Sejarah perang antara Kerajaan Kahuripan (di bawah Airlangga) dan Bali pada awal abad ke-11, termasuk latar belakang hubungan politik dan kekerabatan antara Jawa dan Bali, ekspedisi militer Airlangga ke Bali, serta dampaknya terhadap kekuasaan regional di Nusantara bagian timur.
Latar Belakang Hubungan Politik Bali dan Jawa
Pada akhir abad ke-10, hubungan politik antara pulau Jawa dan Bali terjalin erat melalui aliansi pernikahan kerajaan. Bali pada masa itu diperintah oleh Dinasti Warmadewa, sementara Jawa bagian timur dikuasai oleh Dinasti Isyana dari Kerajaan Medang (Mataram). Demi memperkuat ikatan dan stabilitas kawasan, Raja Udayana Warmadewa dari Bali menikahi seorang putri bangsawan Jawa, Mahendradatta (juga dikenal sebagai Gunapriyadharmapatni). Mahendradatta adalah putri Dinasti Isyana – ia diduga putri raja Medang Sri Makutawangsawarddhana atau kerabat dekat Raja Dharmawangsa Teguh. Pernikahan politik ini dimaksudkan untuk mengintegrasikan Bali ke dalam pengaruh Medang di Jawa Timur. Dengan kata lain, Bali di awal abad ke-11 kemungkinan berstatus sekutu atau bahkan vasal dari kerajaan Jawa, sehingga pernikahan Udayana–Mahendradatta menjadi sarana memperkokoh Bali sebagai bagian dari mandala kekuasaan Medang.
Pernikahan tersebut menghasilkan keturunan yang menghubungkan dua wangsa besar Nusantara: Wangsa Warmadewa di Bali dan Wangsa Isyana di Jawa. Putra sulung mereka adalah Airlangga, lahir sekitar tahun 990 di Bali. Airlangga sejak lahir membawa garis darah Bali-Jawa, menjadikannya figur penting yang mewarisi legitimasi kedua belah pihak. Ia memiliki dua adik yang lahir dari Udayana dan Mahendradatta, yaitu Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu. Kedua adiknya kelak menjadi raja-raja di Bali: Marakata naik takhta setelah Udayana mangkat, disusul kemudian oleh Anak Wungsu. Uniknya, Airlangga sebagai putra tertua justru tidak menggantikan ayahnya di Bali, melainkan dikirim kembali ke Jawa oleh sang ibu ketika remaja. Hal ini menandakan adanya strategi dinasti di mana Airlangga dipersiapkan untuk memulihkan kejayaan keluarga Isyana di Jawa, sementara adik-adiknya melanjutkan pemerintahan di Bali.
Sebelum pernikahan politik tersebut, hubungan Bali-Jawa telah terjalin melalui kontak dagang dan budaya, bahkan mungkin melalui konflik. Prasasti Blanjong (Belanjong) di Sanur, Bali, bertarikh 914 M (835 Śaka), menjadi bukti tertua keberadaan kerajaan di Bali. Prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa ini ditulis dalam bahasa Bali Kuno dan Sanskerta, mengisahkan kemenangan militernya atas musuh di wilayah “Gurun” (kemungkinan Nusa Penida) dan “Swal” (daerah sekitar pantai Ketewel). Ini menunjukkan bahwa dinasti Bali sudah mampu melakukan ekspedisi militer lokal sejak abad ke-10 dan memiliki kontak dengan wilayah sekitarnya. Selain itu, Belanjong juga menunjukkan penggunaan dua bahasa dan aksara (Pranagari dan Kawi), menandakan interaksi intelektual Bali dengan tradisi India dan Jawa. Dengan latar semacam ini, Bali tumbuh sebagai kerajaan Hindu-Buddha yang berbudaya tinggi, namun tetap terbuka pengaruh dari Jawa.
Sementara itu di Jawa Timur, Kerajaan Medang periode Isyana mencapai puncak kejayaan di bawah Raja Dharmawangsa Teguh (990–1016 M). Medang berekspansi secara agresif: menurut sumber, pada masa itu Medang bahkan melakukan penaklukan ke Bali dan mendirikan koloni di Kalimantan Barat. Hal ini mungkin merujuk pada langkah Dharmawangsa mengamankan Bali sebagai sekutu/vasal lewat pernikahan adiknya (atau putri kerabatnya) Mahendradatta dengan Udayana. Dharmawangsa juga menantang hegemoni Kerajaan Sriwijaya (Sumatra) – tercatat ia pernah mengirim ekspedisi militer menyerang ibu kota Sriwijaya di Palembang pada tahun 990 M, meski akhirnya gagal. Ambisi regional Dharmawangsa ini membuatnya membangun jaringan kekuatan di Nusantara, termasuk Bali. Dengan Udayana dan Mahendradatta berkuasa di Bali serta Dharmawangsa di Jawa, pada pergantian abad ke-11 tampak ada tatanan aliansi Bali-Jawa yang erat. Bali kemungkinan mengakui supremasi politik Medang, sembari tetap diperintah keluarga Warmadewa setempat.
Pernikahan Mahendradatta dan Udayana
Pernikahan Mahendradatta dengan Udayana pada dasarnya adalah perwujudan konkrit hubungan politik Bali-Jawa tersebut. Mahendradatta, yang menyandang gelar Sri Gunapriyadharmapatni di Bali, merupakan tokoh berpengaruh. Dalam beberapa prasasti Bali, Udayana dan Mahendradatta disebut berkuasa bersama (co-ruler), menandakan peran Mahendradatta sebagai permaisuri sekaligus pemegang otoritas. Misalnya, beberapa prasasti dikeluarkan atas nama berdua, mencerminkan integrasi dua tradisi kerajaan. Dari pernikahan ini lahirlah Airlangga pada tahun 990 (sebagian sumber menyebut 1001/1002) di istana Bali. Kelahiran Airlangga dianggap penting secara politis: ia membawa darah Mataram Kuno (Isyana) sekaligus Warmadewa, sehingga dapat menjadi figur pemersatu dua wilayah.
