Sejarah Peperangan Kerajaan Tarumanagara (Abad ke-5 – Abad ke-7 M)

Sejarah perang-perang yang dilakukan Kerajaan Tarumanagara melawan musuh-musuh regionalnya pada abad ke-5 hingga ke-7 M. Laporan ini akan mencakup analisis berdasarkan prasasti, sumber sejarah, dan interpretasi para sejarawan mengenai ekspansi wilayah, konflik, serta pengaruh politik Tarumanagara di masa itu.

Kerajaan Tarumanagara (juga disebut Kerajaan Taruma) adalah salah satu kerajaan Hindu tertua di Nusantara, berpusat di Jawa bagian barat sekitar abad ke-4 hingga abad ke-7 Masehi. Puncak kejayaannya terjadi pada masa pemerintahan Raja Purnawarman di pertengahan abad ke-5 M, di mana Tarumanagara berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Jawa Barat. Dalam rentang abad ke-5 hingga ke-7 M, Tarumanagara terlibat dalam berbagai perang dan ekspedisi militer melawan kerajaan tetangganya dan musuh-musuh regional. Peperangan ini bertujuan untuk ekspansi wilayah, peneguhan dominasi politik, serta pertahanan kedaulatan menghadapi ancaman dari luar.

Laporan ini akan menguraikan secara kronologis sejarah peperangan Tarumanagara beserta latar belakang dan dampaknya. Sumber-sumber utama yang digunakan antara lain prasasti-prasasti peninggalan Tarumanagara – seperti Prasasti Tugu, Ciaruteun, Jambu (Pasir Koleangkak), Kebon Kopi, Cidanghiang, dan lainnya – yang memberikan petunjuk mengenai prestasi militer Purnawarman dan keadaan kerajaan. Selain itu, catatan sumber historis lain seperti berita dari kronik Cina (Dinasti Sui dan Tang) memberikan konteks hubungan luar negeri Tarumanagara. Analisis dari sejarawan modern juga disertakan, termasuk polemik seputar Naskah Wangsakerta yang memuat kisah Tarumanagara namun diragukan keasliannya. Dengan memadukan bukti arkeologis dan kajian modern, laporan ini akan menjelaskan tujuan-tujuan perang Tarumanagara, strategi militer yang digunakan, tokoh-tokoh penting seperti Raja Purnawarman, serta dampak rangkaian peperangan tersebut terhadap konstelasi kekuasaan regional di Jawa Barat dan sekitarnya.

Sumber Sejarah dan Bukti Arkeologis

Informasi mengenai peperangan Tarumanagara pada abad ke-5–7 M sebagian besar diperoleh dari bukti arkeologis berupa prasasti-prasasti batu berbahasa Sanskerta dan beraksara Pallawa yang ditemukan di wilayah Jawa Barat, Jakarta, hingga Banten. Setidaknya tujuh prasasti utama telah ditemukan terkait Tarumanagara. Prasasti-prasasti ini memuat pujian terhadap raja Tarumanagara (terutama Purnawarman) dan sedikit banyak menyinggung kekuatan militernya:

  • Prasasti Ciaruteun (Bogor): prasasti tertua (abad ke-5 M) yang memuat sepasang jejak telapak kaki Raja Purnawarman, disertai teks pujian. Tulisannya berbunyi: “Inilah sepasang (telapak) kaki, yang seperti (telapak kaki) Dewa Wisnu, ialah telapak kaki Yang Mulia Purnawarman, raja di negara Taruma, raja yang gagah berani di dunia”. Jejak kaki dalam prasasti ini melambangkan kekuasaan raja yang disamakan dengan dewa Wisnu, dewa pelindung, menegaskan legitimasi dan kekuatan Purnawarman.
  • Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak, Bogor): prasasti yang juga memuat pahatan telapak kaki dan empat baris puisi Sanskerta. Isinya menonjolkan keberanian dan keperkasaan Purnawarman sebagai pemimpin tiada tanding: “Gagah, mengagumkan dan jujur terhadap tugasnya adalah pemimpin yang tiada taranya – yang termasyhur Sri Purnawarman – yang sekali waktu memerintah di Taruma, dan yang baju zirahnya terkenal tidak dapat ditembus senjata musuh. Ini adalah sepasang telapak kakinya yang senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh, hormat kepada para pangeran, tetapi merupakan duri dalam daging bagi musuh-musuhnya”. Kutipan prasasti ini sangat penting karena memberikan gambaran langsung mengenai kegagahan militer Raja Purnawarman: ia digambarkan mengenakan baju zirah (baju besi) yang kebal senjata lawan, selalu sukses menggempur kota musuh, serta ditakuti oleh seteru-seterunya. Hal ini menunjukkan Tarumanagara di masa Purnawarman terlibat dalam penaklukan wilayah-wilayah lain di sekitarnya.
  • Prasasti Kebon Kopi I (Tapak Gajah, Bogor): prasasti dengan pahatan jejak kaki gajah yang diduga adalah tunggangan perang Raja Purnawarman, disamakan dengan gajah Airawata milik Dewa Indra. Prasasti ini bertuliskan: “… sepasang tapak kaki … laksana Airawata, gajah penguasa Taruma yang agung dalam … kejayaan”. Simbol jejak gajah memperkuat citra Purnawarman sebagai raja perang yang gagah berani, karena gajah adalah kendaraan perang para raja besar dan Airawata melambangkan kekuasaan Indra (dewa perang). Dengan demikian, Purnawarman diibaratkan setara dengan Indra dalam hal keperkasaan militer.
  • Prasasti Cidanghiang (Munjul, Banten): prasasti ini berisi dua baris kalimat yang memuji Purnawarman sebagai narendra (raja) yang unggul. Alih bahasa prasasti Cidanghiang menyatakan: “Inilah tanda keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari Raja Dunia; Yang Mulia Purnawarman, yang menjadi panji sekalian raja-raja”. Gelar “panji sekalian raja-raja” mengindikasikan Purnawarman dianggap pemimpin tertinggi yang menaungi raja-raja lain, menunjuk pada status hegemonik Tarumanagara atas kerajaan-kerajaan bawahan hasil penaklukannya.
  • Prasasti Tugu (Jakarta Utara): prasasti terpanjang Tarumanagara yang berisi catatan proyek penggalian terusan air (kanal) pada masa Purnawarman. Walau tidak berisi kisah peperangan, Prasasti Tugu penting untuk menggambarkan strategi Purnawarman dalam memperkuat infrastruktur kerajaan. Disebutkan bahwa pada tahun ke-22 pemerintahannya, Purnawarman menggali Sungai Candrabaga dan Gomati sepanjang 6.112 tombak (sekitar 12 kilometer). Tujuan proyek ini untuk mencegah bencana banjir dan kekeringan. Kemampuan memobilisasi rakyat menggali kanal sebesar itu menunjukkan kendali kuat Purnawarman atas wilayah dan sumber daya – suatu faktor yang juga berkontribusi pada kekuatan militer kerajaan (pasokan pangan terjamin, komunikasi dan logistik lancar). Prasasti Tugu juga mencatat upacara pemberian hadiah kepada Brahmana atas selesainya proyek tersebut, menunjukkan Purnawarman menjaga dukungan internal rakyat dan pendeta demi stabilitas kerajaan.

