Perang antara Kerajaan Medang (di bawah Raja Dharmawangsa) dan Sriwijaya sekitar tahun 990 M, termasuk latar belakang politik, penyebab konflik, jalannya perang, kegagalan invasi Dharmawangsa, hingga serangan balasan Sriwijaya yang menghancurkan Kerajaan Medang pada tahun 1016.
Peta kekuasaan Sriwijaya (wilayah berwarna kuning) pada puncak kejayaannya sekitar abad ke-8–10. Kerajaan maritim ini menguasai Sumatra, Semenanjung Malaya, dan sebagian Jawa, menjadi hegemon perdagangan di Asia Tenggara.
Latar Belakang Politik Kedua Kerajaan
Kerajaan Medang di Bawah Dharmawangsa Teguh
Kerajaan Medang (juga dikenal sebagai Mataram Kuno) pada akhir abad ke-10 berpusat di Jawa Timur dan dipimpin oleh Raja Dharmawangsa Teguh (bertakhta ±990–1016 M). Dinasti yang berkuasa, Wangsa Isyana, didirikan oleh Mpu Sindok yang memindahkan pusat kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sekitar tahun 929 M. Pemindahan ini diduga terkait faktor politik dan ekonomi: wilayah Jawa Timur (lembah Sungai Brantas) menawarkan akses lebih mudah ke pelabuhan-pelabuhan di pesisir utara Jawa, sehingga menguntungkan perdagangan maritim. Sejumlah sejarawan seperti J.G. de Casparis bahkan berpendapat pemindahan ibu kota ke timur mungkin untuk menghindari ancaman invasi Sriwijaya, mengingat sejak pertengahan abad ke-10 hubungan Mataram dengan Sriwijaya memburuk.
Pada masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh, Kerajaan Medang mencapai puncak kekuasaannya di Jawa. Sang raja dikenal ambisius dan berusaha memperluas pengaruh ke luar Jawa. Di bidang budaya, misalnya, terdapat catatan bahwa istana Dharmawangsa memprakarsai penerjemahan kitab Mahabharata ke dalam bahasa Jawa Kuno, menunjukkan perhatian raja pada kemajuan sastra dan ilmu. Secara politik, Dharmawangsa menjalin aliansi dengan Bali: ia menikahkan saudara perempuannya, Mahendradatta (Gunapriya Dharmapatni), dengan raja Bali Udayana Warmadewa, dan dari pernikahan ini lahir Airlangga. Ikatan ini memperkuat posisi Medang di kawasan Nusantara bagian timur.
Meskipun kuat di Jawa, Medang menghadapi saingan besar di barat: Kekaisaran maritim Sriwijaya. Terdapat indikasi bahwa jauh sebelum era Dharmawangsa, telah terjadi permusuhan antara Jawa dan Sumatra. Prasasti Anjuk Ladang (937 M) menyebut keberhasilan pasukan Mpu Sindok menghalau serangan pasukan Malayu (kemungkinan bagian dari Sriwijaya) di daerah Jawa Timur. Sindok bahkan mendirikan monumen kemenangan (jayastambha) untuk memperingati kegagalan invasi tersebut. Fakta ini mengisyaratkan bahwa pada abad ke-10 awal, hubungan Medang–Sriwijaya sudah diwarnai ketegangan dan kompetisi.
Kemaharajaan Sriwijaya pada Abad ke-10
Sriwijaya, berpusat di Palembang (Sumatra Selatan), pada akhir abad ke-10 adalah kerajaan maritim Buddhis yang makmur dan menguasai jalur perdagangan penting Selat Malaka dan sekitarnya. Sejak didirikan pada abad ke-7 (Prasasti Kedukan Bukit 682 M mencatat ekspedisi Dapunta Hyang Jayanasa), Sriwijaya berkembang menjadi jaringan mandala dengan pengaruh mencakup Sumatra, semenanjung Malaya, hingga pesisir barat Jawa. Sriwijaya mengendalikan pelabuhan-pelabuhan strategis (seperti Palembang, Jambi/Melayu, Kedah di Malaya) dan menjadi perantara utama perdagangan rempah, hasil hutan, dan komoditas antar India, Arab, dan Tiongkok. Dominasi ekonomi inilah yang menjadikan Sriwijaya adidaya Asia Tenggara pada masanya.