Menurut Prasasti Pucangan (juga dikenal sebagai Calcutta Stone, berangka tahun 1041 M) yang dikeluarkan Airlangga, silsilah keluarganya dijelaskan panjang lebar sebagai upaya melegitimasi kekuasaannya. Prasasti Pucangan menyebut bahwa Airlangga adalah keturunan Sri Isana (Mpu Sindok) pendiri dinasti Medang di Jawa Timur, sekaligus keturunan Wangsa Warmadewa di Bali. Bahkan dijelaskan lebih rinci: Mpu Sindok memiliki putri bernama Sri Isanatunggawijaya yang menikah dengan Sri Lokapala, bangsawan Bali. Dari pasangan Jawa-Bali ini lahir Sri Makutawangsawarddhana yang memerintah Medang hingga 991 M, dan memiliki putri Mahendradatta. Dengan demikian Mahendradatta adalah cucu Mpu Sindok sekaligus terhubung dengan trah Bali. Vernika Hapri Witasari dalam kajiannya atas Prasasti Pucangan menegaskan bahwa Dharmawangsa Teguh di Jawa adalah sepupu Mahendradatta (anak dari saudara Mahendradatta). Jadi Airlangga merupakan keponakan Raja Dharmawangsa di Jawa dan sekaligus putra Raja Udayana di Bali – posisi genealogis yang memberinya hak klaim atas dua wilayah ini. Aliansi perkawinan ini jelas memperkuat hubungan politik: Bali menjadi sekutu strategis Medang, dan diikat melalui keturunan bersama.
Keruntuhan Medang Tahun 1016 (Pralaya Mataram)
Koalisi Bali-Jawa yang tampak kokoh itu menghadapi ujian berat di awal abad ke-11. Puncaknya adalah peristiwa Mahapralaya Medang (kehancuran besar Medang) pada tahun 1016 M. Pada tahun tersebut, saat Medang dipimpin Raja Dharmawangsa Teguh, terjadi serangan mendadak yang meluluhlantakkan istana Medang di Wwatan (Watugaluh, Jawa Timur). Penyerangan ini dipimpin oleh Raja Wurawari dari Lwaram, seorang raja bawahannya sendiri yang berkhianat. Prasasti Pucangan mengabadikan tragedi ini, menyebutnya sebagai bencana besar layaknya “air bah yang mematikan”. Menurut pembacaan ilmuwan J. L. A. Kern yang diperkuat oleh sejarawan de Casparis, serangan Wurawari terjadi pada tahun 938 Saka (sekitar 1016 M). Peristiwa itu konon berlangsung ketika Airlangga sedang melangsungkan pesta pernikahan dengan putri Dharmawangsa di istana Wwatan. Timing yang tidak terduga ini membuat kehancuran makin lengkap: Dharmawangsa Teguh gugur terbunuh, beserta hampir seluruh keluarga istana Medang yang hadir dalam pesta. Api menghanguskan keraton Wwatan, menandai akhir tragis Dinasti Isyana di Jawa.
Airlangga, yang saat itu baru berusia sekitar 16 tahun, berhasil lolos dari maut. Menurut Pucangan, hanya dialah satu-satunya bangsawan muda yang selamat dari pembantaian tersebut. Ditemani pengawalnya yang setia, Mpu Narotama, Airlangga melarikan diri menunggangi kuda menembus kekacauan. Ia meninggalkan kota yang terbakar dan mengungsi ke hutan pegunungan. Tradisi menyebut Airlangga menuju ke sebuah pertapaan di bukit Vanagiri (diperkirakan di Wonogiri, perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur). Dalam pelarian itu Airlangga beralih rupa menjadi petapa, menjalani kehidupan sederhana di tengah rimba untuk menghindari incaran musuh. Usianya yang belia dan keadaan Jawa yang kacau memaksanya bersembunyi sambil menimba kekuatan batin. Salah satu situs yang diyakini sebagai tempat persinggahan Airlangga dalam masa persembunyian adalah Sendang Made di Kudu, Jombang – jejak lokal yang hingga kini dikenang masyarakat.
Apakah Bali terpengaruh langsung? Secara langsung, serangan 1016 terjadi di Jawa dan tidak menyebar ke Bali. Namun implikasinya besar: kerajaan Bali kehilangan mitra sekaligus “pelindung” di Jawa. Jika sebelumnya Bali bersekutu/bernaung di bawah Medang, maka dengan runtuhnya Medang, Bali menjadi lebih independen secara de facto. Raja Udayana di Bali saat itu kemungkinan masih berkuasa (meski beberapa sumber menyebut Udayana wafat sekitar 1011 M, kemudian digantikan sejenak oleh seorang ratu, lalu putranya Marakata naik takhta). Yang jelas, ikatan politik Bali-Jawa sempat terganggu oleh kekacauan ini. Bahkan Mahendradatta, ibu Airlangga, diyakini wafat sekitar periode tersebut (ada legenda di Bali bahwa sang permaisuri terlibat praktik ilmu hitam lalu meninggal dalam kondisi tragis – cerita rakyat Calon Arang mengaitkannya dengan sosok Rangda, meski historisitasnya diragukan). Pasca kehancuran Medang, Bali di bawah Marakata dan pembesar seperti Mpu Kuturan tampaknya mengurus pemerintahannya sendiri tanpa campur tangan Jawa. Sriwijaya pun mungkin melihat peluang untuk memperluas pengaruh ke Bali, namun tidak ada catatan langsung tentang invasi Sriwijaya ke Bali saat itu. Stabilitas internal Bali relatif terjaga di bawah dinasti Warmadewa, sementara Jawa Timur terpecah-belah dalam kekosongan kekuasaan.