Selain prasasti, sumber asing dari Tiongkok memberikan gambaran konteks regional Tarumanagara. Pada tahun 414 M, biksu Buddha Fa-Hien (Fa Huan) singgah di Ye-po-ti (kemungkinan nama Tionghoa untuk Jawa, khususnya Jawa bagian barat) selama 5 bulan. Ia mencatat bahwa di daerah tersebut ajaran Buddha kurang dikenal, sementara ajaran Brahmana (Hindu) dan kepercayaan animisme cukup berkembang. Ini sesuai dengan kondisi Tarumanagara sebagai kerajaan Hindu. Selanjutnya, catatan Dinasti Sui menyebut utusan dari To-lo-mo (Taruma) datang ke Tiongkok tahun 528 dan 535 M, sedangkan catatan Dinasti Tang menyebut utusan dari To-lo-mo datang pada tahun 666 dan 669 M. Rangkaian pengiriman duta ini menunjukkan Tarumanagara menjalin hubungan diplomatik internasional dan diakui eksistensinya hingga akhir abad ke-7. Dari berita-berita tersebut para sejarawan menyimpulkan bahwa Tarumanagara mencapai puncak perkembangan pada kurun 400–600 M. Bahkan disebutkan pada masa itu (di bawah Purnawarman) wilayah kekuasaan Tarumanagara hampir mencakup seluruh Jawa Barat – sebuah indikasi bahwa melalui perang dan ekspansi, Tarumanagara berhasil menundukkan banyak entitas politik lokal di Jawa bagian barat.

Adapun Naskah Wangsakerta, yaitu kumpulan kronik yang disusun di Cirebon akhir abad ke-17 M, menguraikan silsilah raja-raja Tarumanagara dan detail peperangan mereka. Menurut naskah ini, Tarumanagara didirikan tahun 358 M oleh Jayasingawarman (maharesi dari Salankayana, India) yang menikah dengan putri raja Salakanagara. Wangsakerta menyebut serangkaian raja Taruma hingga raja terakhir Linggawarman (memerintah 666–669 M) dan menantunya Tarusbawa yang mendirikan Kerajaan Sunda. Naskah ini juga memuat kisah ekspansi Purnawarman dan pembagian Tarumanagara di akhir abad ke-7 (lihat bagian kronologi di bawah). Namun, penting dicatat bahwa keabsahan Naskah Wangsakerta diperdebatkan. Banyak sejarawan modern menganggapnya mengandung pseudohistory (sejarah semu) sehingga tidak dijadikan rujukan utama. Meski demikian, beberapa informasi Wangsakerta yang selaras dengan temuan prasasti dan sumber lain dapat membantu sebagai gambaran sekunder. Dalam laporan ini, data Wangsakerta akan disebut dengan kehati-hatian dan dibandingkan dengan bukti arkeologis yang ada.

Berbekal sumber-sumber di atas, kita dapat menyusun narasi kronologis mengenai peperangan Tarumanagara. Berikut ini disajikan pembahasan per periode: masa kejayaan Purnawarman (abad ke-5 M), perkembangan pasca-Purnawarman (abad ke-6 M), dan masa kemunduran Tarumanagara termasuk invasi Sriwijaya (abad ke-7 M). Setiap bagiannya akan diuraikan tujuan perang, strategi militer, tokoh kunci, serta dampaknya terhadap wilayah.

Ekspansi Militer di Masa Purnawarman (Abad ke-5 M)

Pada awal abad ke-5 M, Tarumanagara berada di bawah pemerintahan Raja Purnawarman (memerintah ±395–434 M). Purnawarman adalah raja ketiga Tarumanagara dan paling termasyhur, terbukti namanya muncul di hampir semua prasasti yang ditemukan. Di bawah kepemimpinannya, Tarumanagara mengalami masa kejayaan dan perluasan kekuasaan yang signifikan. Berdasarkan bukti prasasti dan catatan tradisional, dapat disimpulkan bahwa Purnawarman melakukan serangkaian kampanye militer agresif untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan tetangga dan mengukuhkan dominasi Tarumanagara di Jawa Barat.

Tujuan ekspansi Purnawarman terutama adalah menyatukan wilayah di tatar Pasundan di bawah kendali Tarumanagara. Sebelum Purnawarman, kemungkinan wilayah Jawa Barat terfragmentasi menjadi sejumlah kerajaan kecil atau komunitas politik lokal (beberapa di antaranya mungkin penerus Salakanagara atau kerajaan-kerajaan daerah seperti Indraprahasta di timur, Salakanagara di barat, dsb.). Purnawarman tampaknya melanjutkan visi kakek buyutnya, Jayasingawarman, untuk menjadikan Tarumanagara pewaris utama kekuasaan di Jawa bagian barat. Dengan kata lain, motif perang Purnawarman bersifat ekspansi teritorial dan hegemoni regional – ia ingin memperluas batas kerajaan dan memastikan semua penguasa lokal tunduk pada Tarumanagara.

Wangsakerta mengklaim bahwa pada masa Purnawarman, terdapat 48 raja daerah yang menjadi vasal Tarumanagara, membentang dari daerah bekas Salakanagara di Teluk Lada, Pandeglang (Banten) hingga wilayah Purwalingga (Jawa Tengah). Batas kekuasaan tradisional disebut mencapai sungai Cipamali (Kali Brebes) yang dianggap sebagai pemisah Jawa Barat dan Jawa Tengah. Meskipun angka dan cakupan ini perlu dikritisi (mengingat asal sumbernya), prasasti-prasasti Tarumanagara memang mendukung gambaran luasnya pengaruh Purnawarman. Misalnya, Prasasti Cidanghiang di Banten menandakan Tarumanagara berkuasa hingga ujung barat pulau Jawa, sedangkan Prasasti Jambu di Bogor dan berita Tiongkok mengindikasikan kendali hingga perbatasan Jawa Tengah. Dengan demikian, dapat diyakini bahwa Purnawarman berhasil menaklukkan banyak komunitas politik di seluruh Jawa Barat, baik melalui peperangan langsung maupun dengan mengintegrasikan penguasa setempat sebagai raja bawahan.

