puing kehancuran dan jenazah para anggota rombongan Sunda. Hayam Wuruk amat berduka atas kematian sang putri dan penderitaan kerajaannya. Ia menangis dan menyesali tragedi yang telah terjadi, termasuk merenungi cinta yang hilang.

Bentrokan berdarah ini dikenal sebagai Perang Bubat (Pasunda Bubat), yang terjadi pada tahun 1279 Saka (1357 M) di alun-alun Bubat, utara Trowulan (ibu kota Majapahit). Menurut catatan tradisional, hampir seluruh rombongan Sunda tewas, termasuk Dyah Pitaloka yang bunuh diri. Peristiwa ini menandai kegagalan total upaya aliansi pernikahan Majapahit–Sunda.

Kehancuran Aliansi dan Dampak Politik

Tragedi Bubat segera mengubah peta politik Jawa dan Sunda. Dari pihak Majapahit, Hayam Wuruk sangat terpukul, tetapi ia tetap melanjutkan masa pemerintahannya. Ia akhirnya menikahi sepupunya sendiri, Paduka Sori, sebagai pengganti Pitaloka. Hubungan Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada berubah drastis setelah kejadian ini. Beberapa sumber menyebutkan bahwa kepercayaan Hayam Wuruk kepada Gajah Mada memudar setelah Bubat, karena Gajah Mada dinilai telah berlebihan dan mengabaikan kehendak raja. Gajah Mada sendiri mengalami penurunan karier; menurut beberapa riwayat ia kemudian diberi tugas jauh di Madakaripura (Probolinggo), meskipun Nagarakretagama tetap mencatat ia menjabat patih hingga wafatnya.

Bagi Kerajaan Sunda, dampaknya jauh lebih parah. Kematian Maharaja Linggabuana dan nyaris seluruh bangsawan serta pemimpin militer melemahkan struktur pemerintahan Sunda secara drastis. Ratu Padjadjaran yang masih hidup, Dyah Pitaloka, memilih mati demi harga diri. Satu-satunya penerus tahta yang tersisa adalah adik Pitaloka, Pangeran Niskalawastu Kancana (yang tidak ikut berangkat ke Majapahit karena masih terlalu muda). Setelah peristiwa tragis ini, Niskalawastu naik takhta menjadi raja baru Pajajaran. Ia segera menerapkan kebijakan tegas memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menutup pintu komunikasi. Menurut penulis modern, “Perang Bubat telah merusak hubungan baik antara Majapahit dengan Sunda. Kisah Bubat menyisakan luka mendalam bagi rakyat Sunda”. Niskalawastu bahkan diduga mengeluarkan larangan kuat agar rakyat Sunda tidak menikah dengan bangsa asing, terutama Jawa, sebagai reaksi trauma terhadap kejadian Bubat.

Secara umum, Perang Bubat mengubah relasi kedua kerajaan dari persahabatan menjadi permusuhan. Agama dan budaya yang sebelumnya memungkinkan perjodohan antarwangsa tiba-tiba membeku menjadi kecurigaan dan dendam. Bila pernikahan itu berhasil, Sunda bisa menjadi sekutu dan Negara klien Majapahit seperti hubungan dengan kerajaan-kerajaan lainnya (seperti disebut dalam Negarakertagama sebagai aliansi persahabatan), tetapi setelah Bubat, Majapahit dan Sunda hanya menyimpan luka. Sejarawan Agus Mundandar menegaskan bahwa peristiwa ini menghancurkan kepercayaan, sehingga “hubungan Majapahit dengan Kerajaan Sunda pun memburuk”.

Warisan Budaya dan Ingatan Kolektif

Tragedi Lapangan Bubat tidak hanya penting secara politik, tetapi juga tertanam kuat dalam ingatan kolektif masyarakat Jawa dan Sunda. Beberapa karya sastra dan legenda turun-temurun merekam peristiwa itu dengan warna berbeda: Negarakertagama (1365 M) oleh Mpu Prapanca hanya mengisyaratkan bahwa pernah terjadi “perang tanding, perang pukul, adu keris” di lapangan Bubat. Prapanca – seorang pujangga Majapahit – tampaknya sengaja meremehkan dan tidak memaparkan detail tragedi itu secara gamblang. Sejarawan Marwati Djoened Poesponegoro menduga hal ini karena peristiwa Bubat dianggap memalukan dan “tidak berkontribusi bagi kegemilangan Majapahit”. Dengan demikian, Kitab Negarakertagama hanya menyebut bahwa di Lapangan Bubat pernah terjadi duel senjata.