Sejarawan modern menilai penyebab kehancuran Medang 1016 memang terkait politik luar pulau. Serangan Wurawari diyakini didalangi oleh Sriwijaya sebagai aksi balas dendam atas agresi Dharmawangsa sebelumnya. Sri Cūḷāmaṇivarmadeva, Maharaja Sriwijaya kala itu, kemungkinan menghasut Wurawari yang merupakan vasal Medang untuk berontak. Hasilnya efektif: ancaman dari Jawa terhadap Sriwijaya musnah seketika. Bagi Bali, lenyapnya Dharmawangsa berarti putusnya dominasi politik Jawa atas Bali untuk sementara. Namun hal ini juga membuka peluang bagi Airlangga, sang pewaris campuran Bali-Jawa, untuk tampil mengisi kekosongan kekuasaan di Jawa.
Kebangkitan Airlangga dan Berdirinya Kerajaan Kahuripan
Setelah bersembunyi beberapa tahun, Airlangga akhirnya memenuhi takdirnya untuk bangkit. Tiga tahun pasca pralaya, tepatnya tahun 1019 M (941 Saka), Airlangga didatangi oleh utusan rakyat, para pejabat lokal, dan pendeta yang masih setia pada dinasti Medang. Mereka memohon agar Airlangga bersedia memimpin dan menghidupkan kembali sisa-sisa kejayaan Medang yang hancur. Prasasti Pucangan menggambarkan momen penting ini dalam bahasa puitis. Dikisahkan bahwa pada tahun 941 Saka bulan Magha, para abdi dan brahmana terkemuka menghadap Airlangga – yang disebut “raja di raja Erlangga” – dengan penuh hormat. Mereka memohon: “Perintahlah negara ini sampai batas-batas yang paling jauh!”. Desakan dan dukungan tulus dari rakyat serta tokoh agama inilah yang meyakinkan Airlangga untuk keluar dari pengasingan dan menyusun kembali negara.
Pada titik ini, Airlangga berusia sekitar 26 tahun dan menyadari tanggung jawab besarnya. Langkah pertama yang ia lakukan adalah mencari pusat kekuasaan baru, karena ibu kota lama (Wwatan) telah musnah. Airlangga mendirikan ibu kota baru bernama Watan Mas di lereng Gunung Penanggungan (daerah Mojokerto sekarang). Lokasi ini dipilih barangkali karena strategis: relatif terpencil dan mudah dipertahankan, namun cukup dekat dengan wilayah subur delta Brantas. Meski Airlangga dinobatkan sebagai raja (dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramottunggadewa) sekitar 1019 M, wilayah kekuasaannya pada awalnya sangatlah kecil. Catatan menunjukkan hanya daerah Mojokerto, Sidoarjo, hingga Pasuruan yang langsung tunduk padanya saat itu. Bekas kerajaan Medang terpecah menjadi banyak daerah otonom yang melepaskan diri setelah kematian Dharmawangsa. Tantangan Airlangga adalah menyatukan kembali Jawa Timur dari puing-puing politik.
Airlangga memulai konsolidasi dengan strategi diplomasi dan rekonsiliasi. Ia berhasil menarik kembali para pejabat dan penguasa lokal yang sebelumnya setia pada keluarga Isyana untuk berkoalisi dengannya. Selain dukungan kaum bangsawan, ia juga merangkul tiga kelompok pendeta utama (Hindu Siwa, Buddha, dan Brahmana) agar memberi legitimasi spiritual pada pemerintahannya. Tak lupa, ia segera mengadakan perjanjian damai dengan Sriwijaya di barat, guna mengamankan punggung sebelum fokus ke dalam negeri. Perdamaian dengan Sriwijaya ini krusial mengingat musuh lamanya itu baru saja menang telak; Airlangga bijak untuk tidak memancing konflik baru dengan Sriwijaya. Bahkan beberapa tahun kemudian, hubungan Kahuripan–Sriwijaya diperkuat lewat pernikahan: Airlangga mengambil seorang putri Sriwijaya bernama Dharmaprasadottungadevi sebagai permaisuri. Ratu ini adalah putri Raja Sriwijaya yang kerajaannya diserbu Rajendra Chola dari India pada 1025, sehingga ia mengungsi ke Jawa dan dinikahi Airlangga. Dengan ikatan tersebut, Airlangga sekaligus memperoleh aliansi dan prestise internasional, serta menegaskan sikap rekonsiliatif terhadap musuh lama.
Setelah situasi luar relatif aman, Airlangga mengalihkan perhatian pada ekspansi dalam negeri. Periode 1020-an hingga 1030-an merupakan masa peperangan berkelanjutan di Jawa Timur saat Airlangga menundukkan musuh-musuh regionalnya. Disebutkan dalam berbagai prasasti (terutama Prasasti Pucangan 1041 M) bahwa rentang 1029–1035 M dipenuhi kampanye militer Airlangga ke segala penjuru: barat, timur, dan selatan. Strategi militernya terbilang cerdik dan sistematis. Ia tidak menyerang semuanya sekaligus, tetapi menaklukkan musuh satu per satu, memanfaatkan momen kelemahan lawan. Berikut beberapa peristiwa kunci penaklukan Airlangga:
- 1029 M: Airlangga pertama-tama menumpas Raja Hasin dari Wengker Selatan (lokasi Wengker umumnya di sekitar Ponorogo/Trenggalek). Selanjutnya di tahun yang sama ia mengalahkan Wisnuprabhawa, raja daerah Wuratan, yang notabene putra seorang raja bawahan Medang yang dulu ikut memberontak di 1016. Setelah Wuratan jatuh, Airlangga menundukkan Wijayawarmma, Raja Wengker (daerah barat, mungkin Tulungagung), lalu menaklukkan Panuda, Raja Lewa. Secara bertahap ia memukul mundur para penguasa lokal yang dulu memanfaatkan kekosongan kekuasaan.