Peta perkiraan wilayah Kerajaan Tarumanagara (warna jingga tua) beserta pengaruhnya (jingga muda) pada abad ke-5 M. Titik-titik menandai lokasi temuan prasasti (misal: Tugu, Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Cidanghiang). Ekspansi Purnawarman diperkirakan menjangkau wilayah inti hampir seluruh Jawa Barat modern, dengan pengaruh politik meluas hingga perbatasan Jawa Tengah.

Strategi militer Purnawarman dalam menaklukkan musuh-musuhnya tidak dijabarkan secara rinci dalam sumber tertulis yang masih ada. Namun, melalui deskripsi prasasti, kita dapat menyimpulkan beberapa gaya peperangan dan taktik yang digunakan:

  • Kepemimpinan dan Keberanian Raja: Purnawarman sendiri digambarkan turun memimpin perang, memperlihatkan keberanian luar biasa. Prasasti Jambu menegaskan ia adalah “narapatir asamo” – raja yang tiada bandingnya – dengan parakrama (keperkasaan) sejati. Ia dijuluki “Wyaghra (Harimau) Tarumanagara” oleh lawan-lawannya, yang mencerminkan reputasinya sebagai pemangsa ganas di medan laga. Julukan tersebut sejalan dengan ungkapan prasasti Jambu bahwa Purnawarman adalah “duri dalam daging” bagi musuh-musuhnya. Artinya, keberadaannya menjadi momok yang terus-menerus menyakitkan pihak lawan.
  • Teknologi dan Persenjataan: Purnawarman diketahui menggunakan baju zirah besi yang melindungi tubuhnya dari senjata apa pun, sehingga ia konon “tidak ada satupun senjata musuh yang dapat melukainya”. Kemampuan membuat atau memperoleh zirah logam menunjukkan tingkat teknologi militer yang maju di Tarumanagara pada masa itu. Selain zirah, pasukan Tarumanagara kemungkinan dipersenjatai pedang, tombak, panah, dan perisai sebagaimana standar prajurit di era klasik, meski hal ini tidak tertulis langsung dalam prasasti. Dukungan teknologi juga tercermin dari proyek irigasi dan perhubungan (Prasasti Tugu) yang secara tidak langsung memperlancar mobilitas pasukan dan suplai logistik.
  • Gajah dan Kavaleri: Simbol gajah perang pada Prasasti Kebon Kopi mengindikasikan Tarumanagara memiliki unit gajah dalam militernya. Gajah perang dapat digunakan sebagai kavaleri berat untuk menerobos formasi lawan dan menimbulkan efek psikologis. Selain gajah, catatan pemberian hadiah di Prasasti Tugu menyebut Purnawarman menghadiahkan kuda 20 ekor dan gajah 1 ekor kepada raja bawahan di Indraprahasta. Ini menandakan Tarumanagara memelihara kuda, yang berarti pasukan berkuda mungkin juga bagian dari angkatan perang mereka. Kombinasi pasukan gajah, kavaleri kuda, dan infanteri bersenjata tajam akan memberikan keunggulan di medan terbuka melawan suku-suku atau kerajaan kecil yang mungkin hanya memiliki infanteri ringan.
  • Serangan terhadap Kota dan Benteng: Prasasti Jambu menyebut Purnawarman “senantiasa berhasil menggempur kota-kota musuh”. Ini menunjukkan bahwa ekspedisi militernya tak sekadar perang di medan laga terbuka, namun juga penaklukan permukiman berkubu (kota/istana lawan). Dengan demikian, pasukan Tarumanagara mampu melakukan penyerbuan dan pengepungan terhadap pusat kekuasaan musuh. Setiap “kota musuh” kemungkinan adalah ibu kota kerajaan atau benteng lokal; keberhasilan merebutnya menandakan Tarumanagara punya taktik pengepungan yang efektif atau cukup kekuatan untuk memaksa lawan menyerah.
  • Si vis pacem, para bellum: Ungkapan Latin ini (jika ingin damai, bersiaplah perang) agaknya relevan dengan pendekatan Purnawarman. Setelah menundukkan musuh, Purnawarman berusaha menjaga loyalitas wilayah taklukkan melalui diplomasi dan pembagian hadiah. Misalnya, Wangsakerta menggambarkan bahwa setiap tahun para raja bawahan Purnawarman datang ke ibu kota Sundapura mempersembahkan upeti, dan disambut Purnawarman dengan jamuan serta hiburan meriah. Walaupun sumber ini membutuhkan verifikasi, konsepnya masuk akal: Purnawarman memadukan kekuatan militer dengan politik aliansi dan hadiah untuk mengikat kesetiaan daerah taklukkan. Dengan cara ini, perdamaian regional relatif terjaga setelah kampanye militer berakhir, karena para bekas musuh diubah statusnya menjadi sekutu atau vasal Tarumanagara.

Dengan strategi-strategi di atas, Purnawarman sukses memperluas Tarumanagara ke segala penjuru Jawa Barat. Peperangan di era Purnawarman berakhir dengan kemenangan mutlak Tarumanagara – sebagaimana prasasti tidak pernah menyebut kekalahan, melainkan selalu menonjolkan keunggulan sang raja. Semua lawan yang “diserang selalu dapat dikalahkan” menurut sumber tradisi. Meskipun ini tentu ditulis dari sudut pandang pemenang, tidak diragukan bahwa Tarumanagara menjadi kekuatan dominan di wilayah barat Jawa. Dampak langsung kemenangan-kemenangan ini adalah terbentuknya suatu kerajaan besar dengan Purnawarman sebagai pemersatu raja-raja lokal di bawah panji Tarumanagara.

Sebagai contoh konkrit, jika pada awalnya hanya ada kerajaan-kerajaan kecil di Jawa Barat (misalnya Salakanagara di Pandeglang, mungkin kerajaan di Ujung Kulon, di pesisir Cirebon, di Bogor pedalaman, dll.), maka setelah ekspansi Purnawarman, wilayah-wilayah tersebut masuk ke dalam administrasi Tarumanagara. Sebagian penguasa lokal tetap diakui jabatannya namun diwajibkan membayar upeti, dan sebagian lagi mungkin digantikan pejabat yang loyal pada Purnawarman. Hal ini memperluas basis ekonomi dan sumber daya Tarumanagara, sekaligus menyebarkan pengaruh budaya politik Taruma (seperti penggunaan gelar -warman bagi nama tokoh, penggambaran kekuasaan raja sebagai titisan Wisnu, dsb.) ke wilayah luas.