Pada sekitar tahun 990 M, Sriwijaya diperintah oleh Maharaja Sri Cudamani Warmadewa (bertakhta ±988–1008 M). Ia tercatat sebagai penguasa cakap dan diplomat ulung, karena mampu memimpin kerajaannya melewati krisis besar akibat serangan Jawa. Sumber Tiongkok Dinasti Song menyebut namanya dalam bentuk transkripsi Shi-li-zhu-luo-wu-ni-fo-ma-tiao-hua, merujuk pada Sri Cudamani Warmadewa. Masa pemerintahannya diwarnai tantangan berat, yaitu invasi militer dari Jawa di bawah Dharmawangsa.
Sebagai kerajaan maritim, Sriwijaya memiliki armada laut yang kuat dan prajurit yang tangguh. Catatan Tiongkok dari abad ke-13, karya Zhou Qufei dalam Lingwai Daida, menggambarkan bahwa penduduk Sanfotsi (Srivijaya) “terampil berperang di darat maupun laut; dalam keberanian menyerang musuh, tak ada yang menandingi mereka di antara bangsa-bangsa lain”. Sriwijaya juga dikenal agresif menjaga jalur dagangnya – setiap kapal asing yang lewat diwajibkan singgah, jika tidak, akan diserang oleh armada Sriwijaya. Dengan kekayaan dan kekuatan itu, Sriwijaya berposisi sebagai penguasa monopoli perdagangan regional. Namun, hegemoni ini mulai ditantang oleh kerajaan-kerajaan agraris di Jawa yang tumbuh kuat, terutama Medang.
Persaingan dan Sebab Konflik
Pada akhir abad ke-10, konstelasi politik Nusantara diwarnai rivalitas antara Medang dan Sriwijaya. Apa penyebab utama konflik ini? Para sejarawan menyoroti beberapa faktor kunci:
- Dominasi Perdagangan: Sriwijaya memonopoli perdagangan maritim Barat Nusantara, sementara Medang yang kian makmur di Jawa Timur berkeinginan ikut menguasai jalur dagang tersebut. Langkah Mpu Sindok memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur diduga untuk mendekatkan diri ke rute perdagangan laut. Di bawah Dharmawangsa, ambisi ini memuncak dengan rencana ekspansi ke wilayah pengaruh Sriwijaya. Menurut sejarawan George Coedès, Medang ingin menantang dominasi Sriwijaya sebagai kekuatan regional, sedangkan dari sudut pandang Sriwijaya, mungkin ada keinginan revanche untuk merebut kembali tanah Jawa yang pernah dikuasai dinasti Śailendra. Permusuhan lama pasca terusirnya Wangsa Śailendra dari Jawa (abad ke-9) bisa menjadi latar belakang historis: Balaputradewa (raja Sriwijaya abad ke-9) adalah keluarga Śailendra yang pernah berkuasa di Mataram. Hal ini menambah motif dendam politik di pihak Sriwijaya.
- Alasan Ekonomi dan Ideologi: Medang beragama Hindu-Syiwa, sedangkan Sriwijaya berlandaskan Buddhisme Mahayana. Meskipun perbedaan agama bukan sebab langsung perang, persaingan pengaruh kebudayaan (Hindu-Jawa vs Buddha-Sumatra) ikut mewarnai hubungan kedua kerajaan. Medang mungkin merasa terancam secara ekonomi karena pelabuhan-pelabuhan Sriwijaya menghambat akses langsung Jawa ke perdagangan internasional. Invasi ke Sriwijaya bisa dipandang sebagai upaya mematahkan monopoli perdagangan dan membuka jalur bagi pedagang Jawa. Sumber-sumber lokal menyebut Dharmawangsa ingin menguasai jalur perdagangan maritim yang dikuasai Sriwijaya di Sumatra.