- 1031 M: Putra Raja Panuda dari Lewa mencoba melakukan perlawanan balik untuk membalas kematian ayahnya. Namun Airlangga sigap menghadapi: pasukannya menumpas serangan balasan ini dan bahkan menghancurkan ibu kota Lewa hingga lebur. Akan tetapi, tahun 1031 juga memberi cobaan bagi Airlangga. Seorang ratu (penguasa wanita) dari Lodoyong bernama Dyah Tulodong melakukan perlawanan sengit. Pasukannya berhasil menyerbu ibu kota Watan Mas dan menghancurkannya, memaksa Airlangga sejenak mundur dari pusat kekuasaannya. Peristiwa ini terekam dalam Prasasti Terep (1032 M). Airlangga terpaksa melarikan diri ke Desa Patakan (Lamongan) ditemani seorang abdi setianya, Mapanji Tumanggala. Meskipun mengalami kekalahan sementara, Airlangga segera bangkit kembali. Ia memanfaatkan waktu ini untuk memindahkan ibu kota ke tempat yang lebih aman.
- 1032 M: Airlangga mendirikan ibu kota baru bernama Kahuripan di wilayah Sidoarjo sekarang. Nama “Kahuripan” kelak menjadi identitas kerajaannya (kerap disebut Kerajaan Medang Kahuripan atau singkatnya Kahuripan). Dengan basis baru ini, Airlangga mengerahkan kekuatan penuh membalas kekalahan. Ratu Lodoyong yang telah menghinakannya berhasil dikalahkan pada tahun yang sama (1032). Di penghujung 1032, Airlangga bersama Mpu Narotama juga berhasil menangkap dan mengeksekusi Raja Wurawari dari Lwaram. Inilah klimaks emosional: Airlangga akhirnya membalaskan dendam keluarganya atas pembantai Wwatan 1016. Wurawari tewas, menutup buku kelam pengkhianatan terhadap wangsa Isyana.
- 1035 M: Airlangga menumpas pemberontakan terakhir yang tersisa, yakni perlawanan kedua dari Wijayawarmma (Wengker) yang pernah ia kalahkan dulu. Wijayawarmma sempat kabur dari ibu kota Tapa, namun kemudian tewas dibunuh rakyatnya sendiri – menandakan betapa pamor Airlangga di mata rakyat bawah mungkin lebih baik daripada raja lokal itu. Dengan tewasnya pemberontak terakhir pada 1035, Airlangga meneguhkan kontrol penuh atas Jawa Timur.
Setelah melalui pertumpahan darah bertahun-tahun, Kerajaan Airlangga memasuki periode stabil. Wilayah kekuasaannya membentang luas dari Madiun di barat hingga Pasuruan di timur – secara kasar mencakup sebagian besar bekas teritori Medang. Bahkan beberapa sumber menyebut pengaruhnya menjangkau Jawa Tengah bagian timur juga. Pantai utara Jawa (pasisir) untuk pertama kalinya berkembang sebagai pusat niaga penting, terutama pelabuhan Hujung Galuh di muara Brantas (dekat Surabaya) dan Kambang Putih (Tuban). Airlangga memperkuat ekonomi dengan membangun infrastruktur: ia menggali Bendungan Waringin Sapta (1037) untuk irigasi dan pengendalian banjir, memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, serta membangun jalan-jalan lintas pesisir. Pada 1036 ia mendirikan biara Śrīvijayasrama untuk memuja ratu permaisurinya yang berlatar Sriwijaya, sebagai simbol rekonsiliasi politik. Di bidang budaya, Airlangga melindungi kesenian dan sastra: Mpu Kanwa menulis kakawin Arjunawiwaha pada 1035, sebuah epos alegoris yang menggambarkan keberanian Arjuna mengalahkan raksasa Niwatakawaca – alegori kemenangan Airlangga atas musuh-musuhnya seperti Wurawari.
Singkatnya, hingga pertengahan dekade 1030-an, Airlangga sukses memulihkan hegemoni Jawa Timur, membangun kembali kerajaan yang sering disebut sebagai Kerajaan Kahuripan. Kerajaan ini dipandang sebagai penerus Medang, dengan Airlangga menempatkan dirinya seolah pewaris Dharmawangsa dan Mpu Sindok. Bahkan ia menggelari dirinya “Sri Dharmawangsa Airlangga” untuk menegaskan hubungan darah dengan pamannya yang gugur. Dengan keamanan internal terjamin, Airlangga mulai melirik ekspansi pengaruh ke luar Jawa – termasuk ke pulau Bali, tanah kelahirannya.
Ekspedisi Airlangga ke Bali dan Perluasan Pengaruh Kahuripan
Menjelang akhir masa pemerintahannya, Airlangga tidak hanya berpuas diri menguasai Jawa Timur. Ia juga berupaya memperluas pengaruh Kahuripan ke wilayah-wilayah sekitarnya, seiring melemahnya rival utama, Sriwijaya. Perlu dicatat bahwa pada 1025 M, Sriwijaya mengalami pukulan telak akibat serbuan Rajendra Chola I dari India. Ibu kota Sriwijaya di Sumatra dijarah, dan kekuatan maritimnya surut sementara. Momentum ini dimanfaatkan Airlangga untuk bergerak lebih leluasa. Sejak Sriwijaya melemah, tidak ada lagi kekuatan maritim besar yang menghalangi ekspansi Jawa ke pulau-pulau lain. Maka sekitar akhir 1030-an, Airlangga mulai meluaskan jangkauan politiknya. Sumber-sumber sejarah menyebut dua ekspedisi luar Jawa di masa Airlangga: pertama ke Kalimantan Barat (melanjutkan koloni yang dulu dirintis Medang) dan kedua ke Pulau Bali.