Perlu dicatat bahwa ekspansi Purnawarman kemungkinan besar tidak menemui perlawanan berarti dari kekuatan luar Pulau Jawa. Pada abad ke-5 M, di Sumatra terdapat kerajaan Kantoli dan beberapa entitas di pesisir timur Sumatra, namun belum muncul imperium kuat seperti Sriwijaya. Di Jawa Tengah, Kerajaan Kalingga (Ho-Ling) baru berkembang sekitar akhir abad ke-6 M. Dengan demikian, ruang bagi ekspansi Tarumanagara relatif terbuka di sekitar Jawa Barat tanpa ancaman intervensi asing. Inilah yang memungkinkan Purnawarman fokus menaklukkan tetangga-tetangga terdekatnya dan memperbesar wilayahnya.

Singkatnya, perang-perang Purnawarman pada abad ke-5 M berhasil mengubah peta politik Jawa bagian barat: dari mosaik kecil-kecil menjadi satu kesatuan besar di bawah Tarumanagara. Kemenangan militer ini disertai kebijakan internal memperkuat negara (contoh: pembangunan ibu kota baru Sundapura dekat pesisir pada 397 M, dan proyek terusan di prasasti Tugu) yang semakin memantapkan Tarumanagara sebagai kerajaan adidaya regional.

Perkembangan Tarumanagara Pasca Purnawarman (Abad ke-6 M)

Wafatnya Maharaja Purnawarman (sekitar tahun 434 M) menandai berakhirnya kepemimpinan yang kuat dan ekspansif. Abad ke-6 M bagi Tarumanagara adalah masa penerus Purnawarman melanjutkan pemerintahannya atas wilayah luas yang telah diwariskan. Nama-nama raja Tarumanagara setelah Purnawarman diketahui dari Naskah Wangsakerta dan beberapa tradisi, antara lain: Wisnuwarman (putra Purnawarman), Indrawarman, Candrawarman, Suryawarman, Kertawarman, Sudhawarman, Hariwangsawarman, Nagajayawarman, Linggawarman, hingga menantu Linggawarman yaitu Tarusbawa. Namun, tidak ada prasasti peninggalan raja-raja penerus ini yang ditemukan (semua prasasti Tarumanagara yang ada berasal dari masa Purnawarman). Akibatnya, informasi detail mengenai aktivitas politik-militer Tarumanagara di abad ke-6 M sangat minim. Meski demikian, dari beberapa petunjuk yang tersisa, dapat ditarik benang merah bahwa Tarumanagara tetap mempertahankan statusnya sebagai kerajaan besar di Jawa Barat sepanjang abad ke-6, walaupun mungkin pamornya perlahan surut dibanding era Purnawarman.

Selama abad ke-6, Tarumanagara tampaknya tidak terlibat ekspansi militer besar-besaran lagi. Hal ini bisa disebabkan dua faktor: pertama, wilayah Jawa Barat sudah dikuasai sehingga tidak banyak ruang lagi untuk ekspansi; kedua, kemungkinan ada upaya konsolidasi internal – memerintah kerajaan luas memerlukan fokus pada administrasi dan mempertahankan loyalitas daerah taklukkan. Para raja penerus Purnawarman mungkin lebih banyak bertindak sebagai pengelola imperium ketimbang penakluk baru. Dengan kata lain, perang-perang di abad ke-6 M cenderung bersifat defensif atau penumpasan pemberontakan internal ketimbang perang penaklukan eksternal.

Ada indikasi Tarumanagara menghadapi pergolakan internal. Misalnya, menurut tradisi Wangsakerta, sekitar tahun 515 M terjadi peristiwa di mana putra Purnawarman (Wisnuwarman) dibunuh oleh Pujangga atau tokoh istana, meski akhirnya takhta tetap beralih ke keturunan Purnawarman【82†butuh rujukan】. Ini mengisyaratkan intrik politik yang mungkin memicu konflik internal (walau kebenarannya belum terverifikasi). Namun secara umum, tidak tercatat perang saudara besar selama abad ke-6 yang meruntuhkan Tarumanagara – fakta bahwa utusan Tarumanagara masih diutus ke China hingga tahun 669 M menandakan kerajaan ini tetap utuh hingga akhir abad ke-7.

Dari sudut eksternal, abad ke-6 menyaksikan kemunculan kerajaan Kalingga di Jawa Tengah (diperkirakan berawal sekitar 540-an M). Kalingga, dengan Maharani Shima yang terkenal adil (akhir abad ke-7), berlokasi di daerah sekitar Jepara sekarang. Tidak ada catatan perang antara Tarumanagara dan Kalingga. Kedua kerajaan ini mungkin terpisah cukup jauh (di antara mereka terbentang sungai Cipamali sebagai batas kultural Sunda-Jawa) dan hidup berdampingan. Bahkan di kemudian hari, hubungan Tarumanagara-Kalingga justru bersifat aliansi pernikahan (seperti akan diuraikan pada pembagian Tarumanagara tahun 669 M). Demikian pula, di Sumatra muncul Kerajaan Melayu (di Jambi) dan cikal bakal Sriwijaya di Palembang-Bangka pada akhir abad ke-6. Namun pada masa itu Sriwijaya belum ekspansif; tidak ada perang yang tercatat antara Tarumanagara dan kerajaan-kerajaan Sumatra sebelum abad ke-7.

Dengan demikian, peran militer Tarumanagara abad ke-6 M cenderung sebagai penjamin stabilitas wilayah yang telah dicapai. Pasukan Tarumanagara kemungkinan ditugaskan menjaga perbatasan, mengamankan jalur perdagangan (termasuk Selat Sunda dan pelabuhan di pesisir barat Jawa), serta menangkis gangguan dari perompak atau suku-suku di pinggiran. Tarumanagara memiliki garis pantai yang luas di utara dan barat Jawa Barat; bisa diduga mereka memiliki armada laut sederhana untuk patroli, meski bukti langsung hal ini tidak ada. Keamanan laut penting karena Tarumanagara terlibat perdagangan internasional (dibuktikan dengan kedatangan pendeta Fa-Hien dan utusan-utusan ke Tiongkok). Kemungkinan besar Tarumanagara menjaga hubungan damai dengan tetangga yang sederajat (seperti Kalingga), dan mempertahankan superioritas atas kerajaan bawahan di Jawa Barat melalui kehadiran militer yang cukup.