- Situasi Internasional: Hubungan Sriwijaya dengan Tiongkok sangat erat sejak abad ke-7, sementara Medang relatif jarang mengirim utusan ke Tiongkok. Pada 971 M, tercatat Sriwijaya mengirim utusan ke Tiongkok dan dianugerahi persetujuan perdagangan. Medang mungkin khawatir dengan keunggulan diplomasi Sriwijaya di mata Dinasti Song, sehingga mencoba menantangnya secara langsung. Selain itu, Sriwijaya pada 990-an juga bersaing dengan kerajaan lain (seperti Kerajaan Cola di India Selatan, meski konflik langsung Sriwijaya-Cola baru meletus 1025). Namun, pada 990 situasi Sriwijaya cukup stabil secara regional, sehingga satu-satunya ancaman besar datang dari Jawa.
Dengan latar belakang itulah, Dharmawangsa Teguh memutuskan mengambil langkah drastis: menyerang jantung kekuatan Sriwijaya di Sumatra pada tahun 990 M. Berikut ini kronologi invasi tersebut dan perkembangan konfliknya.
Kronologi Invasi Dharmawangsa ke Sriwijaya (990 M)
Relief kapal di Candi Borobudur menggambarkan kapal layar bercadik ganda khas Jawa kuno. Kapal bercadik model ini merupakan ciri kapal Javanese pada abad ke-8–9 M dan memberi gambaran armada maritim Medang yang dipakai untuk menyerbu Sriwijaya pada 990 M.
Pada tahun 990 M, Raja Dharmawangsa Teguh melancarkan ekspedisi militer maritim besar-besaran terhadap Sriwijaya. Armada Jawa berlayar melintasi Selat Jawa menuju Sumatra. Sasaran utamanya diduga ibu kota Sriwijaya. Sumber sejarah sedikit berbeda: beberapa catatan menyebut targetnya Palembang, namun sumber lain (mis. tradisi Sriwijaya di Semenanjung) menyiratkan serangan ditujukan ke Kedah (Ligor) di pantai barat Melayu. Meskipun demikian, umumnya sejarawan sepakat bahwa Dharmawangsa berniat merebut kota pusat Sriwijaya untuk melumpuhkan kekuatan maritimnya.
Peristiwa invasi ini tidak tercatat dalam prasasti di Jawa, tetapi beruntung terdokumentasi dalam catatan Tiongkok Dinasti Song. Kronik Song memberikan kronologi rinci melalui laporan para utusan dari Sriwijaya maupun Jawa di Tiongkok:
- Tahun 988 M: Seorang utusan Sriwijaya (San-fo-tsi) tiba di Guangzhou, Tiongkok. Ia tinggal cukup lama di Tiongkok. Sekitar dua tahun kemudian, utusan ini mendapat kabar mengejutkan: negerinya diserang oleh She-po (Jawa) sehingga ia tertahan di pengasingan dan tak dapat pulang. Kabar ini menandai bahwa invasi Jawa dimulai kira-kira antara 990–991 M, saat utusan Sriwijaya masih di Tiongkok.
- Tahun 992 M: Utusan dari She-po (Kerajaan Jawa) tiba di istana Kaisar Song. Ia melaporkan bahwa negerinya (Jawa) tengah berperang terus-menerus dengan Sriwijaya. Kedatangan delegasi Jawa ini mengonfirmasi konflik terbuka antara Medang dan Sriwijaya. Menariknya, pada titik ini pasukan Dharmawangsa dikabarkan sudah berhasil merebut ibu kota Sriwijaya untuk sementara waktu. Artinya, invasi Jawa sempat mencapai sukses awal: Palembang (atau pusat Sriwijaya lainnya) mungkin jatuh dan diduduki tentara Medang pada 992 M. Akan tetapi, keberhasilan ini tidak berlangsung lama. Sumber yang sama menyebut bahwa tak lama kemudian, pasukan Sriwijaya berhasil memukul mundur tentara Jawa dan merebut kembali ibu kotanya. Dengan demikian, ekspedisi Dharmawangsa gagal mencapai kemenangan cepat; perang berlanjut sengit.