Ekspansi ke Bali sangat penting bagi Airlangga secara pribadi maupun strategis. Bali adalah tanah ayahnya dan leluhur dari garis Warmadewa, sehingga Airlangga mungkin merasa berhak atas pengaruh di sana. Selain itu, menguasai Bali berarti mengamankan jalur perdagangan dan memperluas jaringan kekuasaan ke timur. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Airlangga berhasil memperluas kekuasaannya hingga ke Bali. Prasasti-prasasti peninggalannya dan kronik belakangan menyebut pengaruh Airlangga “diakui sampai ke Bali”. Artinya, kemungkinan Bali tunduk sebagai daerah taklukan atau sekutu bawahan Kahuripan dalam periode ini. Sejarawan H.J. de Casparis bahkan menduga Airlangga memiliki jaringan hubungan dengan raja-raja lain di Asia Tenggara, yang mungkin termasuk penguasa di Bali, Champa, atau daerah lain, meskipun bukti konkretnya terbatas. Yang jelas, sekitar tahun 1035–1041, kekuasaan Airlangga mencapai puncak territorial: Jawa Timur bersatu, Jawa Tengah bagian timur terkendali, Bali mengakui pengaruhnya, dan mungkin hubungan diplomatik terjalin luas.
Bagaimana proses integrasi Bali ini terjadi? Sumber primer langsung mengenai ekspedisi militer ke Bali pada masa Airlangga memang minim. Namun para sejarawan modern merekonstruksi peristiwa tersebut dari petunjuk kronik dan prasasti. Diduga Airlangga mengirim ekspedisi armada laut menyeberangi Selat Bali dipimpin salah satu senapati kepercayaannya (mungkin Mpu Narotama atau panglima lain) sekitar akhir 1030-an. Tidak ada catatan pertempuran besar yang terdokumentasi, sehingga kemungkinan Bali tidak melakukan perlawanan alot. Hal ini masuk akal mengingat raja Bali pada masa itu adalah adik Airlangga sendiri, Marakata Pangkaja, yang memerintah sekitar 1020-an hingga 1040-an awal. Marakata (bergelar lengkap Sri Dharmawangsawardhana Marakatapangkaja) bahkan menggunakan gelar “Dharmawangsa” dalam namanya, menunjukkan penghormatan kepada mendiang Dharmawangsa Teguh di Jawa. Ini pertanda bahwa Bali di bawah Marakata masih merasa satu darah dengan keluarga Medang. Dengan latar itu, sangat mungkin ekspedisi Airlangga ke Bali berwujud penegasan kedaulatan kakak terhadap adik, ketimbang penaklukan dengan kekerasan. Bali barangkali menerima kedatangan utusan atau pasukan Airlangga dan sepakat mengakui supremasi Kahuripan tanpa banyak perlawanan, demi menjaga hubungan baik keluarga.
Sebagai konsekuensi ekspedisi tersebut, Bali masuk dalam lingkup mandala Kahuripan pada awal abad ke-11. Sejumlah kronik Jawa (misalnya Nagarakretagama, meski ditulis jauh kemudian pada abad ke-14) menyiratkan bahwa raja-raja di pulau tetangga menghormati Airlangga. Sayangnya, sumber Bali sendiri nyaris tidak mencatat episode ini secara eksplisit. Namun indikasi integrasi tampak dari segi kultural dan administratif. Pemerintahan Bali tetap dipegang Dinasti Warmadewa (setelah Marakata wafat sekitar 1045, digantikan Anak Wungsu, adik bungsu Airlangga), tetapi kemungkinan statusnya menjadi semacam kerajaan bawahan atau sekutu junior dari Kahuripan. Bali kemungkinan membayar upeti atau setidaknya menjalin hubungan vasal dengan Airlangga hingga akhir masa pemerintahannya. Dengan demikian, Airlangga berhasil memperluas pengaruh ke luar Jawa tanpa harus menaklukkan secara langsung melalui perang besar.
Sebagai ilustrasi bagaimana Bali menghormati dominasi Jawa: masa pemerintahan Anak Wungsu (1049–1077 M di Bali) ditandai stabil dan banyak mengeluarkan prasasti. Meskipun Anak Wungsu berdaulat penuh di dalam negeri, ia tetap menjaga warisan politik ayah dan kakaknya. Tidak tercatat konflik antara Bali dan penerus Airlangga pasca 1042, yang mengindikasikan hubungan harmonis. Mungkin Bali mengakui dua kerajaan pecahan Airlangga (Panjalu dan Janggala) secara diplomatis. Namun, integrasi Bali ke kekuasaan Jawa pada masa Airlangga ini sifatnya longgar dan berbeda dengan penaklukan pada era berikutnya (misalnya Bali ditaklukkan Singhasari tahun 1284 oleh Kertanagara, dan secara permanen ditundukkan Majapahit tahun 1343 oleh Gajah Mada). Pada era Airlangga, Bali boleh dikata masuk orbit kekuasaan Jawa secara personal union melalui ikatan darah, bukan aneksasi penuh.
Integrasi Bali ke Dalam Kekuasaan Jawa: Pandangan Sumber Primer dan Sejarawan
Untuk memahami lebih jauh hubungan Airlangga dan Bali, penting melihat keterangan sumber primer serta analisis sejarawan modern. Prasasti Pucangan (1041) sudah ditegaskan di atas memuat legitimasi genealogis Airlangga sebagai keturunan Bali-Jawa. Hal ini secara tersirat menyatakan bahwa Airlangga merasa berhak atas takhta di Jawa maupun berpengaruh di Bali. Dengan menyebut jelas garis Warmadewa dalam prasastinya, Airlangga seolah mengklaim dua warisan: “Aku putra dinasti Medang dan juga putra raja Bali” – suatu pernyataan status yang mengukuhkan integrasi dua kekuasaan dalam pribadinya.