Sebaliknya, sumber-sumber Sunda dan Bali lebih gamblang menceritakan tragedi tersebut. Serat Pararaton (Jawa pertengahan, abad 15) misalnya mencatat inisiatif Hayam Wuruk mencari istri, termasuk pengiriman utusan Madhu ke Pasundan, serta konflik yang kemudian terjadi. Kidung Sunda (Pasunda Bubat), naskah sastra Jawa Kuna yang ditulis di Bali sekitar abad ke-16, memusatkan cerita pada nasib rombongan Sunda. Pupuh I–III Kidung Sunda menggambarkan keseluruhan tragedi: Pupuh I menceritakan Hayam Wuruk mencari permaisuri dan menyebut Dyah Pitaloka melakukan bunuh diri setelah kekalahan; Pupuh II menggambarkan pertempuran di Bubat antara rombongan Sunda dan pasukan Majapahit; sedangkan Pupuh III melukiskan kesedihan Hayam Wuruk atas kematian Dyah Pitaloka. Catatan tradisional Sunda Carita Parahyangan (abad 16) juga menyebut peristiwa ini secara singkat dan memanggil Pitaloka dengan gelar “Tohaan” (yang dimuliakan).

Dari sudut pandang Sunda, Raja Linggabuana yang gugur kemudian disebut “Prabu Wangi” (raja yang harum namanya). Gelar ini dirangkai menjadi legenda turun-temurun Prabu Siliwangi (silih-wangi = penerus Prabu Wangi) untuk raja-raja Pajajaran pascanya. Dalam legenda Pantun Sunda, tokoh legendaris Prabu Siliwangi sering diasosiasikan dengan raja-raja Sunda (antara lain Niskalawastu Kancana). Penyebutan Siliwangi menegaskan bahwa generasi Sunda berikutnya melihat tragedi Bubat sebagai titik balik sejarah kerajaannya.

Tragedi ini juga melahirkan mitos larangan: kepercayaan populer bahwa orang Sunda dan Jawa tidak seharusnya menikah. Cerita ingatan kolektif menyatakan larangan kawin lintas suku ini sebagai akibat tragis Perang Bubat. Mitos ini terus diwariskan lisan dan karya sastra kedua budaya – misalnya disebutkan dalam karangan modern bahwa hingga kini, nama Gajah Mada tidak lazim di kota-kota besar Sunda seperti Bandung karena dendam sejarah. Di Bali pun, yang kadang dianggap penerus kebudayaan Majapahit, penduduk cenderung memihak pada sudut pandang Sunda dalam insiden ini. Lagu-lagu Kidung Sunda dipopulerkan di Bali (Kidung Sundayana), menghargai keberanian Pitaloka dan Linggabuana menghadapi kematian. Orang Bali mengaitkan pengorbanan mereka dengan ideal ksatriya (jantan berjuang di medan laga, kaum wanita ikut bela pati).

Interpretasi Sejarawan Modern

Kendati sumber-sumber tradisional berbeda sudut pandang, banyak sejarawan modern sepakat bahwa Perang Bubat adalah peristiwa sejarah nyata abad ke-14. Misalnya Kerstin Ekajati menyatakan bahwa Perang Bubat “adalah peristiwa sejarah yang pernah terjadi pada abad ke-14 yang melibatkan Kerajaan Sunda dan Majapahit”, sebagaimana tercatat dalam Pararaton, Kidung Sunda, Kidung Sundayana, dan Carita Parahyangan. Sejarawan Sumarjo Supriatin (2018) juga mengklasifikasikan ketiga sumber itu sebagai bukti sejarah Perang Bubat. Namun ada yang menilai peristiwa ini terlalu aib bagi Majapahit sehingga sengaja tidak tercantum dalam sastra resmi Majapahit (seperti Nagarakretagama).

Secara politik, Gajah Mada dinilai rela mengorbankan hubungan baik demi ambisinya. Agus Mundandar mengamati bahwa Gajah Mada menggunakan situasi tersebut untuk “menekan” Sunda menyerah, karena saat itu Kota Sunda diyakini lebih sulit ditaklukkan langsung di negeri asalnya. Mundandar berpendapat Perang Bubat menjadi kegagalan tersendiri bagi Gajah Mada – begitu banyak terbunuh, sumpah Palapa yang hampir terkabul malah kacau. Sementara itu, para sejarawan Sunda (misalnya Petrus Josephus Zoetmulder dan lain-lain) menekankan aspek kehormatan Pitaloka dan kepahlawanan Sunda sebagai inti tragedi.