Salah satu tokoh raja di abad ke-6 yang patut disebut adalah Maharaja Suryawarman (memerintah sekitar pertengahan abad ke-6, menurut Wangsakerta). Disebutkan bahwa pada masanya, kerajaan Sunda Sembawa di barat (mungkin bekas wilayah Salakanagara) sempat memisahkan diri, tetapi kemudian ditundukkan kembali【82†butuh rujukan】. Walau sumbernya lemah, cerita ini menggambarkan skenario pemberontakan daerah dan penaklukkan ulang oleh pusat Tarumanagara. Pola seperti ini lazim dalam imperium kuno: ketika raja besar wafat, beberapa bawahan mencoba merdeka, lalu ditaklukkan lagi oleh penerusnya. Tarumanagara berhasil melewati abad ke-6 tanpa keruntuhan, artinya jikalau ada konflik internal, kerajaan ini mampu mengatasinya.

Konfirmasi bahwa Tarumanagara tetap berwibawa di abad ke-6 dapat dilihat dari catatan Tiongkok tadi: utusan tahun 528 dan 535 (masa Raja Indrawarman?) lalu utusan tahun 666 dan 669 (masa Raja Linggawarman/Tarusbawa). Jika Tarumanagara melemah drastis, tentu utusan diplomatik tidak akan dikirim ke negeri Tiongkok yang jauh. Catatan tahun 666 dan 669 M di masa Dinasti Tang sangat penting: 669 M adalah tahun terakhir pengiriman utusan Tarumanagara ke Tiongkok, yang kebetulan bertepatan dengan masa transisi kekuasaan di kerajaan ini. Tidak lama setelah itu, Tarumanagara benar-benar mengalami perubahan besar.

Menjelang akhir abad ke-6 dan memasuki abad ke-7, terdapat tanda-tanda penurunan kejayaan Tarumanagara. Menurut kronik lokal, “pamor Tarumanagara… sudah sangat menurun” pada zaman raja terakhirnya. Beberapa faktor dapat dikemukakan sebagai penyebab kemunduran ini:

  1. Faktor usia kerajaan – Tarumanagara telah berdiri sejak akhir abad ke-4, sehingga memasuki abad ke-7 (hampir 300 tahun) mungkin mengalami kelelahan dinasti maupun stagnasi administrasi.
  2. Faktor ekonomi dan perdagangan – Munculnya pusat dagang baru seperti Sriwijaya di Sumatra (awal kekuatannya pada akhir abad ke-7) bisa menggeser jalur perdagangan dari pelabuhan Tarumanagara. Begitu pula, Kalingga di Jawa Tengah mungkin menarik sebagian aktivitas perdagangan. Berkurangnya kemakmuran ekonomi akan melemahkan kemampuan militer dan pamor politik Tarumanagara.
  3. Faktor suksesi dan internal – Raja terakhir Tarumanagara, Linggawarman (memerintah hingga 669 M), wafat dan digantikan menantunya Tarusbawa dari Sunda Sembawa. Tarusbawa bukan keturunan langsung dinasti Warman, dan ia mewarisi kerajaan yang sudah surut. Niat Tarusbawa justru “ingin mengembalikan keharuman zaman Purnawarman” dengan cara mengubah nama kerajaan. Ini mengindikasikan bahwa di mata penguasa sendiri, Tarumanagara tak lagi harum seperti dulu.
  4. Ancaman eksternal baru – Inilah faktor terbesar yang segera membahas fase berikutnya, yakni invasi Sriwijaya. Secara kebetulan, runtuhnya Tarumanagara di akhir 660-an M beriringan dengan ekspansi militer Sriwijaya. Hal ini akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

Invasi Sriwijaya dan Runtuhnya Tarumanagara (Abad ke-7 M)

Pada paruh kedua abad ke-7 M, panggung kekuasaan di Asia Tenggara mengalami perubahan drastis dengan kemunculan Kekaisaran Sriwijaya yang berpusat di Sumatra. Sriwijaya, di bawah Maharaja Dapunta Hyang Sri Jayanasa, mulai melakukan ekspansi militer keluar Pulau Sumatra. Inskripsi Kedukan Bukit (682 M) di Palembang menceritakan perjalanan suci Dapunta Hyang dengan bala tentara, menaklukkan beberapa daerah. Lalu yang paling relevan, Prasasti Kota Kapur (686 M) dari Pulau Bangka memuat ancaman kutukan bagi yang memberontak terhadap Sriwijaya, dan menyebut rencana ekspedisi untuk menaklukkan “Bumi Jawa” yang belum tunduk. Bukti ini mengindikasikan Sriwijaya melancarkan serangan ke wilayah Jawa sekitar akhir tahun 680-an M.

Para sejarawan berpendapat bahwa kampanye militer Sriwijaya ke Jawa pada masa Dapunta Hyang ini langsung mempengaruhi nasib Tarumanagara. Menurut catatan George Coedès dan lainnya, ekspedisi Sriwijaya “bertepatan dengan kemunduran Tarumanagara di Jawa Barat dan Kalingga di Jawa Tengah”. Artinya, pada saat Sriwijaya memperluas kekuasaannya, kerajaan-kerajaan Jawa yang lebih tua mengalami keruntuhan. Dalam waktu relatif singkat, Sriwijaya berhasil menguasai jalur perdagangan penting Selat Malaka, Laut Jawa sebelah barat, bahkan mungkin sampai Selat Sunda. Dampaknya, Tarumanagara yang menguasai Jawa bagian barat kemungkinan diserbu dan ditaklukkan atau setidaknya dipaksa menjadi bawahan Sriwijaya.

Meskipun prasasti Tarumanagara tidak ada yang secara eksplisit menyebut perang dengan Sriwijaya (karena prasasti Taruma berhenti di abad ke-5), jejak tidak langsung dari sumber lain memperkuat skenario itu. Tidak ada utusan Tarumanagara ke Tiongkok lagi setelah 669 M, yang bisa diartikan pada dekade 670-an M Tarumanagara sudah tidak eksis sebagai entitas mandiri. Sebaliknya, kronik Tiongkok di akhir abad ke-7 M menyebut keberadaan tiga kerajaan di Jawa yang menjadi bagian dari mandala Sriwijaya. Besar kemungkinan, salah satunya adalah bekas wilayah Tarumanagara. Dengan kata lain, Tarumanagara jatuh ke dalam lingkup kekuasaan Sriwijaya.