Dari sisi Bali, bukti tertulis integrasi dapat diindikasikan dari gelar dan kebijakan raja Bali setelah Udayana. Seperti disinggung, Raja Marakata Pangkaja menggunakan gelar “Dharmawangsawardhana”. Ini menarik karena nama tersebut menggabungkan nama pamannya dari Jawa (Dharmawangsa) dengan gelar Sanskrit kehormatan. Artinya, Marakata sengaja mengaitkan legitimasinya dengan trah Jawa. Ini bisa dilihat sebagai penghormatan pribadi, tetapi juga bisa ditafsirkan sebagai pengakuan simbolis bahwa kekuasaannya sejalan dengan garis Jawa. Selain itu, terdapat tokoh penting bernama Mpu Kuturan di Bali pada masa Marakata/Anak Wungsu. Mpu Kuturan adalah seorang brahmana dari Jawa yang menetap di Bali dan sangat berpengaruh dalam pembinaan agama dan pemerintahan (beliau disebut memprakarsai sistem desa adat dan penyatuan tiga aliran keagamaan di Bali). Kehadiran figur kuturan ini melambangkan transfer nilai-nilai Jawa ke Bali.
Menurut penelitian Ida Bagus Sapta Jaya (Arkeolog Udayana), pada akhir pemerintahannya Airlangga memang mencoba langkah integrasi yang lebih formal. Diceritakan bahwa Airlangga berniat menempatkan salah seorang putranya sebagai raja di Bali untuk menggantikan kedudukan keluarganya di sana. Kala itu Airlangga menghadapi dilema suksesi: putri mahkotanya (Sanggramawijaya Tunggadewi) memilih menjadi pertapa sehingga ia harus membagi kerajaannya di Jawa antara dua putranya yang lain (kelak menjadi Kerajaan Panjalu dan Janggala). Sebelum pembagian (tahun 1042 M), Airlangga dikisahkan mengutus guru spiritualnya, Mpu Bharada, pergi ke Bali untuk menyampaikan niat Airlangga menobatkan salah satu putranya sebagai raja Bali. Langkah ini tampaknya agar semua putra Airlangga mendapatkan bagian kekuasaan: dua di Jawa, satu di Bali. Namun rencana ini gagal. Mpu Bharada konon mendapat penolakan dari tokoh utama di Bali bernama Mpu Kuturan. Mpu Kuturan yang mewakili kepentingan Bali menolak pergantian dinasti di pulau itu. Akibatnya, Airlangga batal menempatkan putranya dan fokus pada pembelahan kerajaan di Jawa saja. Kisah ini menunjukkan bahwa kendali politik Airlangga atas Bali memiliki batas – ia tidak bisa begitu saja menggeser dinasti Warmadewa dengan dinastinya sendiri tanpa resistensi elite setempat.
Penolakan Mpu Kuturan masuk akal karena dari perspektif Bali, takhta seharusnya tetap di tangan keturunan langsung Udayana (yakni Anak Wungsu, adik Airlangga). Faktanya, memang Anak Wungsu naik takhta Bali setelah Marakata dan memerintah sangat lama (1025–1077 M). Dengan demikian, secara de facto Bali tetap diperintah dinasti lokal, meski mungkin di bawah bayang-bayang kekuatan Jawa. Langkah Airlangga yang tidak memaksakan lagi kehendaknya (tidak ada catatan ia mengirim pasukan menghukum Bali pasca penolakan itu) menunjukkan hubungan kekerabatan masih dijaga. Airlangga barangkali menghormati keputusan Bali untuk mempertahankan rajanya sendiri. Di sisi lain, Bali tentu tetap menjaga hubungan baik dengan bekas raja besar Jawa itu. Integrasi politik Bali ke Jawa saat Airlangga akhirnya bersifat vasal semi-otonom: Bali mengakui supremasi Kahuripan, tetapi internalnya otonom.
Modern, sejarawan mengomentari bahwa integrasi Bali ke Jawa terjadi secara bertahap. Setelah era Airlangga, pengaruh Jawa sempat surut sejenak karena kerajaan pecah (Panjalu dan Janggala saling bersaing). Bali pun melanjutkan masa damainya di bawah Anak Wungsu tanpa intervensi luar. Baru pada abad ke-12 dan 13, Dinasti di Jawa (Kediri, Singhasari) kembali menaruh minat pada Bali. Puncaknya, seperti disinggung, Bali ditaklukkan Singhasari tahun 1284 oleh Kertanegara, namun sempat lepas lagi tak lama kemudian. Integrasi penuh baru terjadi di masa Majapahit (Gajah Mada menaklukkan Bali tahun 1343) yang mengakhiri sepenuhnya kemandirian politik dinasti Warmadewa. Meski demikian, benih awal integrasi telah ditanam sejak Airlangga: Bali diperkenalkan dalam jaringan politik Jawa. Hal ini turut mendorong arus budaya Jawa ke Bali. Sejarawan R.C. Majumdar bahkan menyebut Bali kemudian hari menjadi “benteng terakhir budaya Indo-Jawa” ketika Majapahit runtuh. Ungkapan itu mengacu pada peran Bali melestarikan warisan klasik Jawa, yang salah satu sebab muasalnya adalah sejarah panjang keterhubungan Bali-Jawa sejak masa Medang dan Airlangga.