Dampak jangka panjangnya tercermin dalam politik pascaperang: Majapahit tidak pernah menaklukkan Sunda Galuh setelahnya, dan hubungan kedua kerajaan tidak pernah kembali seperti semula. Sunda tetap menjadi kerajaan merdeka, bahkan menebarkan pengaruhnya sendiri ke daerah Jawa Barat lainnya. Dalam sejarah lisan Sunda, peristiwa Bubat menjadi mitos pendahuluan kebanggaan lokal (legenda Siliwangi, Pendiri Pajajaran). Di sisi Majapahit, meski kemudian tetap berjaya selama ratusan tahun, Bubat sering disebut sebagai satu-satunya noda besar masa pemerintahannya. Nagarakretagama menghindari mengulasnya, namun bangsa modern tetap mengenang Gajah Mada sebagai pahlawan Jawa namun dianggap kontroversial di kalangan Sunda.

Secara keseluruhan, Perang Bubat 1357 M adalah insiden sejarah yang melukiskan ketegangan kerendahan hati politik antarbangsa. Permintaan pernikahan yang awalnya dimaksudkan untuk mempererat hubungan diplomatik justru berujung pada pertumpahan darah dan berakhirnya kepercayaan. Kejadian ini menghantarkan perubahan permanen dalam hubungan Majapahit–Sunda, mewarnai pola politik di Jawa dan Sunda berikutnya, serta membekas kuat di dalam ingatan kolektif kedua budaya.


📚 DAFTAR REFERENSI

🔸 Naskah Kuno & Sumber Primer

  1. Negarakretagama – Mpu Prapanca (1365 M), naskah pujian terhadap Raja Hayam Wuruk, menyebut Lapangan Bubat sebagai lokasi “perang pukul dan perang tanding”, namun tidak mengulas tragedi secara detail.
  2. Pararaton – Naskah sejarah Jawa (abad ke-15) yang menceritakan kronologi perjodohan Hayam Wuruk dan kedatangan rombongan Sunda ke Majapahit.
  3. Kidung Sunda – Naskah berbahasa Jawa-Bali (abad ke-16) yang mengisahkan secara rinci tragedi Bubat, keberanian Dyah Pitaloka, dan kematian Maharaja Linggabuana.
  4. Carita Parahyangan – Sumber sejarah Sunda dari abad ke-16, menyebutkan gugurnya Prabu Linggabuana dan lahirnya tokoh Siliwangi dari keturunannya.

🔸 Buku & Karya Ilmiah

  1. Poesponegoro, Marwati Djoened & Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
  2. Muljana, Slamet. Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit. Yogyakarta: LKiS, 2005.
  3. Mundandar, Agus Aris. Gajah Mada: Biografi Politik. Jakarta: Komunitas Bambu, 2004.
  4. Zoetmulder, P. J. Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan, 1974.
  5. Supriatin, Sumarjo. “Perang Bubat: Tragedi Diplomatik Kerajaan Sunda-Majapahit.” Jurnal Sejarah Indonesia, 2018.
  6. Ekajati, Edi S. Kerstin. Sunda dalam Sejarah Indonesia Lama. Bandung: Humaniora Utama Press, 2002.
  7. Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia since c.1200. London: Palgrave Macmillan, 2001.

🔸 Ensiklopedia & Artikel Populer

  1. Ensiklopedia Nasional Indonesia – Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1995.
  2. Wikipedia Bahasa Indonesia:
  3. Kompas.com – Artikel “Perang Bubat: Tragedi Diplomatik Majapahit dan Sunda”, 2021.
  4. Historia.id – “Dendam Sejarah dalam Peristiwa Bubat”, oleh J. Sumaryono, 2020.
  5. BBC Indonesia – “Mengapa Perang Bubat Jadi Mitos yang Membekas dalam Sejarah Sunda?”, 2021.

🔸 Legenda & Tradisi Lisan

  1. Pantun Sunda (Tradisi Lisan Jawa Barat) – Menyebut Prabu Siliwangi sebagai penerus Prabu Wangi (Linggabuana).
  2. Kidung Sundayana (versi Bali dari Kidung Sunda) – Diwariskan di komunitas Hindu Bali sebagai cerita pujian terhadap Dyah Pitaloka.

Jika Anda memerlukan format kutipan tertentu seperti APA, MLA, atau Chicago, saya siap bantu menyusunnya.

About administrator