- Tahun 999 M: Setelah beberapa tahun terjebak di Tiongkok, utusan Sriwijaya yang tadi (dari 988) mencoba pulang. Ia berlayar ke Champa (Vietnam) untuk mencari tahu keadaan negerinya. Namun, setiba di sana ia tidak memperoleh kepastian apakah Sriwijaya sudah aman dari serangan Jawa. Khawatir, utusan itu kembali lagi ke Tiongkok. Di istana Song, ia memohon perlindungan Kaisar Tiongkok terhadap ancaman Jawa. Permohonan ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman Dharmawangsa dirasakan Sriwijaya – sampai harus meminta bantuan negeri Tiongkok yang jauh. Akan tetapi, Dinasti Song saat itu menerapkan sikap non-intervensi militer. Kaisar hanya mengakui laporan tersebut tanpa mengirim bala bantuan. Meski tak mendapat bantuan militer langsung, Sri Cudamani Warmadewa sadar pentingnya dukungan politik Tiongkok.
- Tahun 1003 M: Strategi diplomasi Sriwijaya membuahkan hasil. Menurut catatan resmi Dinasti Song, utusan Sriwijaya yang diutus oleh raja Shi-li-zhu-luo-wu-ni-fo-ma-tiao-hua (Sri Cudamani Warmadewa) melaporkan bahwa di negerinya telah didirikan sebuah kuil Buddha untuk mendoakan umur panjang Kaisar Tiongkok. Utusan itu memohon agar Kaisar bersedia memberikan nama dan sebuah lonceng untuk kuil tersebut sebagai tanda kehormatan. Kaisar Song Zhenzong merasa tersanjung; ia menamai kuil itu Cheng-t’en-wan-shou (artinya “menerima berkah dari langit selama sepuluh ribu tahun”, mengacu pada Tiongkok) dan segera memerintahkan pembuatan sebuah lonceng besar yang dikirim ke Sriwijaya. Sumber Indonesia menyebut kuil tersebut kemungkinan adalah Candi Bungsu di kompleks Muara Takus, Riau, tempat lonceng titipan Kaisar ditempatkan. Langkah cerdik Cudamani Warmadewa ini berhasil mengamankan dukungan politik Tiongkok – semacam perlindungan diplomatik tak resmi – sehingga Sriwijaya terhindar dari isolasi internasional di tengah perang dengan Jawa.
Sampai dengan awal abad ke-11, konflik Medang–Sriwijaya berlangsung bagaikan perang dingin berkepanjangan. Perang terbuka memang mereda setelah tahun 992 (saat pasukan Jawa terpukul mundur dari Sumatra), tetapi kedua kerajaan tetap bermusuhan. Sumatra bagian selatan kemungkinan masih genting. Catatan Song tidak menjelaskan secara rinci operasi militer pasca 992, namun menyinggung bahwa situasi perang berlanjut hingga belasan tahun. Bahkan, disebutkan setelah 16 tahun perang, Sriwijaya akhirnya berhasil mengusir penjajah Medang sepenuhnya dan membebaskan Palembang dari ancaman. Jika invasi dimulai 990, maka 16 tahun kemudian adalah sekitar 1006 M, yang selaras dengan catatan bahwa pada 1006 Sriwijaya berhasil mematahkan serangan Jawa secara tuntas. Dengan demikian, ekspedisi Dharmawangsa berakhir gagal. Seluruh kekuatan Jawa ditarik mundur, dan Sriwijaya berhasil mempertahankan kedaulatannya.
Kegagalan militer ini tentunya menjadi pukulan bagi reputasi Dharmawangsa. Meski kerajaan Medang sendiri tidak ditaklukkan, serangan yang gagal berarti membuang sumber daya besar. Namun, dampak lebih jauh dari kegagalan ini baru terasa satu dekade kemudian, ketika Sriwijaya melancarkan pembalasan yang menghancurkan. Pihak Sriwijaya, setelah sadar betapa berbahayanya Mataram Jawa, tidak tinggal diam. Dikisahkan bahwa Maharaja Sriwijaya “mulai menyusun rencana sabar untuk menghancurkan musuhnya di Jawa” setelah tahun 1006. Inilah yang menjadi prolog bagi peristiwa Mahapralaya 1016 di Jawa.