Strategi Politik dan Militer Airlangga serta Dampaknya terhadap Bali
Keberhasilan Airlangga dalam konflik dan ekspansi abad ke-11 tidak lepas dari strategi politik dan militer jitu yang ia terapkan. Pertama, dari segi politik, Airlangga memanfaatkan sepenuhnya legitimasi ganda yang dimilikinya. Sebagai putra raja Bali dan kemenakan raja Jawa, ia dapat diterima oleh masyarakat kedua wilayah. Ia menekankan silsilah Mataram Kuno (Isyana) dalam titah-titahnya untuk menggaet dukungan aristokrasi Jawa, sekaligus menjaga hubungan darah dengan Bali untuk mencegah konflik dengan keluarga di sana. Strategi aliansi melalui perkawinan juga ia lanjutkan – contohnya menikahi putri Sriwijaya demi mengamankan perdamaian dengan kekuatan Sumatra. Dengan langkah itu, Airlangga menetralkan musuh eksternal dan mendapatkan sekutu penting.
Kedua, secara militer Airlangga piawai menerapkan taktik bertahap dan terukur. Ia tidak gegabah menantang semua lawan sekaligus, melainkan memetakan prioritas. Diawali dengan mengalahkan musuh terdekat dan paling lemah, kemudian beralih ke lawan yang lebih kuat satu per satu. Contohnya, ia tak langsung menyerang Sriwijaya yang besar, tapi memilih berdamai sampai kekuatan sendiri mantap. Fokus pertamanya justru menyatukan Jawa dahulu (Hasin, Wuratan, Wengker, dll), baru kemudian melirik Bali ketika sudah siap. Pendekatan “divide et impera” (memecah kekuatan lawan) juga terlihat: Airlangga memanfaatkan fakta bahwa musuh-musuhnya terpecah belah dan kadang saling rival, sehingga ia dapat menaklukkan mereka terpisah. Selain itu, saat menghadapi kekalahan (contoh serangan Ratu Lodoyong 1031), ia sigap mundur taktis untuk menyelamatkan inti pasukan, lalu rebound dengan strategi baru (pindah ibu kota ke Kahuripan yang lebih defensif). Fleksibilitas ini menunjukkan kecakapan militer dan kepemimpinannya.
Airlangga juga menggabungkan pendekatan keras dan lunak. Usai menundukkan suatu wilayah, ia tidak selalu menumpas habis, melainkan merangkul tokoh setempat yang mau bekerjasama. Banyak raja bawahan yang tak dibunuh, melainkan dibiarkan memerintah di bawah kedaulatannya asalkan setia. Strategi ini menciptakan jaringan raja-raja bawahan yang loyal. Di bidang pemerintahan, ia melakukan rekonstruksi ekonomi dan sosial untuk memenangkan hati rakyat (misal pembangunan infrastruktur, pembagian sima atau tanah perdikan kepada brahmana dan pejabat berjasa). Hal-hal tersebut mengokohkan dukungan internal terhadap Airlangga, sehingga kecil kemungkinan muncul pemberontakan besar dari dalam setelah 1035.
Lalu bagaimana dampak strategi dan ekspansi Airlangga terhadap sistem kerajaan di Bali? Dampaknya bersifat jangka panjang dan kultural-politis. Meskipun Airlangga tidak secara langsung memerintah Bali (ia tetap berpusat di Jawa), ekspedisi dan pengaruhnya membawa Bali lebih erat ke dalam orbit peradaban Jawa. Sistem kerajaan Bali pada masa itu mulai dipengaruhi pola Jawa: misalnya, penggunaan gelar ala Jawa Kuno (Sanskerta) meningkat di kalangan raja Bali, struktur birokrasi kemungkinan meniru beberapa jabatan dari Jawa, dan ritual kerajaan Bali makin mirip dengan Jawa. Contohnya, Anak Wungsu di Bali banyak mengeluarkan prasasti berbahasa Bali Kuno bercampur istilah Sanskerta, yang menunjukan kesinambungan tradisi literasi seperti di Jawa. Selain itu, pembinaan agama oleh Mpu Kuturan di Bali didukung penuh oleh raja – hal ini sejalan dengan kebijakan Airlangga di Jawa yang menempatkan para pendeta sebagai penasihat dan penjaga moral kerajaan. Boleh jadi, model kepemimpinan religius Airlangga menginspirasi langkah serupa di Bali, mengingat ada kesamaan tokoh (Mpu Bharada di Jawa dan Mpu Kuturan di Bali bekerja pada masa yang beririsan).
Secara politik, dengan diakuinya supremasi Kahuripan, Bali untuk pertama kalinya masuk ke sistem interaksi kerajaan Nusantara yang lebih luas di bawah dominasi Jawa. Ini berbeda dengan era sebelumnya di mana Bali relatif terisolasi atau hanya berhubungan longgar. Setelah Airlangga, para penguasa Bali tahu bahwa pulau Jawa adalah kekuatan yang tak bisa diabaikan. Dampaknya, Bali cenderung menjaga hubungan diplomatik baik dengan raja-raja Jawa demi kestabilan. Tradisi Bali kemudian mencatat misalnya kiriman utusan ke Majapahit, atau malah beberapa bangsawan Bali dikirim belajar ke Jawa. Walau itu terjadi di periode lebih kemudian, akarnya adalah integrasi politik-kultural yang mulai “diniatkan” di zaman Airlangga.
Sebaliknya, dampak negatif bagi Bali relatif minim pada masa itu karena Airlangga tidak melakukan penaklukan destruktif. Tidak ada laporan tentang pertempuran besar atau kehancuran di Bali akibat ekspedisi Kahuripan. Struktur kerajaan Bali (Dinasti Warmadewa) tetap berlanjut tanpa putus, artinya Airlangga menghormati otonomi internal Bali. Hanya, Bali mungkin harus mengakui dominasi Jawa dalam hal tertentu, misalnya tak boleh menjalankan politik luar negeri yang berseberangan dengan Jawa atau harus berbagi akses dagang dengan pelabuhan Kahuripan. Jika sebelumnya Bali berdiri sejajar, pasca ekspedisi Airlangga posisinya menjadi subordinat dalam hierarki mandala kekuasaan Jawa. Namun sekali lagi, karena hubungan Airlangga dan raja Bali adalah hubungan keluarga, maka nuansa dominasi ini tersamar oleh ikatan personal.