Proses jatuhnya Tarumanagara tidak hanya melalui tekanan Sriwijaya dari barat. Ada faktor internal Jawa sendiri, yaitu perpecahan Tarumanagara menjadi dua kerajaan penerus, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh pada tahun 669–670 M. Berikut kronologi singkatnya:

  • Tahun 669 M: Raja Tarumanagara ke-12, Linggawarman, wafat tanpa putra mahkota. Takhta beralih kepada menantunya, Tarusbawa, penguasa daerah Sunda Sembawa (daerah Bogor) yang menikah dengan putri Linggawarman. Tarusbawa menjadi Raja Tarumanagara ke-13. Namun, ia menyadari bahwa Tarumanagara saat itu sudah lemah wibawanya. Tarusbawa berkeinginan mengembalikan kejayaan masa Purnawarman, dan sebagai langkah simbolis, pada tahun 670 M ia mengganti nama Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda. Ibu kota tetap di daerah sekitar Sundapura, dan Tarusbawa bergelar Maharaja Sunda.
  • Reaksi Wretikandayun: Perubahan nama ini dijadikan alasan oleh Wretikandayun, penguasa kerajaan bawahan Tarumanagara di timur (Galuh), untuk melepaskan diri. Wretikandayun adalah raja Galuh (disebut juga kerajaan Kandiawan di daerah Kuningan sekarang) yang telah ada sebagai vasal Tarumanagara sejak awal abad ke-7 (Wretikandayun mendirikan Galuh tahun 612 M menurut tradisi). Melihat Tarusbawa “mengakhiri” Tarumanagara dan mendirikan entitas baru Sunda, Wretikandayun menuntut pemisahan wilayah timur menjadi kerajaan tersendiri. Ia merasa berhak atas kemerdekaan Galuh karena merupakan penguasa keturunan ningrat lokal (konon masih keturunan raja Salakanagara atau legenda Medang Kamulan).
  • Dukungan Kalingga: Yang membuat Wretikandayun berani menekan Tarusbawa adalah adanya dukungan politik dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah. Disebutkan putra mahkota Galuh, yaitu Mandiminyak (anak Wretikandayun), menikah dengan Parwati, putri dari Ratu Shima penguasa Kalingga. Aliansi pernikahan ini berarti Galuh punya sandaran kekuatan pada Kalingga. Ratu Shima kemungkinan tidak bermaksud ekspansi, namun dengan kedudukannya, ia bisa menjadi penengah atau pemberi pengaruh. Wretikandayun memanfaatkan hubungan ini untuk memperkuat posisinya menuntut Tarusbawa.
  • Tarusbawa Menghindari Perang Saudara: Tarusbawa saat itu berada dalam posisi sulit. Di satu sisi, ia baru mencoba menata ulang kerajaannya (dengan nama baru Sunda) pasca kemunduran Tarumanagara; di sisi lain, ia diultimatum oleh Wretikandayun yang didukung Kalingga. Tarusbawa tampaknya menilai bahwa berperang melawan Wretikandayun (yang notabene adalah mantan vasal Tarumanagara) berisiko memicu perang saudara luas dan belum tentu dimenangkan, mengingat kekuatan pusat yang menurun. Juga, keterlibatan Kalingga berarti konflik bisa meluas antar-kerajaan. Maka, demi menghindari perang, Tarusbawa menerima tuntutan tersebut.
  • Pembagian Wilayah 670 M: Pada tahun 670 M, disepakatilah pembagian bekas Tarumanagara menjadi dua kerajaan. Wilayah Barat (meliputi Banten, Jakarta, Bogor, sebagian Priangan barat) tetap di bawah Tarusbawa dengan nama Kerajaan Sunda, beribu kota di Pakuan (dekat Bogor). Wilayah Timur (Priangan timur, Galuh, hingga perbatasan Jawa Tengah) menjadi Kerajaan Galuh di bawah Wretikandayun, beribu kota di Purbasuka (daerah Kawali, Ciamis). Batas antara Sunda dan Galuh ditetapkan adalah Sungai Citarum. Sungai besar ini membelah kira-kira di tengah Jawa Barat, sehingga menjadi pemisah alamiah dua kerajaan kakak-beradik tersebut.

Dengan peristiwa di atas, berakhirlah riwayat Kerajaan Tarumanagara sebagai entitas tunggal. Secara de jure, Tarumanagara “digantikan” oleh Kerajaan Sunda dan Galuh per 670 M. Tarusbawa dipandang sebagai pendiri Dinasti Sunda (raja Sunda I) dan Wretikandayun sebagai pendiri Dinasti Galuh. Meskipun pembagian ini berlangsung damai melalui kesepakatan, tak pelak lagi ia terjadi karena lemahnya Tarumanagara pasca-Purnawarman. Tarusbawa tidak sanggup memaksakan penyatuan kembali, dan memilih opsi realistis membagi kerajaan. Hal ini adalah cermin bahwa militer Tarumanagara (Sunda) saat itu tidak cukup kuat untuk menundukkan Galuh yang didukung kekuatan lain.

Keputusan damai Tarusbawa patut diapresiasi karena berhasil menghindarkan kehancuran total akibat perang saudara. Namun, di sisi lain, langkah ini justru meninggalkan kekosongan kekuatan di Jawa bagian barat. Sunda dan Galuh berdiri terpisah dan awalnya mungkin belum berdaya sebesar Tarumanagara dulu. Kondisi ini agaknya dimanfaatkan oleh Sriwijaya dari barat. Sejarawan menyatakan bahwa kemerosotan Tarumanagara dan Kalingga membuka jalan bagi Sriwijaya menguasai jalur perdagangan barat Nusantara.

Dalam beberapa dekade setelah 670 M, Sriwijaya mencapai puncak hegemoninya. Kronik Tiongkok Dinasti Tang bahkan menyebut per tahun 680-an akhir, wilayah Sriwijaya meliputi sebagian Jawa: “… by the end of the 8th century, many western Javanese kingdoms, such as Tarumanagara and Kalingga, were within the Srivijayan sphere of influence”. Meskipun Tarumanagara sudah tiada, nama Tarumanagara disebut di sini untuk merujuk daerah bekasnya. Artinya, bekas wilayah Tarumanagara (Sunda dan Galuh) berada dalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Bisa jadi Sriwijaya tidak langsung menduduki secara militer, melainkan menjadikan kerajaan-kerajaan baru itu sebagai sekutu bawahan atau taklukan ekonomi. Misalnya, mungkin Kerajaan Sunda membayar upeti kepada Maharaja Sriwijaya untuk diizinkan berdagang, dsb. Kita mengetahui di abad ke-8, menantu Tarusbawa yakni Sanjaya (raja Mataram Kuno) pernah bertakluk pada kekuasaan maritim Sriwijaya sebelum akhirnya melepaskan diri di abad berikutnya. Semua ini menggarisbawahi bahwa dominasi Tarumanagara di Jawa Barat digantikan oleh dominasi Sriwijaya selepas abad ke-7 M.