Pembalasan Sriwijaya: Pemberontakan Wurawari dan Mahapralaya 1016
Setelah Sri Cudamani Warmadewa mangkat sekitar 1008 M, tahta Sriwijaya dilanjutkan oleh putranya Sri Maravijayottunggavarman. Diyakini dialah yang mengeksekusi rencana balas dendam terhadap Medang. Sriwijaya memilih taktik perang tak langsung: alih-alih menyerbu Jawa dengan armada sendiri, mereka mendukung pemberontakan internal di Medang untuk menjatuhkan Dharmawangsa.
Kesempatan emas muncul lewat seorang penguasa bawahan Medang bernama Haji Wurawari dari Lwaram. Lwaram adalah wilayah vasal di bawah Medang (lokasinya tidak pasti, mungkin di sekitar Jawa Tengah/Jawa Timur). Menurut tradisi Jawa, Wurawari menyimpan dendam pribadi terhadap Dharmawangsa. Disebutkan ia pernah melamar putri Dharmawangsa, tetapi ditolak. Sang raja justru menjodohkan putrinya dengan Airlangga, putra Raja Bali Udayana, yang juga keponakan Dharmawangsa sendiri. Wurawari merasa terhina, dan berambisi merebut tahta Medang. Motif pribadi ini membuatnya mudah diajak bersekutu dengan musuh eksternal Medang, yakni Sriwijaya. Bagi Sriwijaya, Wurawari adalah proxy ideal untuk menghancurkan Medang dari dalam tanpa ekspedisi besar.
Maka, pada tahun 1016 M, dilancarkanlah serangan mendadak ke pusat Kerajaan Medang. Sriwijaya diam-diam mendukung pemberontakan Haji Wurawari dengan menyediakan aliansi militer. Pada waktu yang dipilih, pasukan Wurawari bergerak dari arah utara (Lwaram) menuju ibu kota Medang di Wwatan (juga ditulis Watan, letaknya diperkirakan di Jawa Timur). Momen serangan sangat strategis: Dharmawangsa Teguh kala itu sedang menggelar pesta pernikahan putrinya dengan Airlangga. Seluruh keluarga kerajaan, para bangsawan, dan pembesar istana berkumpul dalam upacara pernikahan besar tersebut di istana Wwatan. Dalam suasana pesta yang lengah, mendadak pasukan Wurawari menyerbu istana dari berbagai penjuru.
Serangan itu benar-benar mengejutkan dan nyaris tanpa perlawanan berarti. Istana Medang dibakar dan dihancurkan secara brutal. Raja Dharmawangsa Teguh gugur di tengah serangan, bersama sebagian besar anggota keluarga istana dan bangsawan tinggi. Pembantaian terjadi di tempat pesta, sehingga peristiwa ini diibaratkan “bagai Yogyakarta direbut ketika takhta sedang kosong”. Sumber Jawa menyebut hampir tak ada yang selamat dari keluarga istana, kecuali segelintir orang yang berhasil meloloskan diri.
Peristiwa ini dalam kronik Jawa dikenal sebagai Pralaya Medang. Prasasti Pucangan (1041 M) yang dikeluarkan oleh Airlangga secara eksplisit mencatat kejadian ini: “Pulau Jawa mengalami pralaya akibat serangan Raja Wurawari pada tahun 938 Saka (1016 M), yang menyebabkan raja sebelumnya (Dharmawangsa Teguh) dan para pejabat tinggi tewas”. Kata pralaya berarti kehancuran atau kiamat kecil, mencerminkan betapa dahsyat dampak serangan tersebut bagi Kerajaan Medang.
Konfirmasi sumber lokal ini sejalan dengan catatan kronik dan analisis sejarawan modern. Serangan mendadak Wurawari yang didukung Sriwijaya mengakhiri riwayat Kerajaan Medang secara efektif. Ibukota Wwatan hancur lebur, pusat pemerintahan lumpuh total. Dengan tewasnya Dharmawangsa tanpa pewaris yang kuat, Jawa Timur dan Tengah jatuh ke dalam kekacauan politik. Provinsi-provinsi dan daerah taklukan Medang satu per satu memisahkan diri. Para panglima daerah dan kepala suku lokal tak lagi mengakui otoritas pusat, melainkan mendirikan semacam kerajaan-kerajaan kecil mandiri. Hukum dan ketertiban runtuh: kerusuhan, perampokan, dan kekerasan merebak di seantero Jawa. Para sejarawan mencatat periode ini sebagai masa interregnum yang penuh huru-hara selama beberapa tahun setelah 1016 M. Situasi ini sesuai dengan narasi Mahapralaya dalam Pucangan, yakni “matinya Kerajaan Mataram”.