Pada akhirnya, sejarah konflik dan integrasi Kahuripan di bawah Airlangga dengan Bali pada awal abad ke-11 menunjukkan pola penyatuan nusantara secara bertahap. Airlangga berhasil menggabungkan warisan politik Jawa dan Bali: melalui kecakapan militernya, ia mengatasi perpecahan di Jawa; melalui kelihaian diplomasinya, ia mengikat Bali dalam pengaruhnya tanpa menghancurkannya. Latar belakang hubungan Bali-Jawa yang sudah terjalin via pernikahan dinasti memberi fondasi kuat baginya melakukan ekspedisi dengan sukses minim resistensi. Prasasti Pucangan menjadi saksi bagaimana Airlangga mengklaim legitimasinya sebagai pewaris kedua budaya, sementara Prasasti Belanjong menjadi bukti bahwa Bali sudah mapan sebelum integrasi namun kemudian terbuka pada pengaruh luar. Sejarawan modern menginterpretasi bahwa langkah Airlangga ini merupakan upaya awal mengintegrasikan wilayah kepulauan di bawah hegemoni Jawa, yang berlanjut diteruskan dinasti-dinasti sesudahnya. Bagi sistem kerajaan di Bali sendiri, dampak ekspedisi Airlangga terasa dalam semakin kuatnya nuansa tradisi Jawa di istana Bali, meskipun kedaulatan lokal masih terpelihara. Inilah salah satu warisan Airlangga: menyatukan tanpa menghancurkan, mengintegrasikan Bali ke pangkuan Jawa sembari tetap menghargai keunikan Bali. Hal tersebut menyiapkan lanskap politik di mana Bali dan Jawa saling terkait dalam satu ruang budaya dan kekuasaan Hindu-Buddha, hingga berabad-abad kemudian.
Sumber-sumber Primer dan Rujukan Modern:
Berikut ini adalah versi singkat dan disertai referensi yang jelas dari berbagai sumber
1. Prasasti Pucangan & Silsilah Airlangga
- Prasasti Pucangan (1041 M), dikenal sebagai Calcutta Stone, mencatat silsilah Raja Airlangga, yang menjelaskan bahwa ia merupakan keturunan Wangsa Isyana (Mataram Kuno di Jawa) dan Wangsa Warmadewa di Bali melalui ibu, Mahendradatta, putri Sri Makutawangsawarddhana, dan adik sepupu Dharmawangsa Teguh di Jawa, yang menikahi Raja Udayana di Bali (detik.com).
- Keberadaan kombinasi dua wangsa ini membuat legitimasi Airlangga atas pengaruh politik di Bali dan Jawa sangat kuat.
2. Prasasti Blanjong (Belanjong), 914 M
- Ditemukan di Sanur, Bali, prasasti ini menunjukkan bahwa Bali telah memiliki kerajaan Hindu Hindu yang berdaulat dan mampu melakukan ekspedisi militer lokal sejak awal abad ke-10. Tertulis dalam logat Nagari & Bali Kuno, prasasti ini mengabadikan kemenangan Raja Sri Kesari Warmadewa atas musuh di “Gurun” dan “Suwal” (en.wikipedia.org).
3. Eksistensi dan Genealogi
- Prasasti Pucangan terkenal karena mengungkap bahwa Indonesia kuno adalah pluralistik, terutama agama. Airlangga memanggil guru spiritual Mpu Bharada dari Jawa untuk Bali, namun ditolak oleh tokoh Bali, Mpu Kuturan (detik.com).
- Hal ini menunjukkan bahwa meski Bali berada dalam orbit pengaruh Jawa, Bali masih menegaskan identitas kedaulatan lokalnya.
4. Ekspansi & Integrasi Bali
- Pada kekuasaan Airlangga (~1035–1041), saat Sriwijaya melemah akibat serangan Chola (1025 M), ia memperluas pengaruh Kahuripan hingga Bali tanpa perlu penaklukan besar (en.wikipedia.org).
- Hubungan tetap rukun: Bali tetap diperintah oleh Wangsa Warmadewa (Marakata Pangkaja dan kemudian Anak Wungsu), tetapi kemungkinan menempatkan diri sebagai kerajaan vasal semi-otonom di bawah Airlangga (en.wikipedia.org).
Catatan Singkat:
- Prasasti Pucangan (1041 M) memperkuat klaim bahwa Airlangga adalah keturunan Jawa (Isyana) dan Bali (Warmadewa) dengan legitimasi kuat di kedua wilayah (detik.com).
- Prasasti Belanjong (914 M) menunjukkan kekuatan budaya dan militer Bali sebelum era Airlangga (en.wikipedia.org).
- Ekspansi Airlangga ke Bali tampaknya bersifat diplomatis dan berbasis kekerabatan, bukan perang besar, dan Bali masih mempertahankan dinasti lokalnya.
- Airlangga berhasil menyatukan politik Bali dan Jawa melalui strategi aliansi personal dan pengaruh maritim tanpa menghancurkan identitas Bali.
- Penelitian arkeologis (Vernika Witasari, Ida Bagus Sapta Jaya) memberi wawasan hubungan genealogi dan politik Bali-Jawa.
Dengan demikian, melalui kombinasi bukti-bukti tersebut, dapat disusun gambaran mendalam tentang konflik dan integrasi antara Kerajaan Kahuripan di bawah Airlangga dan Kerajaan Bali pada awal abad ke-11. Semua ini menunjukkan kebesaran Airlangga sebagai figur penyatu, serta babak awal penyatuan Bali ke dalam pengaruh kerajaan Jawa yang kelak berlanjut di kemudian hari.