Adapun Kerajaan Sunda dan Galuh pasca perpecahan sempat menjalani hubungan pasang-surut. Mereka awalnya setara dan terpisah, namun kemudian takdir menyatukan kembali lewat sosok Rakai Sanjaya. Sanjaya adalah cucu Wretikandayun (Galuh) sekaligus menantu Tarusbawa (Sunda). Ia berhasil menjadi raja Galuh dan Sunda secara bersamaan pada tahun 723 M, menyatukan dua kerajaan itu di bawah kekuasaan satu orang (walau setelahnya terpisah lagi dan bersatu lagi beberapa kali). Namun, perkembangan ini sudah memasuki abad ke-8 M dan termasuk sejarah Kerajaan Mataram Kuno, di luar cakupan fokus Tarumanagara abad ke-5 s.d. 7 M.

Yang jelas, peperangan di akhir abad ke-7 melibatkan pihak Tarumanagara (Sunda/Galuh) bukan melawan tetangga di Jawa, melainkan melawan infiltrasi Sriwijaya. Kemungkinan perang tidak selalu berupa pertempuran besar, bisa juga berupa tekanan ekonomi dan politik. Tidak tertutup kemungkinan terjadi bentrok bersenjata di pelabuhan-pelabuhan antara pasukan Sriwijaya dan pasukan lokal Sunda/Galuh sekitar akhir 600-an atau awal 700-an, meskipun catatannya tak ada. Sriwijaya dikenal memiliki armada laut kuat; mereka bisa saja menyerang pusat-pusat dagang strategis di Selat Sunda atau pantai utara Jawa Barat untuk memutus jaringan Tarumanagara. Akhirnya, setelah Tarumanagara terpecah, Sriwijaya berdiri sebagai penguasa tunggal jalur maritim barat, sementara Jawa Barat diliputi dalam bayang-bayangnya.

Dampak Peperangan terhadap Kekuasaan Regional

Rangkaian peperangan dan konflik yang dialami Tarumanagara pada abad ke-5 hingga ke-7 M memiliki dampak besar terhadap konfigurasi politik di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya.

1. Konsolidasi Jawa Barat di Bawah Tarumanagara:
Peperangan ekspansif Raja Purnawarman pada abad ke-5 menyatukan wilayah yang sebelumnya terpecah. Untuk pertama kalinya, sebagian besar tanah Pasundan tunduk pada satu kerajaan sentral. Dampaknya, budaya dan administrasi lebih terintegrasi: bahasa Sanskerta dan aksara Pallawa menyebar (dibuktikan oleh prasasti di berbagai tempat), agama Hindu berkembang merata, dan muncul identitas politik “Taruma” yang menaungi bermacam suku di Jawa Barat. Dominasi Tarumanagara juga memastikan stabilitas regional – tidak ada lagi pertikaian besar antarkerajaan lokal karena semua berada di bawah panji Purnawarman. Kondisi damai ini (Pax Taruma) memungkinkan pembangunan infrastruktur (seperti irigasi Tugu) dan berkembangnya ekonomi. Hubungan dagang internasional pun meningkat; terbukti Tarumanagara dapat mengirim duta ke Tiongkok berkali-kali, sesuatu yang butuh sumber daya dan keamanan wilayah. Jadi, kemenangan perang Tarumanagara berbuah kepemimpinan regional yang kuat selama kurang lebih dua abad.

2. Terbentuknya Kerajaan-Kerajaan Penerus di Tatar Sunda:
Kekalahan atau kemunduran Tarumanagara pada akhir abad ke-7 justru melahirkan entitas-entitas politik baru. Dengan runtuhnya Tarumanagara, Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh muncul sebagai penerus dinasti di Jawa Barat. Keduanya melanjutkan garis kebudayaan Tarumanagara (misal: memakai gelar raja, meneruskan tradisi Hindu-Buddha, dll.) namun dengan skala lebih kecil. Perpecahan ini melemahkan kekuatan politik Jawa Barat secara keseluruhan, setidaknya sampai bersatunya kembali di bawah Sanjaya pada 723 M. Namun, di sisi lain, ini juga mengawali era baru dinasti Sunda-Galuh yang akan bertahan hingga era Pajajaran (abad ke-16). Peperangan Tarumanagara-Sriwijaya yang berakhir dengan kehancuran Taruma bisa dianggap sebagai catalyst lahirnya negara baru di Pasundan. Dalam jangka panjang, Kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) berkembang menjadi kerajaan stabil yang wilayahnya kurang-lebih sepadan dengan bekas Tarumanagara, meski secara militer tidak seekspansif pendahulunya.

3. Perubahan Hegemoni Regional Sumatra-Jawa:
Dengan tumbangnya Tarumanagara dan Kalingga, pusat kekuatan Nusantara bergeser ke Sriwijaya (Sumatra). Sriwijaya menjadi penguasa maritim yang mengendalikan perdagangan di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Jawa bagian barat, sampai mungkin ke Asia Tenggara lainnya. Ini berarti Jawa Barat tidak lagi menjadi pemain dominan di perdagangan internasional seperti masa Tarumanagara, melainkan menjadi bagian dari orbit Sriwijaya. Dampak ekonominya cukup terasa: kemungkinan pelabuhan-pelabuhan di pantai barat dan utara Jawa Barat (seperti Kalapa/Sunda Kelapa) berada di bawah bayang-bayang Sriwijaya, dengan kebijakan perdagangan diatur oleh pusat Sriwijaya di Palembang. Secara politis, Sriwijaya mungkin menempatkan wakil atau menjalin perkawinan dengan bangsawan lokal Sunda/Galuh untuk memastikan pengaruhnya. Meskipun begitu, bukti menunjukkan bahwa pada awal abad ke-8, kekuasaan Sriwijaya di Jawa mulai diimbangi oleh bangkitnya Dinasti Sanjaya (Mataram Kuno) di Jawa Tengah – di mana Sanjaya itu sendiri berdarah Sunda-Galuh. Artinya, ada semacam kontinuitas perlawanan Jawa terhadap dominasi Sriwijaya pasca runtuhnya Tarumanagara, yang memuncak dengan pendirian Kerajaan Mataram Hindu. Namun, periode itu sudah memasuki era berikutnya.