Dari pihak Sriwijaya, misi balas dendam berhasil gemilang. Dengan runtuhnya Medang, Sriwijaya muncul sebagai penguasa tunggal yang tak tertandingi di Nusantara bagian barat. Selepas 1016, Sriwijaya mencapai puncak hegemoni. Tak ada lagi ancaman serius dari Jawa setidaknya untuk satu dekade ke depan. Kekuatan Sriwijaya baru terusik kembali pada 1025 M ketika Kekaisaran Cola dari India menyerbu kota-kota Sriwijaya di Sumatra dan Malaya – itu pun di luar konteks konflik dengan Jawa.
Setelah Pralaya: Kebangkitan Airlangga dan Dampak Jangka Panjang
Di tengah kehancuran Medang, secercah harapan muncul melalui sosok Airlangga. Pangeran berusia 16 tahun ini (menantu Dharmawangsa, putra Raja Bali Udayana dan Mahendradatta) berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian. Bersama ibunya (permaisuri Mahendradatta) dan pengikut setia seperti Mpu Narotama, Airlangga melarikan diri ke hutan pegunungan di Wanagiri (hutan di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur). Selama beberapa tahun, Airlangga hidup mengembara sebagai pertapa demi keamanan. Namun, situasi Jawa yang kacau mendorong rakyat menginginkan kembalinya kepemimpinan yang sah. Pada tahun 1019 M, para pemuka agama (pendeta) dan bangsawan yang masih loyal mendatangi Airlangga di pertapaan, memintanya mengambil tahta dan memulihkan ketertiban. Airlangga menyanggupi. Ia memproklamirkan berdirinya kerajaan baru bernama Kahuripan (sebagai penerus Medang) dengan pusat di daerah sekitar Gunung Penanggungan (dekat delta Sungai Brantas). Secara bertahap, Airlangga menaklukkan kembali wilayah-wilayah Jawa Timur dan Tengah yang memberontak, merekatkan kepingan Medang yang tercerai-berai. Menjelang pertengahan abad ke-11, Kahuripan (kemudian dikenal sebagai Kerajaan Panjalu/Kediri) bangkit menjadi kekuatan baru di timur, sementara Sriwijaya tetap menguasai barat. Kedua kerajaan memilih menjalin perdamaian demi menghadapi ancaman eksternal seperti Cola.
Memang, beberapa tahun setelah kehancuran Medang, Sriwijaya sendiri mengalami serangan besar dari luar: pada 1025 M, Raja Rajendra Chola dari India menyerbu Sriwijaya dan menaklukkan kota-kotanya (Palembang, Kedah, dll.). Meskipun tidak menguasai Sriwijaya secara permanen, ekspedisi Chola melemahkan Sriwijaya. Dalam situasi inilah perdamaian Jawa–Sumatra menjadi penting. Menurut catatan, Airlangga bahkan menikahi putri Sriwijaya pada 1030 M sebagai upaya aliansi pasca konflik panjang sebelumnya. Dengan pernikahan dan perjanjian damai itu, permusuhan Medang–Sriwijaya resmi berakhir. Kedua pihak setuju berbagi pengaruh: Sriwijaya berkuasa di barat Nusantara, Airlangga di timur, tanpa saling mengganggu.