4. Transformasi Sosial-Budaya:
Peperangan dan ekspansi Tarumanagara membawa serta asimilasi budaya. Suku-suku di Jawa Barat yang ditaklukkan secara bertahap mengadopsi budaya kerajaan penakluk (misalnya agama Hindu, sistem kerajaan, penggunaan bahasa Sansekerta untuk prasasti, dsb.). Jejaknya tampak dari temuan arkeologi seperti arca Wisnu di daerah Cibuaya Karawang – menandakan penetrasi budaya Taruma sampai ke pesisir utara Jawa Barat. Di lain pihak, runtuhnya Tarumanagara oleh Sriwijaya turut berarti masuknya pengaruh Melayu-Sriwijaya ke Jawa Barat. Kemungkinan bahasa Melayu Kuno mulai digunakan di pelabuhan barat (kelak prasasti Sunda dari abad ke-10 ada yang berbahasa Melayu Kuno). Juga, ajaran Buddha dari Sriwijaya bisa jadi diperkenalkan di Jawa Barat, meskipun dominasi Hindu Sunda tetap kuat. Intinya, perang tidak hanya mengubah peta politik tetapi juga membawa arus budaya baru ke wilayah yang terlibat.

5. Pelajaran Diplomasi dan Pertahanan:
Kisah Tarumanagara memberikan pelajaran bahwa kekuatan regional harus sigap menghadapi ancaman asing. Tarumanagara unggul dalam menundukkan tetangga satu pulau, tetapi akhirnya takluk oleh serbuan dari seberang lautan. Ini menekankan pentingnya angkatan laut dan diplomasi luar pulau. Andaikata Tarumanagara pada 680-an M memiliki armada laut tangguh atau bersekutu dengan kekuatan lain melawan Sriwijaya, mungkin nasibnya berbeda. Hal ini disadari oleh penerus di Jawa, contohnya Mataram Hindu di abad 8–9 membangun aliansi perkawinan dengan Sriwijaya (Wangsa Sailendra) untuk menghindari konflik langsung, sebelum akhirnya di abad 10 Raja Dharmavamsa dan kemudian Airlangga menantang Sriwijaya secara militer. Tarumanagara sebagai pionir barangkali tidak sempat mengantisipasi ancaman besar dari Sumatra, sehingga menjadi korban pertama ekspansionisme Sriwijaya. Dampaknya, di kemudian hari kerajaan-kerajaan Jawa lebih berhati-hati dan memodernisasi pertahanan maritim mereka.

Pada akhirnya, sejarah perang-perang Tarumanagara dari abad ke-5 hingga ke-7 M memperlihatkan sebuah siklus kejayaan dan keruntuhan yang dramatis. Di bawah Raja Purnawarman, Tarumanagara menggunakan kekuatan militer untuk ekspansi luas: menaklukkan raja-raja di tatar Sunda, menyatukan wilayah Jawa Barat, dan mengukuhkan diri sebagai kerajaan terkuat di pulau Jawa bagian barat. Prasasti-prasasti Tarumanagara menjadi saksi bisu kehebatan militer masa itu – bagaimana Purnawarman digjaya di medan perang, lengkap dengan gajah perang, zirah baja, dan taktik menggempur kota musuh. Tujuan ekspansi ini jelas: dominasi regional dan kemakmuran kerajaan. Strategi militer yang diterapkan mencerminkan kemampuan tempur yang maju, keberanian personal sang raja, serta kepiawaian mengintegrasikan wilayah taklukan ke dalam struktur kerajaan.

Namun, memasuki abad ke-7, Tarumanagara menghadapi tantangan yang tak mampu diatasinya. Tekanan eksternal dari imperium Sriwijaya bertepatan dengan fragmentasi internal kerajaan. Tarumanagara melemah dan akhirnya “berevolusi” menjadi dua kerajaan baru (Sunda dan Galuh) pada tahun 670 M melalui kompromi politik. Tidak lama setelah itu, bekas kejayaan Tarumanagara sirna di bawah bayang-bayang hegemoni Sriwijaya yang menguasai perairan nusantara barat. Perang di masa akhir Tarumanagara bukanlah perang kemenangan, melainkan perang yang berujung pada redupnya sebuah kerajaan tua.

Dampak keseluruhan dari rangkaian peperangan ini terlihat dalam lanskap sejarah Nusantara selanjutnya. Wilayah Jawa Barat tetap menjadi salah satu pusat peradaban (melalui Kerajaan Sunda), namun tidak lagi menjadi aktor dominan di kawasan karena harus berbagi kekuasaan dengan kekuatan luar (Sriwijaya). Meskipun begitu, warisan Tarumanagara terus hidup: tradisi kerajaan Sunda mengakui Tarusbawa sebagai penerus Tarumanagara, bahkan Raja-raja Sunda selanjutnya menempatkan Purnawarman sebagai leluhur yang agung. Prasasti-prasasti peninggalan Tarumanagara pun masih dihormati sebagai bukti awal mula sejarah tertulis di Jawa Barat.

Sebagai penutup, sejarah Tarumanagara mengajarkan bahwa kejayaan militer harus diimbangi visi jauh ke depan. Purnawarman berhasil membangun imperium regional melalui perang, tapi tantangan zaman yang berubah (munculnya musuh baru, dinamika politik baru) menuntut adaptasi. Ekspansi memberi Tarumanagara supremasi sementara, namun ketahanan jangka panjang memerlukan lebih dari sekadar kemenangan perang – perlu aliansi, inovasi, dan persatuan yang mampu menghadapi goncangan besar. Tarumanagara gugur sebelum sempat bertransformasi lebih lanjut, namun kisah peperangannya memberikan fondasi berharga bagi tumbuhnya identitas politik dan sejarah di Jawa bagian barat pada masa-masa selanjutnya.

Referensi:

  1. Prasasti Ciaruteun – Wikipedia (akses 2025)
  2. Prasasti Jambu (Pasir Koleangkak) – Wikipedia (akses 2025)
  3. Prasasti Kebon Kopi I (Tapak Gajah) – Wikipedia (akses 2025)
  4. Prasasti Cidanghiang (Munjul) – Wikipedia (akses 2025)
  5. Prasasti Tugu – Wikipedia (akses 2025)
  6. Berita Fa-Hien & Kronik Tiongkok – Wikipedia (akses 2025)
  7. Naskah Wangsakerta & Raja-raja Tarumanagara – Wikipedia (akses 2025)
  8. Ekspansi Purnawarman – Wikipedia (akses 2025)
  9. Pembagian Tarumanagara 670 M – Wikipedia (akses 2025)
  10. Invasi Sriwijaya ke Jawa – Wikipedia (akses 2025)
  11. Kemunduran Tarumanagara – Great Sunda (akses 2025)
  12. Aliansi Galuh-Kalingga – Wikipedia (akses 2025)
  13. Utusan Tarumanagara ke Tiongkok – Wikipedia (akses 2025)
  14. Tarumanagara dalam historiografi modern – Wikipedia (akses 2025)

About administrator