Dampak jangka panjang perang 990–1016 ini terasa pada perubahan peta kekuatan di kepulauan Nusantara. Sriwijaya berhasil menyingkirkan rival Jawa pada awal abad ke-11, tetapi kemajuan ekonomi Jawa hanya terhambat sementara. Pada abad-abad berikutnya, justru kerajaan Jawa (seperti Kediri, Singasari, Majapahit) yang tumbuh mengimbangi lalu melampaui Sriwijaya. Catatan Tiongkok Lingwai Daida (1178 M) oleh Zhou Qufei memberikan perspektif menarik: ia menulis bahwa di antara negeri-negeri asing terkaya, Jawa menempati urutan pertama, disusul daratan Arab, dan Sriwijaya turun ke urutan ketiga. Pernyataan ini menunjukkan bahwa menjelang akhir abad ke-12, pusat kemakmuran perdagangan telah bergeser ke Jawa, sedangkan Sriwijaya mulai redup pamornya. Zhou Qufei juga menyoroti perubahan metode Sriwijaya yang semakin piratis (menyerang kapal yang tidak singgah) di masa senja kekuasaannya. Hal ini barangkali imbas dari melemahnya kontrol Sriwijaya dan munculnya saingan baru di Jawa.
Pada akhirnya, konflik Medang–Sriwijaya tahun 990–1016 M adalah salah satu episode penting dalam sejarah Nusantara. Latar belakang politiknya mencerminkan persaingan antara kerajaan agraris di Jawa dan kerajaan maritim di Sumatra. Penyebab perang berakar pada ambisi kekuasaan dan kendali perdagangan. Kronologi invasi Dharmawangsa menunjukkan bagaimana sebuah kerajaan Jawa berusaha menantang hegemoni Sriwijaya, memanfaatkan momentum dan diplomasi internasional. Kegagalan invasi berujung pada pembalasan terencana Sriwijaya melalui pemberontakan Wurawari yang menghancurkan Kerajaan Medang. Keterangan mengenai peristiwa ini diperoleh dari beragam sumber primer: catatan Tiongkok Dinasti Song menggambarkan kejadian dari sudut pandang luar, sementara Prasasti Pucangan memberikan sudut pandang Jawa atas kehancuran kerajaannya. Keduanya saling melengkapi, didukung pula oleh catatan penulis kemudian seperti Zhou Qufei dan Chu-fan-chi (Zhao Rugua, 1225) yang menegaskan perubahan kekuatan pasca konflik. Penafsiran sejarawan modern seperti Coedès, de Casparis, Slamet Muljana, hingga sejarawan Indonesia (Poerbatjaraka, Marwati Djoened, dkk) sejalan dengan sumber-sumber tersebut, membantu merekonstruksi narasi utuh perang ini dalam konteks sejarah regional.
Sebagai penutup, perang Medang–Sriwijaya mengajarkan bahwa dominasi di Nusantara selalu bersifat dinamis. Kemenangan Sriwijaya atas Medang memang meneguhkan posisinya sementara waktu, tetapi benih kekuatan Jawa tidak musnah – justru kelak bangkit lebih kuat. Konflik ini juga menyoroti pentingnya jalur perdagangan internasional dalam politik kerajaan Nusantara kuno. Pada akhirnya, melalui siklus peperangan dan perdamaian, kedua pusat peradaban (Jawa dan Sumatra) saling membentuk sejarah Indonesia di masa klasik, mewariskan kisah dramatis tentang ambisi, intrik, kehancuran, dan kebangkitan kembali.
Referensi:
- Prasasti Pucangan (1041 M), terjemahan W.F. Stutterheim dalam Oud-Javaansche Oorkonden.
- Catatan Dinasti Song (Songshi), dalam Tiongkok, abad ke-10–11 (diterjemahkan oleh Groeneveldt, 1876).
- Zhou Qufei, Lingwai Daida (1178), terjemahan Hirth & Rockhill (1911).
- Chau Ju-kua (Zhao Rugua), Zhu Fan Zhi (1225).
- Coedès, G. (1968). The Indianized States of Southeast Asia.
- Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. (1984). Sejarah Nasional Indonesia I.
- Muljana, Slamet (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKiS.
- Susanti, Ninie (2009) dalam Nagapattinam to Suvarnadwipa.
- Lubis, Ibrahim (2024). “Sejarah Kerajaan Lwaram dan Sosok Aji Wurawari”, dewantaranews.com.
- Artikel Liputan Jatim: “Runtuhnya Kerajaan Medang…”.
(Semua sumber primer dan sekunder tersebut telah digunakan untuk merekonstruksi uraian di atas. Informasi detail dari catatan Tiongkok dan prasasti lokal ditandai dalam teks dengan referensi.)